Kamis, 01 April 2010

Tugas Gereja ya..menjadi gereja [sudut pandang Stanley Hauerwas]


Tulisan singkat berikut ingin memaparkan sedikit tentang gagasan Stanley Hauerwas mengenai tugas gereja di tengah-tengah masyarakat.

Kita hidup di [dalam] dunia, dimana di dalamnya sendiri ada berbagai jenis komunitas yang jelas berbeda. Salah satu dari sekian banyak jenis itu adalah “gereja” atau “komunitas Kristen” yang [biasanya mengaku] bahwa Yesus adalah Tuhan. Tentu komunitas ini berbeda dengan mereka yang “tidak mengaku” Yesus sebagai Tuhan, yang tidak menjadikan Yesus sebagai bagian dari hidup dan kehidupannya, sumber pengharapannya.

Sekarang, anda yang mengaku sebagai bagian dari komunitas Kristen, apakah anda bisa dengan jelas melihat apa yang membedakan anda dengan yang lain. Coba lihat sekeliling anda, apakah dengan jelas anda melihat perbedaan tersebut?? Coba perhatikan tempat kerja anda. Apakah anda bisa melihat perbedaannya??

Nah, jika anda tidak melihat perbedaannya, jika anda merasa lha kok sama aja ya?? Maka, anda sedang bermasalah dalam perspektif Hauerwas. Kok bisa?? Ya, jika anda tidak bisa melihat perbedaan, berarti anda tentu telah terpengaruh dengan mereka, karena sekarang anda tidak melihat yang berbeda kok. Anda menggunakan bahasa yang sama dengan mereka. Lalu apa yang membuat anda berbeda?? Tidak ada bukan?!

Hauerwas yang lahir dalam masyarakat Amerika, dimana sekularisasi adalah bagian dari kehidupan mereka, mengamati bahwa gereja sudah tidak berbeda lagi dengan yang lain. Bahasa gereja dengan dunia sekuler sama. Ndak ada yang berbeda. Hal ini menurut Hauerwas diakibatkan oleh “terlalu bernafsunya” gereja mau mengubah masyarakat, terjun ke dalam masyarakat dan kemudian melakukan banyak tugas dan analisa-analisa sosial. Bagus bukan? Tidak. Bagi Hauerwas, inilah yang membuat gereja melupakan jati dirinya sebagai “gereja” itu sendiri. Ketika ia masuk ke dalam dunia, gereja justru terserap ke dalam dunia. Alih-alih mau mengubah dunia dan masyarakat, yang terjadi justru dalam pandangan Hauerwas adalah gereja diserap dan bahkan diubahkan oleh dunia dan masyarakat. Bukankah ini sangat berbahaya?? Ya, dalam masyarakat dimana Hauerwas tinggal, ia melihat bagaimana gereja punya “suara yang sama” dengan masyarakat sekuler, mirip “paduan suara” yang serentak mengatakan “setuju” dalam lagunya Iwan Fals. Gereja ikut mendukung ide-ide masyarakat sekuler dan bahkan merasa bangga dengan itu. Mereka lupa, bahwa sebagai gereja, mereka memiliki nilai-nilai sendiri dan bahasa sendiri.

Lalu apa yang akan kita lakukan? Menurut Hauerwas, gereja harus kembali melihat dirinya sendiri, tugasnya apa, nilai-nilai apa yang menghidupinya, bahasa yang seperti apa yang ia punya, dan kembali mengurusi itu saja [baca:gereja saja]. Ndak usah deh analisa2 sosial, dan mungkin juga ngapain terlibat dalam pembentukan partai2 Kristen (Indonesia) yang katanya mau mengubah masyarakat. Tinggalkan deh itu semua. Gereja harus menjadi gereja. Jelas!!! Heheheh.

Hidup di tengah-tengah masyarakat majemuk, gereja dan komunitas Kristen harus mempertahankan identitasnya sendiri. Ia harus menampilkan keunikan dirinya, bukannya malah ikut-ikutan dalam ide-ide yang menghilangkan dan bahkan menghancurkan dirinya sendiri. Kalau mengambil setting Perjanjian Pertama, gagasan-gagasan Hauerwas mirip dengan setting cerita pembuangan. Lha kok mirip? Ya, mirip. Coba deh perhatikan apa yang terjadi di pembuangan. Bukankah komunitas orang beriman di sana hidup di tengah-tengah bangsa yang majemuk dengan beraneka ragam gaya hidup, identitas, ideologi. Dan disana, mereka dituntut untuk mempertahankan gaya hidup mereka sendiri karena “yang di luar mereka” tidak benar. Yang benar hanya komunitas kita saja. Kalo dalam bahasanya sepak bola, orang beriman itu ya harus nerapin strategi “defensif” alias bertahan. Maka, kalo kita menerapkan strategi itu, pertahanan kita harus kuat sekuat baja. Kita harus membangun pertahanan yang solid agar lawan [baca: yang diluar komunitas kita] tidak mampu menembus kita dan mengalahkan kita [baca: mempengaruhi kita]. Jadi, gereja dan komunitas Kristen atau komunitas orang beriman harus mampu untuk tidak dipengaruhi oleh ide-ide aneh dan filosofi aneh di luar gereja. Karena kita punya cerita sendiri, kita punya narasi yang menghidupi kita sendiri, yaitu narasi yang kita dapatkan dari Alkitab, dan juga narasi tentang Yesus sendiri. Itu yang mesti kita pertahnkan dalam dunia.

Maka, dengan kembalinya gereja terhadap tugasnya, terhadap yang menghidupinya, terhadap sumber perjuangannya sendiri, ia bisa menampilkan satu bentuk komunitas alternatif di tengah-tengah dunia. Contoh: menurut Hauerwas, keadilan di luar gereja tidak akan bisa terwujud sampai kapanpun? Sampai dunia ini khiamat [ndak tahu apa jadi ya tahun 2012..hahahah]. Mengapa? Karena yang di luar gereja tidak memiliki narasi tentang Yesus. Jadi mau bagaimana bicara keadilan? Maka, baginya, keadilan harus dimulai dari gereja sendiri agar komunitas di luar gereja bisa melihat keadilan. Hauerwas seolah mau mengatakan bahwa jika mau membuat dunia adil, mulailah adil. Jika dunia mau hidup dalam kebenaran, mulailah bertindak yang benar. Jika dunia mau hidup untuk menghargai perempuan, mulailah menghargai perempuan. Maka peran politis gereja sebenarnya terletak pada bagaimana gereja menciptakan yang baik, benar dan jujur. Ia harus menciptakan sesuatu alternatif. Hal ini akan dilihat oleh komunitas di luar gereja sehingga yang di luar gereja dapat menjadi lebih baik.

Mulailah dulu dari gereja, mulai dari diri sendiri dulu. Gereja harus menjadi lebih baik dulu. Masyarakat bagaimana tahu tentang yang baik kalau gereja sendiri tidak pernah baik. Bagaimana masyarakat tahu tentang yang adil kalo gereja sendiri tidak melakukan yang adil. Mulailah menjadi satu komunitas yang unik yang punya identitas sendiri agar dunia bisa melihat. Jika anda sama saja dengan mereka, mungkinkah anda bisa terlihat? Memang bagi Hauerwas, narasi Kristus adalah narasi yang “paling benar” yang harus dihidupi oleh orang Kristen. Narasi Kristus seolah menjadi “meta narasi” bagi narasi-narasi lain yang ada dalam dunia. Narasi Kristus harus tetap mewarnai perjalanan hidup orang beriman.


Stanley Hauerwas is currently Professor of Theological Ethics at Duke University Divinity School. He was named by Time in 2001 as "America's Best Theologian." He has a prominent voice in current American theology, and even has been interviewed on Oprah.

Bacaan lebih LanjuT:
Stanley Haurwes, A Community of Character: Toward a Constructive Christian Social Ethic (Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame Press, 1981)

Stanley Haurwes dan William H. Willimon, Recident Aliens: A Provocative Chriatian Assessment of culture and Ministry for People who Know that Something is Wrong (Nashville, Tennessee: Abingdon Press, 1990)

1 komentar: