Senin, 05 April 2010

di balik salib: PergumuLan Yesus dan tindakan yang Ia lakukan


Dalam tradisi Kristiani, salib merupakan simbol penting karena ia merupakan simbol yang menyatakan keselamatan yang diberikan Allah kepada manusia. Salib, menjadi momentum bagi kesediaan Yesus untuk melaksanakan misi penyelamatan atas kengerian hukuman yang “semestinya” menjadi tanggungan bagi setiap manusia. Kengerian hukuman digantikan dengan kesediaan Allah menjadi bagian dari manusia berdosa. Kesediaan inilah yang membuktikan kasih dan sayang Allah kepada manusia ciptaanNya. Agus Cremers menuliskan bahwa “Bagi seorang Kristen, salib adalah pusat seluruh kesalehannya, sebab ia tahu bahwa salib menjadi tempat peralihan dari kegelapan maut ke dalam terang hidup abadi” [Cremers: p.10]


Dr. Harun Hadiwijono mengatakan bahwa “Sejak manusia pertama (Adam) jatuh ke dalam dosa, seperti dikisahkan pada kitab Kejadian dari Alkitab Perjanjian Lama, “maka pintu gerbang dunia terbuka bagi masuknya dosa ke dalam dunia” [Harun: p. 238] Artinya, sejak Adam jatuh ke dalam dosa maka dosa memasuki dunia dan menguasai seluruh umat manusia, sehingga seluruh umat manusia dianggap sebagai orang berdosa di hadapan Allah. [ibid: p.239] Namun dengan kerelaan Yesus untuk menjadi korban penebusan bagi umatNya, narasi tentang kehidupan manusia yang berdosa, yang akan mendapatkan hukuman, dibebaskan.


Manusia, mendapatkan keselamatan dan terbebaskan dari kengerian hukuman, karena Yesus sebagai utusan Allah, telah melaksanakan misi BapaNya dengan mati di atas kayu salib. Jurgan Moltmann mengatakan bahwa “Peristiwa salib merupakan peristiwa di mana Allah sendiri menderita dan solider kepada manusia. Maka peristiwa salib menjadi pembelaan terhadap segala tuduhan tentang Allah berhadapan dengan keburukan dan penderitaan, karena kini Ia sendiri turut menderita [Kleden: p.299]


Salib memang menjadi sesuatu yang sentral dalam kepercayaan orang Kristen. Cremers mengatakan:

Tanpa melebih-lebihkan, kita boleh katakan bahwa salib itu merupakan tanda inti, fakta asli, sumber dan intipati cakrawala kepercayaan Kristiani. Seorang Kristen “berdiri di bawah salib”. Baginya, percaya berarti mengenal Allah yang ikut disalibkan di dalam diri Yesus yang tersalibkan itu. Hal itulah merupakan titik pangkal, dasar dan sumber kepercayaan Kristen, dan tidak ada dasar lain. Agama Kristen adalah “agama salib”, dan teologinya adalah “theologia crucis” [Cremers: p.8]


Maka tidaklah heran apabila salib telah menjadi ciri khas orang Kristen. Hampir setiap rumah seorang Kristen akan kita temui salib, seorang remaja dengan anting dan kalung salibnya dan bahkan seorang dengan tato salib yang ada di lengannya. Sekalipun bisa dimaknai berbeda oleh setiap orang yang menggunakannya, namun harus diakui bahwa salib merujuk kepada agama Kristen dimana Yesus adalah pusatnya.


Namun kita seringkali lupa bahwa kesediaan Yesus untuk menjadi penyelamat dengan mengorbankan diri di Kayu Salib, dilatarbelakangi oleh pergumulan yang sangat hebat. Schlink mengatakan “dukacita yang tak terucapkan memenuhi Tuhan kita Yesus pada malam itu di Taman Getsemani. Ia sudah mulai merasakan ancaman ketakutan dan pencobaan yang mendekati Dia dari segala jurusan” [Schlink: p.10] Lebih lanjut Schlink mengatakan “kengerian dan rasa takut yang hebat meliputi diri-Nya dan Ia mulai Gemetar” [ibid] Tentu saja Schlink mencoba menggambarkan apa yang terjadi dengan diri Yesus malam itu. Schlink ingin menunjukkan bahwa pengalaman Yesus yang akan berhadapan dengan kayu salib adalah pengalaman yang tidak mudah. Ia harus bergumul apakah Ia akan menuruti kehendakNya ataukah Ia akan melakukan kehendak BapaNya.


Pergumulan Yesus di taman Getsemani seharusnya menjadi perhatian penting kita. Karena pergumulanNya di taman inilah Ia memutuskan apakah akan menerima salib atau tidak. Apakah Ia bersedia untuk menuntaskan tugas penyelamatan manusia atau tidak. Artinya salib itu tidak otomatis terjadi begitu saja. Salib ada lewat pergumulan seorang manusia yang bisa merasakan kengerian hukuman yang Ia tanggung-apalagi hukuman atas dosa yang tidak Ia lakukan. Schlink menggambarkannya demikian: “Betapa mengerikan bagi Yesus untuk melihat kekejian semua dosa serta beban dan hukuman yang diakibatkannya, dari kejatuhan manusia hingga hari kiamat-dan mengecap semuanya pada saat itu” [ibid: p.14]


Pergumulan Yesus yang teramat berat ini dapat kita lihat dimana Ia melakukan tiga kali pergumulan (doa) di taman Getsemani. Tidak cukup hanya sekali Ia membawakan pergumulanNya dalam doa, melainkan ada tiga kali. Hal ini menandakan bahwa apa yang memang disampaikan oleh Yesus adalah sesuatu yang teramat berat untuk ditanggung, sehingga Ia membawaNya dalam pergumulan dengan BapaNya [Memang, ada sedikit perbedaaan dengan Lukas yang tidak menyebutkan Taman Getsemani, namun secara garis besar, para penulis ingin menginformasikan bagaimana Yesus berhadapan dengan pergumulan yang sungguh amat berat, namun dengan titik tekan yang berbeda]


Kita memusatkan perhatian kepada Yesus tidak hanya karena pengakuan iman kita bahwa Ia adalah “Tuhan” tetapi karena Ia, dalam kesempurnaannya juga adalah sebagai “teladan” kita yang sejati. Apa yang dialami oleh Yesus menunjukkan bagi kita bahwa pergumulan adalah hal yang setiap orang akan alami. Setiap dari kita, kalo merasa masih manusia dan sadar bahwa ia adalah manusia, maka pergumulan semestinya bukanlah hal yang harus kita jauhi dan mengutuknya untuk menjauh. Sebagaimana yang Yesus lakukan, kita mesti membawanya dalam doa, dalam pergumulan dengan Tuhan. Tentu sebagaimana yang Yesus lakukan pun, kita menyerahkan pergumulan kita bukan agar kehendak kita dituruti tetapi agar kehendak Dia saja yang terjadi dalam diri kita. Bukan meminta agar setiap pergumulan kita menjauh dari kita tetapi agar kita diberi kekuatan untuk menjalaninya [ingat, pada saat Yesus berdoa, seorang malaikan Turun ke atasnya dan memberikan dia kekuatan].


Rujukan bacaan:

Cremers, Agus, Salib dalam seni rupa Kristiani (Maumere: LPBAJ, 2002)

Hadiwijono, Dr. Harun, Iman Kristen, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1999)

Kleden, Paul Budi, Membongkar Derita (Maumere: LPBAJ, 2006)

Schlink, Basilea, Dari Getsemani ke Golgota (Malang: Gandum Mas, 1983)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar