Tampilkan postingan dengan label Perdamaian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perdamaian. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 Juli 2011

Mengapa Anders Breivik tidak disebut Teroris?

Oslo, Norwegia sebuah negara yang dikenal damai dan aman dihentakkan dengan sebuah serangan membabi buta dari seorang yang bernama Andres Breivik. Kurang lebih 76 orang menjadi korban penembakan dan bom yang ‘katanya’ dirancang sendiri oleh Breivik. Sebagian masyarakat dan media di Indonesia pun terkejut dengan aksi seorang Breivik karena dilakukan di negara yang selama ini dikenal ‘aman dan damai’. Namun sebagian komentar di beberapa forum dan milis justru tidak begitu terkejut dengan aksi ini. Mengapa? Mereka yang pernah tinggal di Eropa ternyata paham betul bahwa masyarakat Eropa sekarang ini begitu sensitif dengan isu ras dan para imigran yang berasal dari negara-negara berkembang. Tak heran jika sebagian masyarakat Eropa justru mendukung dan memberi simpati kepada Breivik (Kompas 28 Juli 2011). Alasan soal ‘membanjirnya’ imigran itulah yang diduga motif dari penyerangan dari seorang yang bernama Breivik.

Perhatian saya tidak tertuju pada motifnya tetapi pada sebutan yang dikenakan kepada Breivik. Awalnya media berspekulasi bahwa yang melakukan ini adalah kelompok garis keras dalam islam, kemudian ekstrim sayap kanan dan terakhir disebut Kristen Fundamentalis (Kompas 25 Juli 2011). Penyebutan tentang siapa dan dari kelompok mana Breivik jelas ‘agak’ bermasalah buat saya. Penyebutan kelompok tertentu yang dikaitkan dengan Islam yang diduga di belakang penyerangan tersebut adalah sebuah ‘keberhasilan’ dari usaha cuci otak yang dilakukan AS dan sekutunya dengan slogan ‘war on terror’. Setiap ada insiden penyerangan atau bom, masyarakat selalu mencurigai ‘jangan-jangan pelakunya adalah seorang garis keras dari kalangan tertentu’. Sebut saja Al-Qaida, JI dan berbagai organisasi yang seideologi dengannya. Keberhasilan cuci otak ini oleh Yasraf Amir Pilliang lewat bukunya Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial disebut sebagai ideologisasi teror. Dia mengatakan “Ideologisasi teror adalah penggunaan mekanisme oposisi biner (binary opposition) dalam rangka menciptakan kategorisasi siapa yang teroris dan siapa yang bukan teroris berdasarkan logika paralogisme. Logika ini misalnya :’oleh karena yang teroris adalah Al-Qaeda maka kami jelas bukan teroris’”. Melalui mekanisme biner inilah masyarakat global dipengaruhi secara psikologis seperti nampak dalam slogan ‘war on teror’ yang diusung Bush dan (parahnya) Indonesia juga ngekor di dalamnya!

Yang mengherankan mengapa istilah yang sama tidak dikenakan kepada Breivik? Mengapa dia tidak disebut sebagai teroris? Apalagi dengan penyebutan ‘fundamentalis’ kepada Breivik dan bukan teroris. Apakah tidak semestinya seorang teroris lahir dari kalangan Kristen. Bukankah dalam sejarah gereja yang kelam dan gelap itu juga bermunculan teror yang tidak kalah hebatnya dengan Osama? Inilah yang saya lihat bagaimana masyarakat Eropa termasuk medianya memandang bahwa apa yang dilakukan Breivik tidak bisa dimasukkan dalam kegiatan terorisme oleh karena ia bukan dari kalangan garis keras seperti Al-Qaida. Mekanisme oposisi biner berhasil dilakukan dalam kasus Breivik: Oleh karena Breivik bukan seorang/bagian dari Al-Qaida atau yang berideologi sama dengannya, maka kegiatan teror yang dia lakukan bukanlah kegiatan seorang teroris. Padahal apa yang dia lakukan jelas-jelas adalah kegiatan seorang teroris!

Breivik jelas adalah peneror masyarakat Norwegia dan mungkin masyarakat Eropa. Namun, di balik itu sejarah teror telah membuktikan bahwa realitas teror selama ini telah digiring ke dalam “kesadaran palsu” dimana terjadi “konotasi distortif” yang menggiring masyarakat global termasuk Indonesia ke dalam “pengelompokkan” kelompok tertentu sebagai teroris. Hal ini dilanggengkan misalnya melalui propaganda media massa yang membentuk terus-menerus kesadaran masyarakat bahwa yang dimaksud dengan teroris adalah kelompok tertentu saja. Sebagiamana citra teroris telah berhasil ditempelkan pada diri seorang Osama dan organisasinya Al-Qaida ataupun yang terkait dengannya.

Labelisasi teroris adalah kegemaran AS dan sekutunya. Namun labelisasi ini pulalah yang mesti menyadarkan kita bahwa kegiatan teror ataupun teroris bisa lahir dari mana saja, termasuk dari kalangan Kristen sendiri. Bukankah kegiatan teroris justru dilakukan oleh mereka yang katanya beragama? Jika kita masih beranggapan bahwa kegiatan teror terkait dengan Al-Qaida dan teman-temannya saja, maka mungkin kita memang sudah termakan ‘mekanisme oposisi biner’ buatannya AS dan sekutunya. Ahmad Syafii Maarif dalam buku Menggugat terorisme: Pendapat Para Pengamat dan Tokoh menuliskan :”Ini penting, sebab bila upaya pemberantasan terorisme dilakukan secara serampangan, dengan memberikan label teroris pada kelompok masyarakat tertentu misalnya, justru merupakan aksi terorisme tersendiri”. So, semua yang berbau teror, entah itu dilakukan oleh seorang Breivik, penindasan bangsa Palestina oleh Israel, dan perang melawan teror AS dan sekutunya dengan ‘menciptakan’ teror adalah tindakan teroris. Ini pendapat saya!

Jumat, 15 Juli 2011

Kitab Wahyu dan Paulus dan gejala Shizofrenik

Benarkah penulis kitab Wahyu mengidap stres berat yang disebut dengan Skizofrenik? Gangguan akibat tidak tahan terhadap stres dapat mengakibatkan terjadinya ‘halusinasi’ yakni sebuah persepsi panca indera tanpa adanya ransangan eksternal. Maksudnya ada perasaan dalam diri seseorang merasa melihat objek tertentu padahal jelas-jelas objek tersebut tidak ada (film Beautiful Mind adalah salah satu film yang bercerita tentang penyakit Skizofrenik). Halusinasi yang disebabkan oleh stres yang luar biasa ini akhirnya melahirkan orang-orang dengan cerita yang tak pernah terjadi.

Dalam tulisannya mengenai kitab Wahyu, Johan S. Vos mencoba menyelusuri mengapa dalam PB khususnya kitab Wahyu dan surat-surat Paulus, pemisahan dan kekerasan bisa sangat menyolok. Pemisahan terjadi atas 2 kelompok yang berbeda, yaitu mereka yang percaya kepada Yesus dan mereka yang tidak percaya [believers dan unbelievers]. Dalam pembahasannya mengenai Kitab wahyu, ditunjukan sebuah dikotomis mutlak, dimana dalam peristiwa eskatologis, manusia dipisahkan dalam dua kelompok. Dia mengatakan bahwa “on the positive side, there are the saints, the righteous, the holy ones, the servants of God”. Mereka adalah yang tetap menjaga perintah Tuhan dan berpegang teguh pada iman kepada Yesus. Gambaran ini dilanjutkan dengan mengatakan “they are pure and blameless, as symbolized by the white garments in which they are clothed. They are virgins because “they have not defiled themselves with women”. Bahkan mereka ini disebut tercatat dalam “buku kehidupan”. Pada sisi negatif sebaliknya. Disebutkan “not give up worshiping demons and idols, the evildoers ‘who did not repent of the works of their hands’, the dogs, the polluted, the sorcerers, the fornicators and the murderers, those who love and practice falsehood, those who have committed fornication with the great whore, Babylon.” Mereka yang digolongkan dalam bagian ini justru tidak ditemukan namanya dalam ‘buku kehidupan’. Yang paling mengenaskan adalah bahwa kepada kelompok terakhir ini, akan mengalami murka Allah dan murkanya dalam bentuk yang mengenaskan. Disebutkan di sana ‘violent way’. Gambaran-gambaran yang dialami sungguh tak tertahankan.

Disana disebutkan mereka akan disiksa, dengan sengatan matahari, hujan es besar yang dijatuhkan dari langit, mereka akan di sengat oleh belalang yang mempunyai sengatan kalejengking, dilemparkan ke dalam lautan api. Mereka akan dibunuh oleh setiap wabah, gempa, kelaparan, wabah penyakit dan luka busuk yang menyakitkan, dan daging mereka akan dimakan oleh burung-burung. Yang paling mengerikan adalah penulis Wahyu Yohanes justru mengajak [menghasut] orang beriman untuk bersukacita pada kehancuran Babel [wahyu 18:20]. Jadi, penulis mencoba mendapatkan penjelasan bagaimana mungkin Allah digambarkan bisa berperilaku sekejam itu dan bahkan orang beriman diajak bersukacita akan penderitaan orang lain? Dalam hal ini penulis kemudian memakai pendekatan psikoanalisis untuk melihat lebih dalam relasi fenomena pemisahan dan kekerasan tersebut.

Beberapa ahli secara luas menyepakati bahwa hal ini bertalian dengan balas dendam terhadap kerajaan Romawi khususnya ketika Domitianus menjadi kaisar. Asumsinya bahwa Domitianus telah menganggap dirinya sebagai seorang tuhan yang hidup, bahwa ia menuntut bahwa kurban ditawarkan kepadanya, dan bahwa ia meluncurkan penganiayaan terhadap orang Kristen yang menolak untuk melakukannya. Tetapi oleh penulis dikatakan bahwa penelitian terbaru justru menunjukkan hal sebaliknya. Mereka justru mengalami kehidupan yang tenang di dalam kekaisaran Romawi. Jadi apa yang tercantum dalam kitab Wahyu Yohanes hanyalah konstruksi pemikiran yang bersifat independent dari penulis kitab. Maka dari itu, yang diperlu dijelaskan adalah visi apokaliptik dari penulis kitab Wahyu Yohanes. Dan dalam hal ini, pendekatan psikoanalis bermain.

Eugen Drewermann
Seorang teolog Jerman yang sangat dipengaruhi oleh Carl Jung. Dia mengatakan bahwa kitab Wahyu Yohanes tidaklah lebih dari kesalahan sejarah. Ramalan dari penulis kitab adalah kekaisaran Romawi akan jatuh dan kerajaan mesianis akan datang dalam waktu dekat. Tetapi yang terjadi pada abad berikutnya justru gereja ‘menikah’ dengan pelacur Babel yaitu kekaisaran Roma, dan bertahan sekitar 1500 tahun lamanya. Drewermann mengatakan bahwa itu hanyalah sebuah proyeksi dari jiwa penulis ke dalam sejarah dunia. Lebih tepatnya, konflik itu sebenarnya terjadi dalam jiwa manusia sendiri. Pembalasan kejam dari Allah misalnya merupakan superego, setan dan binatang adalah representasi dari energi ‘id’. Ada sebuah ‘pelayaran’ dalam diri penulis kitab dalam penemuan diri dan penyembuhan. Jadi apa yang tercantum dalam Wahyu 8:2-22-5 adalah sebuah proses individuasi, sebuah cara di mana manusia kembali dari kecemasan dan keterasingan pada dirinya sendiri dan asal-usul dirinya. Menurut Drewermann, literatur apokaliptik mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan pengalaman schizophrenic. Keduanya didominasi oleh dualisme absolut diantara dua dunia yang saling bertentangan. Dan ini juga terjadi pada penulis kitab Wahyu Yohanes, perjuangan di antara aspek jiwa yang bertentangan, diantara ketidaksadaran dan kesadaran, insting dan jiwa, id dan superego, sensualitas dan moralitas. Berhubung dengan kekerasan yang ada, Drewermann mengatakan bahwa setiap penyiksaan tersebut adalah sebagai langkah di dalam proses individuasi dan integrasi.

Edward F. Edinger
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Drewermann, namun ia lebih melihat apokaliptik sebagai ‘the momentous event of the coming of the self into conscious realization’. Entah itu terjadi pada individu maupun kolektif. Isi pola dasar dari Apokalipse menghadirkan ‘penghancuran dunia sebagaimana telah terjadi, diikuti oleh pemulihan’. Pada pandangan Edinger, kitab Wahyu adalah sebuah dokumen separatio. Isi dari buku tersebut terutama melibatkan sebuah penentuan, pemisahan radikal antara surga dan bumi, semuanya mengenai hal atas dan bawah, antara materi dan roh atau alam. Buku berisi keseluruhan seri dari gambaran separatio yang sangat keras. Separatio ini dapat dimengerti sebagai sebuah keperluan psikologis dalam proses yang diperlukan pada tahapan tentang perkembangan psikis kolektif. Kekerasan adalah bagian penting dari jalan menuju persatuan yang bertentangan. Pada jalan yang sama sbagaimana Drewermann, Edinger menginterpretasikan wabah sebagai tahapan di dalam perkembangan proses jiwa [psikis].

Hartmut Raguse
Raguse mengatakan bahwa ternyata dalam kitab Wahyu kita menemukan banyak unsur posisi paranoid-skizofrenia dan narsisisme sebagaimana yang dipahami oleh Bela Grunberger. Kitab Wahyu dicirikan oleh dikotomi absolut di mana hanya ada “either-or”. Pembaca diajak untuk memilih salah satu dari ‘yang baik’ atau yang buruk dan bukan dengan suam-suam kuku [Wahyu 3:16]. Yang memilih yang baik akan menjadi milik ‘komunitas Allah’. Ditinjau dari sudut pandang psikoanalisis yang namanya kemurnian dan keseragaman dimungkinkan hanya karena setiap elemen penentangan diproyeksikan ke dalam musuh. Elemen penentangan berupa seksualitas dan merupakan sebuah bentuk penyimpangan dalam kitab Wahyu diproyeksikan sebagai ‘pelacur Babel’. Proyeksi ini juga berlaku untuk semua elemen penentangan yang akan mengancam kemurnian orang-orang kudus. Elemen yang menyimpang inilah yang diproyeksikan ke dunia luar dan dihadirkan sebagai ‘feces’. Pemisahan radikal ini memungkinkan narator/penulis untuk menghancurkan dengan kekerasan segala jenis yang menentang terwujudnya Yerusalem baru. Raguse mengatakan ‘The radical splitting up of the world allows the narrator to indulge in sadistic fantasies to an extreme degree without feelings of guilt’. Menurut Raguse penulis Kitab Wahyu menghasut para pembaca ke sisi makhluk surgawi yang menyebabkan kekejaman di bumi dan untuk bersukacita pada kehancuran kekerasan orang-orang yang tidak percaya.

Unsur kekerasan dan kekejaman dalam Kitab Wahyu memakai teori ‘narsisisme’. Narsis yang dimaksud dalam hal ini adalah perasaan akan sebuah dunia yang ideal yang bisa dicapai dengan konfrontasi langsung dengan realitas yang menentang hal ini. Menurut teori ini, kita selalu mempunyai keinginan kembali kepada pengalaman untuk masuk dalam surga. Karena dunia ini sebagaimana digambarkan dalam Kitab Wahyu ada yang baik dan yang buruk, maka menghancurkan yang buruk akan mengembalikan dunia narsistik yang ideal terwujud. Dia mengutip misalnya kata-kata Yesus dalam Yohanes 16:33: ’…Aku telah mengalahkan dunia’. Menurutnya dalam setiap agama yang mengajarkan kasih dan perdamaian, kita menemukan orang-orang yang militan dan fanatisme agama.

Yang juga penting dalam Raguse adalah ‘sejarah penerimaan kitab Wahyu’. Dia mengatakan bahwa dalam periode kemudian, pembaca dari Kitab Wahyu ini memiliki kekuasaan dan dengan ide-ide yang tersedia, mereka menargetkan kekerasan terhadap kelompok tertentu. Visi pemerintahan 1000 tahun menjadi program politik dan teks sangat merusak. Bahkan menurut Reguse, hal itu bahkan bisa dilihat sampai sejarah Jerman dari tahun 1933-1945. Baginya, inilah efek terburuk dari Kitab Wahyu yang telah ‘memfasilitasi’ orang untuk melakukan kekerasan terburuk, khususnya dalam sejarah peradaban barat.

P.E. Jongsma-Tieleman
Jongsma-Tieleman mengatakan bahwa apa yang kita temukan dalam kitab Wahyu Yohanes adalah simbol-simbol baik dan jahat yang digunakan dan tidak harus memimpin pembaca teks ke pemisahan dari kenyataan. Seluruh perjuangan antara yang baik dan yang jahat digambarkan dengan bantuan simbol. Hal ini tidak langsung jelas siapa atau apa yang dimaksud dengan simbol kejahatan, seperti naga raksasa dan pelacur besar. Mungkin yang dimaksud oleh orang Kristen perdana adalah kekaisaran Romawi, tetapi kemudian pembaca memiliki pandangan berbeda. Jongsma-Tieleman adalah seorang terapis sehingga ia mengatakan bahwa agresi kekerasan yang ada dalam Kitab Wahyu sama seperti ketika ia melakukan terapis pada pasiennya,yaitu dengan meneriakkan atau memukul barang-barang tertentu. Tujuannya adalah memberi rasa lega pada pasien. Hal ini dilakukan agar pasien memiliki ruang untuk memulihkan citra ideal dan tetap dalam harapan. Baginya, kekerasan adalah sebuah ekspresi simbolis dari agresi orang yang ditekan/tertekan. Pembaca dari kitab Wahyu, menurut pendapat Jongsma-Tieleman, adalah diundang untuk percaya kepada Tuhan dan dengan sabar bertahan penindasan. Adegan-adegan kekerasan dalam buku ini dapat memiliki fungsi wadah dari agresi orang beriman yang sedang dalam ketertindasan, sehingga menawarkan ‘transisi’ dari posisi paranoid-skizofrenia ke posisi depresi. Suatu sikap penerimaan realitas, dari menunggu sambil memegang harapan dan kepercayaan. Disinilah ia berbeda dengan Raguse. Jadi dalam hal ini pemisahan dan kekerasan bukan bertujuan sebagai tindakan destruktif tetapi sebagai ‘healing function of the visions of judgment and wrath that predominate’.

Dalam hal ini, Vos justru tidak sependapat dengan Jongsma-Tieleman dalam beberapa hal
1. Bagi Jongsma-Tieleman, pemisahan baik dan jahat dalam Kitab Wahyu terjadi pada tingkat simbolis, dan simbol-simbol baik dan jahat yang digunakan dalam buku ini tidak selalu memimpin pembaca teks ke realitas pemisahan . Menurut Vos, bagaimanapun, Kitab Wahyu jelas mengidentifikasi unsur-unsur realitas dengan baik atau jahat. Dunia nyata dibagi menjadi mereka yang percaya dalam Yesus Kristus di jalan pendukung penulis dan mereka yang tidak. Misalnya dia menyinggung simbol seperti Pelacur Babel dan Vos mengatakan bahwa penulis Kitab Wahyu memberi petunjuk begitu banyak kepada pembaca kontemporer bahwa akan sulit bagi mereka untuk tidak memikirkan kota Roma.
2. Jongsma-Tieleman menyarankan bahwa ada ruang untuk bergerak dari posisi paranoid-skizofrenia ke posisi depresi. Namun Vos tidak menemukannya dalam Kitab Wahyu. Menurut Vos, tidak ada ruang bagi pembaca kitab Wahyu untuk mentolerir ambiguitas
3. Menurut Tieleman Jongsma, adegan kekerasan adalah ekspresi simbolis dari agresi suatu bangsa ditekan dan tertekan. Sedangkan bagi Vos, hubungan gereja dan dunia merupakan rekonstruksi penulis, dan oleh karena itu lebih independen dari realitas sosial-politik zamannya.
4. Bagi Vos, dalam pengalamannya, ia menemukan bahwa yang namanya peperangan rohani ditimbulkan oleh gambaran dari kitab Wahyu yang justru memiliki pengaruh yang buruk. Maka baginya, kitab ini justru sangat mencemaskan.

Surat-surat Rasul Paulus
Dalam surat-surat Paulus kita menemukan unsur-unsur yang mengingatkan kita pada posisi-skizofrenia paranoid serta elemen yang merupakan ciri khas dari posisi depresi seperti yang dijelaskan oleh Melanie Klein. Dalam tulisan-tulisannya tentang ‘dunia’ dipisahkan menjadi yang baik dan yang buruk, menjadi orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus dan mereka yang tidak, mereka yang harus diselamatkan dan mereka yang akan binasa, objek belas kasih Tuhan dan objeknya murka, orang-orang kudus dan orang-orang yang penuh dosa. Rasul sendiri, sebagai utusan Injil, punya fungsi sebagai kekuatan yang memisahkan: “Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir, kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan.” Ada sebuah ambivalensi dalam diri Paulus untuk menggambarkan mereka yang tidak percaya termasuk di dalamnya yahudi dan mereka yang percaya. Ambivalensi ini jelas-dinyatakan dalam kata-kata: “Mengenai Injil mereka adalah seteru Allah oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang” [Roma 11:28]. Ini sedikit berbeda dengan pemisahan radikal dalam kitab Wahyu. Dalam hal ini, Paulus justru menyatakan kekerabatannya dengan mereka yang dianggap seteru Allah.

Menurut teori Melanie Klein, pertemuan kebencian dan kasih terhadap objek yang menimbulkan kesedihan yang sangat pedih dia sebut ‘depresi kecemasan’. Karakteristik posisi depresif adalah kebutuhan untuk reparasi atau perbaikan yaitu sebuah upaya yang dilakukan untuk memaksimalkan aspek mencintai hubungan ambivalen dengan seluruh objek rusak. Bagian dari Roma 9-11 dapat dilihat sebagai upaya tersebut. Seperti penulis Kitab Wahyu, Paulus mengharapkan “hari murka” dalam penghakiman Allah yang benar akan terungkap dan mereka yang tidak taat kepada kebenaran akan dihukum sementara mereka yang percaya dalam Kristus akan diselamatkan [Roma 2:5; I Tesalonika 1:10]. Namun, Paulus tidak pernah menggambarkan hukuman orang-orang asing dalam bagian tentang peristiwa eskatologis. Dalam 1 Korintus 15 di mana ia menggambarkan peristiwa eskatologis dari kebangkitan Kristus sampai akhir dunia, ia hanya menyebutkan kedatangan Kristus, kebangkitan orang percaya, dan pembentukan Kerajaan Allah. Pembaca bahkan memberi kesan bahwa rasul mengharapkan keselamatan untuk semua orang: “. Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, sehingga semua akan dibuat hidup dalam Kristus”. Bahkan jika “semua” hanya merujuk pada orang-orang percaya, titik kontroversial kalangan sarjana Perjanjian Baru, itu harus dicatat bahwa Paulus sama sekali tidak tertarik pada nasib orang-orang asing. Yang pasti, musuh-musuh Allah akan dihancurkan, tetapi musuh ini bukan manusia, tetapi kekuatan dipersonifikasikan dosa dan kematian. Paulus bahkan lebih spesifik dalam Roma 11: Segera setelah “jumlah penuh dari bangsa-bangsa lain” telah datang, “seluruh Israel” akan diselamatkan. Sedangkan kata “seluruh Israel” yang jelas, “jumlah penuh” dari bangsa-bangsa lain tidak selalu berarti “semua bangsa-bangsa lain.”

Tentu saja, fakta bahwa Paulus tidak mempertahankan seperti sikap radikal sebagai nabi Yohanes dalam sikapnya terhadap dunia yang tidak percaya, dan khususnya terhadap orang Yahudi, tidak berarti bahwa sejarah penerimaan rasul Paulus menghasilkan efek yang sama sekali berbeda dari Kitab Wahyu dalam hal ini. Dari abad ke-empat sampai dengan Third Reich di Jerman, kata-kata Paulus digunakan untuk melegitimasi penindasan orang Yahudi. Pada saat yang sama, namun dapat dibuktikan bahwa penilaian positif Paulus tentang orang-orang Yahudi sering berfungsi sebagai penangkal terhadap anti-Semitisme. Dalam Third Reich, misalnya, kata-katanya difungsikan sebagai rebutan bagi banyak anti-Semit, dan di antara teolog perjuangan melawan anti-Semitisme dilakukan dalam nama Rasul Paulus. Pada akhirnya, keputusan untuk efek positif atau negatif dari teks terletak dengan pembaca.

Tanggapan
Menarik melihat pendekatan psikoanalisis terhadap teks Wahyu Yohanes dengan surat-surat Paulus. Bukan saja membantu kita untuk memahami pola pikir dari para penulis kedua kitab tersebut beserta gagasan-gagasannya tetapi juga menjadi pertimbangan bagi kita untuk dengan jeli dan kritis melihat teks-teks [PB] yang berbicara tentang kekerasan. Oleh karena tidak sedikit orang yang menjadikan teks-teks PB [dan juga PL] dalam melegitimasi tindakan mereka untuk menghancurkan dan melukai orang lain.

Wahyu adalah sebuah Kitab yang bercorak apokaliptis, di dalamnya terdapat uraian-uraian tentang eskhaton, akhir zaman. Oleh karena itu Kitab ini disebut dengan Apocalypse. Kitab Wahyu merupakan kitab yang sulit untuk dipahami, karena banyak menggunakan bahasa apokaliptis yang penuh simbol dan gambaran yang asing bagi pembaca masa kini. Dengan pendekatan psikoanalisis, meskipun bukan satu-satunya pendekatan yang membantu kita mengenal dengan baik teks-teks Kitab Suci, tetapi setidaknya, pendekatan ini membantu kita memutuskan bagaimana kita harus memahami kitab suci khususnya dalam konteks kita sekarang ini. Dalam hal ini kita diajak untuk memahami pola pikir penulisnya sendiri.

Pemisahan yang disebutkan oleh penulis dalam hal ini, antara mereka yang percaya dan tidak percaya adalah sebuah gambaran dari sebuah gagasan apokaliptik. Karena dalam gagasan apokaliptik, orang akan berharap akan adanya dunia yang akan datang. Pengharapan itulah yang disebut sebagai eskatologis, yaitu sebuah zaman di mana Allah akan mendatangkan sebuah dunia yang adil buat mereka.Oleh karena itu, kitab wahyu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap akhir zaman, penghukuman Allah dan keselamatan yang kekal.

Pemaparan dari Johan Vos menurut saya membantu kita memahami mengapa sampai gagasan yang berisikan tentang kekerasan bisa sampai menjadi bagian dari kitab Wahyu. Tanggapan saya juga mempertegas ‘asumsi awal saya’ tentang betapa rumitnya kitab Wahyu untuk dipahami. Dari pembahasannya, kita menemukan bahwa ada ketidaksingkronan apa yang dibayangkan dengan kenyataan. Mungkin dalam hal ini benarlah indikasi dari beberapa ahli yang mengatakan bahwa apokaliptik tidak terkait dengan sesuatu yang objektif tetapi fiksi.

Salah satu dari sekian banyak ciri sastra apokaliptik adalah ‘dualisme’. Maka wajar saja jika penulis kitab wahyu dan juga surat-surat Paulus membedakan dua dunia yang berbeda. Dalam sastra apokaliptik, masa kini merupakan masa yang penuh dosa dan kejahatan, namun sifatnya sementara dan akan binasa . Sebaliknya, masa yang akan datang adalah saat dimana Allah akan membangun kerajaan-Nya (saat umat Allah akan diselamatkan dari dosa dan semua pengaruh kejahatan) yang kekal dan tidak akan binasa. Transisi dari masa kini ke masa yang akan datang tidak akan dicapai dengan proses sejarah, melainkan hanya dengan tindakan Allah. Begitu juga penggunaan simbol-simbol, merupakan ciri khas dari sastra apokaliptik. Dan dalam hal ini, Vos mencoba menunjukkan bagaimana sampai gambaran kekerasan bisa sampai menjadi pertimbangan oleh penulis Kitab Wahyu.

Dengan pemaparan pendekatan psikoanalisis, kita menemukan bahwa gambaran-gambaran kekerasan bisa membawa efek yang sangat luar biasa, jika tidak memahaminya dengan baik. Memang kelemahan dari tulisan ini adalah mereduksi teks hanya dari satu sisi pendekatan saja. Tetapi, jika sastra apokaliptik bukan merupakan penglihatan nyata, maka kita bisa menduga bahwa ada kemungkinan bahwa ini memang rekonstruksi penulis yang oleh Vos disebut relatif lebih independen. Maka dengan demikian, tidak harus secara harafiah, gambaran-gambaran dalam kitab Wahyu misalnya diterjemahkan langsung dalam konteks kita sekarang. Kita harus memahami mengapa sampai gambaran-gambaran bernada kekerasan itu muncul, seraya melakukan rekonstruksi ulang terhadap gambaran-gambaran tersebut, sesuai dengan konteks keberadaan kita sekarang ini.

Acuan: Johan S.Vos, ‘Splitting and Violence in the New Testament: Psychoanalytic Approaches to the Revelation of John and the Letters of Paul, dalam J. Harold Ellens (ed.),The Destructive Power of Religion. Violence in Judaism, Christianity, and Islam (Westport, CT:Praeger Publisher, 2004)



Jumat, 01 Juli 2011

Perselingkuhan Gereja dan Etika Kristen


Perkembangan gereja mula-mula tidak berbenturan dengan etika pada umumnya. Perubahan mulai terjadi ketika posisinya di masyarakat semakin lebih baik dan diperhitungkan. Tinggal di kota2 besar seperti Roma, Efesus dan mereka orang-orang yang pekerja sehari-harinya bertalian dengan jasa [keuangan, jasa telekomunikasi]. Orang Romawi lebih percaya kepada orang Kristen untuk menyimpan uangnya (hal ini terjadi karena sangat taat pada prinsip Yesus yang bersikap baik dan jujur).

Akibat dari semakin dipercayanya orang Kristen dalam wilayah-wilayah dimana mereka berada adalah jumlah mereka yang makin banyak. Ini ancaman buat negara. Posisi penting orang Kristen membuat negara mulai terancam. Di bawah pemerintahan Kaisar Galerius, mereka ditangkapi dan dibunuhi karena mereka (notabene) adalah Kristen.

Namun tindakan represi ini tidak membuat orang Kristen berkurang. Orang Kristen tidak dapat hilang dan malah makin berkembang. Mungkin mirip dengan mottonya orang Kristen kebanyakan ‘semakin dibabat semakin merambat..heheh’. Maka tindakan pemerintahan Romawi berubah dari sikap yang represif terhadap orang Kristen sekarang orang Kristen dirangkul. Orang-orang Kristen dirangkul dan masuk dalam pemerintahan. Dekrit Milan 311, orang Kristen diizinkan ibadah secara terbuka.

Dari sinilah gereja mulai berubah dan etika kristennya berubah. Negara memberi banyak konsensi dan kemudahan. Dan gereja merasa bahwa ternyata negara tidak buruk-buruk amat. Padahal sebelum dirangkul oleh negara, gereja (orang-orang Kristen) sangat Kristis terhadap negara. Mereka tidak pernah berkompromi dengan negara. Tetapi rangkulan yang terkesan baik dari negara membuat orang-orang Kristen akomodatif dengan berbagai kebijakan negara. ‘kan sudah diberi fasilitas ini itu, sudah diizinkan tinggal dan hidup, masa mau ngekritik negara’. ya kira-kira begitulah keadaan orang Kristen pasca rangkulan negara tersebut.


Hal ini berlanjut dengan kebijakan dari Konstantin yang ingin menyatukan Romawi. Menurutnya salah satu tindakan menyatukan negara adalah dengan mengakui kekristenan. Kita tahu bahwa saat kekaisarannyalah muncul perdebatan Trinitas. Perdebatan antara mereka yang mono dan trinitarian ini membawa pada ancaman perpecahan di kalangan Kristen dan ini tidak diinginkan oleh Konstantin. Maka Ia lalu melahirkan Konsili Nicea. Ini adalah Agenda politik Konstantin, bukan karena dia seorang saleh dan taat. Konsili Nicea sendirikan 325 Masehi. Dia dibabtis 336 pas pada saat dia sekarat. Jadi 11 tahun setelah Konsili Nicea diadakan. Persoalan politiklah yang membawa kekristenan masuk ke dalam aliansi negara.

Perangkulan negara yang berlebihan inilah yang akhirnya membawa pengaruh besar terhadap kekristenan seterusnya. Standar diturunkan. Jika tidak tentu akan bertentangan dengan negara. Disini terjadi yang namanya ‘Simbiosis mutualisme’. Kekristenan perlu kaisar dan kaisar butuh orang Kristen demi agenda politik. Kaisar Konstantin perlu didukung karena dia mendukung orang Kristen. Jangan sampai jika dia turun dari tahta, maka muncul kaisar yang ndak respek dengan orang Kristen.

Pendekatannya pada akhirnya adalah diadic. Contoh dari perselingkuhan gereja dan negara ini adalah pendapat dari Agustinus. Ia mengatakan: Kekerasan mau dipakai untuk apa? Pribadi atau orang lain? Kekerasan bertalian dengan kehendak dan aksi. Kehendak yang baik ndak apa-apa. Ini suci. Kalau kita membunuh orang jahat bisa baik untuk dia. Karena jiwanya nanti akan bisa diinjili oleh Kristus. Tujuan membunuh dengan alasan baik dan mulai bisa. Meski tindakannya jelas salah. Tetapi yang menjadi penekanannya adalah kehendaknya bung!!

Ini sangat berbeda dengan etika kristen sebelum terjadi perselingkuhan gereja dan negara yang sangat menekankan tindakan pacifis. Tidak ada kompromi di dalamnya. Kekerasan adalah kekerasan dan itu dipegang oleh orang Kristen sebelum terjadi perangkulan oleh negara.

Maka sejarah gereja yang sudah tercemar ini perlu menjadi pelajaran buat orang Kristen sekarang ini. Kesempatan tidak terikat secara formal dengan negara (Indonesia) adalah kesempatan bagi gereja untuk ‘mengobarkan’ sebuah komunitas nir kekerasan. Sebuah tindakan pacifis yang dibawa oleh Yesus :D

Jumat, 05 November 2010

Budaya Perdamaian


Jika kita kembali pada awal-awal keKristenan nampak bahwa keKristenan sejatinya adalah pacifis. Sebagai sebuah gerakan pacifis, ia tentu tidak berpihak pada perang dan kekerasan apalagi menjadikan perang dan kekerasan sebagai satu-satunya jalan keluar untuk menyelesaikan masalah.
Theodore J. Koontz mengatakan bahwa pacifisme Kristen adalah sebuah bentuk usaha dalam mencapai kemenangan hanya saja kemenangan tersebut mengikuti Yesus sendiri.
Dalam sejarahnya kaum pacifis adalah orang-orang yang ‘aktif’ dalam menentang kebijakan-kebijakan yang merengut kemanusiaan manusia seperti perang, tindakan-tindakan pengekangan dan otoriterisme, penjajahan dsb. Hal ini merujuk pada sikap Yesus sendiri yang adalah seorang pacifis.
Bahkan sebagaimana juga disinggung oleh Theodore J. Koontz, kemenangan Yesus di atas kayu salib adalah bukti bahwa Yesus menang atas kekuasaan. Kekuasaan yang digunakan sebagai alat represif telah dibungkam oleh Yesus yang justru tanpa perlawanan menelanjangi kekuatan dan kekuasaan yang dilakukan atasNya.
Kekuasan yang disebutnya didasarkan atas ketakutan untuk lepas dari kekuasaan itu sendiri telah menyebabkan rapuhnya sebuah pemerintahan. Ketidakmampuan mengatasi ketakutan telah melahirkan kepura-puraan dan pertahanan diri dan kekuasaan yang naif. Dalam hal inilah Koontz mencoba menunjukkan bahwa sejarah telah didominasi orang-orang yang punya mentalitas yang bertolak belakang dengan sikap pacifis Yesus sendiri, dengan asumsi-asumsi bahwa kadang-kadang perang diperlukan untuk untuk melindungi dan menyerahkan tindakan tersebut kepada negara dan penguasa untuk melakukannya yang memang punya kekuatan dan paksaan.

Dalam mengembalikan tradisi pacifis yang sudah ternoda oleh kegetiran dan ego manusia yang ditunjukkan lewat perang dan kekerasan tersebut, Koontz mengajak kita untuk kembali pada ruh pacifis itu sendiri. Disini dia menyebutkan bahwa kita harus terhindar dari berbagai macam ‘ketakutan-ketakutan’ yang sudah mencengkrama kita karena menurutnya perang adalah bentuk ekspresi dari ketakutan yang sudah mendominasi kita. Dalam hal ini dia mengikuti apa yang dikatakan Henri Nouwen yang mengatakan bahwa ‘cinta lebih kuat daripada rasa takut’. Kasih dari Allahlah yang mengusir ketakutan dari dalam diri kita. Mencintai dan berdoa bagi musuh adalah bagian dari sikap Yesus yang perlu dihidupkan. Karena Injil sendiri mengajak kita untuk mencintai, mengampuni dan bahkan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita. Dari ini kemudian Koontz menceritakan sebuah cerita yang amat terkenal di dalam tradisi Menonite, seorang yang bernama Dirk Willems. Willems adalah seorang yang mau menunjukkan cintanya terhadap tentara yang mengejar dan ingin menangkapnya tetapi mau tenggelam dalam lapisan es. Willems tidak membiarkannya tenggelam bahkan mengulurkan tangannya untuk mengangkat tentara itu. Meskipun akhirnya Willems dijebloskan kembali ke dalam penjara dan dihukum mati. Ia tahu resiko dari cinta yang ia tunjukkan kepada tentara itu, tetapi Willems tetap memilih untuk mencintai.

Namun Koontz mencoba menunjukkan kepada kita pula betapa Niat baik selalu mendustakan niat tersebut. Niat untuk mencintai dipakai untuk melegalkan perang dengan alasan-alasan tertentu. Seperti untuk menghindari jatuhnya korban, untuk menciptakan perdamaian. Bagaimana kita mau mencintai dengan membunuh. Hal ini nampak misalnya dalam ‘perang terhadap terorisme’ yang diusung oleh Bush. Bagaimana mungkin memerangi terorisme dengan teror itu sendiri. Dalam hal inilah Koontz menurut saya berbeda pendapat dengan Agustinus, dengan justru memberi penekanan kepada tindakan nyata mencari yang terbaik untuk mencintai dan tidak semata-mata didasarkan atas motivasi dan perasaan saja. Tidakkah ini penuh dengan kebohongan? Koontz mengutip Surat Yakobus 2:17 yang mengatakan bahwa ‘Jika iman tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati’. Inilah yang saya kira menjadi poin penting bagi gereja untuk membangun budaya perdamaian. Kualitas iman kita dibuktikan dan nampak dalam tindakan kita sendiri. Karena dengan demikian, kata Koontz kita menyaksikan dan mengkomunikasikan kasih Allah. Artinya, gereja akan mampu menciptakan budaya perdamaian jika gereja sendiri membudayakan iman yang dibuktikan dalam tindakan nyata.

Gereja pada awal kelahirannya memang sudah penuh dengan resiko. Yesus yang adalah tokoh sentral dalam gereja menerima resiko dari sikap mencintai yang ia tunjukkan. Begitu pula dengan martir-martir yang harus menanggung resiko kematian ketika mereka menunjukkan iman mereka untuk mencintai. Mencintai adalah memeluk resiko dan bukan dengan takut kepadanya. Mencintai memampukan kita menciptakan budaya perdamaian. Dan itu mesti ditunjukkan dari kualitas tindakan yang ia lakukan. Dalam dunia yang merasa bahwa perang dan kekerasan akan menyelesaikan masalah dan menciptakan perdamaian, entah itu dengan motif yang baik sekalipun telah menjebak kita masuk dalam siklus perang dan kekerasan yang tidak pernah putus. Pada kenyataannya juga tidak ada teori perang yang telah berhasil menciptakan perdamaian di dunia ini.

Pacifis Kristen haruslah menjadi bagian dari kehidupan gereja itu sendiri. Seringkali menurut Koontz prinsip ini dihadapkan dengan kasus-kasus ekstrim tetapi pada situasi normal, orang sering kali melupakannya. Artinya, sikap pacifis adalah sikap yang menurut saya proaktif dalam menciptakan perdamaian itu sendiri. Ia mulai dari hal-hal yang kecil, dari dalam keluarga, dari sebuah komunitas masyarakat termasuk dalam gereja. Inilah termasuk tantangan yang sering sekali dihadapi oleh mereka yang bersikap pacifis. Padahal tujuan dari pada pacifis itu sendiri adalah bagaimana kita menghidupi diri dan komunitas kita dengan gaya hidup yang berpihak pada yang namanya damai dan nir kekerasan. Pacifis tidak menunggu perang untuk berpihak pada nir kekerasan. Makanya Koontz mengatakan mengapa kita justru tidak berfokus pada diplomasi? Mengapa kita tidak mengarahkan pikiran dan tenaga kita untuk membangun dan memelihara? Mengapa kita tidak menghabiskan uang untuk mendukung PBB membangun perdamaian? Mengapa justru kita menghabiskan uang begitu banyak untuk persenjataan hanya demi pertahan diri sendiri? Hanya dengan meninggalkan ‘rumah ketakutan’ dimana ada kecurigaan, kebencian dan perang dan melangkahkan kaki ke ‘rumah cinta’ dimana ada rekonsiliasi, penyebuhan dan perdamaian, kita bisa hidup.

Gereja, menurut saya harus mampu mengembalikan identitasnya sebagai ‘pembawa damai’ dan membudayakan damai itu sendiri dalam komunitasnya secara konstan dan terus-menerus bahkan ketika harus menghadapi resiko bertalian dengan keamanan diri sendiri. Gereja adalah komunitas yang tidak berfokus pada pertahanan dirinya sendiri tetapi melestarikan kehidupan itu sendiri termasuk di luar dirinya. Gereja sejatinya adalah ‘komunitas pacifis’ yang mengarahkan segenap hati dan pikirannya untuk membangun dan menciptakan perdamaian. Karena kita tidak diciptakan untuk saling perang, saling membunuh dan saling meniadakan, tetapi dengan berpusat pada ajaran Yesus kita diajak untuk hidup dalam masyarakat yang bebas dari rasa takut dan hidup dalam cinta. Kita bisa menyebut Matin Luther King, Thomas Merton dsb adalah orang-orang yang tidak menyimpan Firman Tuhan itu sendiri dalam batas-batas aman dan pribadi saja. Gereja juga seyogiyanya tidak menyimpan Firman itu sendiri pada dirinya sendiri.

Sumber gambar: peacechurch.ning.com

Kamis, 14 Oktober 2010

Ide Dikotomis dan Narasi Perdamaian


Setuju atau tidak, saya melihat bahwa kurang lebih ada saham dari pemahaman kita yang terbatas (namanya manusia) akan apa yang dikatakan oleh teks-teks suci. Tetapi ada banyak dari kita yang punya pemahaman yang sempit (ini yang berbahaya) akan teks-teks tersebut. Pemahaman teks-teks suci, bagaimanapun agaknya ikut memberikan andil dalam aksi kekerasan yang selalu dikaitkan dengan agama. J. Harold Ellens misalnya mengatakan bahwa teks-teks suci dan bahasa-bahasa agama [dia menggunakan istilah ‘metafora'] telah menjadi dasar bagi kelompok tertentu untuk me’legal’kan aksi kekerasan yang dilakukannya terhadap kelompok lain. Metafora-metafora tersebut telah mendorong umat beragama dewasa ini untuk mengobarkan kekerasan. Hal yang sama pun diungkapkan oleh Mark Juergensmeyer mengenai ‘perang kosmis’ yang mengatakan bahwa hal ini (aksi kekerasan atas nama agama) sebenarnya bukanlah hal baru tetapi merupakan warisan dari tradisi-tradisi keagamaan. Itu menandakan bahwa pertentangan-pertentangan yang terjadi sekarang sudah merupakan bagian yang amat sangat dekat dengan realitas manusia. Juergensmeyer menunjukkan bahwa ada sebuah kecenderungan ide tentang ‘dikotomis’. Yang lain adalah musuh yang harus dihancurkan. Dalam ide tersebut juga terkandung gambaran tentang kebaikan dan kejahatan. Mereka yang ada di luar adalah jahat oleh karena itu harus dihancurkan.

Menurut pendapat saya sendiri, penggolongan-penggolongan ini telah menyebabkan konflik yang tanpa disadari menjadi [pelan-pelan] semacam ideologi (atau lebih tepatnya cara berpikir). Parahnya hal ini sebenarnya hadir dan dihidupi oleh setiap agama. Konsep kami dan kalian, kita dan mereka, benar dan kafir, dosa dan pahala, surga dan neraka adalah konsep yang secara ‘sengaja’ diinternalisasikan dalam diri setiap penganut agama. Tujuannya membuat sejelas mungkin siapa kami dan siapa mereka. Segregasi yang tajam ini menyebabkan agama bisa disalahartikan untuk menghancurkan orang yang berbeda dengan dia. Penghancuran ini, nampak dalam berbagai konflik bernuansa agama dengan membawa panji agama serta teks-teks suci sebagai cap legalitas. Menurut mereka, tidak ada yang salah dengan apa yang mereka lakukan karena mereka sedang melawan musuh-musuh dari kebaikan dan dengan demikian musuh dari Allah sendiri. Jadi, tidak lagi sekedar pertarungan politik biasa tetapi lebih dari itu, ini perang kosmis, antara kami dan kalian, antara kebaikan dan kejahatan. Militanisme dan fundamentalisme agama lahir dari doktrin seperti ini. Ellens mengatakan bahwa para pelaku dari aksi kekerasan tampaknya benar-benar percaya bahwa tindakan mereka adalah pelaksanaan kehendak dan maksud Allah dan untuk itu mereka akan memiliki “pahala yang sangat besar.” Ide tentang perang ilahi yang ada dalam Kitab Suci dengan gampang diterjemahkan ke dalam kehidupan sekarang. Hal ini pulalah yang menyebabkan kekerasan, perang dan pembunuhan menjadi sesuatu yang tak lagi mengerikan justru oleh karena diselubungi oleh pemahaman agama yang sempit atas teks-teks, yang juga dengan gampang bisa ditemukan dalam Kitab Suci.

Maka dari itu, selain memahami betul konteks dan latar belakang dari teks, yang saya kira perlu dilakukan adalah bagaimana kekerasan yang mendasarkan diri dari kitab suci harus ditandingi oleh sebuah kekuatan yang sifatnya radikal bertalian dengan pembangunan perdamaian. Yang mau saya katakan adalah dalam dunia ini ada banyak narasi-narasi yang memisahkan dan bahkan memusuhi ‘yang lain’. Atas dasar inilah harus ada narasi-narasi yang memperkokoh untuk makin kuatnya perdamaian. Narasi-narasi bernuansa konflik dan permusuhan harus ditandingi dengan narasi-narasi yang mendorong tumbuhnya rasa saling menghormati di antara sesama manusia. Jika yang ada ‘ketiadaan damai’ maka tentu kita harus kritis akan hal itu. Dan saya kira salah satu hal yang bisa kita lakukan adalah dengan membangun sebuah narasi-narasi yang ‘berpihak’ pada damai. Hal ini misalnya dilakukan lewat berbagai ceramah-ceramah yang mengajak orang untuk menghormati orang lain, tidak mengutamakan tindakan kekerasan dalam menyelesaikan konflik, menghargai keberbedaan sebagai sebuah hal yang nyata dan harusnya disyukuri, memperkenalkan anak-anak soal keberbedaan, mengajak keluarga untuk mengenal yang berbeda dengan dia, dsb. Makanya Theodore J. Koontz mengatakan mengapa kita justru tidak berfokus pada diplomasi? Mengapa kita tidak mengarahkan pikiran dan tenaga kita untuk membangun dan memelihara? Mengapa kita tidak menghabiskan uang untuk mendukung PBB membangun perdamaian? Mengapa justru kita menghabiskan uang begitu banyak untuk persenjataan hanya demi pertahan diri sendiri? Hanya dengan meninggalkan ‘rumah ketakutan’ dimana ada kecurigaan, kebencian dan perang dan melangkahkan kaki ke ‘rumah cinta’ dimana ada rekonsiliasi, penyebuhan dan perdamaian, kita bisa hidup.

Kita memang tidak bisa menyangkali bahasa-bahasa keagamaan yang mengandung kekerasan. Jujur bahwa kitab suci kita memang menyediakan cerita kekerasan, perang dan pembunuhan. Tentu (dengan catatan) sebuah kenyataan yang jika ditilik dari keadaaan peradaban manusia 2000 tahun kemudian. Dan sebagian dari kita justru memakai teks-teks 2000 tahun yang lalu ini sebagai penegasan identitas bahwa saya yang benar dan yang lain harus dihancurkan. Dengan sengaja kita membentuk dan memaknai teks-teks itu demi tujuan menghancurkan orang lain. Agama justru menjadi pembenaran bagi tindak perang dan kekerasan dengan skala yang lebih besar. Namun, meskipun begitu, saya tidak setuju jika kekerasan agama di anggap sebagai satu-satunya sumber dari kekerasan atas nama agama. Ada banyak motif mengapa orang melakukan kekerasan terhadap yang lain. Dan agama mungkin saja hanya sebagai pembenaran melakukan kekerasan tersebut.

sumber gambar: www.jpnn.com

Kamis, 07 Oktober 2010

Memahami citra Allah yang kontradiksi dalam Alkitab [bag. 1]


Kita tidak bisa menghindari bahwa Alkitab menceritakan silih berganti kasih Allah dan juga tindakan kekerasan dari Allah. Hal ini dengan kasat mata dapat kita temukan dalam Alkitab. Lalu bagaimanakah kita menjelaskan keduanya, antara kasih dan kekerasan Allah? Apakah dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa Allah yang dikenal sebagai Yahweh dalam perjanjian pertama melegitimasi kekerasan?


Dalam hal inilah kita membutuhkan interpretasi yang kritis agar kita bisa dengan baik mengartikan tindakan Allah yang ambigu tersebut dalam kehidupan kita sekarang. Banyak memang yang memandang Alkitab justru kehilangan ke’wibawa’annya oleh karena kekerasan yang ada di dalamnya. Hal ini didukung oleh kata ‘perang’ [milkhamah] yang muncul lebih dari 300 kali dalam Alkitab. Bahkan ada beberapa teks yang memerintahkan perang tanpa belas kasihan sama sekali. Hal ini bisa diterima karena Alkitab yang lahir dalam konteks masyarakat Israel memandang Yahweh sebagai pahlawan perang. Keterlibatan Allah dalam seluruh perjalanan bangsa Israel termasuk dalam perang menjadikan banyak orang merasa bahwa Alkitab tak mungkin bisa dijadikan sumber moral. Secara teologis juga bermasalah karena kontradiktif dengan pemahaman bahwa Allah itu adalah kasih. Kontradiksi inilah yang membuat Allah yang ada dalam PL adalah Allah yang seharusnya ditinggalkan. Hal ini misalnya diungkapkan oleh Marcion yang menyarankan agar PL dibuang saja.


Citra Allah yang kontradiksi menunjukkan bahwa kita sebenarnya melihat ‘gambaran’ Allah itu sebagai yang bertentangan. Kita lupa bahwa gambaran Allah itu bisa berubah, dan juga bisa berkembang. Kesadaran ini sangat penting menurut saya. Bukankah iman itu terus berubah dan berkembang? Ada kelemahan bagaimana kita menggambarkan Allah. Kita sebagai orang yang ada sisi jahatnya berusaha menggambarkan Allah. Karena kita melihat Allah dalam gambarannya, maka itu tidak menunjukkan bahwa Allah jahat.


Dalam Alkitab sendiri saya melihat banyaknya gambaran Allah yang silih berganti, berubah bahkan revolusioner [lihat apa yang dilakukan oleh Yesus, ia menginterpretasikan Allah tidak seperti kebanyakan orang Yahudi memahaminya]. Gambaran tentang Allah tentu tidak sama dengan Allah sendiri. Gambaran Allah tidak sama dengan kenyataan Allah [the reality of God]. Allah tetaplah Allah. Gambaran kita, yang tercermin dalam Alkitab adalah gambaran yang maksimal dan terus berubah. Maka, refleksi kita tentang Allah tidak bisa dilepaskan dari bagaimana kita memahami Allah, bukan dari titik tolak yang tidak berkaitan dengan kita tetapi justru dari keberadaan kita sekarang ini. Selalu ada partisipasi umat di dalamnya!!


Ketika kita meng’kontras’kan keduanya peluang bagi kita untuk jatuh pada pemutlakkan sangat besar. Kalau tidak suka ini, ya itu [terlalu berpikir dalam pola pikir barat-ini atau itu]. Maka itulah yang terjadi dengan Marcion, ketika ia menganggap bahwa PL mesti dibuang saja. Ingat! Kita akan kehilangan keseimbangan, justru ketika kita mengabaikani gambaran Allah yang dihidupi sepanjang sejarah. Untunglah bahwa Alkitab kita bukan hukum, bukan syariat. Nek syariat, wah gawat...kita mesti bingung ya toh mesti nurut yang mana??


Setelah kita memahami ini, kita akan lebih bijak untuk menentukan sikap kita berhadapan dengan kekerasan. Seringkali pertanyaan yang muncul di benak saya adalah apakah perang dapat di’benar’kan? Bukankah perang pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang jahat? Mereka yang kemudian menganggap perang dapat dibenarkan justru mendasari diri pada apa yang Alkitab sendiri katakan. Bahwa Allah sendiri juga terlibat dalam perang yang dilakukan masyarakat Israel. Citra Allah yang kontradiksi ini membuat banyak orang melihat bahwa Allah memang mendukung keterlibatan kita dalam perang. Prinsip kasih[Kristen] yang kita pegang harus berhadapan dengan pilihan apakah demi alasan kemanusiaan, kekerasan pun bisa digunakan.


Dalam pemaparannya, Williard M. Swartley menunjukkan bagaimana sikap gereja berbeda-beda. Ada yang mendukung perang, dan ada yang sama sekali tidak mendukung. Dia menjelaskan bahwa ada yang mendukung perang [posisi tradisional A]. Mereka adalah orang-orang yang mendukung partisipasi orang Kristen secara tegas dalam keterlibatan dalam perang. Ada juga yang menghindari penggunaan simplisitis terhadap apa yang tercantum dalam teks-teks Alkitab [tradisional B]. Kadang-kadang memang, dalam dunia yang masih dihinggapi dosa, perang dapat dibenarkan untuk menghindari kekerasan yang lebih dahsyat. Ada juga yang disebut sebagai teologi revolusi dan pembebasan. Mereka adalah orang-orang yang berpendapat bahwa kekerasan tidak bisa dilepaskan dari sejarah keselamatan itu sendiri. Di lain pihak ada yang kelompok yang lebih berpihak kepada sikap damai [tidak mendukung kekerasan]. Mereka lebih memberi penekanan pada sikap pacifis Yesus dan melihat PL digantikan oleh PB [mengkritiknya] dan melihat perdamaian sebagai pusat dan inti dari Injil itu sendiri.


Bagaimana kita memahami kedua sikap di atas? Bagi saya sendiri, sebagaimana yang saya tunjukkan di poin pertama bahwa harus ada kesadaran terlebih dahulu bahwa kita melihat ‘gambaran Allah” dalam Alkitab dan bukan Allah sendiri. Kesadaran ini akan membuat kita untuk sangat hati-hati menuduh bahwa Allah melegalkan kekerasan. Apalagi ada banyak kelompok Kristen yang kemudian memahami ayat-ayat itu secara harafiah bahkan ayatiah. Dengan kesadaran dan sikap rendah hati, kita akan bersikap lebih baik dalam menentukan sikap dalam masa sekarang, tanpa harus dengan gegabah memahami sikap Allah yang terlanjur kita pisahkan dalam dua karakter yang saling bertolak belakang.


Bacaan: Williard M. Swartley, Slavery, Sabbath, War & Women: Case Issues in Biblical Interpretation (Scottdale and Waterloo: Herald Press, 1983), Chapter 3, p. 96-149

sumber gambar: pixabay.com

Rabu, 06 Oktober 2010

Kritik SosiaL: sebuah pandangan Michael Walzer


Kritik sosial sebagai praktek sosial adalah hal yang ada dalam masyarakat dan berfungsi untuk melakukan interpretasi terhadap kebijakan-kebijakan yang sering sekali tidak benar. Ia berdiri untuk [sebaiknya] menyuarakan apa yang benar.


Walzer mengatakan bahwa kritikus seharusnya bisa menantang para pemimpin, konvensi, praktek-praktek ritual dari masyarakat tertentu, mengutuk, jika perlu, dengan sebuah "pernyataan publik dan pendapat terhormat sebagai sesutu yang munafik." Saya setuju dengan sikap seperti ini karena ini akan menciptakan semacam resistensi yang membuat semacam keseimbangan. Dengan sikap yang seperti ini, diharapkan pemimpin bisa punya sensivitas dalam menjalankan kepemimpinannya sehingga mampu berbuat yang terbaik.


Mereka harus menjadi seperti nabi Amos yang berteriak menentang kekuasaan yang dalam bahasa kita sekarang sangat korup. Masyarakat di zaman Amos telah menjadi korban kekuasaan dan lembaga agama yang korup itu. Apa indikasi situasi korup yang dihadapi masyarakat di zaman Amos? Yaitu ketika keadilan dan kebenaran tidak lagi menjadi norma standar dalam menata kehidupan pada waktu itu. Di sana ada yang namanya suap di pengadilan, manipulasi dan perampasan hak orang miskin, keadilan yang diputarbalikkan bahkan sampai kepada pelecehan seksual.


Seruan Amos pada zamanya adalah sebuah kritik sosial. Namun, mengapa gereja sebagai yang [seharusnya] melanjutkan tradisi perjanjian lama nyaris tak terdengar suaranya dalam menanggapi situasi dalam hidup berbangsa dan bermasyarakat sekarang? Dimana suara gereja dalam menanggapi kasus [misalnya century dan kasus mbok Minah, kasus kekerasan yang mencuat belakangan ini]??


Kritikus sosial memberi sebuah masukan dan mengingatkan kita akan bahaya interpretasi yang menindas kita. Ketika satu hukum atau [bahkan] teks agama dipakai untuk melegitimasi satu ideologi tertentu, dan pada saat yang sama dipakai untuk menindas, maka kritikus sosial mengingatkan kita akan hal ini. Salah satu contoh yang diangkat oleh Marx adalah ketika ideologi kapitalis dipakai untuk menindas para pekerja. Ideologi kapitalis yang lahir di barat dan sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi kepada teks agama [Kristen], dipakai untuk meninabobokan kelas pekerja sebagai sebuah kelompok yang patuh.


Gereja bisa menjadi kritikus sosial dan menyuarakan suara kenabian. Tetapi dalam pengamatan saya justru yang terjadi adalah gereja sering kali bungkam terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Bahkan tak jarang ia justru menjadikan gereja sebagai media dan alat legitimasi untuk melalukan dominasi dan penindasan.


Gereja punya tanggungjawab terhadap masyarakat. Dia tidak hanya diam ketika berhadapan dengan isu-isu sosial sebagaimana lebih banyak terjadi pada saat sekarang ini. “Stereotip” bahwa orang Kristen Indonesia sebagai minoritas tidak boleh menjadi penghalang bagi kita untuk tetap menyuarakan yang benar di tengah-tengah keadaan yang tidak benar. Kita harus menjadi kelompok minoritas yang kreatif yang tetap diperhitungkan.


Kritik yang baik memerlukan jarak kritis. Secara konvensional Walzer sempat menyinggung jarak kritis terhadap satu kebijakan dalam pemaparannya tentang praktek dari Kritik Sosial. Karena kebanyakan dari kita justru lebih senang jika mengidentifikasi diri kita sendiri (baik sebagai individu maupun dalam kelompok) lebih dekat [bahkan sebagai] negara. Oleh karena itulah kita membutuhkan jarak kritis agar dapat melihat dengan jelas. Dia menjelaskan bahwa yang namanya kritik adalah kegiatan eksternal, dan menyebut 2 hal yaitu bahwa kita harus terpisah secara emosional dan terpisah secara intelektual (terbuka dan objektif)


Ini memang sudut pandang konvensional. Namun saya melihat bahwa hal ini diperlukan pada konteks dimana kebijakan-kebijakan justru sangat tidak berpihak pada rakyat kebanyakan. Ketika misalnya, kebijakan-kebijakan hanya menguntungkan segelintir orang. Dalam konteks Indonesia, hal ini justru saya lihat berhasil karena mampu menggulingkan rezim orde baru yang terkenal sangat represif. Pada saat individu dan sekelompok orang mengidentifikasi dirinya justru di luar negara (dalam pemahaman orba/soeharto), kritik itu justru berhasil mengumandangkan suara kenabian dengan jelas dan jernih bahkan bisa menggulingkan salah satu rezim terkuat di dunia. Dengan kata lain, kritik yang konvensional ini masih bisa efektif apabila berhadapan dengan satu rezim yang terkenal sangat tidak memihak kebenaran dan keadilan.


Persoalan nubuatan dari nabi sebagai pengkritik. Walzer mencoba menyajikan kepada kita bagaimana peran nabi pada zamannya mengkrtik situasi sosial masyarakatnya. Dan kadang kala, kritik-kritik tersebut berisi tentang kehancuran-kehancuran.


Ketika sudah menyentuh ranah nubuatan, ini kan masalah interpretasi. Tetapi, sering kali, interpretasi dari sekelompok orang inilah kemudian yang dianggap “paling” benar, sehingga sering kali dimanfaatkan justru untuk “menghancurkan”. Demo yang berujung pada anarkis adalah sebuah bentuk yang menurut saya “memaksakan” sudut pandang dan nilai [kalau bukan interpretasi tertentu] terhadap satu persoalan.


Dengan menganggap diri sebagai mediator antara Tuhan dan manusia, nabi memang punya legitimasi tertentu untuk mengatakan yang benar. Hanya saja, dalam konteks sekarang ini, kita harus hati-hati untuk membedakan mana suara ke”nabi”an dan mana suara kepentingan diri sendiri.


Kita bisa melihat bahwa semenjak reformasi bergulir [atau lebih tepatnya ketika rezim orba runtuh] tak jarang jargon-jargon politik justru dibumbui dengan teks-teks keagamaan. Atau dengan kata lain, [teks-teks] agama dijadikan sebagai komoditi politik-hanya sebagai alat untuk mencapai kepentingan saja. Maka tak mengherankan wujud dari hal itu adalah munculnya banyak teks-teks sebagai sebuah simbol di ranah publik dan seolah ingin mengatakan bahwa “teks-teks” dari agama tersebutlah yang paling benar dan oleh karenanya kami atas nama Tuhan dan agama, akan melakukan penghancuran [mis. FP* yang sering sekali melakukan tindakan kekerasan dengan membawa simbol-simbol agama, baik dalam bentunya yang verbal maupun simbol-simbol dalam bentuk bendera, logo yang berbau agama]


Bacaan: Michael Walzer, Interpretation dan Social Criticism, Chapter 1-2 (pp. 3-66)



[1] Lih. Julianus Mojau, “Mempertimbangkan Teologi Politik Minoritas Notohamidjojo” dalam Jurnal Teologi Proklamasi (Jakarta: STT Jakarta, 2003)

Kamis, 16 September 2010

Menggali kembali gagasan pasifisme Kristen


Bagi saya sendiri, kekerasan adalah bencana, dan yang namanya bencana, ia butuh bantuan ‘segera’ dan ‘mendesak’ untuk diselesaikan. Mengapa? Karena kekerasan hanya akan mengakibatkan luka, tidak hanya pada pihak korban tetapi kepada ke’manusia’an itu sendiri. Kekerasan, dalam bentuk apapun adalah sikap merendahkan ke’manusia’an itu sendiri, yang justru oleh Tuhan, dibentuk ‘segambar’ dan ‘serupa’ dengan Dia. ketika kita melakukan kekerasan, bagi saya itulah ketika kita merusak gambar Allah yang ada dalam diri kita. Apalagi dalam masyarakat yang sangat majemuk dan heterogen, seperti Indonesia, kekerasan mudah sekali muncul, terutama karena ‘saat ini’ kekerasan sudah tidak lagi bertalian dengan apakah seseorang beragama apa tidak, toh semua orang [dari pengamatan saya] punya potensi untuk melakukannya. Apalagi jika sudah terkait dengan berbagai macam kepentingan entah itu ekonomi dan kekuasaan.

Saya melihat bahwa keKristenan yang kita dapati sekarang kenyataan telah dipengaruhi oleh persoalan politis dan kekuasaan. Di awal keKristenan, keKristenan jelas adalah pasifisme. Mereka menjunjung tinggi sikap Yesus yang tak melakukan perlawanan apapun bahkan ketika kesempatan itu datang. Yang dilakukannya justru melampaui apa yang normatif. Memang kita perlu melihat bagaimana konteks gereja perdana waktu itu yang berhadapan keyakinan-keyakinan mereka berhadapan dengan banyak hal semisal kekaisaran romawi, penganiayaan yang terjadi sampai keyakinan akan ‘eskatologis’. Terlepas dari penafsiran kita seperti apa, saya kira memang benar Yesus adalah seorang pasifisme sejati. Gerakan kepada ‘gerakan tidak melakukan perlawanan’. Tetapi gerakan pasifisme sendiri perlu didengar bahkan perlu diteriakkan besar-besaran di tengah-tengah masyarakat sekarang ini yang sudah menganggap biasa tindakan kekerasan.

Namun, ketika keKristenan bercampur dengan politik, terkhusus ketika keKristenan mendapat tempat yang sungguh amat agung sebagai agama negara, maka keKristenan tidak lepas dari dunia politis. KeKristenan sekarang ini menjadi agama politik karena kebijakannya sedikit banyak dipengaruhi oleh sikap negara dan pemegang kekuasaan [Kaisar], apalagi ketika itu berhubungan dengan dominasi kekaisaran Roma [Roman Emperor] sebagai sebuah kekaisaran yang sedang berhadapan dengan banyak musuh. Maka sejarah akhirnya mencatat bagaimana kemudian bentuk pasifisme itu berusaha di’modofikasi’ sedemikian rupa, yang akhirnya melahirkan bentuk penyesuaian pasifisme itu sendiri dengan kenyataan bangsa Roma yang sedang ber’perang’ dengan musuh. Karakter kekaisaran Roma inilah yang akhirnya menjadi sejarah keKristenan selanjutnya. Mentalitas menantang musuh, mentalitas ingin mendominasi akhirnya menjadi karakter keKristenan. Ruh pasifisme tertelan oleh semangat dominasi kekuasaan dan pihak tak mau kalah [lihatlah bagaimana perang salib justru dikobarkan dengan membawa panji keagamaan]

Logika berpikir kita mesti diubah sedemikian rupa. Menurut saya kita harus menerapkan logika berpikir Yesus. Logika berpikir kita sekarang ini adalah bahwa perang [dan tindakan sejajar seperti tindakan kekerasan dengan alasan militer] akan dapat menyelesaikan masalah. Maka yang terjadi, kita terbiasa menempuh jalan berpikir ini sebagai ‘langkah pertama’. Di benak kita sudah terbiasa berpikir seperti ini, apalagi di tengah beredarnya film-film bergenre perang, yang selalu mengisahkan perang dan pengerahan kekuatan militer dianggap sebagai sesuatu yang baik. Kita diarahkan berpikir seperti ini sampai sekarang. Kalau dulu legitimasi didapat dari gereja yang berselingkuh dengan negara, sekarang secara tidak sadar, legitimasi itu sebenarnya didapat lewat media yang membenarkan dan menganggap biasa dan [bahkan] memberhalakan perang dan kekerasan.

Maka menurut saya, logika yang kita pakai adalah logika berpikir Yesus. Yesus tidak pernah menerapkan kekerasan sebagai cara dia menghadapi lawannya. Padahal, ia hidup di tengah-tengah masyarakat Israel yang masih hidup di bawah penjajahan Roma. Tentu, bisa saja sikap nasionalistiknya muncul seperti kelompok zelot. Ia bisa saja memilih sikap seperti kebanyakan orang Indonesia yang geram dengan Malaysia dengan menyerang dan mengobarkan perang dengan negara yang katanya serumpun itu. Belum lagi Yesus yang seorang Yahudi, tentu Ia sangat paham dengan kitab perjanjian lama yang berisikan kisah-kisah kepahlawanan dan perang. Tetapi mengapa ia tidak memilih itu? Apakah Yesus bukan seorang Yahudi tulen ataukah Ia tidak senasionalistik kelompok zelot. Bagi Yesus, ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menunjukkan bahwa lawan-lawannya bisa dikalahkan bukan dengan cara melegalkan kekerasan tetapi justru menunjukkan kepada siapapun, entah kepada penjajahan Roma entah dengan mush-mush yang sebangsa dengan dia, bahwa kekerasan hanya bisa dilawan dengan menghayati hidup sebagai seorang yang tidak setuju dengan kekerasan itu sendiri. Jadi logika berpikir Yesus adalah logika yang tidak ‘terlebih dulu’ memilih jalan kekerasan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalahnya. Itu dibuktikan Yesus dengan tanpa melakukan perlawanan ketika ia ditangkap sampai kepada ia disalibkan. Gerakan nir kekerasan inilah yang dihayati oleh orang kristen perdana.

Logika berpikir perang dan kekerasan juga terbukti tidak pernah menyelesaikan masalah. Perang dan kekerasan akan selalu melahirkan masalah-masalah yang baru. Kita bisa melihat ini dengan kasat mata dengan apa yang terjadi dengan keinginan oleh USA dibawah kepemimpinan Bush untuk menciptakan perdamaian dengan Irak dan Afganistan. Kampanye against terror telah melahirkan sebuah paradigma berpikir bahwa teror bisa dikalahkan dengan mengobarkan perang dan memakai tindakan kekerasan. Tetapi apakah berhasil? Kita bisa melihat Irak sekarang yang bertambah parah dan agfanistan yang tak pernah sepi dengan bom. Justru hal sebaliknya terjadi dengan Gandi yang menerapkan sikap pasifisme dalam melawan penjajahan Inggris dan berhasil.

Apalagi saya melihat bahwa ada kesempatan yang besar bagi komunitas Kristen yang sekarang ini tidak terlibat langsung dan berhubungan dengan negara sebagaimana terjadi di zaman Konstantin. Artinya, komunitas Kristen bisa dengan lebih greget untuk memperjuangkan masyarakat yang nir kekerasan dimulai dari gereja sendiri. Dengan tak berhubungan dengan negara secara langsung dan kesempatan untuk berselingkuh dengannya sedikit, maka gerakan nir kekerasan harus dapat mengimbangi gerakan yang mengutamakan kekerasan sebagai jalan menyelesaikan masalahnya. Seperti Yesus yang mengubah paradigma di zamannya, selalu ada jalan lain yang bisa di tempuh di luar jalan angkat senjata. Seperti membangun diplomasi. Atau kita bisa belajar dari seorang KH. Ahmad Dahlan yang melawan kolonialisme dengan pendidikan, bukan dengan kekerasan.

Maka yang mau saya katakan adalah, sebagai sebuah komunitas yang [katanya] melanjutkan ke’teladan’an Yesus, harus dapat mengimbangi masyarakat yang menganggap bahwa perang, dan kekerasan sebagai yang baik untuk ditempuh. Selalu ada jalan yang bisa ditempuh di luar perang dan kekerasan. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita bisa menghayati keteladanan Yesus dan belajar dari gerakan keKristenan perdana yang pasifis.

sumber gambar: pixabay.com

Jumat, 08 Mei 2009

memulihkan kembali martabat manusia dengan tidak melakukan kekerasan [terhadap perempuan]

Manusia dilahirkan dalam sebuah komunitas tertentu, yang pada dasarnya merupakan sebuah tempat bagi dia untuk [bisa] berkembang ataupun [bisa] tidak. Komunitas bisa saja, dalam perkembangannya menyebabkan setiap individu mampu untuk mengembangkan dirinya ataupun sebaliknya. Tidak terkecuali perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang pada hakekatnya bisa berkembang dan patut dikembangkan. Potensi-potensi ini adalah anugerah yang diberikan Tuhan, tanpa memandang, entah itu laki-laki ataupun perempuan.

Tetapi, dalam perkembangannya, masyarakat mencoba membatasi ruang gerak, untuk mengembangkan potensi-potensi ini, terutama bagi perempuan yang menurut mereka lemah dan [seharusnya] tidak perlu lagi untuk mengembangkan potensinya. Alasan-alasan tertentu diciptakan, misalnya bahwa perempuan itu kebanyakan lemah, sensitif, yang kemudian (mitos semacam ini) berkembang menjadi sebuah norma ataupun tradisi yang menutup kesempatan bagi perempuan untuk dilihat sebagaimana adanya, sama dengan laki-laki. Akibatnya perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama, seperti laki-laki-entah itu dalam hal (keadilan) mendapatkan pekerjaan, (keadilan) dalam hal bersuara, (keadilan) dalam masyarakat dsb.

Akibat lain yang karena steorotip tersebut, muncullah sikap tidak menghargai perempuan, karena dunia patriakhal yang telah mendukung kedudukan laki-laki dan menempatkan mereka dalam posisi yang lebih. Maka muncullah kekerasan terhadap perempuan, yang sering kali terjadi tanpa perlawanan (misalnya lewat hukum; terjadi misalnya karena ada tekanan, takut, dan berbagai tekanan lainnya).

Di Indonesia, yang katanya negara religius, kekerasan terhadap perempuan menjadi sebuah peristiwa yang sudah seringkali terjadi, bahkan sampai sekarang. Kekerasan ini bermunculan dalam berbagai bentuk, misalnya fisik : pemukulan, penganiayaan dan pemerkosaan, dan juga dalam bentuk psikis. Kekerasan-kekerasan seperti ini seakan-akan mau mengatakan kepada kita bahwa perempuan memang tidak berdaya dalam menghadapi hal-hal seperti ini. Seperti yang diungkapkan Mira Diarsi dari Komnas Perempuan, telah terjadi semacam siklus kekerasan, dimana korban kekerasan [perempuan] telah dimanipulasi dengan janji dan permohonan minta maaf dari pelaku (mis: suami), tetapi ini justru terjadi berulang-ulang. Juga terjadi kekerasan lain, misalnya kekerasan ekonomi, dimana perempuan karena sangat tergantung kepada suaminya, maka sangat rentan terhadap kekerasan.

Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan merupakan tindakan yang sangat tidak adil dan patut mendapat perhatian. Bagaimanapun perempuan adalah sama dan setara dengan laki-laki, dan karenanya punya hak dan kebebasan serta patut dihargai. Penghargaan terhadap perempuanlah yang dibutuhkan, agar dalam melihat perempuan tidak lagi berdasarkan kacamata stereotip yang telah berkembang dalam masyarakat (yang seringkali menyesatkan), melainkan karena dia adalah manusia yang memang [harus] dihargai.

Dibutuhkan kesediaan kita, baik pihak perempuan maupun laki-laki, untuk bersama-sama melawan kekerasan semacam ini. Perempuan sudah seharusnya menyuarakan penentangan terhadap hal-hal yang seperti ini, bukannya bungkam dan diam menerima kekerasan sebagai bagian dari hidup yang harus ia jalani. Memang agak susah, apalagi dengan tekanan-tekanan dari luar. Tapi, setidaknya semangat itu (pertama-tama) harus ditumbuhkan, dengan memposisikan dirinya sebagai manusia yang tidak pantas menerima perlakukan semacam ini. Begitu pula adanya kesediaan laki-laki untuk memahami perempuan sebagai teman, sahabat dan patner bersama untuk mewujudkan dunia yang damai, bukannya menciptakan jarak dan jurang terhadap perempuan dengan menganggap mereka sebagai kaum yang harus di "tindas" dan di "nomorduakan".

Perlawanan terhadap kekerasan semacam ini adalah tugas kita bersama dalam rangka pemulihan martabat manusia secara terus-menerus.