Tampilkan postingan dengan label Spritualitas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Spritualitas. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 Mei 2010

Jika surga dan neraka tak pernah ada

Dalam sebuah kesempatan, entah angin apa yang datang, saya dengan teman-teman membicarakan topik yang agak berat dan agak jelimet....neraka dan surga..gila ndak tuh?? Di saat si Sri justru sedang hangat-hangetnya dibicarakan [emang teh hanget..hahahah], kami justru membicarakan topik out of space tetapi jelas tidak out of date....tidak ada tanggal kadaluarsa untuk topik yang satu ini. Sepanjang abad telah dilewati manusia, sejarah tetap membicarakannya. Dan mungkin ndak akan pernah berakhir membicarakan topik yang satu ini. Hebatnya, tak ada seorangpun yang tahu persisnya neraka itu seperti apa, panasnya seberapa dan benarkah di sana dihuni oleh iblis bertanduk, hidup lagi...hahahah....surga pun demikian...tak ada yang persis tahu seperti apa. Saya masih ingat dosen saya pernah menanyakan apakah surga itu bertalian dengan tempat atau suasananya? Tak ada yang benar-benar tahu bukan? Kalau begitu mengapa orang begitu doyan membicarakannya? Mengapa orang begitu tak kenal lelah untuk berjuang masuk surga dan berusaha menjauh dari neraka yang katanya, puanas rek...heheheh.



Tetapi dalam kesempatan bersama dengan teman-teman itu kami justru mengolok-olok perilaku-perilaku sebagian dari kita untuk bisa mendapatkan surga dan menjauh dari neraka. Meskipun dalam hati saya, kalau surga benar-benar ada, saya mau masuk ke sana aja deh, meskipun kategori masuk surga rasa-rasane ndak begitu tepat untuk saya dengan kesalahan yang out of limit..hahahaha.



Ada yang mau masuk ke sana dengan hitung-hitungan...ane kan sudah bayar segini Tuhan, lha masak ndak masuk surga? Tuhan bilang “lha, lo kan kesalahannya banyak gini mau masuk surga...nyembunyiin duit orang, main mata ama istri orang, Fban di gereja, sampai nguntilin kepala lele teman lo waktu lo di asrama dulu”. “Tuhan bercandanya berlebihan ah..lebay..lebay...itu benar sih Tuhan cuman kan dibanding dengan kebaikan yang ane tabur dan tanam, jauh lebih banyak. Duit ane yang tak seberapa itu tak kasihin pengamen waktu ane lagi makan bakso di emperan jalan, ikut ama pak RT geledahin penduduk yang tak punya KTP, di gereja ane aktif bayar persepuluhan bahkan kadang-kadang ane itu bayar perduapuluhan....heheheh....ane juga pernah mengukir prestasi di kelurahan ane sebagai keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Gmana Tuhan, prestasi ane kan jaul lebih banyak. Cin cai ajalah Tuhan”

Nah, selain tawar menawar kebaikan yang ditaburin di bumi, ada juga perilaku kayak penerima beasiswa gitu. Mereka-mereka ini biasane mintain rekomendasi mereka yang dicap [pake cap apa ya..hahah] oleh sebuah institusi tertentu sebagai yang “tersuci”. Nah, lo bisa mintain bantu ama mereka, siapa tahu lo dapat beasiswa..eee rekomendasi lolos masuk surga. Ada juga yang berjuang sendiri. Berjuang menjadi orang baek, menghindari perilaku yang dikategorikan menyimpang oleh agama dan masyarakat [agmas..kayak nama matakuliah ane nih dulu...heheheh]. Mereka ini ndak akan tawar-menawar dengan Tuhan dan ndak bakalan minta surat rekomendasi. Bagi mereka, jika ingin mendapatkan tiket masuk surga, lo harus berjuang sendiri, dengan kemampuan sendiri. Tetapi dari jenis yang terakhir ini, ada orang-orang yang sedikit rada-rada ndak percaya ama dirinya sendiri karena bagi mereka ndak mungkinlah kita bisa berjuang sendiri. Menurut mereka, manusia itu kan sudah jatuh ke dalam dosa, tinggal dalam dosa dan teramat sangat susah untuk bisa keluar dari dosa. Yang nguntilan uang orang ndak pernah bisa merubah kebiasaannya bahkan biar udah bolak-balek penjara. Yang suka main mata ama istri orang, ndak pernah bisa dan gampang untuk merubah kebiasaan itu, bahkan sampai matanya sakit sendiri..hahahah. So, bagi mereka, untuk bisa masuk surga mesti yakin akan perjuangan sendiri tanpa mengabaikan hak preogratifnya Tuhan yang mau berbaek hati memberikan kita tiket masuk surga.



Ribet ya? Mau masuk surga aja ribet gini...tetapi terlepas dari itu, saya mau mengajak kita untuk memperhatikan lirik lagu berikut, yang di folder ane, dinyanyiin oleh Chrisye dan Ahmad Dhani yang berjudul “jika surga dan neraka tak pernah ada”.

Apakah kita semua, benar-benar tulus menyambah padaNya?
Atau mungkin kita hanya, takut pada neraka, dan inginkan surga

Reff:
Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau sujud kepadaNya?
Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau, menyebut namaNya?

Bisakah kita semua benar-benar sujud, sepenuh hati?
Karena sungguh memang Dia, memang pantas disembah, memang pantas dipuja.

Takut pada neraka dan inginkan surga adalah gambaran dari banyak manusia di bumi yang udah berumur ini. Perilaku mau masuk surga dan jauhin neraka adalah perilaku yang menjadi alasan kita untuk sujud pada Tuhan. “Tuhan, lo kan punya surga, ane mau masuk dong? Ane janji deh, ane akan sujut menyembah Tuhan kalo Tuhan mau kasih masuk ane di surga”. Kita menyembah Tuhan bukan karena mencintai Tuhan tetapi karena alasan surga dan neraka, yang justru buatan Tuhan. Kita menghabiskan waktu dan energi untuk mau masuk surga dan neraka, bukan untuk menyembah Tuhan. Padahal, kita diajak untuk menyembah “hanya” Tuhan saja, tidak yang lain.

Mungkin lagu di atas menjadi warning bagi kita agar perilaku keberagamaan kita mengarah sepenuhnya pada Tuhan. Agar kebaikan yang kita lakukan adalah benar-benar karena mau mencintaiNya. Apakah anda masih sujud pada Tuhan jika neraka dan surga tak pernah ada? Semoga masih!!

Selasa, 27 Oktober 2009

Tanggapan terhadap pikiran-pikiran Meister Eckhart dalam buku SYAFAATUN ALMIRZANAH, PH.D, D.MIN, “WHEN MYSTIC MASTERS MEET”, Gramedia, 2009


 Paradoks: Sebuah sikap mengambil jarak

Kesan awal, saya mengira (bahkan mencurigai) Eckhart ini bersifat dualistis (atau setidaknya menganut paham dualistis). Mengapa? Karena Ia [kelihatannya] berusaha mengajak kita untuk mempunyai sikap mengambil jarak atau tidak lekat . Dan kesan ini semakin kuat dalam pemaparannya tentang “Para pedagang dan Sang Perawan/Istri” [h.180]. Labelisasi pedagang sebagai manusia yang menaruh perhatian pada hal duniawi yang selalu mengharapkan imbalan memang identik dengan pedagang. Mereka ingin melakukan tawar-menawar dengan Tuhan [band. h.183]. Eckhart mengatakan bahwa kenisah sama dengan jiwa manusia yang diciptakan menyerupai Tuhan sendiri [h.180-181]. Maka pengusiran para pedagang dari kenisah ditafsirkan oleh Eckhart sebagai keinginan Tuhan agar dalam kenisah yang ada hanyalah Tuhan sendiri. Pengusiran Yesus merupakan gambaran sikap mengambil jarak atau tidak lekat-jiwa manusia harus dibersihkan secara total agar dapat menerima sang Ilahi secara maksimal [h.181]. Manusia harus bebas dari segala macam keinginan agar sang Ilahi sendiri dapat masuk ke dalam kenisah yang adalah [identik] jiwa manusia. Bila Tuhan diharapkan masuk, makhluk harus keluar (h.181]. Eckhart berpendapat bahwa kita harus meninggalkan cara para pedagang (yang sering berbater dengan Tuhan) dan menjadi orang yang mempunyai sikap mengambil jarak serta tidak lekat [h.181]

Namun dalam tulisan selanjutnya, kesan yang mencurigai bahwa Eckhart adalah seorang penganut dualistik ternyata tidak begitu tepat. Hal ini dapat ditemukan dalam tafsirannya terhadap Luk.10:38-39 yang berbicara tentang Maria dan Marta. Tafsir Eckhart justru memperlihatkan bahwa sikap tidak lekat bukanlah sikap yang tidak bersentuhan dengan permasalahan dunia. Dalam tafsirannya, Eckhart justru menempatkan Marta > Maria karena Marta dianggap sebagai perawan sekaligus istri. Marta tidak hanya berpikir tentang mendengar sabda Tuhan, tetapi ia justru melakukan itu dengan melayani tamu-tamunya. Dalam tafsir tradisional, Maria dianggap lebih baik dari Marta karena Maria dianggap lebih memilih mendengar sabda Tuhan. Tetapi menurut Eckhrat, apa yang dilakukan oleh Maria merupakan sikap lekat terhadap apa yang ia inginkan. Karena Maria masih mencari apa yang menjadi keinginannya.

Saya berpikir bahwa Eckhart justru membangun sebuah pemahaman yang sifatnya paradoks. Mengapa? karena dia mencoba menunjukkan bahwa sikap lekat terhadap dunia adalah sikap yang tidak akan membawa kita pada Tuhan sebagaimana adanya Dia. Jadi kita harus lepas dan bebas (atau bersikap tidak lekat). Namun pada saat yang sama Eckhart justru menaruh perhatian yang amat sangat pada permasalahan dunia. Ia mengatakan “Ketika aku sedang bermeditasi, dan pada saat yang sama ada orang miskin yang meminta sop kepadaku, hal yang harus aku lakukan adalah meninggalkan meditasi dan memerhatikan orang miskin tadi [h.197]. Perikop tentang Maria dan Marta merupakan contoh yang sama. Maria dianggapnya sebagai seorang kontemplatif yang menolak kehidupan sehari-hari (sehingga belum sempurna dan dewasa), sedangkan Marta dianggap sebagai seorang yang sudah matang dan sempurna spritualnya [h. 224]. Hal ini dapat dimengerti karena bagi Eckhart sendiri, tujuan transformasi spritual bukanlah kontemplasi, tetapi lebih merupakan hasilnya, yang harus dicerminkan dalam kehidupan sehari-hari [h.224]. Maka menurut saya, pikiran Eckhart tentang sikap mengambil jarak dan tercerminnya sikap mengambil jarak dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah sikap yang paradoks, meskipun merupakan dua hal yang berbeda, namun tetap harus dilihat dalam sebuah kesatuan yang utuh (atau persisnya tidak seperti Maria yang hanya mementingkan kontemplatif saja). Bagi Eckhart inti ketidaklekatan terletak pada konsistensi bahwa-apapun kegiatan dan keadaan lingkungannya-kita melakukan apa yang kita lakukan demi Tuhan, serta hanya demi Tuhan sendiri [h.197]. Dalam kaitannya dengan kontemplatif, Syafaatun mengatakan bahwa konsep Eckhart tentang ketidaklekatan adalah “asketisisme kontemplatif” yang melihat keberadaan dunia dalam keberadaan ilahi, dan dengan demikian tidak menolak dunia [h.198]. Atau dengan kata lain, tidak menarik diri dari dunia, melainkan hidup di dunia, tetapi tidak menjadi bagian dunia [h.226]

Lalu bagaimana dengan kegiatan-kegiatan meditasi, puasa, sujud dsb? Menurutnya, itu adalah cara yang bisa dipakai untuk mencapai sikap tidak lekat. Namun bagi Echart apa yang dilakukan jangan sampai dianggap sebagi ketidaklekatan itu sendiri. Itu dapat membantu. Eckhart menuliskan bahwa jangan sampai orang menemukan jalan tetapi tidak menemukan Tuhan [h.199]. Bagi Eckhart Tuhan bersifat mutlak [h.199]. Atau dalam bahasanya K.H. Mustofa Bisri, kegiatan-kegiatan seperti ini disebut sebagai wasilah (jalan menuju tujuan), sedangkan ghoyahnya (tujuan akhirnya) adalah Tuhan sebagaimana adanya Dia. Jadi, peringatan Eckhart: jangan sampai terjebak dan menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut sama dengan Tuhan sendiri.

 Membebaskan diri dari Tuhan dan berdoalah kepada Tuhan agar terbebas dari Tuhan

Saya melihat bahwa apa yang disampaikan oleh Eckhart ini sejalan dengan apa yang diyakini oleh Budhist. Beberapa waktu yang lalu saya ketemu dengan penganut Budhist dan mereka mengatakan bahwa mereka bukan tidak percaya kepada Tuhan melainkan "menghindar"kan diri bicara tentang Tuhan. Karena bagi mereka, bicara tentang Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin. Tuhan lebih besar daripada sebuah konsep yang kita ciptakan. Konsep tentang Tuhan yang selama ini ada adalah konsep yang terbatas dan makanya orang sering sekali berdebat tentang “konsep” ini (cari di kamus kata Tuhan dan itulah Tuhan-sebatas konsep yang justru dibuat oleh manusia sendiri). Perdebatan itu justru membuktikan bahwa konsep kita tentang Tuhan justru terbatas. Padahal kita sedang membuat kesalahan akan Tuhan karena membatasi Tuhan sebatas "konsep". [saya masih ingat beberapa tahun terakhir-dan mungkin sampai sekarang, orang masih berdebat tentang penggunaan nama Allah, dan siapa yang paling berhak menggunakannya]

Echart justru mengajak kita untuk berpikir kembali tentang hal ini dengan mengatakan bahwa kita harus membebaskan diri dari Tuhan [h.232]. Saya melihat bahwa Tuhan yang kita sembah selama ini adalah Tuhan yang "sesuai dengan keinginan kita". Tuhan yang kita ciptakan dan bukan Tuhan itu sendiri. Maka wajar saja jika Echart mengatakan bahwa kita harus membebaskan diri dari Tuhan (yang kita konsepkan) dan beralih kepada Tuhan sebagaimana adanya Dia. Kita tidak boleh berhenti pada Tuhan sebagaimana yang kita yakini selama ini (yang diturunkan lewat tradisi dan pengajaran dan dalam tulisannya syafaatun ada istilah "Tuhan yang terkukung dalam bahasa tertentu, yang telah menghasilkan bentuk kendali sosial tertentu bukanlah Tuhan tetapi telah menjadi ideologi agama [h. 233]) tetapi lebih dari itu kita diharuskan untuk berani “melangkah” dan “melompat” mencari Tuhan sebagaimana adanya Dia. Artinya kita harus berani membebaskan Tuhan (konsep kita) ke Tuhan sebagaimana adanya Dia [band. dengan pengantar Banawiratma yang menyamakan 2 master mistik ini dengan mistik jawa "manunggaling kawula gusti"].

Memang kita tidak bisa begitu saja melepaskan diri dari teks Kitab suci karena justru kita mengenal yang [A]da, meski dalam bentuk konsep justru dari teks tersebut. Artinya, meskipun terkungkung dalam bahasa, budaya, toh kita menjadikannya sebagai bagian dari proses kita untuk mengenal Allah sebagaimana adanya Dia. Saya kira, yang paling penting yang mau disampaikan oleh Eckhart adalah bagaimana kita terus menerus menggali bentuk hubungan kita dengan "TUHAN" demi untuk menemukan Tuhan itu sendiri dalam wajah aslinya. Ketika kita berhenti pada pemahaman yang sifatnya doktriner, maka kita justru menaruh dan membiarkan diri bergantung kepada Tuhan konsep. Eckhart ingin mengajak kita untuk melampaui bentuk hubungan/relasi kita yang stagnan dan tradisional kepada penemuan Allah dalam bentuknya yang asli (mendekati aslinya, sebagaimana adanya DIA)

Senin, 26 Oktober 2009

Mencintai Tuhan: bersedia menanggung resiko!


Pernahkan kita bertanya: bagaimana mungkin kita bisa mencintai Tuhan sedangkan Ia tidak pernah kita lihat dengan kasat mata? Bagaimana mungkin kita menaruh rasa percaya kepada Dia, sedangkan Dia tidak pernah berhadap muka dengan kita...Tetapi mengapa kita begitu yakin kepada Tuhan dan bahkan menyerahkan segalanya kepada sosok yang belum kita lihat ini...

Mencintai Tuhan adalah mencintai yang tidak kelihatan, dan itu adalah sebuah resiko. Mencintai adalah sebuah resiko..memutuskan untuk mencintainya adalah resiko..mengambil sikap untuk menyerahkan segala sesuatunya kepada Dia adalah sebuah resiko..mengapa kita melakukan itu semua? karena kita [merasa] mencintaiNya..kita akan melakukan apapun demi itu...mencintainya adalah resiko..cinta kepada Allah penuh dengan resiko.

Tuhan adalah misteri..namun mengapa dunia ini menaruh keyakinannya kepada sosok yang tidak pernah kelihatan ini...tidak ada yang tahu..kita bisa mengatakan bahwa kita sudah dilahirkan untuk itu...ada yang bilang karena [bisa] merasakanNya meskipun tidak pernah melihatnya..ada yang bilang karena penyebab utama dunia ini adalah Dia..lalu sebagian lagi mengatakan..karena Tuhan itu ada dalam hatiku dan itu menggerakkan aku untuk mencintaiNya...namun tetap saja Tuhan adalah misteri dan tidak pernah kelihatan.

Entah apapun itu, ketika kita memutuskan untuk mencintai Tuhan itu adalah sebuah resiko..Kita tidak pernah tahu siapa dan bagaimana bentuk dari sosok misteri ini..kita tidak tahu entah apa yang akan terjadi..kita akan tetap menaruh cinta pada sosok misteri ini...mencintai Tuhan adalah kesediaan untuk menanggung resiko, Entah apapun itu?? Tidak mudah untuk melakukannya.. pengalaman dengan Dia terkadang begitu menyakitkan sehingga kita terkadang dan bahkan sering menjadikanNya sasaran amarah dan protes..Tapi sekali lagi..kesediaan untuk mencintaiNya berarti bersedia untuk menanggung resiko, apapun itu!

sumber gambar: pixabay.com