Jumat, 05 November 2010

Budaya Perdamaian


Jika kita kembali pada awal-awal keKristenan nampak bahwa keKristenan sejatinya adalah pacifis. Sebagai sebuah gerakan pacifis, ia tentu tidak berpihak pada perang dan kekerasan apalagi menjadikan perang dan kekerasan sebagai satu-satunya jalan keluar untuk menyelesaikan masalah.
Theodore J. Koontz mengatakan bahwa pacifisme Kristen adalah sebuah bentuk usaha dalam mencapai kemenangan hanya saja kemenangan tersebut mengikuti Yesus sendiri.
Dalam sejarahnya kaum pacifis adalah orang-orang yang ‘aktif’ dalam menentang kebijakan-kebijakan yang merengut kemanusiaan manusia seperti perang, tindakan-tindakan pengekangan dan otoriterisme, penjajahan dsb. Hal ini merujuk pada sikap Yesus sendiri yang adalah seorang pacifis.
Bahkan sebagaimana juga disinggung oleh Theodore J. Koontz, kemenangan Yesus di atas kayu salib adalah bukti bahwa Yesus menang atas kekuasaan. Kekuasaan yang digunakan sebagai alat represif telah dibungkam oleh Yesus yang justru tanpa perlawanan menelanjangi kekuatan dan kekuasaan yang dilakukan atasNya.
Kekuasan yang disebutnya didasarkan atas ketakutan untuk lepas dari kekuasaan itu sendiri telah menyebabkan rapuhnya sebuah pemerintahan. Ketidakmampuan mengatasi ketakutan telah melahirkan kepura-puraan dan pertahanan diri dan kekuasaan yang naif. Dalam hal inilah Koontz mencoba menunjukkan bahwa sejarah telah didominasi orang-orang yang punya mentalitas yang bertolak belakang dengan sikap pacifis Yesus sendiri, dengan asumsi-asumsi bahwa kadang-kadang perang diperlukan untuk untuk melindungi dan menyerahkan tindakan tersebut kepada negara dan penguasa untuk melakukannya yang memang punya kekuatan dan paksaan.

Dalam mengembalikan tradisi pacifis yang sudah ternoda oleh kegetiran dan ego manusia yang ditunjukkan lewat perang dan kekerasan tersebut, Koontz mengajak kita untuk kembali pada ruh pacifis itu sendiri. Disini dia menyebutkan bahwa kita harus terhindar dari berbagai macam ‘ketakutan-ketakutan’ yang sudah mencengkrama kita karena menurutnya perang adalah bentuk ekspresi dari ketakutan yang sudah mendominasi kita. Dalam hal ini dia mengikuti apa yang dikatakan Henri Nouwen yang mengatakan bahwa ‘cinta lebih kuat daripada rasa takut’. Kasih dari Allahlah yang mengusir ketakutan dari dalam diri kita. Mencintai dan berdoa bagi musuh adalah bagian dari sikap Yesus yang perlu dihidupkan. Karena Injil sendiri mengajak kita untuk mencintai, mengampuni dan bahkan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita. Dari ini kemudian Koontz menceritakan sebuah cerita yang amat terkenal di dalam tradisi Menonite, seorang yang bernama Dirk Willems. Willems adalah seorang yang mau menunjukkan cintanya terhadap tentara yang mengejar dan ingin menangkapnya tetapi mau tenggelam dalam lapisan es. Willems tidak membiarkannya tenggelam bahkan mengulurkan tangannya untuk mengangkat tentara itu. Meskipun akhirnya Willems dijebloskan kembali ke dalam penjara dan dihukum mati. Ia tahu resiko dari cinta yang ia tunjukkan kepada tentara itu, tetapi Willems tetap memilih untuk mencintai.

Namun Koontz mencoba menunjukkan kepada kita pula betapa Niat baik selalu mendustakan niat tersebut. Niat untuk mencintai dipakai untuk melegalkan perang dengan alasan-alasan tertentu. Seperti untuk menghindari jatuhnya korban, untuk menciptakan perdamaian. Bagaimana kita mau mencintai dengan membunuh. Hal ini nampak misalnya dalam ‘perang terhadap terorisme’ yang diusung oleh Bush. Bagaimana mungkin memerangi terorisme dengan teror itu sendiri. Dalam hal inilah Koontz menurut saya berbeda pendapat dengan Agustinus, dengan justru memberi penekanan kepada tindakan nyata mencari yang terbaik untuk mencintai dan tidak semata-mata didasarkan atas motivasi dan perasaan saja. Tidakkah ini penuh dengan kebohongan? Koontz mengutip Surat Yakobus 2:17 yang mengatakan bahwa ‘Jika iman tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati’. Inilah yang saya kira menjadi poin penting bagi gereja untuk membangun budaya perdamaian. Kualitas iman kita dibuktikan dan nampak dalam tindakan kita sendiri. Karena dengan demikian, kata Koontz kita menyaksikan dan mengkomunikasikan kasih Allah. Artinya, gereja akan mampu menciptakan budaya perdamaian jika gereja sendiri membudayakan iman yang dibuktikan dalam tindakan nyata.

Gereja pada awal kelahirannya memang sudah penuh dengan resiko. Yesus yang adalah tokoh sentral dalam gereja menerima resiko dari sikap mencintai yang ia tunjukkan. Begitu pula dengan martir-martir yang harus menanggung resiko kematian ketika mereka menunjukkan iman mereka untuk mencintai. Mencintai adalah memeluk resiko dan bukan dengan takut kepadanya. Mencintai memampukan kita menciptakan budaya perdamaian. Dan itu mesti ditunjukkan dari kualitas tindakan yang ia lakukan. Dalam dunia yang merasa bahwa perang dan kekerasan akan menyelesaikan masalah dan menciptakan perdamaian, entah itu dengan motif yang baik sekalipun telah menjebak kita masuk dalam siklus perang dan kekerasan yang tidak pernah putus. Pada kenyataannya juga tidak ada teori perang yang telah berhasil menciptakan perdamaian di dunia ini.

Pacifis Kristen haruslah menjadi bagian dari kehidupan gereja itu sendiri. Seringkali menurut Koontz prinsip ini dihadapkan dengan kasus-kasus ekstrim tetapi pada situasi normal, orang sering kali melupakannya. Artinya, sikap pacifis adalah sikap yang menurut saya proaktif dalam menciptakan perdamaian itu sendiri. Ia mulai dari hal-hal yang kecil, dari dalam keluarga, dari sebuah komunitas masyarakat termasuk dalam gereja. Inilah termasuk tantangan yang sering sekali dihadapi oleh mereka yang bersikap pacifis. Padahal tujuan dari pada pacifis itu sendiri adalah bagaimana kita menghidupi diri dan komunitas kita dengan gaya hidup yang berpihak pada yang namanya damai dan nir kekerasan. Pacifis tidak menunggu perang untuk berpihak pada nir kekerasan. Makanya Koontz mengatakan mengapa kita justru tidak berfokus pada diplomasi? Mengapa kita tidak mengarahkan pikiran dan tenaga kita untuk membangun dan memelihara? Mengapa kita tidak menghabiskan uang untuk mendukung PBB membangun perdamaian? Mengapa justru kita menghabiskan uang begitu banyak untuk persenjataan hanya demi pertahan diri sendiri? Hanya dengan meninggalkan ‘rumah ketakutan’ dimana ada kecurigaan, kebencian dan perang dan melangkahkan kaki ke ‘rumah cinta’ dimana ada rekonsiliasi, penyebuhan dan perdamaian, kita bisa hidup.

Gereja, menurut saya harus mampu mengembalikan identitasnya sebagai ‘pembawa damai’ dan membudayakan damai itu sendiri dalam komunitasnya secara konstan dan terus-menerus bahkan ketika harus menghadapi resiko bertalian dengan keamanan diri sendiri. Gereja adalah komunitas yang tidak berfokus pada pertahanan dirinya sendiri tetapi melestarikan kehidupan itu sendiri termasuk di luar dirinya. Gereja sejatinya adalah ‘komunitas pacifis’ yang mengarahkan segenap hati dan pikirannya untuk membangun dan menciptakan perdamaian. Karena kita tidak diciptakan untuk saling perang, saling membunuh dan saling meniadakan, tetapi dengan berpusat pada ajaran Yesus kita diajak untuk hidup dalam masyarakat yang bebas dari rasa takut dan hidup dalam cinta. Kita bisa menyebut Matin Luther King, Thomas Merton dsb adalah orang-orang yang tidak menyimpan Firman Tuhan itu sendiri dalam batas-batas aman dan pribadi saja. Gereja juga seyogiyanya tidak menyimpan Firman itu sendiri pada dirinya sendiri.

Sumber gambar: peacechurch.ning.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar