Kamis, 24 Desember 2009

Aku itu disebut “Nama”


Harusnya ya, nama kita itu didefenitifkan pas kita lagi gede dan sudah bisa memilih sendiri. Masa setiap kali namaku disebut di kelas, teman-teman pada ngetawain. Payah.

Aku sendiri tidak dimintai persetujuan untuk nama ini. Benarkah ini sebuah bentuk dominasi orang tua atas anaknya? Benarkah apa yang dikatakan Foucalt bahwa nama terlahir karena adanya dorongan untuk menguasai? Saya tak tahu. Yang jelas, nama ini membuatku gila. “lha namamu siapa sih?”......



Nama. Ya, setiap orang tentu punya nama. Tak seperti binatang yang biasa dipanggil dengan jenisnya, manusia memiliki keunikan karena setiap “manusia” punya nama. Keunikan ini menjadi salah satu pertanda yang membedakan manusia dengan yang lain.

Pembedaan inilah yang kemudian [kadang kala] direduksi ke dalam penyamaan akan si empunya nama. Keunikan ini dipakai untuk mengekang, mendominasi bahkan dengan serta menganggap bahwa nama “sangat mungkin” mewakili si empunya nama.


Pertanyaannya adalah apakah nama bisa mewakili diri yang sangat rumit dan kompleks, yang setiap saat bahkan bisa berubah dan susah untuk ditebak? Nama merupakan simbol kepada sang diri. Ketika menyebut nama, kita ingat siapa yang diwakili oleh nama. Tetapi jelas, bahwa nama itu tidak bisa mewakili keseluruhan diri si empunya nama. Ia hanya menjadi tanda daripada sekedar simbol.

Sebagai penunjuk, nama hanyalah memberi ciri tentang siapa si empunya nama. Tetapi dengan nama, kita tidak bisa mereduksi si empunya nama seolah-olah nama adalah keseluruhan identitas si empunya nama. Maka yang unik, menurut saya adalah diri bukan nama.


Kita tidak bisa menyederhanakan diri ke dalam nama. Karena ke”unik”an diri, maka nama tak mampu mewakili keunikan itu. Maka jono tidaklah bisa mewakili keunikan diri sang jono. Bahkan Mikhael, Jane dan Katheryn [modern dan barat] tidak menjamin ke”unik”an si empunya nama. Maka heran juga jika ada orang yang mencoba menyembunyikan namanya hanya karena namanya tidak indo. Malah ada orang yang merubah namanya demi popularitas semata” kata temanku.

Saya kasih contoh. Anda mungkin senang mendengar nama Markus, Iqbal dan sederet nama religius. Nama yang suci murni dan tak berdosa. Namun, ketika anda melihat Markus ketangkap basah sedang mengutil, apakah anda akan kecewa. “masa nama Markus mencuri” kata temanku. Mengapa? Karena anda sudah punya persepsi sendiri tentang nama Markus.


Padahal si empunya nama tidaklah menunjukkan sepenuhnya siapa si empunya nama, tingkah laku dan karakternya. Markus adalah nama. Si empunya nama yang kebetulan punya nama Markus. Maka nama “markus” tidak menjamin bahwa anda akan mengenal si empunya nama dengan kategori suci dan tak berdosa. Mungkin di tempat lain anda akan mendapati nama Markus dengan kategori anda. Tetapi yang jelas, anda tidak boleh mereduksi si empunya nama ke dalam nama. Bahkan saya mencurigai jangan-jangan si Markus malah tidak tahu siapa dirinya sendiri...hahahahah...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar