Minggu, 10 Oktober 2010

Hukum sebagai salah satu sumber etika: Masih relevankah?


Sejauh mana hukum relevan untuk etika sosial di Indonesia? Saya akan mulai dengan kenyataan pahit bahwa hukum di Indonesia sedang mengalami keter”cabik”kan akibat mencuatnya MARKUS (Makelar Kasus). Hukum di Indonesia ternyata ada “makelar”nya. Markus bekerja untuk merekayasa kasus hukum yang ada, sehingga perkaranya bisa tidak terjerat hukum sebagaimana berlaku. Sungguh sebuah kenyataan bahwa Markus ini adalah mereka yang justru di”mandat”kan sebagai penegak hukum. Maka dengan kenyataan yang demikian, apakah kita masih bisa percaya pada hukum? Apakah masih relevan hukum dalam etika sosial di Indonesia justru di tengah-tengah rasa pesimis dan apriori bahwa hukum dapat menjadi salah satu sumber etika sosial di Indonesia? Pendapat saya pribadi masih relevan.


Jika ditanya sejauh mana? Sejauh hukum bisa memberikan rasa adil bagi setiap warga negaranya. Atau dalam bahasa Wright disebut “keadilan Allah”. Jika kenyataan bahwa hukum kita di”permainkan” oleh Markus, maka yang harus di”reformasi” adalah penegak hukumnya, bukan hukumnya [tentu kita harus kritis juga terhadap hukum yang tidak adil!]. Hal ini pulalah yang diungkapkan oleh Wright bahwa banyak orang pada zaman ini yang menjadi korban dari hukum yang timpang atau ketidakadilan yang terencana. Ia mengatakan “ This corresponds well with a growing awareness in our day that people, especially the powerless, the poor, the illiterate, the immigrant, are as often hurt by the process of law, even good law, as they are victims of bad law or deliberate injustice”.


Wright mencoba memaparkan bahwa dalam PL ada berbagai macam jenis hukum mulai dari dasa titah, kitab perjanjian, kumpulan imamat, kumpulan ulangan. Ia juga menyebutkan bermacam-macam hukum seperti hukum pidana, perdata, keluarga, peribadatan dan hukum kebajikan. Namun yang menarik dalam pemaparan Wright adalah bagaimana semua hukum itu merupakan relasi yang vertikal maupun yang horizontal. “Love for God and Love for one’s neighbour thus stand united here as well”. Kalau kita melihat maka pelaksanaan Hukum bagi bangsa Israel dilandasi oleh penghayatan mereka terhadap kasih Allah yang membebaskan mereka dari perbudakan dan bagaimana Allah telah menebus mereka dan Allah memerintahkan mereka untuk melakukan hal yang sama (Ulangan 24:18). Allah ada dibalik hukum. “The whole law, especially the Decalogue, enshrines both the vertical and the horizontal dimensions that are integral to the covenant: God’s redemptive act and man’s responsive obedience, expressed in love for God and for one another”


Hal ini mirip dengan apa yang tercantum dalam hukum yang digali dari Al-Quran. Yoseph Schacht mengatakan bahwa mustahil memahami Islam tanpa memahami hukum Islam. La Jamaa mengatakan konsep hukum dalam Al-Quran bukan saja bernilai profan tetapi juga bernilai trasenden. Dengan kata lain, konsep hukum dalam Al-Quran merupakan integrasi antara nilai Ilahiah karena bersumber dari Tuhan yang trasenden, yang diataati karena didorong keyakinan yang sungguh-sungguh (keimanan) kepada Tuhan, dan karena Allahlah yang maha kuasa, yang berhak menetapkan jalan sebagai petunjuk hidup manusia, tetapi juga bernilai humanis karena konsep hukum tersebut senantiasa memperhatikan kebutuhan manusia dalam kehidupan yang profan. Jadi menurutnya, Al-Quran jika dipandang dari segi hukum, selalu akan memperhatikan sisi vertikal dan horizontal. Hal ini selaras dengan Alkitab yang juga mencoba menguraikan permasalahan akan keadilan dengan berpatokan pada kedua sisi tersebut. Spirit keadilan dapat dijadikan sebagai titik temu yang dapat membuat hukum Islam dan hukum Kristen sebagaimana yang didapat dari Alkitab bergandengan tangan dalam memperjuangkan kehidupan, baik kehidupan dalam relasinya dengan Allah, dengan sesama maupun Alam. Tentu, kita bisa berdebat lebih jauh mengenai harus bagaimana kedua hukum tersebut diterapkan. Tetapi bagi saya, prinsipnya sama. Seringkali justru masalahnya terletak pada persoalan bahasa, apalagi jika itu sudah terkait dengan politik.


Maka dalam pandangan pribadi saya, relevan atau tidak relevan ditentukan oleh sejauh mana hukum itu berpihak pada kehidupan. Jika hukum yang ada [termasuk hukum negara] tidak mendukung ke”berpihak”kan terhadap ke”hidup”an dan keadilan, maka seharusnya hukum tersebut dikritisi oleh agama. Stanley Hauerwas sendiri mengatakan bahwa “jika gereja mau mendapatkan kembali signifikansi sosialnya, ia harus menyadari bahwa tugas sosial utamanya adalah menjadi sebuah komunitas yang “mampu mendengar kisah tentang Allah yang kita jumpai dalam Alkitab dan hidup dengan cara yang sesuai dengan kisah tersebut”


Bacaan:

Christopher Wright, Living as the People of God (England: Inter-Varsity Press, 1989)

La Jamaa, ”Konsep Hukum Dalam Al-Quran: Keadilan dan Kemanusiaan” dalam Junal Syariah dan Hukum Tahkim (Vol. I No. 2 Februari-Juli tahun 2006), hlm. 1-18

Stanley Hauerwas, A Community of Character: Toward a Constructive Christian Social Ethics (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981)


sumber gambar: pixabay.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar