Siapa yang tidak kenal cerita mengharukan di atas..”hah, mengharukan. Kayak drama aja mas” nyahut temanku. “dimana harunya?” lanjutnya. “kamu tidak tahu po kalo cerita itu mengharukan? Masa anak kecil yang masih ingusan berhasil meng”kalah”an Goliat yang digambarkan sebagai seorang besar, tegar dan lagi, lengkap dengan senjata. Apa itu ndak mengharukan?” jelasku. “ya ndak lagi. Itu kayak “superman” aja kali. Itu ndak mengharukan kali, paling orang akan melihatnya sebagai tontonan heroik karena tindakan luar biasa yang bahkan tak terbayangkan secara rasio” katanya kepadaku dengan wajah serius. “tumben lo bisa serius” sahutku.
Cerita Daud dan Goliat adalah cerita yang sudah saya kenal sejak saya ditahbiskan sebagai anak SM [sekolah minggu]. Anak SM yang masih sangat belia, polos dan tak tahu banyak tentang apapun, mendadak diperkenalkan dengan cerita-cerita seperti itu: kisah kepahlawanan yang mau melawan musuh. Ya, kesadaran ini juga mendadak tahu ketika justru sudah gede gini. Dulu mana sadar, malah menikmati dengan wajah penuh antusias, membayangkan kalo suatu saat ada orang gede yang ndak saya suka, saya juga bisa melawan. Lha iya toh, Daud aja bisa, masa saya ndak bisa.
Cerita kepahlawanan yang berbau kekerasan seperti ini ternyata sudah ditanamkan sejak kita belia dan masih sangat polos. Ingat, kita tidak bisa memilih. Kita disajikan dengan cerita seperti itu. Maka, kita mendapatkan cerita-cerita yang begenre kekerasan mirip film laga atau horor. “ya mestinya film kartun ya mas, kayak spongebob dan doraemon” sahut temanku. Kenyataan ini menurut saya patut kita pertanyakan dan kritisi kembali karena bagaimanapun, cerita-cerita tersebut berefek pada kebiasan anak yang akan dengan sangat mudah meniru apa yang diceritakan. Belum lagi kalau cerita-cerita itu juga disertai gambar-gambar yang memang menunjukkan tindakan perlawanan dan kekerasan.
Saya masih ingat dengan baik bagaimana saya mendapatkan buku-buku cerita di waktu kecil yang sangat vulgar menampilkan adegan perkelahian tersebut. Disana digambarkan bagaimana Daud yang masih belia tersebut mengambil batu di tepi sungai dan kemudian melemparkannya memakai sebuah alat [saya ndak tahu namanya]. Sementara disisi musuh, ada Goliat yang bertubuh besar lengkap dengan senjata, perisai dan baju [mungkin anti batu kali ya..heheh]. Terjadilah perkelahian diantara mereka. Sangat detail penggambarannya hingga kita menghidupkan cerita bergambar tersebut dalam imajinasi kita dan mulai berpikir bahwa saya juga bisa melakukan hal yang sama.
Hal yang ingin saya katakan adalah jangan sampai cerita-cerita ini yang terus-menerus kita hidupi dalam diri anak. Ya, memang itu cerita ada dalam Alkitab. Tetapi kan masih ada cerita lain dalam Alkitab yang tidak hanya mengekspos kekerasan, perlawanan dan permusuhan seperti itu. Di Alkitab kan juga ada cerita-cerita persahabatan seperti cerita Daud dan Yonatan. Mengapa bukan ini?
Anak adalah generasi, tidak hanya gereja tetapi masyarakat secara keseluruhan. Jika kita telah menanamkan bahwa kita bisa mengalahkan musuh apalagi dengan memakai kekerasan dan senjata, mungkin kita akan mendapati generasi-generasi berwajah bengis dan mau menindas sesama. Tetapi jika sebaliknya kita mencoba menceritakan cerita-cerita persahabatan, maka mungkin kita akan mendapati anak-anak yang mau memilih menjadikan orang lain sebagai sahabat daripada sebagai musuh yang harus dilawan. Semoga!!
Cerita Daud dan Goliat adalah cerita yang sudah saya kenal sejak saya ditahbiskan sebagai anak SM [sekolah minggu]. Anak SM yang masih sangat belia, polos dan tak tahu banyak tentang apapun, mendadak diperkenalkan dengan cerita-cerita seperti itu: kisah kepahlawanan yang mau melawan musuh. Ya, kesadaran ini juga mendadak tahu ketika justru sudah gede gini. Dulu mana sadar, malah menikmati dengan wajah penuh antusias, membayangkan kalo suatu saat ada orang gede yang ndak saya suka, saya juga bisa melawan. Lha iya toh, Daud aja bisa, masa saya ndak bisa.
Cerita kepahlawanan yang berbau kekerasan seperti ini ternyata sudah ditanamkan sejak kita belia dan masih sangat polos. Ingat, kita tidak bisa memilih. Kita disajikan dengan cerita seperti itu. Maka, kita mendapatkan cerita-cerita yang begenre kekerasan mirip film laga atau horor. “ya mestinya film kartun ya mas, kayak spongebob dan doraemon” sahut temanku. Kenyataan ini menurut saya patut kita pertanyakan dan kritisi kembali karena bagaimanapun, cerita-cerita tersebut berefek pada kebiasan anak yang akan dengan sangat mudah meniru apa yang diceritakan. Belum lagi kalau cerita-cerita itu juga disertai gambar-gambar yang memang menunjukkan tindakan perlawanan dan kekerasan.
Saya masih ingat dengan baik bagaimana saya mendapatkan buku-buku cerita di waktu kecil yang sangat vulgar menampilkan adegan perkelahian tersebut. Disana digambarkan bagaimana Daud yang masih belia tersebut mengambil batu di tepi sungai dan kemudian melemparkannya memakai sebuah alat [saya ndak tahu namanya]. Sementara disisi musuh, ada Goliat yang bertubuh besar lengkap dengan senjata, perisai dan baju [mungkin anti batu kali ya..heheh]. Terjadilah perkelahian diantara mereka. Sangat detail penggambarannya hingga kita menghidupkan cerita bergambar tersebut dalam imajinasi kita dan mulai berpikir bahwa saya juga bisa melakukan hal yang sama.
Hal yang ingin saya katakan adalah jangan sampai cerita-cerita ini yang terus-menerus kita hidupi dalam diri anak. Ya, memang itu cerita ada dalam Alkitab. Tetapi kan masih ada cerita lain dalam Alkitab yang tidak hanya mengekspos kekerasan, perlawanan dan permusuhan seperti itu. Di Alkitab kan juga ada cerita-cerita persahabatan seperti cerita Daud dan Yonatan. Mengapa bukan ini?
Anak adalah generasi, tidak hanya gereja tetapi masyarakat secara keseluruhan. Jika kita telah menanamkan bahwa kita bisa mengalahkan musuh apalagi dengan memakai kekerasan dan senjata, mungkin kita akan mendapati generasi-generasi berwajah bengis dan mau menindas sesama. Tetapi jika sebaliknya kita mencoba menceritakan cerita-cerita persahabatan, maka mungkin kita akan mendapati anak-anak yang mau memilih menjadikan orang lain sebagai sahabat daripada sebagai musuh yang harus dilawan. Semoga!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar