Sabtu, 12 Desember 2009

PauL van Buren n Harvey Cox


Sekitar tahun 1961, muncullah sebuah teologi yang disebut Teologi Tuhan Mati. Para teolog tersebut seperti William Hamilton yang menulis buku The New Essence of Christianity, Gabriel Vahanian dalam bukunya The Death of God. Tahun 1966, Thomas J.J. Altizerr menulis The Gospel of Christian Ateism. Sedangkan Paul Van Buren dalam bukunya The Secular meaning of the Gospel (1963) dan Harvey Cox dalam bukunya The Secular City (1964), menulis buku tetang sekularisasi yang senada dengan konsep teologi Tuhan mati. Tetapi sebenarnya gagasan tentang Tuhan mati sebenarnya telah muncul jauh sebelumnya, seperti Gogarten, Bonhoeffer, Tillich. Proklamasi pertama mengenai kematian Tuhan untuk pertama kalinya dikumandangkan oleh F.W. Nietzsche dalam suatu bagian bukunya yang berjudul Die Frohliche Wissenschaft (Ilmu pengetahuan yang menggirahkan)

Menurut Nietzsche Tuhan sudah mati (God is dead). Ketuhanan harus terhapus dari hati manusia. Menurut dia, agama Kristen adalah lambang pemutarbalikkan nilai-nilai. Sebab yang dipandang sebagai jiwa Kristiani ialah menolak segala yang alamiah sebagai hal yang tak layak, yang memusuhi segala yang nafsani. Pengertian “Allah” agama Kristen adalah pengertian yang paling rusak dari segala pengertian tentang Allah, sebab Allah dipandang sebagai Allah anak-anak piatu dan janda-janda, Allah orang-orang sakit. Allah dipandang sebagai roh, yang bertentangan sekali dengan hidup ini. Menurutnya, semua itu harus dibongkar. Nietzsche ingin menghentikan gagasan Kristiani tentang Tuhan yang demikian itu, supaya umat manusia dibebaskan dari kesewenang-wenangan Tuhan dan dikembalikan menjadi orang-orang kreatif di bidang kebudayaan.

Hamilton mengatakan bahwa kita hidup di zaman “Tuhan Mati”, yaitu zaman dimana orang-orangnya menganggap bahwa Tuhan telah mengundurkan diri dari dunia ini, bahwa Tuhan tidak hadir lagi dalam dunia ini, sehingga harus dikatakan bahwa Tuhan mati. Vahanian mengatakan bahwa Tuhan Mati artinya Tuhan sudah tidak berguna lagi, segera ia dijadikan barang tambahan bagi cita-cita umat manusia. Kebudayaan barat bersifat imanen, artinya manusialah yang menjadi pokoknya.

PAUL VAN BUREN
Ia adalah seorang teolog Amerika. Pada awalnya ia menjadi pengikut Karl Barth yang setia, tetapi kemudian ia menyimpang dengan menulis buku The Secular Meaning of The Gospel yang ditulis pada tahun 1963. Van Buren bermaksud meneruskan apa yang telah dikemukakan oleh Bonhoeffer, yaitu persoalan bagaimana seorang Kristen pada zaman sekuler ini dapat mengerti imannya secara sekuler. Bonhoeffer mengusulkan adanya suatu interpretasi yang non religius terhadap konsep-konsep Alkitab.

Tetapi menurut Van Buren mengatakan bahwa persoalan tersebut akan dapat diberikan dengan menganalisis apa yang dimaksud orang jika ia memakai bahasa iman, jika ia mengulang-ngulang pengakuannya bahwa Yesus itu adalah Tuhan. Disini kita dapat melihat pengaruh filsafat bahasa dalam diri Van Buren, yang mencoba menjelelaskan arti pernyataan-pernyataan dengan meneliti caranya pengertian-pengertian itu biasanya dipakai. Dalam filsafat analisis bahasa, jika kita ingin mengetahui arti suatu kata atau suatu pernyataan, kita harus meninjau cara kata atau pernyataan itu berfungsi dalam pemakaiannya yang actual. Arti sebuah kata identi dengan pemakaiannya. Jadi, hal tersebut harus juga kita terapkan dalam mengerti injil pada zaman modern ini.

Menjadi orang Kristen tidak berarti menyangkal bahwa ia terlibat dalam dunia sekuler dan dalam cara dunia itu berpikir. Pemikirannya berpangkal pada keyakinan bahwa hubungan antara injil dan hidup serta kata-kata dan kematian Yesus memanggil kita untuk mengaadakan analisis bahasa dengan hati-hati. Inilah suatu soal ”histories”. Kita harus secara berhati-hati menganalisis fungsi orang beriman masa kini. Perbuantan ini akan mengungkapkan arti sekuler injil. Jika orang Kristen mendapat kesempatan unutk menceritakan sejarah Yesus itu maka ia akan memanfaatkan, mengungkapkan, merumuskan atau menjelaskan perspektifnya yang histories. Sebab justru inilah arti sekuler injil.

HARVEY COX
Dalam bukunya The Secular City dengan sub judul Secularization and Urbanization in Theological Perspective bermaksud memberikan petunjuk pada gereja dan orang Kristen Amerika bagaimana memberitakan injil dalam kota-kota secular. Menurutnya tanda-tanda zaman yang kini dialami orang-orang Amerika ialah munculnya keadaban daerah perkotaan (urban) dan keruntuhan agama Kristen yang tradisional. Bentuk keadaban ini dipengaruhi oleh kemajuan kemajuan ilmu pengetahuan modern dan teknik yang mengakibatkan rongsoknya pandangan dunia yang tradisional. Hidup orang di kota-kota besar itu menjadi sekuler. Cox melihat bahwa sekularisasi melepaskan dunia dari agama-agama dan dari pengertian religius yang palsu, meniadakan segal pandangan dunia yang tertutup dan mematahkan segala mite yang supranatural dan symbol-simbol yang dianggap suci. Hidup di kota besar memunculkan semacam imunitas terhadap orang-orang yang dijumpai, yang tampak dingin bahkan tanpa kasih. Hidup yang seperti ini disebut “ de-personalisasi”.

Tetapi hidup yang anonimitas juga akan membawa kebebasan. Dan oleh karena itu, dapat dijelaskan secara teologis sebagai pembebasan injil terhadap hukum (Taurat). Di sana ada kebebasan, bukan keterbelenggungan tanpa kritik. Di sana ada kebebasan. Tetapi sayangnya gereja masih hidup pada pandangan yang pra-kota besar. Gereja hidup dalam sikap tiruan kota-kota kecil. Harusnya gereja mengembangkan teologi anonimitas yang dapat dipakai

Menurut Cox, pangkal pikiran teologi masa kini seharusnya ialah teologi perubahan sosial. Hidup gereja tak mungkin dapat dipenjarakan dalam perincian-perincian yang kuno itu. Hidup itu harus mau ditembus dan dibentuk kembali secara terus-menerus oleh perbuatan-perbuatan Allah yang berkesinambungan. Itulah sebabnya diperlukan adanya suatu teologi perubahan sosial. Untuk itu Cox menganjurkan supaya kita berpangkal dari sumbol-simbol kehidupan kota sekuler. Gagasan tentang kota sekuler memberikan gambaran kepada kita yang paling memberi harapan untuk mengerti apa yang dalam Perjanjian Baru di sebut Kerajaan Allah dan untuk mengembangkan suatu teologi yang dapat hidup, yang muncul dariperubahan sosial yang revolusioner.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar