Jumat, 25 Desember 2009

Arti Kasih Allah dalam kehidupanku (Lukas 7:11-17)


Kisah ini adalah khas Injil Lukas. Perikop ini berada di sekitar narasi tentang kuasa Yesus. Pada perikop sebelumnya Yesus menyembuhkan hamba seorang perwira di Kapernaum yang hampir mati (Luk. 7:1-10). Pada narasi selanjutnya, kita melihat bahwa Yesus melakukan banyak hal bertalian dengan berbagai macam kuasa yang ada padaNya. Mulai dari angin ribut diredakan (Luk. 8:22-25), Pengusiran roh jahat (Luk. 8:26-39), sampai dengan menyembuhkan anak Yairus yang telah divonis mati (Luk. 8:40-56).


Kali ini, Yesus, para murid dan orang banyak sedang dalam perjalanan menuju kota Nain (ayat 11). Ketika sampai di pintu gerbang kota, dilihatNyalah anak laki-laki yang telah mati diusung ke luar (untuk penguburan). Dalam ayat 12 dikatakan bahwa anak itu adalah anak tunggal, ibunya seorang janda. Yang menarik adalah apa yang dilakukan Yesus selanjutnya. Dikatakan disana bahwa peristiwa pengusungan jenajah anak laki-laki itu membuat Yesus “tergerak” oleh belaskasihan (berbelaskasihan). Ia kemudian berkata kepada ibu seorang janda itu “jangan menangis”. Tanpa banyak dialog, Yesus kemudian membangkitkan anak yang sudah mati itu. Ketika melihat hal itu, maka ketakutanlah semua orang lalu “memuji” Allah.


Keterangan bahwa anak itu adalah anak tunggal dan bahwa ibu itu adalah seorang janda adalah hal yang memilukan bagi Yesus. Tentu saja, ke”janda”an adalah hal yang paling berat pada zaman Yesus sedang melayani. Kalau kita masuk dalam sejarah, maka kita bisa melihat bahwa waktu itu, banyak orang Yahudi yang hidup di kelas bawah. Hal itu diperparah lagi dengan penjajahan Romawi dan yang lebih parah lagi adalah sikap agamawan yang melegitimasikan kekuasaannya dengan jalan menjadi orang bertopengkan doa dan pengajaran hukum taurat. Mereka ini, yang dikatakan sangat pintar akan hukum taurat karena mampu menafsirkannya dengan baik justru pada kenyataannya mereka menjadi salah satu kelompok yang menindas orang miskin, termasuk para janda. Setidaknya Markus 12:38-40 melaporkan hal itu.


Dengan status janda, ditambah dengan kehilangan anak satu-satunya, berbelaskasihanlah Yesus kepada janda itu. Adalah hal yang wajar bagi janda itu untuk menangis. Namun hal itu tidak diinginkan Yesus sehingga ia mengatakan “jangan menangis”. Kedukaan janda tersebut tentunya berubah menjadi sukacita ketika Yesus bertindak untuk menyelamatkan anak laki-laki tersebut. Dukacita seorang janda tersebut berubah ketika Yesus membangkitkan anaknya. Tidak hanya ibu itu namun semua orang yang melihat hal itu “takut” tetapi memuji Allah.

Yesus mengerti betul apa yang dialami janda tersebut dengan kematian anak tunggalnya. Solidaritas Yesus yang masuk dalam kedukaan janda tersebut telah membawa sukacita yang besar bagi ibu dan orang banyak waktu itu. Kasih Allah yang begitu besar telah menghidupkan kembali nyawa anak tersebut dan tentu saja semangat sang ibu. Bagi komunitas Lukas, “Jangan menangis” adalah bentuk ajakan Yesus agar tangisan yang timbul karena dukacita tersebut tidak menjadikan kita kehilangan semangat, namun mengingatkan kita akan kasih Yesus yang mengerti dan memahami penderitaan dan dukacita yang kita alami.


Kehadiran dan solidaritas Yesus adalah bentuk keikutsertaan Yesus merasakan setiap bentuk penderitaan dan dukacita yang kita alami. Setiap manusia pasti mengalami kesedihan, dukacita dan berbagai macam bentuk penderitaan yang membawa kita dalam “tangisan”. Namun, melalui perikop ini, setiap orang percaya diingatkan bahwa kasih Allah mengerti semua itu. Ia solider dengan kita dan ia merasakan betul bagaimana penderitaan kita. Dengan demikian adalah hal yang kurang baik jika kita berada dalam “tangisan yang berlebihan” dan lupa bahwa di samping kita sedang duduk bersama kita Yesus, dan mengatakan “jangan menangis”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar