Jumat, 22 Oktober 2010

Teologi berhadapan dengan bencana alam

:
Poin penting dalam berhadapan dengan bencana alam adalah bagaimana kita 'berefleksi' tentang kenyataan masyarakat Indonesia yang mengalami bencana? Tentu dalam hal ini, sebagaimana telah terjadi dalam banyak bencana: adakah Tuhan dalam bencana? dimanakah Tuhan pada saat seseorang mengalami bencana? Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Bernard Adenay yang mengatakan ‘bencana alam tidak hanya menyebabkan krisis fisik tetapi krisis teologi’. Hal yang sama diungkapkan oleh Gerrit singgih yang mengatakan ‘Namun bagi orang beriman, pengalaman penderitaan paling tidak menjadi sesuatu yang harus dipergumulkan, apalagi kalau penderitaan terjadi di sekitarnya’. Ini pula yang diungkapkan oleh Yulia Esti Oktarini yang mengatakan ‘Aspek kehidupan yang tidak luput dari dampak gempa bumi adalah kehidupan religius-spiritual dari warga masyarakat. Pengalaman penderitaan akibat gempa bumi tersebut membawa orang pada pertanyaan-pertanyaan dan doa yang spontan ditujukan kepada ‘Yang Kuasa’. Seruan tersebut bisa berupa seruan memanggil nama Tuhan, meminta tolong, meminta ampun sampai bertanya mengapa semua itu terjadi ’

Banyak hal yang dipikirkan ketika bencana alam terjadi. Entah mempertanyakan apakah ini disebabkan oleh karena dosa ataukah karena Tuhan memang menginginkan ini terjadi. Adeney misalnya mengatakan ‘Bahkan ada pandangan yang beranggapan bahwa bencana alam terkait dengan kondisi sosial-politik masyarakat, tanda bahwa Tuhan tidak senang dengan masyarakat pada umumnya’. Pandangan yang demikianlah yang saya kira menyebabkan banyak orang menerima setiap apapun bentuk penderitaan dan bencana alam di muka bumi ini. Sekalipun banyak fakta yang berdasar pada sains bahwa gempa misalnya berhubungan dengan adanya pergerakan tertentu di bawah bumi, banyak orang tetap meletakkan pandangan itu dalam kerangka ‘kehendak Tuhan’. Pemahaman yang seperti ini pulalah yang menyebabkan pandangan ‘menyalahkan’ atau mengkambinghitamkan korban dan [bahkan] Tuhan sendiri. Adeney mengatakan ‘entah menyalahkan Tuhan (blaming God) atau menyalahkan korban (blaming the victims).’ Dalam hal inipulalah John Campbell-Nelson dalam penelitian di Alor menyinggung soal mitologis yang berkembang.

Tetapi bagi saya sendiri pemahaman ini yang juga dikenal oleh banyak orang sebagai ‘teologi hukuman’ ala teolog ‘deuteronomis’ adalah sebuah pemahaman yang keliru. Karena pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah korban layak dihukum? Apakah para korban benar-benar berdosa? Dan buktinya, banyak orang yang justru jelas-jelas berdosa [seperti pembunuh dan koruptor] toh tak mengalami hal sebagaimana yang dialami oleh mereka yang terkena bencana alam yang juga di dalamnya ada anak-anak yang tak tahu apa-apa. Ini pula yang membawa Gerrit Singgih memperkenalkan ‘teologi salib’. Teologi salib bukanlah teologi pasrah, tetapi sebuah teologi yang mengajak orang memikul salibnya dalam rangka ‘kebangkitan’. Jadi ini bukan sebuah teologi yang begitu saja menerima, pasrah secara pasif, tetapi justru sebuah usaha di dalam mengatasi penderitaan, justru dengan memaknai penderitaan itu terlebih dahulu.

Dalam keterkaitan itulah, gereja menurut saya perlu membangun sebuah teologi yang lebih memihak korban sekaligus tidak mengkambinghitamkan Tuhan. Gereja harus menyadari bahwa dunia akan terus berada dalam bencana dan penderitaan yang silih berganti. Kesadaran ini pulalah yang menurut saya mengharuskan gereja sebagai agen kongkrit Allah di dunia untuk memberi makna terhadap penderitaan itu sendiri, mengatasinya, dan melanjutkan hidup. Karena Allah dalam diri Yesus telah mengatasi penderitaan dengan kebangkitanNya.

sumber gambar: kumpulnet.com



2 komentar:

  1. bagaimana keterlibatan Tuhan dalam bencana?????

    BalasHapus
  2. itulah yang saya kira perlu dibangun. Gereja harus membangun sebuah refleksi yang memadai tentang seberapa jauh keterlibatan Tuhan dalam bencana. Saya kira yang perlu diperhatikan adalah refleksi tersebut harus memperhatikan sudut pandang korban :D

    BalasHapus