Senin, 11 Oktober 2010

Berani berkata tidak pada Tuhan


Kamu tak tahu apa-apa tentang diriku. Dari cerita yang kamu dengar, tak ada satupun yang berbicara tentang sahabatku yang selama ini mendengar ceritaku dengan tulus. Semua tentang aku yang sampai di telingamu hanyalah berita bohong. Aku tak pernah menyalahkanmu. Dan aku berjanji tak akan menyalahkan siapa-siapa. Aku tahu bahwa kamu telah menganggap aku selama ini bukan orang benar dan bahkan melakukan perlawanan dengan Tuhan. Ya, dari berita yang dibisikkan seorang teman, aku mendengar bahwa aku melakukan itu karena aku begitu egois dengan diriku sampai aku mengabaikan perintah Tuhan. Tak apalah. Namun aku ingin menegaskan kali ini kepadamu bahwa semua yang kamu dengar tentangku tidaklah benar. Hanya satu yang benar. Aku berani berkata tidak pada Tuhan.

Aku menuliskan ini memang dalam situasi yang kurang begitu tepat. Aku menuliskan ini dengan segudang rasa jengkel dan marah. Aku jengkel dan marah bukan dengan kamu tetapi dengan berita-berita tentang diriku. Aku lelah. Sebagian dari diriku berusaha untuk mengabaikannya tetapi sebagian lagi ternyata begitu sensitif dengan cerita itu. Aku terjebak dalam dua situasi tersebut. Haruskah aku melampiaskan amarahku? Tetapi kepada siapa aku melampiaskannya? Kamu tahu sendiri aku bukanlah orang yang dengan gampang meluapkan amarahnya. Aku berusaha untuk tegar dengan setiap masalah yang aku hadapi. Tak pernah aku menunjukkan kemarahanku kepada siapapun. Hal yang samapun terjadi dengan ini. Aku tak mau orang lain sampai tahu bahwa aku sedang jengkel dan marah.

Cukuplah kamu tahu bahwa aku sedang jengkel dengan semua ini. Aku sadar betul bahwa apa yang aku alami sekarang tidaklah semestinya terjadi dengan diriku. Beberapa orang dari kalian menuduhku sebagai biang dari semua yang terjadi dengan kalian. Bahkan tak segan-segan kalian membawa nama Tuhan. Dan seolah-0lah apa yang kalian lakukan kepadaku direstui oleh Tuhan. Tidak, aku tidak pernah yakin dengan Tuhan yang seperti dipaksa untuk merestui tindakan jahat kalian. Namun, sudahlah...aku tak pernah menyesal dengan apa yang terjadi. Aku tak pernah mengutuki hari kelahiranku. Tak ada gunanya. Pada akhirnya aku menghibur diriku sendiri dengan mengatakan ‘ya, inilah hidup’.

Aku berusaha tersenyum dengan apa yang terjadi dengan diriku. Meskipun otakku sudah kehabisan akal untuk meluruskan kesalahan tersebut, namun aku berusaha untuk tetap tersenyum. Biarlah semuanya terjadi. Terjadi seperti apa adanya. Karena apa adanya, mungkin lebih baik bagiku dan bagi kalian. Tak tahulah?!!

Kepada sahabatku itu aku pernah bercerita. aku berkata kepadanya bahwa aku sedang dijebak oleh Tuhan. Dia kaget. Dijebak tak lain adalah kata yang tepat dengan situasiku waktu itu, ketika Tuhan dalam kesendirianku datang memelukku dan mengatakan bahwa ‘aku mengasihimu. Aku ingin kamu menyapa dia yang telah menyakitimu’. Saat itu aku tak tahu harus berbuat apa. Aku menengadah ke langit dan berkata ‘tidak, Tuhan’. Sakit ini terlalu menyesakkan. Sakit ini tidak saja membuatku murung dan menjauh dari keramaian dunia. Sakit ini telah membuat sebagian dari hidupku terasa sia-sia. Melelahkan. Tak ada seorangpun yang mau mendengar jeritan terdalam dari sakitku. Mereka hanya tahu bahwa aku sedang sakit. Aku tahu. Aku hanya ingin menawarkan babak baru dalam hidupmu. Babak baru? Sekali lagi aku mengatakan tidak kepada Tuhan. Bukannya aku tak mau, tetapi bagiku hidup tak hanya sekedar bahwa aku hidup tanpa rasa sakit. aku sakit ya, tetapi aku tahu bahwa itulah hidup. Maka aku mengatakan kepadanya untuk sejenak membiarkanku menjalani hidupku dengan rasa sakit ini. Tuhan hanya bisa tersenyum dan seolah merasa tak berdaya dengan hamparan alasan yang aku ajukan kepada dia. ketika dia perlahan berlalu dariku, dari kejauhan dia berkata ‘aku menunggu engkau mengatakan ya’.

Dari dulu aku diajari bahwa Tuhan menginginkan kita jujur. Dan itu yang aku lakukan. Aku jujur kepadanya untuk mengatakan tidak. Aku jujur kepadanya untuk sejenak merengkuh sakit ini. Walau aku tahu apa yang aku lakukan tak lazim dan terkesan melawan arus. Namun, bukankah lebih baik aku jujur dengan Dia daripada harus memaksakan diri mengatakan ya padahal kamu tidak menginginkannya? Jika ini adalah jalan yang salah yang aku tempuh, biarkanlah aku terhanyut dalam keputusanku yang salah. Bukankah pada akhirnya, kelak kita akan berhenti, entah karena tak ada jalan lain lagi, ataukah memang alam menyuruh kita berhenti. Maka kuputuskan untuk mengatakan tidak pada Tuhan.

Sebagian dari kamu memang masih menuduhku melawan Tuhan. Tapi tak apalah. Tuhan tahu apa yang sedang terjadi dengan diriku dan perasaanku. Bahkan ketika aku menolak, ia pun tahu mengapa aku mengatakan tidak padanya. Aku mungkin seperti seekor cacing. Tak perlu berharap apapun dari siapapun. Baginya, ia cukup dengan dirinya sendiri. Jika ia terhimpit dalam tanah yang bau, ia cukup bergumul dengan tanah tersebut. Maka biarkanlah aku bergumul dengan keadaanku yang sekarang.

‘ternyata tak mudah untuk mempraktekkan jika pipi kananmu di tampar, berikan juga pipi kirimu. Pipi kiri ditampar dan rasa sakitnya luar biasa....tetapi lebih baik jujur bahwa sakit itu ya sakit. jangan pura-pura sakit, dan mengatakan ‘Tuhan aku sudah memberi pipi kiri dan kananku’.

1 komentar:

  1. maaf aku baru membaca tulisanmu yang sudah jadul ya...11 oktober 2010 dan sekarang 03 april 2011... aku terkesan dengan tulisanmu yang ini. kamu bermain-main di ranah "aku" dan "kamu", sehingga membuka intepretasi yang luas dan bebas tentang "lorong" yang menghubungkan "aku" dan "kamu" itu..
    menampilkan tumpukan sekaligus garis lurus...
    tulisan yang bagus...

    keep writting...
    -Love u-

    BalasHapus