Minggu, 24 Juli 2011

Transformasi Kesalehan dengan Pendidikan Karakter

Beberapa bulan belakangan ini, media menyuguhi kita dengan berita-berita korupsi para petinggi partai dan pemerintah. Mereka tidak lain adalah orang-orang yang dipilih sebagai ‘wakil’ rakyat untuk memajukan kesejahteraan sang pemberi mandat-rakyat. Mereka adalah orang-orang yang telah diserahi tanggungjawab oleh rakyat dan negara menata dan mengelola negara ini menjadi lebih baik. Tetapi suguhan media tentang korupsi, makelar kasus, mafia pemilu dan calo anggaran membuat kita sangsi apakah mereka layak diserahi mandat tersebut?

Di seberang sana, kita pun melihat berjubelnya bangunan-bangunan ibadah. Tak hanya itu, kita pun mendapati antrian dan sesaknya jemaat yang beribadah. Kita pun tahu bahwa sebagian dari mereka yang korup adalah orang-orang yang juga rajin beribadah, beramal dan bahkan tak segan-segan menyumbangkan uangnya untuk ‘megah’nya rumah ibadah tersebut. Bukankah sesaknya para penganut agama di rumah ibadah adalah bukti kesalahen? Tidakkan itu cukup membuktikan bahwa orang-orang Indonesia adalah orang-orang yang religius? Lalu mengapa justru kenyataan yang kita dapati adalah sebaliknya?

Kenyataan yang kita dapati justru adalah ketidaksingkronan nilai atau norma keagamaan yang diyakini dengan perilaku. Ketika agama memandang bahwa mencuri adalah sesuatu yang tidak diperkenankan, banyak di antara kita justru membudayakan pencurian dalam bentuk korupsi berjemaah. Sampai-sampai negara ini dijuluki sebagai negara ‘kleptokrasi’, negri yang gemar mencuri sesuatu yang bukan miliknya. KKN tidak lagi menjadi kata yang jarang kita temukan melainkan kata mubajir yang terus mengalir sejalan dengan makin maraknya korupsi di negeri ini. Belum lagi berbicara tentang kasus kriminal seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan dan lain-lain.

Dalam perspektif Injil yang holistik, kesalehan yang dipraktekkan dalam ritual-ritual ibadah hendaknya selaras dengan tindakan. Yesus sendiri begitu mengecam para alim ulama waktu itu karena mereka begitu memberi tekanan kepada ritual-ritual ibadah sampai lupa bahwa di sekeliling mereka begitu banyak orang miskin dan menderita. Dalam bukunya Runtuhnya Kepedulian Kita, Yongky Karman mengatakan :”substansi keberagamaan pejabat adalah integritas moralnya. Kesalehan publiknya. Kecintaannya kepada rakyat. Pengabdiannya tanpa pamrih.” Maka bukanlah sebuah jaminan apabila seorang pejabat atau wakil rakyat yang diserahin mandat begitu rajin untuk melakukan ritual keagamaan sudah pasti akan melaksanakan tugas dan mandat yang diserahin kepadanya.

Saya masih ingat ada seorang Bupati di tempat saya yang begitu aktif di gereja bahkan demi mendapatkan simpati jemaat, ia rela menghabiskan jutaaan rupiah hanya untuk melengkapi fasilitas gereja. Tetapi apa? Beberapa tahun kemudian, ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena nyolong uang rakyat. Lebih memprihatinkan lagi ia nyolong uang rakyat yang menderita karena gempa dan tsunami pada tahun 2005 silam. Maka keselahan bukanlah jaminan bahwa orang akan terbebas dari korupsi dan teman2nya yang lain.

Oleh karenanya, transformasi kesalehan seharusnya dimulai sejak kecil. Disinilah pentingnya pendidikan karakter dibandingkan dengan pendidikan agama. Pendidikan agama cenderung memaksa anak untuk taat pada ajaran agama dan lebih menitikberatkan pembelajaran pada sisi kognitifnya saja. Menurut Doni Koesoema dalam bukunya Pendidikan Karakter menuliskan “pendidikan karakter adalah sebuah usaha manusia untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang berkeutamaan. Pendidikan karakter merupakan hasil dari usaha manusia dalam mengembangkan dirinya sendiri”. Kutamaan yang seperti apa yang diharapkan? Wiratman Wangsadinata (ed.) dalam bukunya Roosseno, Jembatan dan menjembatani menuliskan “karakter adalah budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (kognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Untuk itu terdapat karakter standar universal yang berlaku secara universal yang dikaitkan dengan syarat keberhasilan yaitu meliputi kepercayaan, kejujuran, keadilan, tanggungjawab, keterbukaan dan sebagainya”.

Pendidikan karakter mengajarkan tidak hanya bagaimana supaya tahu tetapi apa yang harus dilakukan setelah itu. Anak tidak hanya diajarkan defenisi dari mencuri tetapi mengapa tidak mencuri? Akibatnya apa. Anak diajarkan untuk bertanggungjawab terhadap tindakannya. Maka pendidikan karakter juga tidak hanya terjadi di dalam kelas tetapi juga di luar kelas, belajar dari lingkungan dan alam. Teknisnya tentu masih sangat banyak. Namun prinsipnya anak diajarkan untuk jujur, bertanggungjawab atas apa yang dilakukan. Ia tidak hanya diajar supaya tahu tetapi juga bertindak.

Pendidikan karakter juga seharusnya menyentuh ranah pembelajaran di dalam pengajaran-pengajaran semisalnya khotbah, katekisasi dan bentuk-bentuk ibadah lainnya. Tentu berbeda dengan apa yang diajarkan kepada anak-anak sekolah. Maksud saya adalah bagaimana jemaat juga bisa diajarkan untuk bertindak dan tidak hanya sekedar tahu. Contohnya, saya pernah mengajarkan katekisasi di sebuah jemaat. Pembicaraannya seputar apa itu Tuhan, Trinitas, 100% manusia 100% Allah. Lalu apa? Itu sih penting tetapi anak tidak diajarkan bagaimana menjadi anak-anak yang punya kepribadian seturut dengan apa yang diajarkan Yesus. Padahal Yesus justru sederhana. Jika kamu melihat orang yang kelaparan ya kasih makan. Jika kamu kelebihan baju ya kasihlah kepada mereka yang ndak punya. Jujur, tanggungjawab, berbagi, kerjasama adalah hal yang seharusnya menghiasi calon2 pemimpin.

Transformasi kesalehan seharusnya tidak hanya terjadi pada sisi kognitif saja. Tidak cukup berkhotbah bahwa korupsi itu haram. Jemaat juga harus diajarkan sedini mungkin mengapa korupsi berbahaya dan apa dampaknya. Anak-anak harus sedini mungkin diajarkan untuk bertanggungjawab. Anak-anak seharusnya sedini mungkin diajarkan untuk action atas ajaran agama yang dia dapati. Semoga!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar