Rabu, 21 April 2010

Kekerasan via media Televisi dan Game

“Umurnya berapa mbak” tanyaku. “3 tahun mas. Hebat ya anak saya. Sudah bisa main game online” dia menjelaskan.

Hanya untuk memastiskan umurnya berapa, saya menanyakan umur bocah kecil tersebut. Seorang [ingat..orang!!] bocah kecil, umur 3 tahun, dengan sangat mahir memainkan game yang waktu saya lihat adalah game perang. “lha, kok bisa tahu mas itu game perang?” tanya temanku. “ya iyalah, kan ada tentaranya bawa senjata” jawabku. “oh, kalau bawa senjata itu mau perang ya mas”. “dasar oon, ya ndaklah”. Bocah kecil itu memang sedang memainkan game perang, seorang tentara yang bawa senjata, menembakin musuh, dan ketika sang musuh tertembak, darahnya keluar. Inikah yang dikatakan hebat?

Bocah kecil sudah diajarin dengan game yang seperti ini? Saya sudah bisa bayangkan bagaimana watak anak ini puluhan tahun mendatang. Ya, anak dengan watak keras karena sudah dibiasakan dengan game atapun tontonan2 penuh dengan kekerasan melalui media televisi. Seolah mau mengatakan “hei bocah kecil, itu musuhmu. Musuh harus dilawan dengan senjata. Ambil senjata dan tembakinlah musuhmu itu”. Jika ini yang terjadi, maka jangan heran jika banyak orang yang tumbuh dengan mentalitas2 yang ingin menyelesaikan masalah dengan mengandalkan tindakan2 fisik semata. Musuh adalah orang yang mesti dibasmi bahkan jika harus memakai senjata.

Walter Wink menggambarkan adanya struktur yang dihadirkan dalam bentuk scene-scene yang dihadirkan kepada kita setiap saat lewat layar yang disebut televisi. Kehadiran kartun-kartun klasik yang berbau dominasi dan kuasa termasuk di dalamnya indikasi kekerasan adalah dampak dari sebuah perkembangan budaya orang modern yang disebut dengan budaya populer. Hadir dan berkembang pesatnya teknologi sejak revolusi industri membuat produk bisa disebarkan secara masif ke berbagai sudut-sudut bumi. Itu berarti juga bahwa satu bentuk kebiasaan akan disebarkan ke seluruh penjuru dunia, dan salah satunya adalah via televisi [termasuk juga via game2 entah online atau tidak]. Karena melaluinya, kita bisa melihat dan mengikuti perkembangan yang terjadi terhadap satu budaya tertentu (kalau bukan life style), dan akibatnya, kita bisa terbawa dalam sebuah bentuk budaya yang sebenarnya hasil penanaman lewat media-media, produk budaya populer.

Dalam hal inilah saya ingin menghubungkan apa yang disampaikan Walter Wink mengenai Mitos Penebusan Kekerasan dalam budaya populer yang termanifestasikan dalam bentuk film-film kartun [dan juga game2 yang sedang berkembang sekarang] dimana Walter Wink mengatakan bahwa apa yang kita lihat dalam diri mereka hanyalah perubahan bentuk dalam soal nama jika dikaitkan dengan analisanya mengenai Kisah Marduk dan Tiamat. Namun yang menarik adalah bahwa ia menghubungkan hal ini dengan Teori Girard.

Girard dalam teorinya menyebutkan satu kata yang menarik yaitu soal “mimimes”, yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti tiruan (imitasi), proses ini dapat terjadi tanpa kita sadari. Kita ingin menjadi ada dengan jalan meniru orang lain. Berbahayanya adalah ketika kemudian apa yang dihadirkan kepada kita sebagai objek mimimes hadir dalam layar-layar televisi yang sering dan berulang di tampilkan. Sehingga secara tidak sadar, kita terhinoptis oleh satu bentuk “kebiasaan” yang akan kita jadikan sebagai inspirasi kita.

Maka menjadi menarik apabila media televisi [termasuk dengan penyebaran game2] sebagai bagian dari budaya populer memainkan peran penting dalam proses peniruan secara tak sadar yang disebarkan kepada setiap manusia. Budaya kekerasan yang ditampilkan lewat media televisi akan sangat berbahaya, dan mungkin Walter Wink benar bahwa sebenarnya, kartun-kartun klasik yang mengekspos soal hero, musuh, viktori dan unsur kekerasan hanyalah perubahan nama dari sebuah kisah yang dulu ada yaitu kisah tentang Marduk dan Tiamat.

Bacaan: Walter Wink, Engaging the Powers: Discernment and Resistance in a World of Domination, 1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar