Rabu, 09 Desember 2009

MencinTai


Bagi orang Kristiani, Yesus Kristus adalah sosok ideal yang berjuang di tengah ketidakadilan, khususnya di dalam keberpihakannya terhadap orang miskin. Pada saat dunia dimana Ia berada, yang justru memberikan penekanan kepada kekudusan dan hukum yang ketat, dengan lemah lembut dan penuh perhatian Yesus justru menyapa mereka, bergaul dengan mereka dan berusaha untuk menghibur mereka. Ditengah-tengah penderitaan sekarang ini, banyak kita jumpai orang miskin dan gelandangan, orang yang kurang beruntung mendapatkan pekerjaan karena ketiadaan ketrampilan yang disebabkan ketidak-mampuan untuk membiayai sekolah dsb. Ketika saya melewati jalan di bawah jembatan layang Lempuyangan, jarang sekali saya merenung dan membiarkan diri saya bertanya, mengapa bisa seperti ini! Sebagai mahasiswa yang katanya punya “idealisme” yang saya lihat justru ketidakmampuan pemerintah untuk mengelola keuangan negara yang akhirnya dana dan jatah untuk rakyat miskin, pemberdayaan orang yang tidak mampu, dan biaya pendidikan untuk orang yang kurang mampu tidak tersalurkan bahkan dikorupsi “ramai-ramai”. Kadang kala saya juga menyalahkan gereja yang kurang aktif dalam pemberdayaan kaum miskin dan terkesan hanya sibuk dengan arsitektur gereja, penambahan alat musik, pembangunan gedung ibadah dsb. Tetapi itu semua justru mencerminkan adanya ketidakmampuan dalam diri saya sendiri yang mengkambing-hitamankan pemerintah dan gereja menuju kepada kesadaran akan diri saya sendiri: Apa yang telah saya lakukan dan apa yang akan saya lakukan?

Ibu teresa telah membuktikan kata-kata Yesus tersebut. Ia, sampai kematiannya dikenal sebagai orang yang hidupnya dikaruniakan untuk orang miskin dan yang kurang mendapatkan kasih sayang. Ibu Teresa adalah sosok [paling] ideal yang bagi saya untuk sekarang ini hanya bisa dijumpai dalam film. Maksudnya sosok yang mengamini kasih Yesus seperti ini justru sangat susah dicari. Tetapi pertanyaannya adalah apakah mengamini dan meneladani kasih Yesus harus seperti Ibu Teresa? Bisa ya! Tetapi pertanyaan yang mungkin tepat adalah apakah yang sudah, sedang, dan akan saya lakukan? Ibu Teresa mengatakan “Allah mengasihi kita dan senantiasa menggunakan Anda dan saya untuk menyalakan terang cinta kasih di dunia. Biarlah terang kebenaran-Nya ada dalam diri Anda sehingga Allah dapat terus-menerus mengasihi dunia melalui Anda dan saya. Bersemangatlah untuk menjadi sinar yag terang benderang”. Sr. Nirmala mengatakan bahwa kita menjadi “utusan” dalam dunia untuk mengenalkan Allah dan Terang-Nya kepada dunia, dalam cinta kasihNya. Dan inilah yang dilakukan oleh Ibu Teresa, ia menjadi utusan Allah dengan cinta kasih kepada mereka yang termarginalkan dan hidup sebagai orang yang terlupakan.

Aksi (dan) Kontemplasi hendaknya jangan dipisahkan, dengan demikian memberi penekanan hanya kepada salah satunya. Keduanya adalah sejalan karena aksi membutuhkan kontemplasi dan kontemplasi hendaknya jadi nyata dalam aksi. Ibu Teresa adalah seorang kontemplatif sejati karena dengan mata iman, ia memandang realitas Allah yang tersembunyi dalam diri orang-orang miskin. Dalam komuni kudus, ia melayani Dia dalam diri orang miskin, dan kembali dalam doa hening adorasi kepada sakramen Ekaristi. Dan dalam sakramen Ekaristi ini dan dalam sesama ia merasa bertemu dengan Kristus. Ibu Teresa tidak memisahkan antara kontemplasi dengan aksi, namun ia melaksanakan itu menjadi sebuah keutuhan dalam ia menjali keterlibatannya dalam pelayanan Allah dalam diri orang miskin.

Ada kesulitan tersendiri dalam diri saya mengamalkan sabda Allah dalam keintegralan yang dilakukan Ibu Teresa. Bagaimana mungkin saya bisa berbakti di tengah-tengah ketidak mampuanku, kepekaanku dan kesediaanku untuk masuk dalam dunia orang miskin. Namun ia bisa mengatasinya karena ia sadar bahwa yang memberikan kekuatan kepada dia, untuk mengatasi masalah yang seperti ini, tidak lain adalah Kristus yang hadir dalam kerinduan kita untuk menghadirkanNya dalam Ekaristi dan Doa. Ia sadar bahwa keinginan untuk membantu mereka yang termarginalkan adalah usaha yang sia-sia jika tidak ada penguatan dari Kristus sendiri. Itulah yang membuat dia bertahan sampai akhir hidupnya. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Thomas Keating bahwa bakti kepada Allah dilalui dalam praktek Rohani dan pelayanan keluar kepada orang lain. Hanyalah ketika kedua hal itu (aksi dan kontemplatif) berlangsung bersama secara terus-menerus (berdasarkan kebiasaan), maka kita telah melakukan kemajuan yang berarti. Dalam hal inilah kita akan bisa untuk berani mencintai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar