Jumat, 11 Desember 2009

GusTavo GuTierrez


Gustavo Gutierrez adalah sorang tokoh yang terkenal dengan teologi pembebasannya. Dia dikenal sejak kemunculan bukunya yang berjudul Teologia de la Liberacion pada 1971. Perhatiannya yang luar biasa akan kaum miskin dan tertindas di daerahnya, dan komitmennya akan keberpihakan kepada orang kecil dan lemah serta mendahulukan mereka yang lemah, telah membuat Gutierrez dikenal di seluruh dunia.
Apalagi metodenya yang baru, yang membalik metode teologi tradisional. Teologi tradisional bertolak dari kitab suci, tradisi dan ajaran gereja yang kemudian melahirkan refleksi teologis menuju praktek kehidupan sebagai orang beriman. Tetapi metode Gutierrez adalah praksis hidup beriman menjadi pangkal dari refleksi teologis. Dan yang menjadi subjek praksisnya adalah “kaum miskin”. Sehingga teologi adalah refleksi kritis atas praksis kaum miskin dalam terang sabda Allah.

Dalam paper ini akan diuaraikan panjang lebar mengenai biografinya untuk mengenal situasinya dan orang yang mempengaruhi hidupnya. Kemudian kita akan melihat bagaimana ia berteologi dan dalam konteks yang bagaimana ia berteologi. Pada akhirnya kita akan melihat penilaian terhadap Gustavo, serta menarik relevansi dari teologianya ini.
Dengan demikian kita dapat melihat bagaimana Gustavo Gutierrez berteologi dalam konteksnya sendiri
Banyak kekurangan dalam paper ini, oleh karena kalau membahas Gustavo membutuhkan waktu yang panjang, dan buku-buku acuan yang juga banyak. Oleh karena itu kritik dan saran tetap berlaku, demi kesempurnaan paper ini.


Gustavo Gutierrez Merino Lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan miskin di Lima, Ibu kota Peru. Ia berasal dari keluarga sederhana yang berdarah Mestizo, keturunan campuran Hispanic (Spanyol) dan Indian. Dalam keluarga yang memiliki tiga orang anak itu, Gutierrez adalah satu-satunya anak laki-laki. Meskipun ada kesulitan-kesulitan ekonomi, ia tidak mengalami kekurangan cinta dari keluarganya. Bahkan dalam sebuah wawancara, Gutierrez berkata bahwa ia menerima begitu besar kasih sayang dari orang tua dan keluarganya.

Ketika berada di bangku sekolah menengah, Gutierrez diserang penyakit Osteomiletis. Penyakit ini menyebabkan kepincangan permanen pada dirinya. Penyakit ini pulalah yang menuntun dia memilih jurusan farmasi pada Universitas San Marcos, Lima. Akan tetapi, kemudian ia memutuskan untuk masuk seminari dan belajar filsafat-teologi di Seminari Santiago de Chile.

Pada tahun 1951-1955, ia melakukan tugas belajar pada Universitas Katolik Louvain, Belgia. Ia memperoleh gelar master dalam bidang filsafat dan psikologi dengan tesis Konflik Psikis dalam Freud. Di Louvain, ia bersahabat baik dngan Francois Houtart, yang kelak menjadi teolog sosial garda depan Gereja Katolik. Ia juga bersahabat baik dengan Camilo Torres, yang kelak menjadi Pastor gerilyawan di Amerika Latin. Pada tahun 1955-1959, ia melanjutkan kuliah teologi di Universitas Katolik Lyons, Prancis, dan memperoleh master Teologi dengan tesis kebebasan Religius. Di Lyons, ia diperkenalkan dengan la nouvelle theologie, yakni upaya beberapa pemikir Katolik Prancis menghubungkan secara nyata iman dengan masalah-masalah abad ke-20, di antaranya henri de Lubac, Jean Daniellou, Yves Congar. Mereka adalah teolog-teolog barat yang cukup berpengaruh dalam pemikiran Gutierrez selain Karl Rahner dan G. von Rad.

Gutierrez sempat belajar teologi di Universitas Katolik Gregoriana, Roma pada tahun 1959-1960. Di Roma pula ia ditahbiskan imam pada tanggal 6 Januari 1959. Setelah itu pada tahun 1960, ia kembali ke Amerika Latin dan mengajar di Universitas Katolik Lima, Peru. Namun, tugas utama yang dilakukan Gutierrez adalah menjadi pastor yang hidup dan berkarya di antara akum miskin di Rimac, Lima. Di sini pulalah ia memperoleh landasan dan arah baru delam pemikiran teologisnya.

Dalam keterlibatannya di tengah-tengah kaum miskin, Gutierrez merakan bahwa perjalan studi di Eropa selama ini tidak memberikan dasr kokoh baginya untuk memahami dan menghayati situasi Amerika Latin. Ia menemukan ketidakcocokkan antara teologi Barat yang dipelajari dengan kenyataan kongkret yangada. Karena itu, ia mulai mempelajari dengan serius sejarah bangsanya sendiri. Ia membaca lagi Injil dan Teologi dalam konteks Amerika Latin, yakni situasi kaum miskin dan tertindas.

Hal ini memperkenalkan ia dengan pemikir-pemikir besar Amerika Latin. Salah satu tokoh yang berpengaruh besar terhadap Gutierrez adalah Bartolome de las Casas (1484-1566). Las Casas adalah imam Dominikan yang menjadi pembela orang-orang Indian Amerika terhadap penjajahan Spanyol. Gutierrez melihat kesamaan besar antar apa yang ditemukan oleh de las Casas pada abad ke-16 dan kenyataan Amerika Latin pada abad ke-20 ini : kenyataan orang-orang mati sebelum waktunya (people died before their time). Penjajahan Spanyol mengakibatkan begitu banyak orang Indian mati secara premature dan tidak adil. Karena itu, evangelisasi gereja di Amerika Latin menurut de las Casaa bukan terutama menginisasi orang kafir masuk ke dalam kebudayaan Kristiani Barat, tetapi melakukan advokasi terhadap kaum miskin yang tertindas

Selain de las Casas, pemikir Amerika Latin yang memberikan banyak inspirasi kepada Gutierrez adalah Jose Carlos Mariategui (1895-1930). Ia adalah seorang pemikir marxis dari peru. Menurut Michael Candelaria, Mariategui memberikan tiga sumbangan penting bagi pemikiran Gutierrez. Tokoh lainnya adalah Jose Maria Arguedas (1911-1969). Ia adalah seorang antropolog, penyair dan Novelis. Arguedas sungguh menyadari situasi konflik sosial di Peru antara golongan kaya dan golongan miskin. Hal ini yang mempertalikan mereka secara pribadi, yakni dalam keprihatinan dasar yang sama untuk memahami dan bersuara bagi kaum miskin

Pada tahun 1971, Gutierrez menerbitkan karya monumentalnya A Theology of Liberation (terjemahan dalam bahasa Inggris tahun 1973). Sebuah buku yang menguraikan secara sistematis dan komprehensif refleksi teologis Gutierrez dalam konfrontasi dengan dunia kaum miskin di Amerika Latin yang ia hidupi selama ini

Dalam tahun-tahun berikutnya terbit beberapa buku lainnya dari Gutierrez yang bertolak dari keprihatinan dasar yang sama , yaitu bagaimana menyuarakan jeritan kaum miskin Amerika Latin dalam bahasa Teologis.
Tahun 1979, terbit The Power Of The Poor in History, yaitu esai mengenai visi konferensi Para Uskup Amerika Latin di Medellin, Kolumbia (1968), Konferensi Puebla (1979), kekhasan teologi pembebasan dalam perbandingan dengan teologi Barat.
Tahun 1983, terbit We Drink From Our Own Wells, yang berbicara tentang spritualitas pembebasan
Tahun1986, terbit On Job : God Talk and the Suffering of Innocent, yang merupakan tafsir Kitab Ayub dalam konteks Amerika Altin.
Tahun 1986, terbit The Truth Shall Make You Free, yang berisi rangkuman analisis Sosial maupun pandangan teologisnya.
Tahun 1990, terbit The God of Life, yang berbicara tentang Allah dalam kitab suci dari perspektif Amerika Latin.
Tahun 1992, terbit Las Casas : In Search of the Poor of Jesus Christ, sebuah karya besar penelitian histories tokoh yang dianggap telah memolopori teologi pembebasan pada abad ke-16

Gutierrez juga aktif dalam CELAM (Konferensi Para Uskup Amerika Latin). Juga penasihat pelbagai kelompok pastoral dan refleksi teologis, anggota pendiri ONIS (Oficina Nacional de Investigacion), anggota editorial majalah Concilium dan Paginas, partisipas konferensi-kongernsi EATWOT (Ecumenical Association of Third World Theologians). Ia juga pernah mengajar di Union Theological Seminary, New York; Pacific School of Religion, Berceley, California; Universitas Of Michigan, Annarbar; Boston College, Boston; Maryknoll School of Theology, New York; Mexican American Cultural Center, San Antonio, Texas; Cambridge University, Inggris, dan lain-lain.

Gutierrez masih hidup sampai sekarang. Ia masih tinggal di Rimac, sebuah daerah pemukiman kumuh di Peru. Di sana ia tetap berkarya sebagai pastor paroki, sebagai gembala yang hidup di tengah-tengah umat yang miskin.


Mayoritas penduduk Amerika Selatan, terperangkap dalam kehidupan yang melarat. Negara-negara di sana dikuasai oleh sekelompok elite yang kaya, yang mempertahankan kedudukannya dengan mengorbankan mayoritas penduduk. Dari penjelasan Biografinya tadi, kita melihat bahwa titik tolak refleksi teologis Gustavo Gutierrez adalah praksis dalam realitas kemiskinan Amerika Latin.
Dalam analisisnya terhadap realitas kemiskinan Amerika Latin, Gutierrez memperlihatkan bahwa persoalan itu bukan hanya menyangkut masalah sosial melainkan juga masalah teologis.

Sekitar tahun lima puluhan dan enam puluhan diusahakan untuk membawa “pembangunan” ke Amerika Latin karena dikira kesulitan di sana disebabkan oleh tidak adanya pembangunan. Akan tetapi usaha ini tidak berhasil membawa perbaikan nasib bagi mayoritas penduduknya yang miskin malah semakin tertindas. Kesulitan ini disebabkan oleh struktur yang tidak adil, baik di dalam masing-masing Negara itu sendiri

Sejak depresi dunia pada 1930-an, perekonomian negara-negara di Amerika Latin begitu bergantung pada ekspor barang mentah ke Eropa dan Inggris. Sebaliknya, mereka mengimpor komoditas pabrik. Sesudah Perang Dunia II, harga barang-barang mentah jatuh di pasaran dunia. Akibatnya perekonomian negara-negara itu kacau. Mereka juga tak mampu mengimpor barang-barang pabrik. Untuk memenuhi kebutuhan barang pabrik di dalam negeri, negara-negara itu mencanangkan modernisasi dengan memacu industrialisasi atas bantuan negara maju. Mereka menerapkan sistem kapitalisme sebagai model modernisasi.

Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum proletar --kelas buruh-- tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator. Pada 1945, misalnya, kelompok militer di Brasilia menggulingkan pemerintahan sipil. Pada tahun yang sama, Kolonel Juan Peron menjadi penguasa tunggal Argentina, setelah mengudeta penguasa sebelumnya. Tahun 1948, Manuel Odria menjadi diktator di Peru. Dan penindasan terhadap rakyat terjadi hampir di seluruh belahan Amerika Latin.

Pada akhir abad ke-19, banyak wilayah Amerika Latin berhasil memperoleh kemerdekaannya sehingga menjadi Negara-negara baru. Tetapi berakhirnya kolonialisme politik tidak serat merta diikuti oleh hadirnya kebebasan yang sejati dan kemerdekaan yang integral. Kolonialisme politik diganti dengan kolonialisme ekonomi. Kekuatan Ekonomi Barat melanjutkan eksploitasi di Amerika Latin, sambil bekerjasama dengan elite kekuasaan dalam negeri yang didukung militer Puncak eksploitasi ini terjadi dalam dasawarsa 1950-an, ketika Amerika Latin mengadopsi model ekonomi Barat, yakni Kapitalisme.

Sistem Ekonomi Kapitalisme ternyata tidak membawa kemakmuran bagi rakyatnya, tetapi sebaliknya mengakibatkan kemiskinan yang massif. Juga, semakin memantapkan ketergantungan Amerika Latin terhadap Negara-negara Barat dan menguntungkan ekonomi mereka. Tragisnya, gereja tidak banyak berbuat apa-apa. Gereja hanya menangani hal-hal yang sifatnya religius, sedangkan urusan kemasyarakatan seperti kemiskinan adalah masalah Negara (dunia)

Dari situasi yang semacam inilah kemudian lahir teologi Gustavo Gutierrez.

Teologi yang muncul
Teologi Gustavo Gutierrez lahir dan berkembang dalam arus praksis perjuangan pelbagai kelompok untuk mewujudkan kehadiran gerejani baru yang kontekstual dengan kenyataan kongkret Amerika Latin.

Menurutnya, teologi adalah refleksi kritis atas praksis histories dalam terang sabda Allah. Teologi adalah pembacaan kembali sabda Tuhan, sebagaimana sabda itu dihayati dan dilaksanankan dalam kehidupan komunitas Kristen, sekaligus juga refleksi yang diarahkan pada komunikasi iman, pada pewartaan Kabar Gembira tentang cinta Bapa kepada seluruh umat manusia. Teologi mesti bertolak dari praksis, yakni pengalaman akan Allah dalam kontemplasi (ibadat/mistik) dan aksi (komitmen/politik).

Gustavo Gutierrez dikenal sebagai teolog pembebasan dan teologianya lahir dengan Teologi Pembebasan, tepatnya setelah Gustavo Gutierrez (pastor dari Peru) ini menerbitkan buku Teologia de la Liberacion pada 1971.

Di bidang keagamaan, terjadi pergeseran pandangan teologis di kalangan Gereja Katolik di seantero Amerika Latin. Disebutkan dalam buku Teologi Pembebasan, selama berabad-abad gereja di Amerika Latin menganut pemahaman teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional. Para uskup Amerika Latin menilai, cara berteologi Barat telah menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masaah-masalah kongkret. Gereja-gereja penganut teologi Barat, tuding mereka, hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian. Pembebasan (liberation) merupakan istilah kunci dalam teologi Gutierrez. Bagi Gutierrez, istilah pembebasan menyajikan gambaran menyeluruh (sosial, personal, dan teologis) tentang realitas Amerika Latin.

Pembebasan memperlihatkan realitas Konfliktual dalam proses ekonomi, politik sosio-budaya Amerika Latin yang membagi masyarakat dalam kelas kaya dan kelas miskin. Pembebasan menunjukkan aspirasi dan perjuangan kelas sosial tertindas (miskin) untuk keluar (baca:bebas) dari lilitan penindasan itu (dimensi sosial).

Pembebasan menunjuk pada martabat pribadi manusia yang memiliki kebebasan dan tanggungjawab atas nasibnya. Pembebasan juga memiliki dasar Biblis yang fundamental, yakni karya pembebasan Allah bagi umatNya. Allah dalam Yesus Kristus bertindak membebaskan manusia dari dosa dengan segala akibatnya termasuk ketidakadilan sosial (kemiskinan)

Maka istilah pembebasan menunjuk pula dimensi rahmat, yakni anugerah pembebasan Allah kepada manusia. Dalam kerangka rahmat inilah dapat diabangun perjuangan pembebasan manusia atas struktur sosial yang tidak adil (dimensi teologis)

Bagi Gutierrez, istilah pembebasan juga sangat erat kaitannya dengan penyelamatan. Penyelamatan adalah persatuan manusia dengan Allah, yang mencakup seluruh realitas manusia, mentransformasikannya dan menuntunnya menuju kepenuhan dalam Kristus. Pembebasan terutama digunakan Guiterrez untuk menunjukkan dinamika penyelamatan yang terjadi dalam sejarah manusia. Penyelamatan ditafsirkan kembali sebagai pembebsan politik. Allah mengerjakan keselamatannya dalam seluruh sejarah manusia. Masalah penyelamatan dewasa ini bukan kuantitatif (siapa yang akan diselamatkan), tetapi kualitatif (apa sifat penyelamatan itu). Pembebasan adalah realisasi histories Kerajaan yang selalu terbuka pada pemenuhan di masa depan, yakni kedatangan Kerajaan yang merupakan anugerah Allah.

Berdasarkan relasi penyelamatan dan pembebasan tersebut, Gutierrez mendefenisikan teologi pembebasan sebagai suatu teologi penyelamatan dalam kondisi-kondisi kongkret, historism, dan politis dalam dunia dewasa ini. Situasi histories ini ditandai oleh kemiskinan akibat ketidakadilan sosial (situasi Amerika Latin). Karena itu, ia kerap pula menyebut teologi pembebasan sebagai teologi kaum miskin, teologi teman bicara (interlocutor) kaum miskin dan mengartikulasikan perjuangan dan harapan mereka.

Dengan demikian kini di Amerika Latin teologi akan merupakan refleksi tentang, dan dalam, iman sebagai praksis pembebasan. Ia akan merupakan suatu pemahaman iman yang bertolak dari suatu pilihan dan suatu komitmen. Teologi ini akan merupakan pemahaman iman yang bertolak dari solidaritas yang kongkrit dan efektif dengan kelas-kelas yang terperas, kelompok-kelompok etnis yang tertindas, budaya-budaya Amerika Latin yang terhina, serta bertolak dari dalam dunia mereka. Teologi ini akan merupakan sebuah refleksi yang bertolak dari komitmen untuk menciptakan sebuah masyarakat adil, sebuah komunitas yang bagiakan saudara-saudara sekandung, dan yang harus melihat bahwa komitmen ini sedang tumbuh dengan semakin radikal dan menyeluruh. Teologi ini akan merupakan sebuah refleksi teologis yang menjadi benar, terverifikasi, dalam keterlibatan yang nyata dan bermanfaat dalam proses pembebasan.

Apa yang telah dilakukan oleh Gustavo, perhatiannya kepada mereka yang terstindas, dalam konteks Amerika Latin adalah sumbangan besar bagi generasi selanjutnya untuk menjadi pembebas dari ketertindasan dari pihak-pihak tertentu.

Bagi saya, apa yang dilakukan oleh Gustavo adalah sebuah komitmen untuk menghayati kehadiran Allah bagi mereka yang tidak mendapat perhatian, karena situasi dan keadaan mereka yang “miskin”. Orang-orang ini sering tidak mendapatkan tempat dalam masyarakat dan dianggap sebagai sampah masyarakat. Dan inilah juga yang terjadi dalam konteks Amerika Latin.

Analisis sosial hanya bisa menyimpulkan bahwa kemiskinan merupakan akibat struktur sosial yang tidak adil. Namun refleksi teologis harus melampaui analisis sosial dengan memperlihatkan bahwa kemiskinan berkaitan juga dengan relasi terhadap Allah. Kemiskinan berakar dalam hubungan yang rusak antara manusia dengan Allah dan sesama.
Gutierrez berhasil menunjukkan kemiskinan bukanl masalah sosial saja, tetapi juga masalah teologis. Karena itu pula kemiskinan menjadi tantangan iman yang serius. Maka dalam perspektif iman Kristiani, perjuangan mengatasi kemiskinan tidak sekedar kegiatan pelayanan sosial tetapi wujud penghayatan iman

Gutierrez sangat menandaskan bahwa Allah adalah Dia yang terlibat dalam sejarah manusia. Allah menyatakan kasihNya dalam tindakan pembebasan semua orang terutama kaum miskin. Keterlibatan Allah dalam sejarah manusia berpuncak dalam diri Yesus Kristus.

Gustavo tidak berbicara sesuatu yang utopis tetapi dengan rela mengabdikan dirinya untuk memperhatikan dan menaruh minat akan kehidupan mereka (praxsis). Keunggulan teologi ini terletak dalam kepedulian dan orientasinya untuk mewujudkan kehidupan Kerajaan Allah, kerajaan keadilan dan perdamaian, kebenaran dan kemerdekaan, dengan mendahulukan kaum miskin dan tertindas. Praxis, kontemplasi dan aksi pembebasan merupakan titik tolak teologi pembebasan menuju praxis baru.


Bisa dikatakan bahwa teologi pembebasan adalah teologi yang menghayati sabda Tuhan lewat sebuah tindakan nyata bagi mereka yang tertindas, karena Allah pun menjadi sama dengan manusia unutk membebaskan manusia dari ketertindasannya atas dosa.

Secara geografis dan situasi masyarakatnya, Indonesia berbeda dari Amerika Latin. Namun bukan berarti bahwa tidak ada yang dapat menjadi bagian yang penting dalam teologi ini, untuk kemudian secara kritis memunculkan teologi sendiri atas pergumulan kita sendiri.

Kesamaannya adalah situasi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih dalam taraf kemiskinan. Kemelaratan, pengangguran, busung lapar masih membelenggu sebagian besar masyarakat kita. Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia.

Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk yang tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998). Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.

Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan "buatan" terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.

Elite negara kita sungguh menutup mata terhadap realitas kemiskinan dalam masyarakat bawah. Mereka masih melihat realitas kemiskinan sekadar sebagai catatan kaki. Sebab kemiskinan bukan produk dari masyarakat yang sehat. Kemiskinan itu kotoran masyarakat yang sedang menderita sakit, kasus-kasus penggusuran paksa di daerah-daerah kumuh memperlihatkan secara terang bagaimana hidup orang miskin semakin digeser ke periferi dan secara sengaja ditinggalkan melalui tindakan kekerasan.

Faktanya, koeksistensi dengan realitas kemiskinan sebagai skandal kemanusiaan tidak otomatis menjelmakan komitmen untuk melakukan protes atasnya. Dialog kehidupan kita dengan masyarakat korban belum menumbuhkan praksis liberatif dengan orientasi mengatasi penderitaan mereka. Singkatnya, selama ini kita gagal mengalamatkan problem the suffering other. Lebih buruk, kita sering kali membiarkan hidup orang miskin dilucuti kemanusiaannya.Kemiskinan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang para pelakunya belum pernah diajukan ke pengadilan. Mempertahankan hidup dari ancaman kematian merupakan problem terbesar bagi orang miskin. Kemiskinan itu terutama bersangkutpaut dengan hilangnya martabat manusia. Pada level etis, kemiskinan merupakan kejahatan moral terbesar. Kemiskinan mengekspresikan kedosaan fundamental dunia ini, yaitu penghancuran kehidupan. Akhirnya, pada level teologis kemiskinan mengajukan pertanyaan fundamental tentang Tuhan.

Penyingkapan fakta kemiskinan membuka mata kita untuk dapat mengenali wajah kemanusiaan yang sesungguhnya. Problem kemiskinan menyeberangi batas kemanusiaan dan agama. Sebab kemiskinan merupakan skandal humanisasi-religius. Jika menolak pengalaman ini dan menolak tantangan darinya, kita akan menjadi tidak humanis-religius. Karena kemiskinan merupakan skandal humanisasi dan religius, kita harus melakukan protes atasnya. Di hadapan elite negara dan pelaku ekonomi global yang self-seeking dalam mengelola negara, kita melakukan protes dengan mengarahkan jari kita pada penderitaan, ketidakadilan orang miskin.

Protes itu mengambil bentuk solidaritas dengan mereka yang miskin. Kita tidak hanya menunjuk fakta orang miskin dari luar, namun mengekspresikannya dalam diri kita. Kita menjadi simbol riil kaum miskin. Baik penyingkapan realitas orang miskin maupun solidaritas dengan mereka semua berorientasi pada praksis. Solidaritas kita dengan orang miskin memediasikan pembebasan orang miskin. Oleh karena itu, solidaritas dengan orang miskin melahirkan suatu komunitas praksis. Harapan kaum miskin adalah keadilan, bukan sekadar dapat bertahan hidup. Komunitas korban (the crucified people) menjadi tanda zaman utama yang memanggil kita untuk menurunkan mereka dari salib.

Gustavo Gutierrez, teologi dengan solidaritas profetiknya tidak mengklaim mampu mengajukan solusi teknis terhadap problem kemiskinan. Namun, solidaritas profetik mengajak kita untuk mengingat, tidak melupakan orang miskin. Kita mempertaruhkan nama Tuhan ketika menanggapi problem kemanusiaan religius ini.

Kalau kita melihat apa yang ada di dalam Alkitab, maka nyata di sana adanya Keprihatinan Yesus terhadap orang miskin. Sebagian besar, jika kita melihat Injil, orang-orang yang dating kepadanya adalah orang-orang sakit, miskin dan menderita, orang buta, pincang, lumpuh dan pengemis. Kita juga melihat bagaimana Yesus berkonflik dengan kelas-kelas kaya.

Situasi Gustavo Gutierrez tidak jauh berbeda dengan tempat pelayanan Yesus. Kita melihat bahwa sebagian besar penduduk palestina dulu (waktu zaman Yesus) adalah orang-orang miskin.
Mereka juga menaruh perhatian pada orang-orang miskin, yang tertindas.

Bagaimana kita sekarang, dalam penghayatan kita akan Allah yang melalui anakNya yang tunggal datang sebagai pembebas. Akankah kita menghayati pembebasan itu dengan menujukkan perhatian kita akan mereka yang lemah dan membutuhkan perhatian kita.

Gustavo di Amerika Latin dan teristimewa Tuhan Kita Yesus Kristus telah memberikan sifat keteladanan kepada kita untuk menjadi penyalur kasih Allah dengan perhatian kepada mereka yang lemah dan tertindas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar