Ekofeminisme merupakan sebuah gerakan feminis yang melihat badan bumi dan badan rahim, sebagai yang melahirkan dan memelihara, serta menyediakan kehidupan, namun sekarang, telah mengalami penindasan yang teramat parah, ditindas dalam lingkup dominasi kaum patriarkhi. Salah satu usaha yang dilakukan oleh para teolog-teolog yang peduli akan hal ini adalah dengan melakukan tafsir ulang seluruh teks dan tradisi yang telah menyebabkan perempuan dan alam menjadi korban (mis. Menafsir ulang Kej. 1:28 mengenai kata “menguasai”) (lih. Judith Lim: 2002)
Tokoh feminis, Charlene Spretnak melihat ekofeminis sebagai sebuah gerakan yang memusatkan perhatian pada hubungan historis antara pelecehan alam dan perempuan. Dia melihat kecenderungan masyarakat Erosentris dan masyarakat yang berpengaruh global mengalami berbagai krisis-krisis lingkungan dan sistem-sistem ekonomi yang berusaha meneruskan pembinasaan lingkungan dan dinamika eksploitasi (Charlene Spretnak: 2003). Banyak hal yang telah dilakukan antara lain aktivis-aktivis perempuan berjuang di akar rumput untuk memperjuangkan anti kesewenang-wenangan atas alam. Banyak kaum ekofeminis bekerja dalam gerakan politik hijau, untuk menentang sikap patriarkhal dan logika dominasi atas alam dan perempuan (Charlene Spretnak: 2003)
Singkatnya gerakan ekofeminis adalah gerakan yang terkait dengan adanya dominasi laki-laki (patriarkhi) atas perempuan dan alam, dan berjuang agar keduanya lepas dari penindasan karena perhatian mereka pada semua sistem penindasan manusia, termasuk eksploitasi akan alam. Eksploitasi atas keduannya melahirkan gerakan ekofeminis.
Dalam banyak hal memang, ada kesan bahwa masayarakat yang menindas (androsentrisme) dalam sejarah, seakan-akan mendapatkan legitimasi kuat, sah dan legal lewat penafsiran kitab suci yang dianggap sebagai sebuah perintah langsung dari Allah (Khususnya dalam Kristen salah satunya adalah Kej. 1:28).
Tetapi dari kacamata kaum feminis, hal ini adalah sebuah tindakan penindasan dan oleh karena itu harus dihentikan! Dengan menafsir ulang teks-teks kitab suci dan berbagai tradisi yang selama ini berkembang sebagai penindas, diharapkan ada penjernihan makna dari sekedar menjadikannya sebagai alat “dominasi”. Artinya, penafsiran dilakukan tanpa kesan penundukan atas kepentingan pihak tertentu yang dari sudut pandang feminis adalah kaum patriarkhal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar