Kita tidak bisa menghindari bahwa Alkitab menceritakan silih berganti kasih Allah dan juga tindakan kekerasan dari Allah. Hal ini dengan kasat mata dapat kita temukan dalam Alkitab. Lalu bagaimanakah kita menjelaskan keduanya, antara kasih dan kekerasan Allah? Apakah dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa Allah yang dikenal sebagai Yahweh dalam perjanjian pertama melegitimasi kekerasan?
Dalam hal inilah kita membutuhkan interpretasi yang kritis agar kita bisa dengan baik mengartikan tindakan Allah yang ambigu tersebut dalam kehidupan kita sekarang. Banyak memang yang memandang Alkitab justru kehilangan ke’wibawa’annya oleh karena kekerasan yang ada di dalamnya. Hal ini didukung oleh kata ‘perang’ [milkhamah] yang muncul lebih dari 300 kali dalam Alkitab. Bahkan ada beberapa teks yang memerintahkan perang tanpa belas kasihan sama sekali. Hal ini bisa diterima karena Alkitab yang lahir dalam konteks masyarakat Israel memandang Yahweh sebagai pahlawan perang. Keterlibatan Allah dalam seluruh perjalanan bangsa Israel termasuk dalam perang menjadikan banyak orang merasa bahwa Alkitab tak mungkin bisa dijadikan sumber moral. Secara teologis juga bermasalah karena kontradiktif dengan pemahaman bahwa Allah itu adalah kasih. Kontradiksi inilah yang membuat Allah yang ada dalam PL adalah Allah yang seharusnya ditinggalkan. Hal ini misalnya diungkapkan oleh Marcion yang menyarankan agar PL dibuang saja.
Citra Allah yang kontradiksi menunjukkan bahwa kita sebenarnya melihat ‘gambaran’ Allah itu sebagai yang bertentangan. Kita lupa bahwa gambaran Allah itu bisa berubah, dan juga bisa berkembang. Kesadaran ini sangat penting menurut saya. Bukankah iman itu terus berubah dan berkembang? Ada kelemahan bagaimana kita menggambarkan Allah. Kita sebagai orang yang ada sisi jahatnya berusaha menggambarkan Allah. Karena kita melihat Allah dalam gambarannya, maka itu tidak menunjukkan bahwa Allah jahat.
Dalam Alkitab sendiri saya melihat banyaknya gambaran Allah yang silih berganti, berubah bahkan revolusioner [lihat apa yang dilakukan oleh Yesus, ia menginterpretasikan Allah tidak seperti kebanyakan orang Yahudi memahaminya]. Gambaran tentang Allah tentu tidak sama dengan Allah sendiri. Gambaran Allah tidak sama dengan kenyataan Allah [the reality of God]. Allah tetaplah Allah. Gambaran kita, yang tercermin dalam Alkitab adalah gambaran yang maksimal dan terus berubah. Maka, refleksi kita tentang Allah tidak bisa dilepaskan dari bagaimana kita memahami Allah, bukan dari titik tolak yang tidak berkaitan dengan kita tetapi justru dari keberadaan kita sekarang ini. Selalu ada partisipasi umat di dalamnya!!
Ketika kita meng’kontras’kan keduanya peluang bagi kita untuk jatuh pada pemutlakkan sangat besar. Kalau tidak suka ini, ya itu [terlalu berpikir dalam pola pikir barat-ini atau itu]. Maka itulah yang terjadi dengan Marcion, ketika ia menganggap bahwa PL mesti dibuang saja. Ingat! Kita akan kehilangan keseimbangan, justru ketika kita mengabaikani gambaran Allah yang dihidupi sepanjang sejarah. Untunglah bahwa Alkitab kita bukan hukum, bukan syariat. Nek syariat, wah gawat...kita mesti bingung ya toh mesti nurut yang mana??
Setelah kita memahami ini, kita akan lebih bijak untuk menentukan sikap kita berhadapan dengan kekerasan. Seringkali pertanyaan yang muncul di benak saya adalah apakah perang dapat di’benar’kan? Bukankah perang pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang jahat? Mereka yang kemudian menganggap perang dapat dibenarkan justru mendasari diri pada apa yang Alkitab sendiri katakan. Bahwa Allah sendiri juga terlibat dalam perang yang dilakukan masyarakat Israel. Citra Allah yang kontradiksi ini membuat banyak orang melihat bahwa Allah memang mendukung keterlibatan kita dalam perang. Prinsip kasih[Kristen] yang kita pegang harus berhadapan dengan pilihan apakah demi alasan kemanusiaan, kekerasan pun bisa digunakan.
Dalam pemaparannya, Williard M. Swartley menunjukkan bagaimana sikap gereja berbeda-beda. Ada yang mendukung perang, dan ada yang sama sekali tidak mendukung. Dia menjelaskan bahwa ada yang mendukung perang [posisi tradisional A]. Mereka adalah orang-orang yang mendukung partisipasi orang Kristen secara tegas dalam keterlibatan dalam perang. Ada juga yang menghindari penggunaan simplisitis terhadap apa yang tercantum dalam teks-teks Alkitab [tradisional B]. Kadang-kadang memang, dalam dunia yang masih dihinggapi dosa, perang dapat dibenarkan untuk menghindari kekerasan yang lebih dahsyat. Ada juga yang disebut sebagai teologi revolusi dan pembebasan. Mereka adalah orang-orang yang berpendapat bahwa kekerasan tidak bisa dilepaskan dari sejarah keselamatan itu sendiri. Di lain pihak ada yang kelompok yang lebih berpihak kepada sikap damai [tidak mendukung kekerasan]. Mereka lebih memberi penekanan pada sikap pacifis Yesus dan melihat PL digantikan oleh PB [mengkritiknya] dan melihat perdamaian sebagai pusat dan inti dari Injil itu sendiri.
Bagaimana kita memahami kedua sikap di atas? Bagi saya sendiri, sebagaimana yang saya tunjukkan di poin pertama bahwa harus ada kesadaran terlebih dahulu bahwa kita melihat ‘gambaran Allah” dalam Alkitab dan bukan Allah sendiri. Kesadaran ini akan membuat kita untuk sangat hati-hati menuduh bahwa Allah melegalkan kekerasan. Apalagi ada banyak kelompok Kristen yang kemudian memahami ayat-ayat itu secara harafiah bahkan ayatiah. Dengan kesadaran dan sikap rendah hati, kita akan bersikap lebih baik dalam menentukan sikap dalam masa sekarang, tanpa harus dengan gegabah memahami sikap Allah yang terlanjur kita pisahkan dalam dua karakter yang saling bertolak belakang.
Bacaan: Williard M. Swartley, Slavery, Sabbath, War & Women: Case Issues in Biblical Interpretation (Scottdale and Waterloo: Herald Press, 1983), Chapter 3, p. 96-149
sumber gambar: pixabay.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar