Tampilkan postingan dengan label refleksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label refleksi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Juli 2011

Siapa bermain di Lumpur?


Beruntunglah Indonesia menang 4-3. meski deg-degan melihat pemain Indonesia yang kocar kacir karena kondisi fisik yang sudah makin menurun di menit terakhir. Tetapi good job Boaz cs. Ribuan penonton yang memadati GBK tentunya mendapat aplos dari permainanmu yang cantik di babak pertama sampai pertengahan babak kedua. Aku dan teman-teman merasa terhibur dengan permainanmu.

Saya jadi ingat, ketika seminggu yang lalu bermain di Turkmenistan. Tak bisa engkau bermain seperti itu. Meski akupun tahu bahwa apalah susahnya mengalahkan tim Turkmenistan di kandang sendiri. Tetapi lapangan yang kondisinya memprihatinkan itu masih bisa engkau taklukan meski hanya bermain imbang 1-1. Akupun tak habis pikir bagaimana mungkin lapangan yang hancur seperti itu bisa menjadi lapangan untuk pertandingan internasional apalagi road to Brazil. Aku pun tak pernah lihat selama LSI (Liga Super Indonesia) dan LPI (Liga Primer Indonesia) lapangan yang sama. Akupun berceloteh dalam hati “lapangan itu hanya bisa disejajarkan dengan lumpur lapindo”. Ah mengapa Lumpur Lapindo? Lapangan yang memprihatinkan itu hanya bisa aku temui di Sidoarjo sana. Waktu itu aku membayangkan Garuda sedang bermain dengan tim Turkmenistan di atas lumpur itu.

Gmana nasib masyarakat Lumpur Lapindo? Mungkin masih memprihatinkan. Korban lumpur adalah manusia yang terlantar oleh perbuatan yang tidak mereka lakukan. Tetapi bukankah itu yang terjadi dengan kemiskinan atas bangsa ini? Banyak dari mereka yang seharusnya bisa mendapatkan hidup yang lebih baik tetapi tindakan sebagian orang yang di atas sono memaksa sebagian masyarakat kita gigit jari. Mau apa lagi? Gigit jari saja sudah sakit apalagi yang lain..dan itu pulalah yang terjadi dengan korban lumpur. Mereka hanya bisa gigit jari dengan janji-janji esbeye dan bakery (kayak roti saja). Tak ada action dari esbeye sebagai yang diberi mandat oleh rakyat (ah itupun jika masih ingatL). Pantesan saja bu-tet bilang kalau esbeye itu cuman tahunya ‘prihatin’. So, Sys EnS pun dilarang memakai kata itu karena sudah copyright.

Siapa sebenarnya bermain di lumpur Lapindo? Kalau bangsa ini tunduk pada korporasi-korporasi besar yang menyengsarakan, bukankah ini ancaman, bukan hanya untuk mereka yang di Sidoarjo sana saja tetapi juga masyarakat kita dari Aceh sampai Papua? Reformasi yang dilahirkan dengan sakit ternyata tak banyak membawa perubahan. Korporat-korporat besar masih suka bermain meski tahu bahwa mereka sedang bermain di atas lumpur. Sebelum reformasi ada freeportt dan setelah reformasi ada lumpur lapindo. Pertandakah ini bahwa negara ini akan tenggelam oleh karena korporasi-korporasi ini? Ah, aku pun tak tahu. Yang pasti janganlah bermain-main di atas lumpur..janganlah pula mempermainkan mereka korban lumpur..karena aku takut bahwa suatu saat aku melihat sebuah headline surat kabar menuliskan “esbeye tenggelam dalam lumpur”J

Masih berharap yang terbaik. Akupun ndak berharap esbeye seperti lele yang senang bermain di lumpur. Jika itu yang terjadi, maka tak ada lagi harapan buat mereka yang jadi korban para korporat. Mau dibawa kemana negara ini jika Paduka esbeye bermain di atas penderitaan orang bersama para korporasi-korporasi yang menyengsarakan rakyatnya sendiri. Mengulur-ngulur waktu untuk mengembalikan apa yang hilang dari korban lumpur ini hanya akan menenggelamkan harapan mereka. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa itupun akan menenggelamkan seorang esbeyeL

Beruntunglah tim nas kita tak seperti esbeye dan bekery. Mereka ingin bermain cantik, atraktif dan menghibur. Aplouse pun diberikan dan berharap bahwa tak ada lagi yang bermain di atas lumpur seperti di Turkmenistan dan Sidoarjo sana. Semoga!

Kamis, 28 Juli 2011

Sumbangan Monotheisme Keluarga dalam Allah Tritunggal dalam konteks Masyarakat Indonesia (sebuah refleksi pribadi)

Sadar atau tidak, prinsip Monotheisme telah menjadi roh bangsa ini. Setidaknya hal itu dapat dilihat dari sila pertama Pancasila “KeTuhanan Yang Maha Esa”. Meskipun ada yang berpendapat bahwa keberadaan Esa dalam sila tersebut jangan ditafsir dari sisi teologis melainkan dari sisi ideologis dan politis. Namun agaknya susah melepas diri dari pengaruh teologis mengenai yang Esa apabila melihat latar belakang pembentukan Pancasila yang terdiri dari mereka yang disebut Kyai, nasionalis religius dan seorang Kristen. Setuju atau tidak, Esa itu justru menunjukkan pengaruh monotheisme yang dianut masing-masing orang yang membentuknya meski persoalan itu terjadi dalam wilayah negara yang sedang membentuk dasar negara. Itulah konsensus yang diterima dan telah mengiringi bangsa ini sampai detik ini.

Namun, bagi seorang Kristen, yang diyakini adalah prinsip monotheisme keluarga dalam Allah Tri Tunggal. Meski harus diakui bahwa kekristenan berasal dari akar yang sama dengan prinsip Monotheisme ke ESAan agama-agama Ibrahim. Allah Tri Tunggal tidaklah berbicara tentang Politheisme ataupun Panteisme sebagaimana dipahami oleh mereka yang meyakini prinsip keEsaan Allah, namun berbicara tentang prinsip monotheisme keluarga, dimana keberagaman dihargai. Prinsip ini misalnya dikatakan oleh Yahya Wijaya dalam bukunya Kemarahan, Keramahan dan Kemurahan Allah “prinsip trinitas didasarkan pada pengalaman umat bahwa Allah meskipun adalah yang satu-satunya, tanpa tandingan dan tanpa saingan, tidak menjadi Allah yang sewenang-wenang”.

Salah satu sumbangan dari prinsip Allah Tri Tunggal adalah keberpihakan Allah terhadap mereka yang miskin dan menderita. Allah tidaklah Dia yang duduk saja di atas sana, dan abai terhadap penderitaan manusia. Namun Ia adalah Allah yang bersedia turun ke dalam dunia dan berpihak kepada mereka yang tersingkir dan menderita. Dalam wujud kemanusiaannya Ia dikenal sebagai Yesus yang dalam pelayanannya dikenal sangat berpihak kepada mereka yang termarginalkan dalam masyarakat. Yahya Wijaya mengatakan “Sebaliknya, Allah yang satu-satunya itu adalah Allah yang adil, yang menolak segala kesewenang-wenangan dan membela mereka yang tertindas serta menolong mereka yang lemah. Allah yang satu-satunya itu juga bukan Allah yang jual mahal, tetapi Allah yang mau mendekati manusia, menjadi sejajar dengan manusia, berada di tempat manusia dalam segala kesusahan dan kelemahannya”.

Realitas masyarakat Asia menurut A. Pieris dalam Asia’s Strunggle for Full Humanity ditandai dengan 2 hal yaitu kemiskinannya yang merajalela dan kepelbagaian dalam hal religiositas. Hal ini dipertegas kembali oleh Yewangoe dalam tulisannya Theologia Crucis di Asia dengan mengatakan demikian : “Meskipun kemiskinan dan orang miskin dapat ditemukan di mana-mana di seluruh dunia, bahkan juga di negara-negara yang disebut “Dunia Pertama” (Eropa Barat dan Amerika Serikat), realitas kemiskinan di Asia jauh lebih mencolok...Juga suatu fakta yang jelas bahwa bangsa Asia adalah bangsa yang religius, bukan saja kebanyakan agama yang dikenal umat manusia lahir di Asia, tetapi juga karena orang-orang Asia dalam usaha mereka untuk memahami dan mengatasi kemiskinan, biasanya mengaitkan kemiskinan itu dengan keberagamaannya.”

Konteks Indonesia pada dasarnya mempunyai kemiripan dengan konteks Asia pada umumnya. Kekristenan merupakan agama minoritas yang harus hidup berdampingan dengan agama-gama dan kepercayaan-kepercayaan lain yang telah ada dan berkembang di Indonesia. Dalam kaitannya dengan itu, prinsip Allah Tri Tunggal dimana Allah berpihak kepada mereka yang termarginalkan mengajak kita membangun sebuah teologi agama yang memperhitungkan kemiskinan. Hanya dengan demikianlah, teologi agama-agama yang dibangun dapat menjadi sebuah syalom bagi masyarakat Indonesia sendiri.

Setidaknya hal tersebut dicatat oleh E.G. Singgih yang menuliskan bahwa di Indonesia ada 5 isu yang perlu kita perhatian. Ke-5 isu tersebut adalah: Pluralisme budaya dan agama, kemiskinan yang parah, penderitaan dan bencana, ketidakadilan termasuk ketidakadilan gender dan kerusakan ekologis. Nampak bahwa kemiskinan dan keberagaman agama termasuk hal yang perlu diperhatikan oleh gereja-gereja di Indonesia. Oleh karena itu, monotheisme keluarga dalam Allah Tri-Tunggal merupakan konsep yang cocok dalam realitas masyarakat Indonesia dengan kemiskinan dan ketertindasannya. Allah yang diwahyukan dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus tidak menentukan semua dari atas, tetapi berjuang dari bawah dengan mereka yang menderita. Dengan demikian gereja-gereja diajak agar berpihak kepada mereka yang miskin dan lemah, dan bersama melawan ketidakadilan sebagaimana Yesus berjuang dari bawah bersama mereka yang tertindas, lemah dan miskin.

Jumat, 15 Juli 2011

Vulpes pilum mutat, non mores

Kalimat dalam bahasa latin tersebut berarti Seekor serigala (dapat) mengubah kulitnya, bukan kebiasaan (wataknya). Mirip dengan kalimat ’serigala berbulu domba’. Meskipun agak susah kita membayangkan bagaimana mungkin seorang serigala berbajukan domba. Kalimat lain yang terkait dengan serigala adalah ‘homo homini lupus’ yang artinya manusia adalah serigala bagi manusia lain. dalam dua kalimat tersebut agaknya serigala digambarkan sebagai hewan yang tamak dan rakus, karena punya sifat licik (berbulu domba) dan memakan sesamanya.

Serigala sering dipakai sebagai gambaran bagi mereka yang terlihat baik di luar tetapi sebenarnya mereka adalah maling. Beberapa bulan belakangan ini maling-maling yang terkesan seperti tak berdosa dan baik-baik saja itu pelan-pelan mulai terlihat jelas. Mereka tak lain adalah orang-orang yang juga sering sedekahan sama orang dan rajin beribadah. Mereka tampil necis dan terkesan seperti orang baik dan teratur namun di balik penampilan mereka tersembunyi sifat buas. Mereka merancang strategi bagaimana mencuri uang rakyat demi menumpuk kekayaan sebesar-besarnya. Malah menurut saya ini melebihi serigala karena serigala sendiri tak pernah menumpuk makanan.

Serigala berbaju safari juga nokrong di tempat-tempat yang kesannya ‘peduli dengan rakyat’. Namanya gedung rakyat. Mereka (terlihat) berjuang demi rakyat, rapat demi rakyat, dan saling cela (katanya) demi memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka juga melempar senyuman tanda bahwa mereka dekat dengan rakyat. Mereka bahkan pernah memperjuangkan dana untuk ‘rumah aspirasi rakyat’ meski ditolak karena (katanya) uang tersebut akan dipakai untuk mempertebal dompet segelintir orang dan partai.

Namun, kelemahan serigala adalah ketidakmampuan mereka menyembunyikan taring dan cakarnya. serigaLa tetaplah serigala. Meskipun berbaju safari, di dalamnya ia adalah binatang buas yang akan memangsa rakyat. Bukankah itu yang terjadi? Karni Ilias, seorang pemimpin redaksi TVONE dan Presiden dari Jakarta Lawyers Club pernah menyampaikan sebuah kutipan dari seorang filsuf yang berbunyi ‘kemiskinan disebabkan oleh kejahatan yang tak pernah anda lakukan’. Agaknya sang filsuf benar karena apa yang terjadi dengan kemiskinan di kebanyakan masyarakat Asia khususnya di Indonesia justru lebih disebabkan oleh karena para pemimpinnya gemar ‘menumpuk’ harta. Para ‘bandit berdasi’ ini sebenarnya berjuang demi popularitas dan diri mereka sendiri. Pernah seorang tokoh berujar agar diberi ‘amnesti massal’ kepada para koruptor tetapi syaratnya mereka mengembalikan semua kekayaan negara yang dicuri. Tetapi agaknya susah untuk melepaskan diri dari motif tersembuyi sang tokoh yang waktu itu memang sedang berkampanye untuk pemilu.

Para predator ini juga sering bersembunyi di bawah ketiak para penguasa. Maka tak heran jika serigala yang mestinya masuk bui, dengan santainya bercokol di kekuasaan meskipun sebagian terpaksa berpindah tempat ke negara tetangga. Maka ketika sang penguasa teriak untuk ‘bersih-bersih’, sebagian dari kita hanya tertawa geli...sumpeh lo?! Serigala tetaplah serigala. Kita mungkin telah bisa menjinakkan kuda tetapi mampukah menjinakkan serigala? Agak susah karena kadang kita tertipu dengan penampilan mereka-penampilan seekor domba.

Pada suatu hari ada seekor serigala yang kehausan minum air di sebuah sungai kecil. Dia melihat seekor anak domba lemah sedang minum tidak jauh dari tempat tersebut. Serigala ingin memangsa anak domba itu tetapi ia harus mempunyai alasan untuk memakannya. ‘Mengapa engkau mengotori sungaiku?’ tanya serigala kepada anak domba dengan marah. ‘Maafkan saya tuan, saya tidak tahu kalau sungai ini milik tuan’, jawab anak domba dengan ketakutan. ‘Tetapi mengapa engkau menyepelekan aku ketika engkau melihat aku setahun yang lalu?’ tanya serigala lagi. ‘saya belum lahir tahun lalu, tuan’ jawab si anak domba dengan hati-hati. ‘itu pasti anak domba lain’ lanjutnya. ‘itu pasti ayahmu dan kamu harus membayar untuk ketololan ayahmu’, kata serigala sambil menerkam si anak domba. Serigala itu segera memakan anak domba. (dari P. Cosmas Fernandez, SVD, 50 Cerita Bijak)

Yang jahat akan selalu mencari alasan untuk kejahatan mereka. Selalu...

Minggu, 10 Juli 2011

Hidup bagai bejana tanah Liat


Hidup bagai bejana tanah liat adalah tepat untuk menggambarkan kenyataan hidup kita yang mudah retak dan tak berdaya. Apalagi kalau kita sedang ditindas dan dianiaya entah dalam bentuk apapun. Sering kali yang muncul adalah perasaan tidak berdaya. Namun itu menandakan bahwa manusia memang terbuat bukan dari besi baja seperti Gatot Koco tetapi dari tanah yang memang mudah retak. Kita ini rentan dengan segala hal yang datang dari luar untuk rusak. Diri kita ini mudah sekali pecah oleh karena memang diri kita terbuat dari tanah liat. Ingat, tanah liat!!

Dengan menyadari ini kita terbebas dari sikap sombong. Kita bukanlah orang-orang yang tangguh dalam segala hal, yang tak pernah akan merasakan pahitnya dunia. Justru sebaliknya kita adalah manusia-manusia yang ‘pasti’ butuh orang lain. kita tidaklah seperti manusia dalam banyangan Nietche yang berbicara tentang ‘Manusia Super” atau Ubermensch. Linda Smith & William Raeper dalam bukunya Ide ide filsafat dan agama dulu dan sekarang menyebutkan bahwa Manusia Super yang dimaksud oleh Nietzche adalah seseorang yang menyadari keadaan sulit yang dialami manusia. Ia menciptakan nilai-nilainya sendiri dan mampu membentuk hidupnya sendiri. Ia mengatasi kelemahan dan membencinya di dalam diri orang lain. Bagi Nietzche Manusia Super akan menjadi manusia Dionysian jenis baru dengan daya hidup nyata dan kekuatan besar, percaya diri dan disiplin diri. Meskipun Franz Magnis Suseno dalam bukunya Menalar Tuhan membantah bahwa Nietzche tidaklah mengaitkan Ubermensch sebagaimana ‘SuperMan’ yang kita kenal, melainkan dimaksudkan sebagai manusia yang tidak lagi melemparkan tanggungjawab kepada Allah dan Agama. Namun, sulit untuk melepaskan gagasan Ubermensch dari keyakinan bahwa kita sebenarnya bisa mandiri dan terbebas dari orang lain bahkan Allah. Bayangan Nietzche ini mau tidak mau terkait dengan bayangan bahwa manusia sebenarnya mampu untuk tangguh di hadapan kenyataan apapun, termasuk dunia.

Ambisi sang filsuf yang terkenal nyentrik dengan kalimat ‘Allah telah mati’ itu justru berkebalikan dengan kenyataan manusia sendiri. Lemah dan tak berdaya adalah sebuah hal yang mengitari diri manusia. Bahkan kenyataan bahwa manusia itu lemah dimulai ketika kita lahir di dunia ini dengan tangisan, karena kita akan masuk ke dalam ‘medan’ penderitaan.

Paulus, dalam kitab 2 Korintus 4:7-18 berkisah tentang bejana tanah liat. Dalam hal ini bejana tanah liat adalah kiasan yang digunakan oleh Paulus di dalam menggambarkan tubuhnya yang lemah. Robert Banks dalam bukunya Paul’s Idea of Commnunity mengatakan bahwa Paulus dipengaruhi oleh filsafat Stoa. Maka tidak mengherankan kalau dualisme yang ada dalam berbagai macam pemikiran Paulus sangat terasa. Namun dalam kaitannya dengan metafora tanah liat, Paulus nampaknya justru melihat tubuh yang lemah sebagai jalan masuk bagi Allah untuk berkarya. Calvin J. Roetzel dalam bukunya Paul a Jew on the Margins mengatakan bahwa melalui metafor bejana tanah liat, Paulus ingin menggambarkan tubuhnya yang lemah tetapi justru lewat tubuh yang lemah inilah dipercayakan untuk mewartakan Injil Yesus Kristus. Allah telah mempercayakan pelayanan kepada manusia yang lemah yang digambarkan dengan bejana tanah liat yang mudah retak dan hancur karena pemakaian sehari-hari. Apa yang dialami oleh Paulus, dengan sangat jelas terkait dengan ‘penderitaan’ yang dialaminya. Misalnya terlihat dalam kata-kata ditindas, dianiaya, dihempaskan (ayat 8-10). Dalam keseluruhan surat Korintus kita bisa menemukan bagaimana rasul Paulus memang sering mengalami penderitaan. Apalagi jika dikaitkan dengan keberadaan para rasul lain yang ada di Korintus. Mereka yang menjadi lawan dari rasul Paulus dalam kitab Korintus menyebut diri sebagai ‘rasul’ dan ‘pelayan Kristus’. Sering kali rasul-rasul tersebut oleh Paulus disebut sebagai ‘super apostle’ (11:5;12:11), false apostle (11:13) dan minions of satan atau kaki tangan setan (11:13-15).

Hal yang menarik dalam pemaparan Roetzel adalah bahwa metafora tentang bejana tanah liat adalah sebuah cara bagi Paulus untuk menyamakan dan ambil bagian dalam kematian Yesus. Dengan cara inilah, Paulus menegaskan bahwa badannya yang lemah dan mudah hancur oleh kematian, dengan kekuatan yang dari Kristus yang telah dibangkitkan telah mengalahkan kematian itu sendiri. Maka dengan metafora bejana tanah liat, Paulus ingin memperlihatkan bahwa manusia seperti dirinya di mata manusia (khususnya di mata rasul yang menjadi saingannya) adalah lemah dan tidak berarti apa-apa, tetapi justru dengan itulah kekuatan yang dari Allah datang (ayat 7). Maka Paulus mendapati kekuatannya menjadi sempurna di dalam kelemahan.

Seorang teman mengatakan bahwa penderitaan yang kita alami adalah jalan masuk bagi Allah untuk mengangkat kita dari beban kita. Dia percaya bahwa selama kita masih bisa menanggung beban kita sendiri, Allah berjalan di samping kita. tetapi ketika kita sudah tidak sanggup lagi mengangkat beban kita, Allah yang akan menggendong kita. Saya jadi ingat tentang Puisi ‘Jejak-jejak Kaki’ dari Margaret Fishback Powers:

Suatu malam aku bermimpi berjalan-jalan di sepanjang pantai Bersama Tuhanku. Melintas di langit gelap babak-babak hidupku.Pada setiap babak, aku melihat dua pasang jejak kaki, Yang sepasang milikku dan yang lainnya milik Tuhanku. Ketika babak terakhir terkilas di hadapanku. Aku menengok jejak-jejak kaki di atas pasir. Dan betapa terkejutnya diriku Kulihat acap kali di setiap hidupku. Hanya ada sepasang jejak kaki Aku sadar bahwa ini terjadi Justru saat hidupku berada dalam keadaan yang paling menyedihkan.Hal ini selalu menggangguku dan akupun bertanya kepada Tuhan: “Tuhan, ketika aku mengambil keputusan untuk mengikutMu, Engkau berjanji akan selalu berjalan dan bercakap-cakap denganku di sepanjang jalan hidupku. Namun ternyata dalam masa yang paling sulit dalam hidupku, hanya ada sepasang jejak kaki. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa ketika aku sangat memerlukanMu engkau meninggalkan aku”. Ia menjawab dengan lembut:”AnakKu, aku sangat mengasihiMu dan sekali-kali Aku tidak akan pernah membiarkanmu, terutama sekali ketika pencobaan dan ujian datang. Bila engkau hanya melihat hanya ada sepasang jejak kaki, ini karena engkau berada dalam gendonganKu”.
Apa yang dialami oleh Paulus adalah sesuatu yang manusiawi sekali. Ada sakit yang terasa ketika penderitaan itu datang. Bagaikan bejana tanah liat, tubuh kita yang lemah adalah pertanda bahwa kita bukanlah ‘manusia super’ yang jauh dari tangisan dan air mata. Namun, penghayatan Paulus atas penderitaannya membawa dia pada Yesus sendiri yang merupakan sumber kekuatan. Sangat normatif mungkin. Namun, satu hal yang menarik bahwa ‘perspektif’ Paulus akan penderitaannya tidaklah gampang di temukan dalam diri orang percaya. Ketika penderitaan datang, hujatan datang bertubi-tubi, entah kepada Tuhan, iblis, keluarga, teman atau siapapun yang pantas jadi sasaran amarah dari penderitaan tersebut. Paulus tidaklah demikian. Sadar betul bahwa ia lemah, ia justru meminta kekuatan dari Tuhan. Karena hanya dengan demikianlah, Allah berkarya dalam dirinya. Sehingga yang keluar dari mulut Paulus adalah-justru ‘ucapan syukur’.

Allah tidaklah membiarkan kita sendirian dalam penderitaan kita. Ketika kita tidak sanggup lagi Ia akan menggendong kita. Karena dengan itulah, Allah berkarya alam diri kita.

Jumat, 08 Juli 2011

Urip Mung Sadrema nglakoni?

Kalimat dalam bahasa jawa di atas berarti ‘hidup hanya sekedar menjalani’. Manusia tidak punya hak untuk protes karena semua sudah ditentukan oleh Tuhan. Semua hal yang terjadi di dunia ini tergantung dari apa yang sudah ditakdirkan oleh Sang Pencipta. Oleh sebab itu, orang Jawa mengidentifikasikan dirinya sebagai wayang yang segala yang dialaminya ditentukan oleh dhalang. Dalam hal ini wayang sebagai simbol manusia dan dhalang sebagai simbol Tuhan. Sikap yang seperti ini bertalian dengan kepercayaan masyarakat Jawa bahwa ia berasal dari Tuhan-dalam pengertian diciptakan oleh Tuhan-dan mereka akan kembali kepada Tuhan. Maka salah satu kata yang sering saya jumpai di lingkungan masyarakat Jawa adalah nrimo, yang oleh Benedict R. O’G Anderson dalam bukunya Mitologi dan Toleransi orang Jawa dituliskan sebagai sebuah sikap ikhlas menerima hidup dan toleransi pemakluman yang besar. Sikap menerima apa adanya inilah yang saya temukan ketika orang Jawa merasa baik-baik saja terhadap kejadian apapun yang dia alami. Teman-teman orang Jawa pun tak suka cari perkara. Kalau memang harus demikian, ya mesti pasrah dan nrimo.

Salah satu pengalaman saya adalah ketika beberapa orang Jawa yang mengalami bencana Merapi justru masih bisa bersikap biasa-biasa saja meskipun penderitaan atas dirinya begitu berat. Mereka selalu berusaha untuk hidup sesuai dengan apa yang terjadi tanpa harus mempersalahkan siapa-siapa termasuk Tuhan. Karena sikap nrimo ini lahir dari sebuah keyakinan bahwa segala kejadian di dunia ini, entah itu baik maupun buruk pada dasarnya sudah ditentukan oleh Sang Gusti Allah. Bagi saya yang bukan orang Jawa, sikap nrimo ini begitu luar biasa karena mampu menyelaraskan diri dengan hidup itu sendiri. Mungkin agak terkesan fatalistik, tetapi yang saya pahami bahwa nrimo itu adalah sebuah ‘sikap’ dan bukan cuman diam dan tak berbuat apa-apa. Nrimo bukanlah sikap pasif dan apatis. Ditengah penderitaan yang dialami warga merapi, mereka nrimo tetapi sekaligus berusaha untuk berjuang kembali untuk mengumpulkan kepingan kegembiraan sebagaimana sebelumnya. Mungkin agak mirip dengan lagunya Bondan Prakoso & Fade 2 Black: ‘ya sudahlah’. Wes sudah terjadi, kenyataannya memang begitu. Tetapikan hidup harus berlanjut..

Keterbukaan pada kenyataan inilah yang menarik dari sikap nrimo. Karena hidup itu sendiri sangatlah unpredictable. Ia tidak mudah ditebak dan diramal. Tetapi kita pun sadar bahwa hidup itu tidak jauh dari kata senang dan sedih, suka dan duka. Maka, ketika kesadaran itu berwujud dalam sikap nrimo, berhadapan dengan hidup yang bagaimanapun kita sudah siap. Kenyataan pahit ataupun enak adalah bagian dari sikap kita menjalani hidup. Dalam salah satu bukunya, Selamat Berpulih, Andar Ismail berkata:’Tetapi menerima kenyataan jangan dianggap menyerah. Menerima kenyataan adalah berdamai dengan diri sendiri lalu secara kreatif mencari jalan untuk menjadikan keadaan hidup tetap berguna’.

Kita semua memang mencita-citakan hidup yang sempurna. Tetapi bukankah hidup yang sempurna itu terjadi ketika kita bisa hidup selaras dengan kenyataan yang ada?

Selasa, 15 Maret 2011

(membudayakan) budaya instan

Mahasiswa itu gemar makan mie. Mengapa demikian, karena gampang buatnya, tinggal seduh saja, tunggu lima menit selesai. Tetapi yang namanya mie tetap aja mie. belum 10 menit udah lapar lagi. itulah mie, gampang buatnya tapi ndak tahan lama. ia tidak bisa memenuhi keinginan paling dalam dari kita, yaitu hilangnya rasa lapar.

Tidak sedikit orang di negeri ini hidup dalam “budaya instan”. Banyak alasan yang tentunya dijadikan kambing hitam. entah karena perkembangan teknologi yang membantu suburnya budaya instan ini, entah itu tuntutan persaingan yang menjadikah segalanya halal untuk dilakukan. Manusia akhirnya mengingkari kebiasaan buruknya dan mengkambing hitamkan yang lain. tanpa sadar kita hidup dalam dunia yang serba instan, yang akhirnya menjadikan kita sendiri pengennya cepat tanpa harus tahu apakah cara yang kita gunakan tergolong kedalam istilah “halal apa haram”

Budaya ini semakin berakar dalam darah dan daging kita, hingga tak tahu lagi apakah ia sesuatu yang datangnya dari luar diri kita, atau ia telah kita klaim sebagai “bawaan sejak lahir”. Budaya yang semestinya kita tolak, sekarang malah kita klaim sebagai sifat naluri paling dasar dari diri kita, yang otomatis kita anggap sebagai hal yang lumrah. jadi, kalau ada saudara kita yang mirip dengan apa yang kita lakukan, itu tidak menjadi masalah. Toh kita menganggap itu sebagai sesuatu yang dasariah dari orang tersebut. Sama halnya ketika ada orang hidup dalam budaya yang tidak mengutamakan budaya instan, kita pun sama.

Budaya yang dari awal datangnya dari luar diri kita, sekarang mendarah daging dalam diri kita bahkan kita klaim sebagai saudara kandung darah dan daging kita. Akhirnya kita tidak bisa melihat, yang mana yang seharusnya kita tolak dan mana yang seharusnya kita terima. Saudara(entah dekat ataupun jauh) karena punya budaya yang sama, menjadi saudara kandung yang turut serta melestarikan budaya ini. Kita menganggap mereka sebagai teman se-klan, yang seharusnya punya rasa solidaritas satu dengan yang lain.

Fenomena yang paling menarik dalam perkembangan korupsi di negeri ini adalah selalu melibatkan sekelompok orang, tidak satu individu. Hidup dalam sebuah komunitas yang cinta “budaya instan” menjadikan mereka tidak lagi mau saling menegur, malah saling mendukung. Akhirnya, uang orang lain raib dibawa lari. Kebahagian, kekayaan dan sukses bisa diraih seperti membalikkan telapak tangan. Orang gemar ‘potong kompas’ demi meraih untung yang cepat tanpa harus bersusah payah. Ini terjadi juga di beberapa instansi pemerintah. Teman yang ndak pernah mau datang ke kantor, tetapi gaji tetap lancar, ndak pernah mau ditegur. Mengapa? Karena ia punya gen yang sama, satu komunitas, satu klen pencinta budaya instan. Akhirnya, kita tidak lagi bisa melihat pegawai yang menjunjung tinggi aturan main dan etiket tertentu.

Kembali ke mie instan, ia gampang dibuat, ia juga sangat mudah di dapat, tapi ingat ia tidak akan bertahan lama. Ia akan membuat kita lapar lagi. Mungkin bagi sebagian orang korupsi adalah lumrah untuk dilakukan, namun ingat, ia tidak akan bisa memenuhi keinginanmu paling dalam, yaitu kedamaian, damai dengan diri sendiri, keluarga dan orang lain. Budaya instan menyebabkan ‘pendangkalan hidup’. Engkau akan selalu dikejar oleh suara batinmu yang paling dalam. Tidak sedikit para koruptor di negeri ini, sisa umurnya dihabiskan dalam urusan pengadilan dan sel tahanan. Rasa malu harus dihadapi, sebagai tanggung jawab yang awalnya sepele. Mendarah-dagingkan budaya instan sebagai naluri paling dasar.

Lukas 6: 46-49 menyebutkan bahwa rumah yang baik adalah yang fondasinya kuat dan kokoh ketika banjir datang. Sehingga kalo air bah datang apalagi tsunami, ia tetap berdiri kokoh. Begitupun kalo kita hidup dengan dasar yang tidak kuat-seperti mie instan. Ketika banjir datang kita dengan gampangnya ambruk. Persoalan apapun jika kebiasaan menyelesaikannya dengan jalan ‘potong kompas’ akan membuat kita mudah ambruk atas persoalan hidup yang mungkin sepele. Namun penulisis Injil Lukas mengajak kita untuk tidak ‘asal’ namun berjuang untuk memiliki fondasi hidup yang kuat dan kokoh. Keinginan untuk menjadi unggul dan berprestasi seharusnya dibangun atas nilai dan dasar hidup yang kuat!

Minggu, 10 Oktober 2010

Mungkin lebih baik ndak punya otak


Duduk depan netbukku..siap-siap nerjemahin artikel yang bakalan aku mau presentasikan minggu ini. Ealah, malah otakku tiba-tiba hang..kebanyakan mikirin banyak hal kali. Ada aja yg tiba-tiba terlintas di otakku yang besarnya tak seberapa ini. Teman peziarahanku pernah bilang kalo dia pernah kayak gitu. Tetapi dia punya kemampuan untuk menempatkan pikiran-pikiran itu pada kotaknya masing2. Tetapi pagi ini, semua kayak ndak terkendali. Pengennya ngerjain tugas, ealah malah duduk depan netbuk tanpa tahu sedang mikirin apa. Benar-benar di luar dugaan. Padahal mentalku udh siap nerjemahin tugas2ku. Puffff....mungkin otakku kemasukan virus kali ye, so harus diservice..tp diservice dimana????

Beginilah otakku. Terkadang di luar kendaliku, tetapi kadang di dalam kendaliku. Jika otakku di luar kendaliku, aku tahu karena otakku sungguh adalah ciptaan yang teramat sangat berharga. Dia punya kemampuan itu. Tetapi jika otakku di dalam kendaliku, siapa yang mengendalikan otakku. Aku yang mana yang mengendalikannya? Bukankah aku bisa berpikir ‘sedang mengendalikannya’ justru karena aku punya otak? Walah, kog ya jadi kacau begini.

Hidup? Lalu hidup yang mengendalikan siapa. Aku? Aku yang mana yang mengendalikannya. Aku yang sedang mengendalikan otakku atau aku yang sedang di kendalikan otakku. Atau jangan2 mereka yang sedang mengendalikannya? Mereka yang secara sengaja mengendalikan otakku sehingga aku hidup berdasarkan maunya mereka? Ah, tetapi siapa mereka? Mengapa mereka harus mengendalikan otakku. Adakah tujuan besar dibalik keinginan mereka mengendalikan otakku.

Ah, aku belum tahu. Yang pasti, otakku sedang berpikir keras untuk tahu sedang apa dia, sedang mengendalikan siapa, atau sedang dikendalikankah? Atau malah sedang secara sengaja dikendalikan oleh otak yang lain di luar otak yang ia tinggali. Ah, mumet ternyata punya otak!!!!

sumber gambar: pixabay.com

Selasa, 27 Oktober 2009

Terasing dengan diriku sendiri...


Suatu waktu..aku merasa terasing dengan diriku...Perasaan terasing ini muncul kadang kala aku melihat diriku. Entah kapan, tapi akhir-akhir ini, hal tersebut begitu sering muncul. Aku menempatkan diriku dengan jelas di luar diriku..dan yang mengerikan..aku [kadang] merendahkan diriku yang aku lihat..dan kemudian mencoba memetakan apa saja kelemahannnya dan mencari tahu mengapa demikian..meskipun kadang tak menemukan jawaban! Relasi aku dengan diriku bukan lagi relasi yang sejajar dan seimbang (meskipun kadang aku bertanya apakah harus demikian)..yang terjadi, aku justru "mengobjekkan" diriku sendiri. Bahkan sampai pada titik tertentu, aku merasa terasing dengan diriku tersebut sampai aku mengatakan...”aku bahkan tak mengenalmu. Mengapa kamu bisa seburuk ini”?

Tujuan awalnya sebenarnya adalah baik. Aku menempatkan diriku di luar diriku untuk mencoba memetakan hal apa saja yang sudah aku lakukan, apakah telah sesuai dengan yang aku inginkan, apakah sudah sesuai dengan tujuan dan visi hidup ke depan. Dalam bahasa lain, momen ini adalah momen refleksi. Aku mencoba berpikir kritis atas diriku, demi menemukan aku yang “mendekati” tujuan hidup yang aku inginkan. Tetapi, momen ini justru membawaku ke dalam pengobjekkan diriku sendiri..ketika aku merasa bahwa ternyata diriku tak lebih baik, tak ada perubahan sama sekali, ketika tujuan hidup yang aku inginkan, jangankan mendekatinya bahkan sekarang aku menemukan tujuan tersebut makin kabur dan tak jelas. Aku kemudian mengolok-olokkan diriku sendiri, menyalahkan diriku sendiri...hingga aku merasa terasing dengan diriku sendiri. Aku bahkan tak mengenalmu..mengapa bisa seperti ini..mengapa kamu bisa seburuk ini???

Aku tidak tahu apakah perasaan terasing ini adalah sesuatu yang alamiah dalam pergulatan batin setiap manusia. Aku tidak tahu!! Yang jelas perasaan terasing ini di satu sisi membawaku ke dalam pengenalan “yang jelas” tentang siapa aku dan apa yang aku lakukan tetapi di sisi lain hal ini menjadikanku merasa terasing dengan diriku: mengapa kamu bisa seburuk ini, hai diriku??

Berdoa tanpa berpikir


Mungkinkah kita berdoa tanpa berpikir...? aku bukan menyangkal apa yang dikatakan r. descartes "Cogito, ergo sum". tentu aku menghargai pikiran. namun, [ter]kadang doa kita terlaLu banyak dipenuhi dengan pikiran-pikiran dan keinginan diri kita sendiri. ketika kita berdoa, kita memenuhi pikiran kita dengan daftar-daftar "beLanjaan" dengan harapan bahwa Tuhan akan mengabuLkannya. doa kita pahami sebagai kesempatan untuk meminta segala hal kepada Tuhan. dan semua itu kita Lakukan dengan berpikir, diLakukan daLam tingkatan kesadaran kita.

yang aku coba sampaikan adaLah mungkinkah kita berdoa daLam tingkatan ketidaksadaran kita..tanpa berpikir, atau juga bisa dengan asal, sesuatu yang sifatnya spontanitas dan tanpa sadar. tanpa peduli dan sadar bahwa ituLah keinginan terdaLam kita....[menurutku] ketidaksadaran membuat doa itu begitu Lugu di hadapan ALLah. sehingga doa yang kita sampaikan tak satupun berbicara tentang isi pikiran kita yang sudah dipenuhi dengan ratusan banyak daftar beLanjaan tetapi ketidaksadaran, doa asaL dan spontanitas itu menjadikan kita Lupa pada diri kita sendiri, pada apa yang kita inginkan dan masuk daLam hubungan intim dengan Tuhan. doa ketidaksadaran membawa kita pada hubungan yang Lepas dari segaLa keinginan kita, dan bersedia berhadap muka dengan Tuhan. mungkin [lagi-lagi menurutku] doa adaLah membiarkan ALLah meLakukan apa yang ia inginkan, bukan memaksakan isi pikiran kita untuk didengarkan oleh ALLah.

sumber gambar: pixabay.com

Senin, 26 Oktober 2009

Mencintai Tuhan: bersedia menanggung resiko!


Pernahkan kita bertanya: bagaimana mungkin kita bisa mencintai Tuhan sedangkan Ia tidak pernah kita lihat dengan kasat mata? Bagaimana mungkin kita menaruh rasa percaya kepada Dia, sedangkan Dia tidak pernah berhadap muka dengan kita...Tetapi mengapa kita begitu yakin kepada Tuhan dan bahkan menyerahkan segalanya kepada sosok yang belum kita lihat ini...

Mencintai Tuhan adalah mencintai yang tidak kelihatan, dan itu adalah sebuah resiko. Mencintai adalah sebuah resiko..memutuskan untuk mencintainya adalah resiko..mengambil sikap untuk menyerahkan segala sesuatunya kepada Dia adalah sebuah resiko..mengapa kita melakukan itu semua? karena kita [merasa] mencintaiNya..kita akan melakukan apapun demi itu...mencintainya adalah resiko..cinta kepada Allah penuh dengan resiko.

Tuhan adalah misteri..namun mengapa dunia ini menaruh keyakinannya kepada sosok yang tidak pernah kelihatan ini...tidak ada yang tahu..kita bisa mengatakan bahwa kita sudah dilahirkan untuk itu...ada yang bilang karena [bisa] merasakanNya meskipun tidak pernah melihatnya..ada yang bilang karena penyebab utama dunia ini adalah Dia..lalu sebagian lagi mengatakan..karena Tuhan itu ada dalam hatiku dan itu menggerakkan aku untuk mencintaiNya...namun tetap saja Tuhan adalah misteri dan tidak pernah kelihatan.

Entah apapun itu, ketika kita memutuskan untuk mencintai Tuhan itu adalah sebuah resiko..Kita tidak pernah tahu siapa dan bagaimana bentuk dari sosok misteri ini..kita tidak tahu entah apa yang akan terjadi..kita akan tetap menaruh cinta pada sosok misteri ini...mencintai Tuhan adalah kesediaan untuk menanggung resiko, Entah apapun itu?? Tidak mudah untuk melakukannya.. pengalaman dengan Dia terkadang begitu menyakitkan sehingga kita terkadang dan bahkan sering menjadikanNya sasaran amarah dan protes..Tapi sekali lagi..kesediaan untuk mencintaiNya berarti bersedia untuk menanggung resiko, apapun itu!

sumber gambar: pixabay.com