Kamis, 14 Oktober 2010

Ide Dikotomis dan Narasi Perdamaian


Setuju atau tidak, saya melihat bahwa kurang lebih ada saham dari pemahaman kita yang terbatas (namanya manusia) akan apa yang dikatakan oleh teks-teks suci. Tetapi ada banyak dari kita yang punya pemahaman yang sempit (ini yang berbahaya) akan teks-teks tersebut. Pemahaman teks-teks suci, bagaimanapun agaknya ikut memberikan andil dalam aksi kekerasan yang selalu dikaitkan dengan agama. J. Harold Ellens misalnya mengatakan bahwa teks-teks suci dan bahasa-bahasa agama [dia menggunakan istilah ‘metafora'] telah menjadi dasar bagi kelompok tertentu untuk me’legal’kan aksi kekerasan yang dilakukannya terhadap kelompok lain. Metafora-metafora tersebut telah mendorong umat beragama dewasa ini untuk mengobarkan kekerasan. Hal yang sama pun diungkapkan oleh Mark Juergensmeyer mengenai ‘perang kosmis’ yang mengatakan bahwa hal ini (aksi kekerasan atas nama agama) sebenarnya bukanlah hal baru tetapi merupakan warisan dari tradisi-tradisi keagamaan. Itu menandakan bahwa pertentangan-pertentangan yang terjadi sekarang sudah merupakan bagian yang amat sangat dekat dengan realitas manusia. Juergensmeyer menunjukkan bahwa ada sebuah kecenderungan ide tentang ‘dikotomis’. Yang lain adalah musuh yang harus dihancurkan. Dalam ide tersebut juga terkandung gambaran tentang kebaikan dan kejahatan. Mereka yang ada di luar adalah jahat oleh karena itu harus dihancurkan.

Menurut pendapat saya sendiri, penggolongan-penggolongan ini telah menyebabkan konflik yang tanpa disadari menjadi [pelan-pelan] semacam ideologi (atau lebih tepatnya cara berpikir). Parahnya hal ini sebenarnya hadir dan dihidupi oleh setiap agama. Konsep kami dan kalian, kita dan mereka, benar dan kafir, dosa dan pahala, surga dan neraka adalah konsep yang secara ‘sengaja’ diinternalisasikan dalam diri setiap penganut agama. Tujuannya membuat sejelas mungkin siapa kami dan siapa mereka. Segregasi yang tajam ini menyebabkan agama bisa disalahartikan untuk menghancurkan orang yang berbeda dengan dia. Penghancuran ini, nampak dalam berbagai konflik bernuansa agama dengan membawa panji agama serta teks-teks suci sebagai cap legalitas. Menurut mereka, tidak ada yang salah dengan apa yang mereka lakukan karena mereka sedang melawan musuh-musuh dari kebaikan dan dengan demikian musuh dari Allah sendiri. Jadi, tidak lagi sekedar pertarungan politik biasa tetapi lebih dari itu, ini perang kosmis, antara kami dan kalian, antara kebaikan dan kejahatan. Militanisme dan fundamentalisme agama lahir dari doktrin seperti ini. Ellens mengatakan bahwa para pelaku dari aksi kekerasan tampaknya benar-benar percaya bahwa tindakan mereka adalah pelaksanaan kehendak dan maksud Allah dan untuk itu mereka akan memiliki “pahala yang sangat besar.” Ide tentang perang ilahi yang ada dalam Kitab Suci dengan gampang diterjemahkan ke dalam kehidupan sekarang. Hal ini pulalah yang menyebabkan kekerasan, perang dan pembunuhan menjadi sesuatu yang tak lagi mengerikan justru oleh karena diselubungi oleh pemahaman agama yang sempit atas teks-teks, yang juga dengan gampang bisa ditemukan dalam Kitab Suci.

Maka dari itu, selain memahami betul konteks dan latar belakang dari teks, yang saya kira perlu dilakukan adalah bagaimana kekerasan yang mendasarkan diri dari kitab suci harus ditandingi oleh sebuah kekuatan yang sifatnya radikal bertalian dengan pembangunan perdamaian. Yang mau saya katakan adalah dalam dunia ini ada banyak narasi-narasi yang memisahkan dan bahkan memusuhi ‘yang lain’. Atas dasar inilah harus ada narasi-narasi yang memperkokoh untuk makin kuatnya perdamaian. Narasi-narasi bernuansa konflik dan permusuhan harus ditandingi dengan narasi-narasi yang mendorong tumbuhnya rasa saling menghormati di antara sesama manusia. Jika yang ada ‘ketiadaan damai’ maka tentu kita harus kritis akan hal itu. Dan saya kira salah satu hal yang bisa kita lakukan adalah dengan membangun sebuah narasi-narasi yang ‘berpihak’ pada damai. Hal ini misalnya dilakukan lewat berbagai ceramah-ceramah yang mengajak orang untuk menghormati orang lain, tidak mengutamakan tindakan kekerasan dalam menyelesaikan konflik, menghargai keberbedaan sebagai sebuah hal yang nyata dan harusnya disyukuri, memperkenalkan anak-anak soal keberbedaan, mengajak keluarga untuk mengenal yang berbeda dengan dia, dsb. Makanya Theodore J. Koontz mengatakan mengapa kita justru tidak berfokus pada diplomasi? Mengapa kita tidak mengarahkan pikiran dan tenaga kita untuk membangun dan memelihara? Mengapa kita tidak menghabiskan uang untuk mendukung PBB membangun perdamaian? Mengapa justru kita menghabiskan uang begitu banyak untuk persenjataan hanya demi pertahan diri sendiri? Hanya dengan meninggalkan ‘rumah ketakutan’ dimana ada kecurigaan, kebencian dan perang dan melangkahkan kaki ke ‘rumah cinta’ dimana ada rekonsiliasi, penyebuhan dan perdamaian, kita bisa hidup.

Kita memang tidak bisa menyangkali bahasa-bahasa keagamaan yang mengandung kekerasan. Jujur bahwa kitab suci kita memang menyediakan cerita kekerasan, perang dan pembunuhan. Tentu (dengan catatan) sebuah kenyataan yang jika ditilik dari keadaaan peradaban manusia 2000 tahun kemudian. Dan sebagian dari kita justru memakai teks-teks 2000 tahun yang lalu ini sebagai penegasan identitas bahwa saya yang benar dan yang lain harus dihancurkan. Dengan sengaja kita membentuk dan memaknai teks-teks itu demi tujuan menghancurkan orang lain. Agama justru menjadi pembenaran bagi tindak perang dan kekerasan dengan skala yang lebih besar. Namun, meskipun begitu, saya tidak setuju jika kekerasan agama di anggap sebagai satu-satunya sumber dari kekerasan atas nama agama. Ada banyak motif mengapa orang melakukan kekerasan terhadap yang lain. Dan agama mungkin saja hanya sebagai pembenaran melakukan kekerasan tersebut.

sumber gambar: www.jpnn.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar