Minggu, 13 Desember 2009

BATAS DOGMA


Pada suatu hari, Sultan Mahmud yang Agung berada dijalan di
Ghazna, ibu kota negerinya. Dilihatnya seorang kuli
mengangkut beban berat, yakni sebungkah batu yang didukung
di punggungnya. Karena rasa kasihan terhadap kuli itu,
Mahmud tidak bisa menahan perasaannya, katanya memerintah:

"Jatuhkan batu itu, kuli."

Perintah itupun langsung dilaksanakan. Batu tersebut berada
di tengah jalan, merupakan gangguan bagi siapapun yang ingin
lewat, bertahun-tahun lamanya. Akhirnya sejumlah warga
memohon raja agar memerintahkan orang memindahkan batu itu.

Namun Mahmud, menyadari akan kebijaksanaan administratif,
terpaksa menjawab.

"Hal yang sudah dilaksanakan berdasarkan perintah, tidak
bisa dibatalkan oleh perintah yang sama derajatnya. Sebab
kalau demikian, rakyat akan beranggapan bahwa perintah raja
hanya berdasarkan kehendak sesaat saja. Jadi, biar saja batu
itu disitu."

Oleh karenanya batu tersebut tetap berada di tengah jalan
itu selama masa pemerintahan Mahmud. Bahkan ketika ia
meninggal batu itu tidak dipindahkan, karena orang-orang
masih menghormati perintah raja.

Kisah itu sangat terkenal. Orang-orang mengambil maknanya
berdasarkan salah satu dari tiga tafsiran, masing-masing
sesuai dengan kemampuannya.

Mereka yang menentang kepenguasaan beranggapan bahwa kisah
itu merupakan bukti ketololan penguasa yang berusaha
mempertahankan kekuasaannya.

Mereka yang menghormati kekuasaan merasa hormat terhadap
perintah, betapapun tidak menyenangkannya.

Mereka yang bisa menangkap maksudnya yang benar, bisa
memahami nasehat yang tersirat. Dengan menyuruh menjatuhkan
batu di tempat yang tidak semestinya sehingga merupakan
gangguan, dan kemudian membiarkannya berada disana, Mahmud
mengajar kita agar mematuhi penguasa duniawi -dan sekaligus
menyadarkan kita bahwa siapapun yang memerintah berdasarkan
dogma kaku, tidak akan sepenuhnya berguna bagi kemanusiaan.

Mereka yang menangkap makna ini akan mencapai taraf pencari
kebenaran, dan akan bisa menambah jalan menuju Kebenaran.

Catatan

Kisah ini muncul dalam karya klasik yang terkenal,
Akhlaq-i-Mohsini 'Akhlak Dermawan,' ciptaan Hasan Waiz
Kashifi; hanya saja tanpa tafsir seperti yang ada dalam
versi ini.

Versi ini merupakan bagian ajaran syeh Sufi Daud dari
Qandahar, yang meninggal tahun 1965. Kisah ini merupakan
pengungkapan yang bagus tentang pelbagai taraf pemahaman
terhadap tindakan; masing-masing orang akan menilainya
berdasarkan pendidikannya. Metode penggambaran tak langsung
yang dipergunakan Sultan Mahmud itu dianut pada Sufi, dan
bisa diringkaskan dalam ungkapan, "Bicaralah kepada dinding,
agar pintu bisa mendengar."

[dari kisah2 sufi tulisan Idris Shah]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar