Selasa, 05 Oktober 2010

Ritual dan upacara peralihan [rites of passage]

BAB 1

Pagi ini saya sedang membaca buku dari Fiona Bowie, "ritual teory, rites of passage and ritual violence' in The Anthropology of Religion, 2000, p. 151-189. Yang menarik perhatian saya dari bacaan saya pagi ini adalah pembahasannya yang menyajikan pokok2 pikiran dari Victor Tunner mengenai ‘liminalitas’ yang merupakan pengembangan dari teori yang diungkapkan oleh Arnold van Gennep. Bagi van Gennep sendiri, ada 3 tahapan dalam ritus peralihan yaitu: ritus pemisahan [pra-liminal, dimana seseorang terpisah dari status tetap yang dimiliki pada struktur sosial sebelumnya], ritus perpindahan [margin atau batas, yang bermakna subyek ritual dalam keadaan ambigu karena subyek tidak lagi dalam status lama, tetapi belum masuk status baru], dan ritus inkorporasi [pasca-liminal, berarti subyek ritual memasuki status atau keadaan stabil yang baru dengan menyandang berbagai hak dan kewajiban]. Dalam hal ini Turner mengatakan liminalitas merupakan tahapan ke-2 dari 3 tahap pendewasaan van Gennep. Keadaan yang kedua [ritus perpindahan] merupakan kondisi yang ambigu. Kondisi yang ambigu ini sering sekali terjadi dalam siklus kehidupan seseorang dan biasanya inilah masa-masa kritis bagi seseorang.


Dari penelitiannya terhadap suku Ndembu, Tunner mengatakan bahwa pada masa kritis seperti ini seseorang sering sekali mengalami gangguan dan bentuk gangguan tersebut datang dari makhluk halus. Dalam hal inilah kemudian terjadi upacara atau ritual yang sifatnya trasendental untuk meminta perlindungan dari yang kuasa. Tetapi juga pada sisi lain saya melihat bahwa Tunner juga ingin mengatakan bahwa ritual-ritual yang sering sekali ada dalam masyarakat sebenarnya berfungsi sebagai penguatan terhadap kepecayaan-kepercayaan tertentu. Jadi ritual lebih menunjuk kepada perilaku tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu tertentu secara berkala, bukan sekadar rutinitas yang bersifat teknis melainkan menunjuk kepada tindakan yang didasari oleh kayakinan religius terhadap kekuasaan atau kekuatan-kekuatan mistis. Mungkin hal ini mirip dengan apa yang ada dalam masyarakat Jawa dengan tradisi ‘selamatan’ agar roh tidak mengganggu hidup manusia.


Saya beberapa kali mengunjungi tempat-tempat suci seperti Sendangsono, gua Maria Kerep Ambarawa dan Ganjuran. Saya melihat dari sana bahwa ritual-ritual yang sering sekali dilakukan adalah bagian dari memantapkan proses perpindahan siklus kehidupan dan pendewasaan tersebut. Peziarah-peziarah yang datang ke sana tidak sekedar melihat bagaimana indahnya tempat itu atau hanya sekedar melakukan wisata semata, tetapi nampaknya ada keyakinan yang teramat sangat dari peziarah yang meyakini bahwa doa yang mereka panjatkan, ketertundukan di bawah patung Yesus dan Maria merupakan bagian dari apa yang disebut Tunner sebagai liminalitas. Kebutuhan untuk berziarah didasarkan pada permasalahan-permasalah hidup yang membuat umat merasa terhimpit dan tertekan sehingga mereka membutuhkan kekuatan untuk melanjutkan kehidupan mereka. Mereka meyakini bahwa pengalaman berjumpa dengan Allah melalui perziarahan mampu memberikan kekuatan baru dan memperkuat iman mereka pada Tuhan. Proses transisi dalam kehidupan seseorang dimantapkan lewat ritual-ritual tertentu dan biasanya bersifat trasendental.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar