Sabtu, 09 Oktober 2010

Masalah tanah: Penegakan Keadilan Sosial melalui hukum. Mungkinkah?


Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Sila ke-5 merupakan kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi. Namun hal ini bisa terjadi jika penguasa dan pengusaha menyadari bahwa kekuasaan yang mereka miliki bukan bertujuan untuk menguasai dan menindas rakyat demi memperkaya diri sendiri. Sebaliknya, adalah untuk melayani kepentingan umum, yakni kesejahteraan rakyat. Proyek-proyek pembangunan yang dirancang dan dilaksanakan oleh para pengusaha dengan izin penguasa harus berwawasan lingkungan serta bertujuan untuk mensejahterakan rakyat di sekitarnya dan tidak semata-mata untuk mengejar keuntungan pribadi atau dibawa keluar ke tempat lain. Tanah dan rumah rakyat yang terkena suatu proyek pembangunan harus mendapat penggantian yang seadil-adilnya dari sudut pandang rakyat dan bukan dari sudut pandang penguasa atau pengusaha. Karena itu harus juga dilakukan program pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh penguasa dan pengusaha bagi masyarakat yang daerahnya menjadi sasaran proyek pembangunan selama masih dalam perencanaan. Agar tidak timbul kesenjangan yang dapat melahirkan konflik antara para pendatang dan penduduk setempat.

Saya pikir salah satu hal yang menarik yang ditulis oleh Wright bahwa dalam Perjanjian Lama ada kesadaran bahwa hukum itu terbatas kemampuannya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam masyarakat, kalau ada orang yang mengelakkan tuntutannya. Setidaknya dalam hal ini, hukum bukanlah satu-satunya jalan bagi penegakkan keadilan. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa masyarakat tidak dapat dipertahankan atau diperbaharui hanya dengan kekuatan hukum saja. Setidaknya Wright memberi 3 alasan untuk hal tersebut, yang pertama adalah hukum-hukum yang adil mungkin dipergunakan secara tidak adil atau sama sekali diabaikan, yang kedua adalah hukum dapat diubah dan dihindari, orang yang cukup berkuasa dan berpengaruh dapat membuat hukum-hukum yang tidak adil demi keuntungannya sendiri, dan yang ketiga adalah ketidakadilan sudah mendarah daging dan diwujudkan dalam struktur-struktur masyarakat, maka mengubah hukum atau menggali kembali hukum-hukum yang lama bukanlah pengobatan yang memadai.

Oleh karena hal tersebut maka, menurut saya dalam konteks Indonesia, pelaksanaan penegakkan hukum harus dibarengi dengan:

1. Kebajikan. Hal ini sesuai juga dengan apa yang dihayati dalam perjanjian lama dimana hukum seharusnya didasari oleh kemurahan hati. Wright mencatat kategori dimana kebajikan tersebut dilaksanakan: perlindungan untuk orang lemah, khususnya orang yang kurang mendapat perlindungan dari keluarga dan tidak mempuyai hak atas tanah, janda-janda, anak-anak yatim, orang-orang Lewi, para miskin; sikap tidak pandang bulu; kemurahan hati pada musim panen dan dalam kehidupan ekonomi pada umumnya; penghargaan kepada pribadi dan harta milik, bahkan dari seorang musuh; perhatian khusus terhadap pendatang; pembayaran gaji dengan segera, dsb.

Dalam kaitannya dengan itu, maka pelaksanaan hukum bertalian dengan permasalahan penggusuran masyarakat dari tanah tertentu entah dengan alasan ekonomi, pembangunan dengan legitimasi hukum harus dihayati dengan sebuah kebajikan dengan mengedepankan perlindungan bagi mereka yang miski, tertindas dan lemah, sehingga hukum yang dijadikan sebagai sumber legitimasi menjadikan hukum lebih berpihak kepada yang lemah dan tertindas. Karena penggusuran yang terjadi di Indonesia pada umumnya selalu mengorbankan masyarakat kecil dan lemah, yang tidak tahu hukum, yang tidak mengerti mengapa mereka harus digusur. Hukum dengan kebajikan harusnya berpihak kepada orang-orang yang lemah seperti ini.

Sebagai orang Kristen, sebagaimana juga dihayati oleh Perjanjian Lama, hukum selalu harus berpihak kepada mereka yang lemah dan tertindas. Karena setiap hukum khususnya bagi orang beriman dalam Perjanjian lama selalu dihayati dalam relasinya dengan Allah. Allah selalu ada di balik hukum. Allah ada dibalik hukum. “The whole law, especially the Decalogue, enshrines both the vertical and the horizontal dimensions that are integral to the covenant: God’s redemptive act and man’s responsive obedience, expressed in love for God and for one another”

2. Prinsip kasih harus selalu mewarnai pelaksanaan hukum. Dan tidak ada hukum yang boleh dipakai untuk meniadakan kasih. Masalah paling besar adalah bagaimana kasih dapat diwujudkan. Hakekat dari Tuhan adalah kasih, bukan keadilan. Dan kasih adalah dasar keadilan. Kasih adalah nyang paling berkuasa dalam konteks masyarakat. Hukum seharusnya dipakai untuk membuat kasih senyata-nyatanya bagi semua orang. Di dalam hal inilah saya kira masalah penggusuran yang berakibat terjadinya bentrok antara masyarakat dan aparat keamanan (satpol PP) dapat dihindari. Artinya, jika kita melakukan pendekatan tidak dengan mengerahkan kekuatan aparat keamanan melainkan dengan prinsip bahwa setiap dari kita punya kasih, maka tidak akan ada yang namanya bentrok atau unjuk rasa.

Melaksanakan hukum dengan prinsip kasih akan menjadikan masalah pertanahan lebih manusiawi. Walaupun kadang-kadang memerlukan waktu yang relatif lebih lama, namun menurut saya pendekatan ini jauh lebih baik ketimbang mengerahkan se”pleton” aparat keamanan yang di dalam dirinya selalu mengandung kecurigaan terhadap masyarakat. Beberapa kasus yang terjadi di berbagai daerah dengan jatuhnya korban yang tidak sedikit, termasuk dalam kasus makam mbah Priok, menunjukkan bahwa pendekatan dengan pengerahan aparat keamanan besar-besaran sudah waktunya ditinggalkan.

3. Pendekatan dengan mempertimbangkan ilmu sosial. Hukum bisa saja dijadikan sebagai dasar legitimasi terhadap penggusuran. Namun perlu diingat bahwa permasalahan masyarakat begitu amat kompleks. Dalam pengertian lain, hukum harus juga mempertimbangkan bagaimana situasi sosial masyarakat. Makam mbah Priok yang akan ditertibkan tentu bertalian dengan masalah sosial budaya karena menyangkut tentang nilai-nilai yang telah bertahun-tahun diyakini oleh sebuah komunitas. Dalam hal ini, diperlukan sebuah keseriusan untuk melihat bagaimana sampai sebuah komunitas begitu menaruh keyakinan yang amat besar terhadap makam tersebut. Nilai-nilai yang telah diyakini tersebut seyogiyanya dihormati, termasuk oleh pemerintah dengan aparat keamanannya. Pemerintah harus mengindahkan adat-istiadat dalam sebuah komunitas tersebut. Bentrok yang terjadi dengan satpol PP yang berujung meninggalnya 3 orang menunjukkan terdapatnya ketidakpedulian dan pelecehan terhadap sebuah komunitas dengan nilai-nilainya sendiri.

Dalam kasus makam mbah Priok misalnya, pemerintah bisa melibatkan alim-ulama dalam proses dialog bertalian dengan keinginan pemerintah melakukan pelebaran pelabuhan. Atau pun bertalian dengan penertiban beberapa gapura yang mengganggu jalannya bongkar muat di pelabuhan tersebut. Tetapi sayangnya pemerintah lebih memilih untuk melaksanakan hukum dengan sangat harafiah hanya berdasarkan teks-teks mati semata, yang tercantum dalam kitab hukum.

Namun, yang sering sekali kita lihat dan amati di lapanngan adalah pendekatan yang dilandasi oleh arogansi penguasa dalam berhadapan dengan rakyat. Sering muncul kesan “memaksa”, sehingga masyarakat merasakan seolah-olah adanya tekanan dari pemerintah.
Dengan mempertimbangkan pendekatan ilmu sosial dalam menggali permasalahan yang lebih kompleks terhadap satu komunitas tertentu, bagaimana kita mencari dasar sistemik [struktur] yang menyebabkan masalah-masalah sosial yang ada, akan memperkaya pelaksaan aturan dan hukum dengan lebih manusiawi, tanpa harus berjatuhannya korban materi dan jiwa.

4. Kita membutuhkan orang-orang yang berani melaksanakan hukum dengan dihayati oleh keberpihakan terhadap yang lemah dan tertindas. Wright menyebutkan beberapa hal bertalian dengan pelaksanaan hukum tersebut dan bagaimana kita juga belajar dari hal tersebut:

1. hakim-hakim yang memulihkan Israel dari penindasan dan menempatkannya “dalam hubungan yang benar” dengan Allah. Hakim-hakim militer mewujudkan karya Allah yang adil dalam bentuk penyelamatan yang nyata [Debora dan Barak dalam hak. 4:5]

2. raja-raja menjalankan keadilan dan meneladani Allah melindungi yang lemah dan miskin [bnk. Ul.17:18-20]. Dalam tulisan-tulisan hikmat hal inipun dapat kita temui dimana raja harus menegakkan keadilan sosial [ bnk. Ams. 16:12, 29:4, 14]. Perhatikan bunyi Ams. 31:8-9 berikut: “bukalah mulutmu bagi orang yang bisu, untuk hak semua orang yang merana, bukalah mulutmu, ambillah keputusan secara adil, Dan berikanlah kepada yang tertindas dan yang miskin hak mereka

3. Berlaku adil adalah berita para nabi. Perhatikan kata-kata Yesaya 5: 7b berikut: “dinantiNya keadilan (misypat), tetapi hanya ada kelaliman (mispakh), dinantinya kebenaran (tsedaqa), tetapi hanya ada keonaran (tse’aqa)”

Kenyataan ketidakadilan dalam masyarakat, dan penindasan terhadap yang lemah membuat kita harus melaksanakan hukum dengan baik dan benar. Tetapi sebelum itu kita harus mengalami transformasi batin agar pelaksanaan hukum yang ada dapat diterapkan dengan dijawai oleh rasa keadilan dan kasih. Apa yang diungkapkan dalam perjanjian lama tentu mencerminkan bagaimana para nabi mempunyai keberanian dengan memanggil mereka kembali agar kembali pada landasan perjanjian dengan Allah yang adil. Selain para nabi memberitakan bahwa keadilan adalah tuntutan Allah, mereka juga dengan tegas memberikan perhatian kepada orang miskin, lemah dan tertindas, terbuang dan menderita [misalnya nabi Natan yang menentang raja Daud bertalian dengan Uria dan Elia yang melawan Ahab bertalian dengan Nabot]. Dalam hal ini kita juga bisa melihat bagaimana para nabi memainkan peran di dalam keberpihakannya kepada mereka yang miskin dengan menantang para penguasa dan kekuasan yang lalim.

Hukum tidak bisa berjalan sendiri!! Dalam pembahasan di atas, khususnya bertalian dengan penggusuran bertalian dengan permasalahan tanah, pelaksaan hukum harus dibarengi dengan hal lain seperti permasalahan kebajikan, prinsip dan transformasi batin agar pelaksaannya tidak membuat yang lemah semakin lemah, yang tertindas semakin tertindas dan mereka yang miskin semakin dibuat miskin oleh hukum yang tidak berpihak kepada mereka. Dalam konteks Indonesia, pelaksanaan hukum seyogiyanya dilakukan demikian. Karena, menurut saya permasalahan tanah di Indonesia akan semakin meningkat seiring dengan berkembangnya ekonomi nasional dan kebutuhan masyarakat. Apabila tidak ditangani secara bijaksana masalah tersebut akan lebih meningkatkan gejolak sosial di dalam masyarakat kita. Pemerintah harus berorientasi kepada rakyat banyak khususnya mereka yang tertindas dalam hal penggusuran bertalian dengan tanah, dan pendekatan yang dipakai harus lebih manusiawi.

Bacaan: Christopher Wright, Living as the People of God (England: Inter-Varsity Press, 1989)
sumber gambar: pixabay.com

2 komentar:

  1. Penguasa dan pengusaha di negeri ini saling berselingkuh untuk meraup keuntungan besar. Selama itu terjadi, maka hukum hanya akan memihak orang2 besar saja

    BalasHapus
  2. udh gayanya pmrintah

    BalasHapus