Rabu, 23 Desember 2009

SenidanTeologi

Perkembangan dan sejarah keKristenan tidak lepas dari pertemuannya dengan budaya-budaya dimana keKristenan itu dihadirkan. Pertemuan tersebut, nyatanya dalam sejarah (sebenarnya) melahirkan sebuah model keKristenan yang sesuaikan dengan konteks budaya setempat. Meskipun di sisi lain kita melihat tidak jarang ataupun sedikit banyak keKristenan yang dihadirkan mengabaikan budaya lokal. Namun, kita juga bisa melihat hal yang sebaliknya bahwa baik bahasa teologis maupun simbol-simbol keKristenan lahir atau setidaknya mendapatkan pemaknaan baru dari simbol lokal. Disinilah Masao Takenaka (selanjutnya Masao) mengatakan bahwa perjumpaan tersebut melahirkan visi baru dan mendengar nyanyian baru, termasuk pertemuan antara iman dan seni. Masao mengatakan “Throughout the history of Christianity, as God’s people encounter the power of the Gospel in each cultural and social context, we see new visions and hear new songs. One sees an exciting correlation between Christianity and culture, and particularly between faith and art.”

Pdt. B.F. Drewes, M.Th (selanjutnya Drewes) mengatakan “Jadi gambar-gambar memang mempunyai makna teologis dan pastoral yang sangat penting. Jangan kita lupa bahwa Allah juga dapat memakai pengalaman visual (melalui indera mata) untuk memanggil seseorang . Artinya gambar juga bisa berfungsi sebagai teks dimana dari gambar-gambar tersebut kita dipanggil untuk menjadi murid-murid Kristus. Kiranya menjadi jelas bahwa gambar-gambar Kristus, dan gambar-gambar lain, mempunyai makna teologis. Jadi tidak hanya melalui kata-kata, melainkan juga melalui gambar-gambar, disampaikan kepada kita beranekaragam kesaksian tentang tindakan Allah, dan reaksi kita dituntut. Dan sama seperti musik, lukisan-lukisan pun dapat menyentuh hati kita secara mendalam.

Tetapi dalam konteks Indonesia (secara khusus di gereja-gereja Protestan), sejauh yang saya amati, penggunaan gambar-gambar yang adalah seni Kristen belum banyak digunakan. Drewes dalam bukunya mengungkapkan kekwatirannya tersebut. Dia mengatakan “sejauh kami lihat, makna teologis dari gambar-gambar, baik gambar-gambar yang biasa maupun hasil seni lukis, pada umumnya belum diperhatikan dalam buku-buku teologi kita”. Dalam catatan kaki dia merujuk kepada beberapa buku teologi yang mencantumkan gambar-gambar tanpa refleksi yang serius mengenai hubungan antara naskah dan gambar.

Hal senada juga diungkapkan oleh Eka Darma Putra (selanjutnya Eka) yang mengatakan “sudah terasa lama kita biarkan seni dan teologi (kristiani) berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya pun amat terasa. Teologi kian gersang bagaikan savanah. Dan seni pun kian dangkal bagaikan sungai-sungai hitam di Jakarta”.
Tentu, dalam pengamatan saya, kekwatiran Drewes dan Eka mungkin tidak terlalu relevan jika kita melihatnya pada saat sekarang ini. Meskipun belum begitu memuaskan, tetapi penggunaaan gambar-gambar menunjukkan peningkatan yang menggembirakan. Katakanlah misalnya buku-buku dari Heuken SJ yang penuh dengan gambar-gambar yang bertalian erat dengan cerita. Saya melihat hal ini justru merupakan sebuah tantangan bagi para teolog-teolog dan orang Kristen, khususnya dari kalangan Protestan sendiri untuk merasa penting menggunakan gambar-gambar dan kemudian menarik refleksi teologis.
Padahal, bagaikan sudah ditakdirkan seni dan agama itu, sepanjang sejarah peradaban manusia, jatuh dan bangun bersama-sama. Pertemuan keduanya telah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Kita bisa melihat bahwa agama sebenarnya punya pertalian yang akrab dengan seni. Y Sumandiyo Hadi mengatakan bahwa “dalam seluruh perjalan sejarah, religi senantiasa berhubungan dengan dan diresapi oleh beberapa unsur estetis”. Bahkan ia menyebutkan bahwa pertalian antara seni dan agama bisa dilihat dalam kepercayaan primitif dan religi yang berbau mistik. . Eka menuliskan demikian: “seni tidak cuma memampukan kita melihat dengan cermat apa yang kita lihat, tetapi juga membuat kita berpartisipasi di dalam apa yang kita lihat. Dengan begitu kita lalu melihat apa yang tidak terlihat. Yang transenden menjadi imanen. Atau lebih tepat: yang imanen lalu mempunyai dimensia transendental. Pada titik inilah seni dan agama bertemu. Teologi menjadi pengalaman artistik. Dan seni menjadi ekspresi teologis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar