Kalimat dalam bahasa jawa di atas berarti ‘hidup hanya sekedar menjalani’. Manusia tidak punya hak untuk protes karena semua sudah ditentukan oleh Tuhan. Semua hal yang terjadi di dunia ini tergantung dari apa yang sudah ditakdirkan oleh Sang Pencipta. Oleh sebab itu, orang Jawa mengidentifikasikan dirinya sebagai wayang yang segala yang dialaminya ditentukan oleh dhalang. Dalam hal ini wayang sebagai simbol manusia dan dhalang sebagai simbol Tuhan. Sikap yang seperti ini bertalian dengan kepercayaan masyarakat Jawa bahwa ia berasal dari Tuhan-dalam pengertian diciptakan oleh Tuhan-dan mereka akan kembali kepada Tuhan. Maka salah satu kata yang sering saya jumpai di lingkungan masyarakat Jawa adalah nrimo, yang oleh Benedict R. O’G Anderson dalam bukunya Mitologi dan Toleransi orang Jawa dituliskan sebagai sebuah sikap ikhlas menerima hidup dan toleransi pemakluman yang besar. Sikap menerima apa adanya inilah yang saya temukan ketika orang Jawa merasa baik-baik saja terhadap kejadian apapun yang dia alami. Teman-teman orang Jawa pun tak suka cari perkara. Kalau memang harus demikian, ya mesti pasrah dan nrimo.
Salah satu pengalaman saya adalah ketika beberapa orang Jawa yang mengalami bencana Merapi justru masih bisa bersikap biasa-biasa saja meskipun penderitaan atas dirinya begitu berat. Mereka selalu berusaha untuk hidup sesuai dengan apa yang terjadi tanpa harus mempersalahkan siapa-siapa termasuk Tuhan. Karena sikap nrimo ini lahir dari sebuah keyakinan bahwa segala kejadian di dunia ini, entah itu baik maupun buruk pada dasarnya sudah ditentukan oleh Sang Gusti Allah. Bagi saya yang bukan orang Jawa, sikap nrimo ini begitu luar biasa karena mampu menyelaraskan diri dengan hidup itu sendiri. Mungkin agak terkesan fatalistik, tetapi yang saya pahami bahwa nrimo itu adalah sebuah ‘sikap’ dan bukan cuman diam dan tak berbuat apa-apa. Nrimo bukanlah sikap pasif dan apatis. Ditengah penderitaan yang dialami warga merapi, mereka nrimo tetapi sekaligus berusaha untuk berjuang kembali untuk mengumpulkan kepingan kegembiraan sebagaimana sebelumnya. Mungkin agak mirip dengan lagunya Bondan Prakoso & Fade 2 Black: ‘ya sudahlah’. Wes sudah terjadi, kenyataannya memang begitu. Tetapikan hidup harus berlanjut..
Keterbukaan pada kenyataan inilah yang menarik dari sikap nrimo. Karena hidup itu sendiri sangatlah unpredictable. Ia tidak mudah ditebak dan diramal. Tetapi kita pun sadar bahwa hidup itu tidak jauh dari kata senang dan sedih, suka dan duka. Maka, ketika kesadaran itu berwujud dalam sikap nrimo, berhadapan dengan hidup yang bagaimanapun kita sudah siap. Kenyataan pahit ataupun enak adalah bagian dari sikap kita menjalani hidup. Dalam salah satu bukunya, Selamat Berpulih, Andar Ismail berkata:’Tetapi menerima kenyataan jangan dianggap menyerah. Menerima kenyataan adalah berdamai dengan diri sendiri lalu secara kreatif mencari jalan untuk menjadikan keadaan hidup tetap berguna’.
Kita semua memang mencita-citakan hidup yang sempurna. Tetapi bukankah hidup yang sempurna itu terjadi ketika kita bisa hidup selaras dengan kenyataan yang ada?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar