Kebebasan selalu mengiringi manusia. Entah sadar atau tidak, dalam perjalanan hidup, kita akan dihadapkan dengan diri yang punya kebebasan. Kita ingin melakukan apa? Kita bebas memilihnya bukan. Bahkan kita bebas kok untuk mau bangun pagi apa ndak, kita bebas untuk percaya ama Tuhan atau tidak, bahkan kita bisa memilih kok mau Tuhan yang mana dan berapa Tuhan yang akan kita sembah. Kita punya kebebasan untuk melakukan itu. Kita bahkan punya kebebasan untuk dilihat seperti apa, mau orang yang ambur adul atau orang yang kelihatan rapi. Setiap kita punya kebebasan untuk memilih dan melakukan apapun. Kita bebas. Enak buanget ya....
Ndak juga. Soale, kebebasan kita itu ndak dengan gampangnya berlaku dalam dunia ini. Ndak gampang? Ya, karena tiap orang tentu punya kebebasannya sendiri. Ini masalah bukan. Ya, kebebasan kita berhadapan dengan kebebasan orang lain. Makane kebebasan kita itu mesti [seharusnya] ndak berbenturan dengan orang lain bukan. Makanya dibuatlah banyak aturan sosial, hukum sosial, norma-norma yang mengatur dan mengendalikan banyak kebebasan kita. Institusi-institusi itu akhirnya menjadi batas dari setiap kebebasan yang kita miliki. Tp ada juga orang yang nekat lho mau ngelompatin tuh norma. Bahkan tanpa takut bahwa kebebasannya itu berbenturan dengan orang lain. Misalnya, wah malam-malam gini pengennya teriak-teriak. “Ya sakarepmulah” kata temanku. “mau jungkir balik juga bisa”. Lha, tetapi itu kan mengganggu orang lain toh yang lagi bobo dengan tenang. “gila, malam-malam gini siapa yang teriak-teriak ya”. Lha, makanya kemudian kebebasan itu tidak hanya dibatasi sedemikian rupa oleh institusi tersebut tetapi juga bagi yang melanggar dikenai “hukuman”. Jadi kebebasan manusia skarang ini ndak dengan gampangnya bisa diterapkan, kecuali.....”..kecuali lo mau masuk penjara, mas” kata temanku....hahahahah. Dan memang benar, kalau kita mau masuk dalam teorinya Hobes, akar dari adanya hukum adalah karena manusia saling memangsa sesamanya manusia, sehingga dibutuhkan Leviatan. Manusia saling mengobjekkan satu dengan yang lain, dan itu tampak dalam berbagai macam peristiwa mengerikan seperti pembantaian orang Yahudi.
Bagaimana dengan Sartre [nama lengkapnya Jean Paul Sartre]. Dia mengatakan bahwa kebebasan itu ontologis. Artinya kebebasan itu sudah merupakan bagian yang melekat dalam diri manusia dan memang sudah ada dan demikian adanya. Maka, kebebasan menurutnya adalah sesuatu yang “mutlak”. Maka bagi dia, kebebasan merupakan penentu bagaimana orang membentuk eksistensinya. Setiap orang harus punya kebebasan untuk membentuk bagaimana dirinya dalam dunia. Tanpa itu, manusia belumlah menjadi dirinya.
Tetapi kan di dunia ini ndak hanya ada aku toh. “ya iyalah mas, masa cuman lo. Gmana jadinya dunia ini kalau cuman lo?” nyindir temanku. Lha, jika kebebasan merupakan syarat pembentuk eksistensi, bagaimana dengan orang lain? Makanya, Sartre mengatakan bahwa orang lain adalah “ancaman”. Ketika orang lain memandang diriku, maka pada saat itu aku diobyekkan dan dia menjadi subyek di atasku. Aku menjadi suatu “benda” dalam dunia orang lain (Bartens: hlm.166).
Being and Nothingness merupakan karya puncak Sartre dalam memahami eksistensi manusia dan kebebasannya. Dalam buku ini juga dijelaskan tentang sikap ontologi Sartre. Setidaknya kita bisa mencatat beberapa hal tentang pikiran2 Sartre [masih banyak tentunya yang diuraikan di dalamnya]:
1. Cara berada. Selalu mulai dari “kesadaran”. Kesadaran ini membawa kita pada Ada. Ada ini dibedakan oleh Sartre sebagai “Ada pada dirinya” yang menunjuk pada benda dan “Ada bagi dirinya” yang menunjuk pada manusia. Manusia adalah kesadaran karena ia adalah sesuatu tetapi pada saat yang sama ia bisa mengambil jarak terhadap sesuatu itu. Benda tidak bisa dan hanya merujuk pada sesuatu. Cara berada ini pulalah yang kemudian sangat mempengaruhi bagaimana kita melihat orang lain dalam gagasan Sartre.
2. Kebebasan
Kesadara membawa manusia pada kebebasan karena ia bisa melihat dirinya dan melakukan pengubahan terhadap dirinya. Maka, dirinya bukanlah sesuatu yang seperti itu [tidak statis] karena kebebasan itu membawanya pada pengubahan terhadap dirinya sendiri. Manusia akan terus melakukannya terus menurus dan dengan jelas ini pulalah yang membedakannya dengan benda. Benda tidak bisa melakukan pengubahan terhadap dirinya. Kebebasan selalu akan membawa manusia pada usaha untuk “meniadakan diri”
Konflik menjadi khas dalam gagasan Sartre. Ia hadir dalam relasi subjek-objek. Dan itulah hal yang wajar. Namun yang menjadi masalah adalah ketika kemudian konflik relasi itu berujung pada dominasi dan menindas. Menurutnya, manusia memang punya potensi untuk itu karena manusia bukanlah benda dan karena manusia sendiri punya kebebasan untuk melakukannya.
Dari sudut pandang Kristen, tentu kita seharusnya menjadikan manusia lain sebagai sesama dan bukan sebagai objek yang kemudian kita tindas. Yesus menentang setiap bentuk dominasi dengan jalan Dia sendiri tidak membawa kuasa yang mendominasi, bahkan ketika setiap kesempatan itu ada. Ia melakukan perlawanan terhadap mereka karena melihat bahwa orang pada zamannya telah sedemikian rupa melakukan peng”objek”kan terhadap kemanusiaan manusia itu sendiri.
Tentu tidak adil jika kita menghakimi gagasan Sartre. Bagi saya sendiri, gagasan Sartre adalah sesuatu yang nyata ada dalam diri. Ia membongkar dasar dari relasi yang biasanya kita bangun, yang sering kali meng”objek”kan orang. Kebebasan itulah yang membuat kita menjadi seperti itu. Tetapi tentu, dalam perspektif Kristen, hal itu harus bisa kita minimalisir karena justru yang diinginkan dari kita adalah sikap menempatkan manusia pada subjek, dirinya sendiri, sebagaimana adanya dia, tanpa menghakimi, tanpa menindas dan mendominasinya.
Jean Paul Sartre adalah tokoh Eksistensialisme yang hidup pada abad ke-20 ini. Dia dilahirkan di Paris, Perancis pada tanggal 21 Juni 1905
Tidak ada komentar:
Posting Komentar