Minggu, 04 April 2010

Paskah, Nietzsche dan Kuasa: Moral budak sebagai pelanggengan ke”kuasa”an gereja?


Nietzsche yang terkenal dengan ungkapannya ”Tuhan sudah mati” [God is dead] melihat bahwa kelemahlembutan, kesabaran dan berbagai nilai yang ada dalam Agama Kristen merupakan racun yang sangat berbahaya, yang justru menghalangi manusia untuk dapat berkembang. Ia melihatnya sebagai kelemahan yang ditanamkan dalam diri manusia sehingga manusia mengekang dan menundukkan sifat alamiah yang ia miliki. Ia mengatakan bahwa moral ”budak” adalah moral yang terus-menerus ditanamkan ke dalam pemikiran orang beragama [baca: Kristen] sehingga hal ini menurutnya haruslah dilawan. Caranya adalah dengan cara menggantikannya dengan moral ”tuan”.

Moral Kristen telah mengasingkan manusia dari sifat dasariahnya yaitu kehendak untuk berkuasa sehingga manusia terasing dari dirinya sendiri. Moral Kristen mengasingkannya dengan penanaman moral budak tersebut. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang tunduk pada nilai-nilai yang semestinya tidak harus ia lakukan. Tetapi dengan legitimasi keagamaan, nilai tersebut dianggap sebagai sesuatu yang terbaik dan harus dilakukan meskipun dalam dirinya, ia mengingkarinya.

Setuju atau tidak tidak dengan Nietzsche, kita juga mesti harus jujur bahwa gereja sering kali terjebak dalam permainan yang diungkapkan oleh Nietzsche tersebut. Ketundukan dan ketaatan jemaat dimanfaatkan justru untuk menginternalisasikan dengan sengaja ”moral budak” sehingga mau tidak mau harus tunduk. Jemaat dibuat tidak kritis atas berbagai hukum moral yang ada dalam gereja, tanpa perlawanan hanya karena anggapan bahwa moral Kristen yang seperti itu adalah sesuatu yang dilegitimasi oleh gereja [dan Alkitab]. Rujukan-rujukan ayat yang tidak memperhatikan konteks dipakai untuk memberi penegasan terhadap hukum2 yang justru seringkali tidak menghargai manusia sebagai pribadi yang unik dan lagi, segambar dan serupa dengan Allah.

Mungkin kita perlu menjadikan gagasan Nietzsche tersebut sebagai otokritik bagi gereja sendiri agar terhindar dari memanfaatkan moral Kristiani sebagai kesempatan untuk justru melanggengkan kuasa untuk mendominasi. Artinya, ketika gereja mengajak jemaat untuk taat kepada nilai2 tersebut, semisalnya kelemahlembutan, kasih, gereja jangan sampai memanfaatkan itu sebagai pelanggengan terhadap dominasi ke”kuasa”an gereja.

Saya masih melihat bahwa moral Kristiani masih tetap diperlukan dan harus tetap dijaga dan saya menganggapnya bukanlah moral budak sebagaimana yang disampaikan oleh Nietzsche. Namun itu bisa menjadi moral budak ketika itu justru dipakai untuk tujuan-tujuan pelanggengan kuasa oleh pejabat-pejabat gereja atas kedudukan dan tindakan-tindaknya.

”lha apa hubungannya dengan paskah, bung?” apa hubungannya dengan kebangkitan Yesus?” tanya temanku. ”ndak ada..hahaha” Jawabku. ”hah...ndak ada. Lo asal nulis aja ye?!!”.adalah ya jeng” jawabku lebih lanjut. Saya hanya mau bilang gini..gerejalah yang sering kali justru menyalib Yesus kedua kali karena nilai-nilai yang ditebarkan oleh Yesus justru digunakan untuk tujuan-tujuan seperti yang saya sebutkan di atas. Paskah adalah momentum dan puncak bagi Yesus untuk menegaskan bahwa Dia membawa sebuah perubahan yang besar justru di saat orang mengagungkan kuasa, dia merendahkan diri dan memilih untuk tidak punya kuasa [lebih tepatnya sih melepaskan kuasa], di saat orang membanggakan keagamannya justru Yesus dengan rendah hati melarang muridnya untuk memberitahukan apa-apa tentang Dia, di saat orang mengandalkan kekerasan sebagai jalan mendapatkan tujuan, Yesus justru memilih jalan damai dan kasih. Nilai inilah yang mesti kita pertahankan, bukan dengan menjadikannya sebagai moral budak, tetapi karena itulah nilai yang seharusnya hidup dan kita hidupi dalam dunia ini.

Dengan kematian dan kebangkitan Yesus, Yesus menunjukkan kepada kita bahwa kuasa yang Ia bawa tidaklah seperti yang dijalani selama ini oleh dunia. Ia justru memutarbalikkan nilai-nilai moral pada zamannya sebagai sesuatu yang salah. Tetapi, kebangkitan itu menandakan bahwa Ia justru jauh lebih berkuasa dari mereka. Maka, itu juga berarti bahwa nilai-nilai Kristiani yang kita yakini benar harus tetap kita pertahankan, bukan untuk memanipulasi dan melegitimasi kekuasaan kita, tetapi karena nilai itu yang mesti kita jadikan sebagai nilai moral kita. Semoga dengan kebangkitanNya, kita selalu punya harapan bahwa kritik Nietzsche bahwa ”Tuhan telah mati” ternyata ”sudah bangkit”, karena memang itulah jalan Kristiani sejati. Dan gerejalah sebagai karya paling nyata yang seharusnya menghidupi itu, agar jangan lagi ada orang seperti Nietzsche yang mengatakan bahwa ”Tuhan sudah mati”. Selamat Paskah!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar