Rabu, 06 Oktober 2010

Kritik SosiaL: sebuah pandangan Michael Walzer


Kritik sosial sebagai praktek sosial adalah hal yang ada dalam masyarakat dan berfungsi untuk melakukan interpretasi terhadap kebijakan-kebijakan yang sering sekali tidak benar. Ia berdiri untuk [sebaiknya] menyuarakan apa yang benar.


Walzer mengatakan bahwa kritikus seharusnya bisa menantang para pemimpin, konvensi, praktek-praktek ritual dari masyarakat tertentu, mengutuk, jika perlu, dengan sebuah "pernyataan publik dan pendapat terhormat sebagai sesutu yang munafik." Saya setuju dengan sikap seperti ini karena ini akan menciptakan semacam resistensi yang membuat semacam keseimbangan. Dengan sikap yang seperti ini, diharapkan pemimpin bisa punya sensivitas dalam menjalankan kepemimpinannya sehingga mampu berbuat yang terbaik.


Mereka harus menjadi seperti nabi Amos yang berteriak menentang kekuasaan yang dalam bahasa kita sekarang sangat korup. Masyarakat di zaman Amos telah menjadi korban kekuasaan dan lembaga agama yang korup itu. Apa indikasi situasi korup yang dihadapi masyarakat di zaman Amos? Yaitu ketika keadilan dan kebenaran tidak lagi menjadi norma standar dalam menata kehidupan pada waktu itu. Di sana ada yang namanya suap di pengadilan, manipulasi dan perampasan hak orang miskin, keadilan yang diputarbalikkan bahkan sampai kepada pelecehan seksual.


Seruan Amos pada zamanya adalah sebuah kritik sosial. Namun, mengapa gereja sebagai yang [seharusnya] melanjutkan tradisi perjanjian lama nyaris tak terdengar suaranya dalam menanggapi situasi dalam hidup berbangsa dan bermasyarakat sekarang? Dimana suara gereja dalam menanggapi kasus [misalnya century dan kasus mbok Minah, kasus kekerasan yang mencuat belakangan ini]??


Kritikus sosial memberi sebuah masukan dan mengingatkan kita akan bahaya interpretasi yang menindas kita. Ketika satu hukum atau [bahkan] teks agama dipakai untuk melegitimasi satu ideologi tertentu, dan pada saat yang sama dipakai untuk menindas, maka kritikus sosial mengingatkan kita akan hal ini. Salah satu contoh yang diangkat oleh Marx adalah ketika ideologi kapitalis dipakai untuk menindas para pekerja. Ideologi kapitalis yang lahir di barat dan sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi kepada teks agama [Kristen], dipakai untuk meninabobokan kelas pekerja sebagai sebuah kelompok yang patuh.


Gereja bisa menjadi kritikus sosial dan menyuarakan suara kenabian. Tetapi dalam pengamatan saya justru yang terjadi adalah gereja sering kali bungkam terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Bahkan tak jarang ia justru menjadikan gereja sebagai media dan alat legitimasi untuk melalukan dominasi dan penindasan.


Gereja punya tanggungjawab terhadap masyarakat. Dia tidak hanya diam ketika berhadapan dengan isu-isu sosial sebagaimana lebih banyak terjadi pada saat sekarang ini. “Stereotip” bahwa orang Kristen Indonesia sebagai minoritas tidak boleh menjadi penghalang bagi kita untuk tetap menyuarakan yang benar di tengah-tengah keadaan yang tidak benar. Kita harus menjadi kelompok minoritas yang kreatif yang tetap diperhitungkan.


Kritik yang baik memerlukan jarak kritis. Secara konvensional Walzer sempat menyinggung jarak kritis terhadap satu kebijakan dalam pemaparannya tentang praktek dari Kritik Sosial. Karena kebanyakan dari kita justru lebih senang jika mengidentifikasi diri kita sendiri (baik sebagai individu maupun dalam kelompok) lebih dekat [bahkan sebagai] negara. Oleh karena itulah kita membutuhkan jarak kritis agar dapat melihat dengan jelas. Dia menjelaskan bahwa yang namanya kritik adalah kegiatan eksternal, dan menyebut 2 hal yaitu bahwa kita harus terpisah secara emosional dan terpisah secara intelektual (terbuka dan objektif)


Ini memang sudut pandang konvensional. Namun saya melihat bahwa hal ini diperlukan pada konteks dimana kebijakan-kebijakan justru sangat tidak berpihak pada rakyat kebanyakan. Ketika misalnya, kebijakan-kebijakan hanya menguntungkan segelintir orang. Dalam konteks Indonesia, hal ini justru saya lihat berhasil karena mampu menggulingkan rezim orde baru yang terkenal sangat represif. Pada saat individu dan sekelompok orang mengidentifikasi dirinya justru di luar negara (dalam pemahaman orba/soeharto), kritik itu justru berhasil mengumandangkan suara kenabian dengan jelas dan jernih bahkan bisa menggulingkan salah satu rezim terkuat di dunia. Dengan kata lain, kritik yang konvensional ini masih bisa efektif apabila berhadapan dengan satu rezim yang terkenal sangat tidak memihak kebenaran dan keadilan.


Persoalan nubuatan dari nabi sebagai pengkritik. Walzer mencoba menyajikan kepada kita bagaimana peran nabi pada zamannya mengkrtik situasi sosial masyarakatnya. Dan kadang kala, kritik-kritik tersebut berisi tentang kehancuran-kehancuran.


Ketika sudah menyentuh ranah nubuatan, ini kan masalah interpretasi. Tetapi, sering kali, interpretasi dari sekelompok orang inilah kemudian yang dianggap “paling” benar, sehingga sering kali dimanfaatkan justru untuk “menghancurkan”. Demo yang berujung pada anarkis adalah sebuah bentuk yang menurut saya “memaksakan” sudut pandang dan nilai [kalau bukan interpretasi tertentu] terhadap satu persoalan.


Dengan menganggap diri sebagai mediator antara Tuhan dan manusia, nabi memang punya legitimasi tertentu untuk mengatakan yang benar. Hanya saja, dalam konteks sekarang ini, kita harus hati-hati untuk membedakan mana suara ke”nabi”an dan mana suara kepentingan diri sendiri.


Kita bisa melihat bahwa semenjak reformasi bergulir [atau lebih tepatnya ketika rezim orba runtuh] tak jarang jargon-jargon politik justru dibumbui dengan teks-teks keagamaan. Atau dengan kata lain, [teks-teks] agama dijadikan sebagai komoditi politik-hanya sebagai alat untuk mencapai kepentingan saja. Maka tak mengherankan wujud dari hal itu adalah munculnya banyak teks-teks sebagai sebuah simbol di ranah publik dan seolah ingin mengatakan bahwa “teks-teks” dari agama tersebutlah yang paling benar dan oleh karenanya kami atas nama Tuhan dan agama, akan melakukan penghancuran [mis. FP* yang sering sekali melakukan tindakan kekerasan dengan membawa simbol-simbol agama, baik dalam bentunya yang verbal maupun simbol-simbol dalam bentuk bendera, logo yang berbau agama]


Bacaan: Michael Walzer, Interpretation dan Social Criticism, Chapter 1-2 (pp. 3-66)



[1] Lih. Julianus Mojau, “Mempertimbangkan Teologi Politik Minoritas Notohamidjojo” dalam Jurnal Teologi Proklamasi (Jakarta: STT Jakarta, 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar