Tampilkan postingan dengan label Pluralisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pluralisme. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 Juli 2011

Mengapa Anders Breivik tidak disebut Teroris?

Oslo, Norwegia sebuah negara yang dikenal damai dan aman dihentakkan dengan sebuah serangan membabi buta dari seorang yang bernama Andres Breivik. Kurang lebih 76 orang menjadi korban penembakan dan bom yang ‘katanya’ dirancang sendiri oleh Breivik. Sebagian masyarakat dan media di Indonesia pun terkejut dengan aksi seorang Breivik karena dilakukan di negara yang selama ini dikenal ‘aman dan damai’. Namun sebagian komentar di beberapa forum dan milis justru tidak begitu terkejut dengan aksi ini. Mengapa? Mereka yang pernah tinggal di Eropa ternyata paham betul bahwa masyarakat Eropa sekarang ini begitu sensitif dengan isu ras dan para imigran yang berasal dari negara-negara berkembang. Tak heran jika sebagian masyarakat Eropa justru mendukung dan memberi simpati kepada Breivik (Kompas 28 Juli 2011). Alasan soal ‘membanjirnya’ imigran itulah yang diduga motif dari penyerangan dari seorang yang bernama Breivik.

Perhatian saya tidak tertuju pada motifnya tetapi pada sebutan yang dikenakan kepada Breivik. Awalnya media berspekulasi bahwa yang melakukan ini adalah kelompok garis keras dalam islam, kemudian ekstrim sayap kanan dan terakhir disebut Kristen Fundamentalis (Kompas 25 Juli 2011). Penyebutan tentang siapa dan dari kelompok mana Breivik jelas ‘agak’ bermasalah buat saya. Penyebutan kelompok tertentu yang dikaitkan dengan Islam yang diduga di belakang penyerangan tersebut adalah sebuah ‘keberhasilan’ dari usaha cuci otak yang dilakukan AS dan sekutunya dengan slogan ‘war on terror’. Setiap ada insiden penyerangan atau bom, masyarakat selalu mencurigai ‘jangan-jangan pelakunya adalah seorang garis keras dari kalangan tertentu’. Sebut saja Al-Qaida, JI dan berbagai organisasi yang seideologi dengannya. Keberhasilan cuci otak ini oleh Yasraf Amir Pilliang lewat bukunya Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial disebut sebagai ideologisasi teror. Dia mengatakan “Ideologisasi teror adalah penggunaan mekanisme oposisi biner (binary opposition) dalam rangka menciptakan kategorisasi siapa yang teroris dan siapa yang bukan teroris berdasarkan logika paralogisme. Logika ini misalnya :’oleh karena yang teroris adalah Al-Qaeda maka kami jelas bukan teroris’”. Melalui mekanisme biner inilah masyarakat global dipengaruhi secara psikologis seperti nampak dalam slogan ‘war on teror’ yang diusung Bush dan (parahnya) Indonesia juga ngekor di dalamnya!

Yang mengherankan mengapa istilah yang sama tidak dikenakan kepada Breivik? Mengapa dia tidak disebut sebagai teroris? Apalagi dengan penyebutan ‘fundamentalis’ kepada Breivik dan bukan teroris. Apakah tidak semestinya seorang teroris lahir dari kalangan Kristen. Bukankah dalam sejarah gereja yang kelam dan gelap itu juga bermunculan teror yang tidak kalah hebatnya dengan Osama? Inilah yang saya lihat bagaimana masyarakat Eropa termasuk medianya memandang bahwa apa yang dilakukan Breivik tidak bisa dimasukkan dalam kegiatan terorisme oleh karena ia bukan dari kalangan garis keras seperti Al-Qaida. Mekanisme oposisi biner berhasil dilakukan dalam kasus Breivik: Oleh karena Breivik bukan seorang/bagian dari Al-Qaida atau yang berideologi sama dengannya, maka kegiatan teror yang dia lakukan bukanlah kegiatan seorang teroris. Padahal apa yang dia lakukan jelas-jelas adalah kegiatan seorang teroris!

Breivik jelas adalah peneror masyarakat Norwegia dan mungkin masyarakat Eropa. Namun, di balik itu sejarah teror telah membuktikan bahwa realitas teror selama ini telah digiring ke dalam “kesadaran palsu” dimana terjadi “konotasi distortif” yang menggiring masyarakat global termasuk Indonesia ke dalam “pengelompokkan” kelompok tertentu sebagai teroris. Hal ini dilanggengkan misalnya melalui propaganda media massa yang membentuk terus-menerus kesadaran masyarakat bahwa yang dimaksud dengan teroris adalah kelompok tertentu saja. Sebagiamana citra teroris telah berhasil ditempelkan pada diri seorang Osama dan organisasinya Al-Qaida ataupun yang terkait dengannya.

Labelisasi teroris adalah kegemaran AS dan sekutunya. Namun labelisasi ini pulalah yang mesti menyadarkan kita bahwa kegiatan teror ataupun teroris bisa lahir dari mana saja, termasuk dari kalangan Kristen sendiri. Bukankah kegiatan teroris justru dilakukan oleh mereka yang katanya beragama? Jika kita masih beranggapan bahwa kegiatan teror terkait dengan Al-Qaida dan teman-temannya saja, maka mungkin kita memang sudah termakan ‘mekanisme oposisi biner’ buatannya AS dan sekutunya. Ahmad Syafii Maarif dalam buku Menggugat terorisme: Pendapat Para Pengamat dan Tokoh menuliskan :”Ini penting, sebab bila upaya pemberantasan terorisme dilakukan secara serampangan, dengan memberikan label teroris pada kelompok masyarakat tertentu misalnya, justru merupakan aksi terorisme tersendiri”. So, semua yang berbau teror, entah itu dilakukan oleh seorang Breivik, penindasan bangsa Palestina oleh Israel, dan perang melawan teror AS dan sekutunya dengan ‘menciptakan’ teror adalah tindakan teroris. Ini pendapat saya!

Senin, 25 Juli 2011

Kristen Fundamentalis dan permasalahannya

Di negara dengan mayoritas Muslim seperti Indonesia, yang namanya Kristen Fundamentalis jarang terdengar. Padahal yang namanya fundamentalis itu lahir dari sejarah kekristenan/gereja. Tepatnya pada abad ke 19 dan awal abad 20. Pada awalnya, fundamentalis di dalam gereja muncul sebagai counter terhadap ilmu pengetahuan yang berkembang pesat. Akibatnya gereja kurang PD terhadap perkembangan tersebut bahkan melabeli ilmu pengetahuan dengan banci ataupun sesat. Sikap gereja tersebutlah yang kemudian menafikkan keberadaan akal sebagai yang bertentangan dengan Allah dan Alkitab. Di dalam dunia Biblika, mereka juga menolak adanya pendekatan kritis (misalnya historis-kritis) terhadap Alkitab. Alkitab haruslah dipahami secara harafiah karena Alkitab tidak pernah salah.

Dalam buku Fundamentalisme, agama-agama, dan teknologi dituliskan bahwa ada sebuah anekdot terkenal tentang Kitab Yunus yang mengatakan :”sekiranya pun tertulis di dalam Alkitab bahwa Yunus yang menelan ikan paus itu, saya percaya!” Maka menurut buku ini, kelompok fundamentalis yang paling diutamakan adalah doktrinnya tentang Alkitab bahwa Alkitab itu tidak pernah salah dalam hal apapun. Konfrontasi dengan lingkungan seperti perkembangan ilmu pengetahuan (di AS misalnya Darwin) adalah hal yang dianggap sah karena mereka memposisikan diri sebagai pembela kebenaran dari wahyu Allah. Musuh mereka jelas: Ilmu pengetahuan, modernisasi, dan sekularisme. Sehingga jika ada sebuah kekuatan yang mengancam Alkitab apalagi meragukannya, mereka akan ‘pasang badan’ untuk melawan ancaman tersebut.

Namun seorang James Barr mengatakan bahwa pada kenyataannya kelompok fundamentalis ini sebenarnya tidak menolak modernitas bahkan sains modern karena di Inggris para pengikutnya juga merupakan para ilmuwan (saintis). Hal ini misalnya terjadi pada pembuktian kain kafan Turin yang dibela mati-matian melalui pembuktian saintifis bahwa kain tersebut merupakan kain yang pernah dipakai sebagai kain kafan Yesus. Jadi para saintis ini sebenarnya ingin membuktikan bahwa kebangkitan tubuh Kristus secara jasmani adalah benar dan oleh karena itu kebangkitan Yesus di dalam Injil adalah juga benar dan harus dipahami secara harafiah. Ini jugalah yang terjadi di AS dimana sebagian tokoh fundamentalis tidak lagi sejiwa dengan temannya yang lain karena sebagian dari mereka justru anti-inteletualisme. Inilah yang kemudian melahirkan Asosiasi Evangelical Nasional pada tahun 1941.

Peter Berger adalah salah satu pendukung tesis ‘teori sekularisasi’ pada tahun 1950an dan 1960an. Tesis ini secara sederhana mau mengatakan bahwa agama akan tersingkir dari masyarakat seiring dengan perkembangan teknologi dan modernitas. Bersama Harvey Cox yang terkenal dengan bukunya “secular city’ melihat bahwa bahwa masa depan agama terletak pada gerakan-gerakan akar rumput, seperti fundamentalisme, Pentakostalisme dan teologi pembebasan. Tetapi apa yang terjadi sekarang justru adalah kebalikan dari tesis ‘teori sekularisasi’ tersebut. Agama pada saat sekarang ini justru semakin berkembang dan mengalami kebangkitan yang luar biasa. Berger mengatakan "the assumption we live in a secularized world is false.... The world today is as furiously religious as it ever was." Berger justru melihat bahwa agama mampu mengembangkan identitasnya sendiri dengan berbagai kepercayaan dan praktek-praktek agamanya masing-masing. Hal ini juga nampak dalam apa yang disampaikan oleh David Martin tentang betapa berkembangnya orang-orang Protestan Evangelis khususnya di Afrika dan Amerika Selatan. Martin sebagai seorang Sosiolog menemukan dan melaporkan bahwa kontribusi paling kuat dari gerakan Injili adalah penciptaan mereka terhadap asosiasi sukarela yang cenderung mendorong demokrasi dan bukan totalitarianisme atau upaya menciptakan "masyarakat Kristen."

Jadi pada satu sisi kaum fundamentalis sebenarnya melihat ilmu pengetahuan sebagai ancaman tetapi pada satu sisi mereka justru memakai ilmu pengetahuan untuk mendukung kebenaran yang mereka yakini. Inkonsistensi inilah yang agaknya membuat kita bingung apakah sebenarnya yang namanya fundamentalis agama itu benar-benar menolak akal dan ilmu pengetahuan? Agaknya tidak. Mereka hanyalah orang-orang yang merasa terancam dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang makin meminggirkan agama dari dunia. Sekularisasi dan modernisasi? Berger membuktikan bahwa sekularisasi dan modernisasi yang juga ditentang oleh kaum fundamentalis justru melahirkan identitas keagamaan yang beragam. Klaim (yang juga tentu berasal dari fundamentalis) bahwa agama akan tersingkir juga tidak terbukti benar.

Minggu, 17 Juli 2011

Pantaskah kaum puritan disebut puritanisme agama?

Mereka yang menyebut diri sebagai puritan agama mengklaim diri sebagai gerakan yang paling benar dan murni. Puritan berasal dari kata pure yang berarti murni. Oleh Leonard Held dalam bukunya Jujur Terhadap Pietisme: Menilai Kembali Reputasi Pietisme dalam Gereja mengatkan bahwa isilah ini dipergunakan sekitar tahun 1560 untuk satu aliran yang dianggap terlalu keras. Aliran ini menganggap diri sebagai yang murni dibanding dengan gereja resmi waktu itu. Lebih lanjut Held juga menuliskan bahwa aliran ini sangat menekankan peranan alkitab dibanding dengan tradisi gereja yang waktu itu memang menjadi ciri khas dari gereja resmi.

Hal ini sejalan dengan apa yang dituliskan oleh A.M Hendropriyono dalam bukunya Terorisme. Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam mengatakan bahwa ‘puritanisme merupakan aliran keras yang terdapat dalam gereja Anglikan Inggris pada abad ke-16. Kaum puritan ingin membesihkan atau mempurifikasi gereja dari sisa-sisa pengaruh agama katolik yang telah dimusuhinya’. Jadi sudah sejak abad ke-16, puritanisme agama muncul. Namun dalam perkembangannya istilah ini kemudian mewarnai gerakan keagamaan dalam semua kelompok yang ingin mengembalikan kemurnian agama. Biasanya kelompok ini menafsir kitab sucinya secara literal dan a-historis.

Gerakan puritanisme agama berusaha ‘menggeser’ pandangan-pandangan yang berlawanan dengan mereka.. Biasanya kata yang keluar dari kelompok ini untuk menggeser pandangan yang lain adalah ‘kafir’, sesat dan bid’ah. Inilah kata yang dipakai sebagai labelisasi kelompok yang berbeda dengan mereka. Padahal, kaum puritan sendiri juga ‘menafsir’ dari kacamata mereka. ‘Kemutlakkan’ sebenarnya hanyalah merupakan pembenaran terhadap keyakinan mereka. Inilah makanya puritanisme agama lebih dekat dengan istilah fundamentalisme agama yang ingin mengembalikan agama pada sesuatu yang dasar atau fundamen.

Puritanisme agama sebenarnya hanyalah ortodoksi yang berlebihan dari sebuah persepsi dan bukan kebenaran itu sendiri. Maka kalangan puritan atau pemurnian agama ini sebenarnya tidak pantas disebut puritan karena ia hanya mempersepsikan sesuatu berdasarkan ‘enggel’ atau sudut pandang keyakinan sendiri. Contohnya: jika saya menganggap bahwa gajah itu adalah ekornya, itukan sebenarnya hanya persepsi. Karena ekor sebagai gajah hanyalah interpretasi dari seekor gajah. Inilah yang oleh kalangan puritanisme agama disebut sebagai puritanisme atau pemurnian. Padahal dasar klaim mereka hanyalah dari sebuah persepsi dan bukan kebenaran itu sendiri.

Maka dari itu, tidak pantaslah menurut saya menyebut kaum puritan sebagai gerakan puritanisme agama. Karena bagaimana pun gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap kelompok-kelompok lain yang ada di luar dirinya dan juga pengaruh perkembangan manusia itu sendiri dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Juga karena kelompok ini tidaklah berbeda dengan yang lainnya yang juga melahirkan ‘keyakinan’ atas dasar persepsi dan tafsir atas kebenaran itu sendiri.

Kelompok-kelompok keagamaan lain haruslah dipandang sebagai wahana-wahana keselamatan dari Allah yang mengambil bentuk yang berbeda dalam setiap agama. Perbedaan sudut pandang melahirkan pula gagasan dan konsep yang berbeda dari kebenaran itu sendiri. Maka perbedaan haruslah dipandang sebagai sesuatu yang menggembirakan.

sumber gambar: pixabay.com

Minggu, 24 April 2011

Puisi Paskah (Oleh : Ulil Absar Abdala)


Ia yang rebah,
di pangkuan perawan suci,
bangkit setelah tiga hari, melawan mati.
Ia yang lemah,
menghidupkan harapan yg nyaris punah.
Ia yang maha lemah,
jasadnya menanggungkan derita kita.

Ia yang maha lemah,
deritanya menaklukkan raja-raja dunia.
Ia yang jatuh cinta pada pagi,
setelah dirajam nyeri.
Ia yang tengadah ke langit suci,
terbalut kain merah kirmizi: Cintailah aku!

Mereka bertengkar
tentang siapa yang mati di palang kayu.
Aku tak tertarik pada debat ahli teologi.
Darah yang mengucur itu lebih menyentuhku.

Saat aku jumawa dengan imanku,
tubuh nyeri yang tergeletak di kayu itu,
terus mengingatkanku:
Bahkan, Ia pun menderita, bersama yang nista.

Muhammadku, Yesusmu, Krisnamu, Buddhamu, Konfuciusmu,
mereka semua guru-guruku,
yang mengajarku tentang keluasan dunia, dan cinta.

Penyakitmu, wahai kaum beriman:
Kalian mudah puas diri, pongah,
jumawa, bagai burung merak.
Kalian gemar menghakimi!

Tubuh yang mengucur darah di kayu itu,
bukan burung merak.
Ia mengajar kita, tentang cinta,
untuk mereka yang disesatkan dan dinista.

Penderitaan kadang mengajarmu
tentang iman yang rendah hati.
Huruf-huruf dalam kitab suci,
kerap membuatmu merasa paling suci.

Ya, Jesusmu adalah juga Jesusku.
Ia telah menebusku dari iman,
yang jumawa dan tinggi hati.
Ia membuatku cinta pada yang dinista!

[Saya ndak habis pikir seorang muslim seperti Mas Ulil bisa membuat puisi sedalam itu. Aku sendiri yang seorang Kristen (baca: pengikut Kristus) tak bisa merefleksikan Yesus yang mati dan bangkit itu dalam puisi yang menyentuh seperti ini. Semoga Allah yang berkuasa itu menyertai Mas Ulil dalam perjuangan untuk terus membela keberagaman di atas tanah air yang kita cintai bersama ini :D ]

sumber: http://www.facebook.com/?ref=hp#!/notes/peduli-yasmin/puisi-paskah-oleh-ulil-absar-abdala/192794757426557

Rabu, 20 April 2011

Franky: Rumah Kita Pancasila

Aku sendiri tak mengenal dengan baik musisi yang satu ini. Terkenal sih, cuman belum jadi salah satu penggemarnya (fanslah mungkin bahasa kerennya). Meski aku tahu bahwa dia adalah seorang penyanyi kondang dan terkenal bersahabat dengan semua orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Franky Sahilatua hari ini mengakhiri perjalanannya di dunia dengan meninggalkan sebuah prasasti (setidaknya buat aku) akan kenyataan bahwa bangsa ini memang berdiri di atas keberbedaan :)

Salah satu lagu dari Franky yang mungkin aku sendiri ndak begitu kenal berjudul ‘Rumah Kita PancasiLa’. Nah, seorang teman memberitahukan kepada saya melalui FB bahwa lagu ini pernah dibawakan oleh Glenn Fredly dalam rangka mendukung perjuangan GKI Taman Yasmin di Bogor yang selama ini (sepertinya) mendapat perlakuan kurang adil terkait pembangunan gereja di tempat tersebut meskipun sudah mendapat keputusan tetap dari MA.

Pancasila rumah kita, rumah untuk kita semua
Nilai dasar Indonesia, rumah kita selamanya
Untuk semua, puji namaNya
Untuk semua, cinta sesama
Untuk semua, warna menyatu
Untuk semua, bersambung rasa
Untuk semua, berbagi rasa
Bagi setiap insan, sama dapat sama rasa

Videonya disini