Kamis, 28 Juli 2011

Sumbangan Monotheisme Keluarga dalam Allah Tritunggal dalam konteks Masyarakat Indonesia (sebuah refleksi pribadi)

Sadar atau tidak, prinsip Monotheisme telah menjadi roh bangsa ini. Setidaknya hal itu dapat dilihat dari sila pertama Pancasila “KeTuhanan Yang Maha Esa”. Meskipun ada yang berpendapat bahwa keberadaan Esa dalam sila tersebut jangan ditafsir dari sisi teologis melainkan dari sisi ideologis dan politis. Namun agaknya susah melepas diri dari pengaruh teologis mengenai yang Esa apabila melihat latar belakang pembentukan Pancasila yang terdiri dari mereka yang disebut Kyai, nasionalis religius dan seorang Kristen. Setuju atau tidak, Esa itu justru menunjukkan pengaruh monotheisme yang dianut masing-masing orang yang membentuknya meski persoalan itu terjadi dalam wilayah negara yang sedang membentuk dasar negara. Itulah konsensus yang diterima dan telah mengiringi bangsa ini sampai detik ini.

Namun, bagi seorang Kristen, yang diyakini adalah prinsip monotheisme keluarga dalam Allah Tri Tunggal. Meski harus diakui bahwa kekristenan berasal dari akar yang sama dengan prinsip Monotheisme ke ESAan agama-agama Ibrahim. Allah Tri Tunggal tidaklah berbicara tentang Politheisme ataupun Panteisme sebagaimana dipahami oleh mereka yang meyakini prinsip keEsaan Allah, namun berbicara tentang prinsip monotheisme keluarga, dimana keberagaman dihargai. Prinsip ini misalnya dikatakan oleh Yahya Wijaya dalam bukunya Kemarahan, Keramahan dan Kemurahan Allah “prinsip trinitas didasarkan pada pengalaman umat bahwa Allah meskipun adalah yang satu-satunya, tanpa tandingan dan tanpa saingan, tidak menjadi Allah yang sewenang-wenang”.

Salah satu sumbangan dari prinsip Allah Tri Tunggal adalah keberpihakan Allah terhadap mereka yang miskin dan menderita. Allah tidaklah Dia yang duduk saja di atas sana, dan abai terhadap penderitaan manusia. Namun Ia adalah Allah yang bersedia turun ke dalam dunia dan berpihak kepada mereka yang tersingkir dan menderita. Dalam wujud kemanusiaannya Ia dikenal sebagai Yesus yang dalam pelayanannya dikenal sangat berpihak kepada mereka yang termarginalkan dalam masyarakat. Yahya Wijaya mengatakan “Sebaliknya, Allah yang satu-satunya itu adalah Allah yang adil, yang menolak segala kesewenang-wenangan dan membela mereka yang tertindas serta menolong mereka yang lemah. Allah yang satu-satunya itu juga bukan Allah yang jual mahal, tetapi Allah yang mau mendekati manusia, menjadi sejajar dengan manusia, berada di tempat manusia dalam segala kesusahan dan kelemahannya”.

Realitas masyarakat Asia menurut A. Pieris dalam Asia’s Strunggle for Full Humanity ditandai dengan 2 hal yaitu kemiskinannya yang merajalela dan kepelbagaian dalam hal religiositas. Hal ini dipertegas kembali oleh Yewangoe dalam tulisannya Theologia Crucis di Asia dengan mengatakan demikian : “Meskipun kemiskinan dan orang miskin dapat ditemukan di mana-mana di seluruh dunia, bahkan juga di negara-negara yang disebut “Dunia Pertama” (Eropa Barat dan Amerika Serikat), realitas kemiskinan di Asia jauh lebih mencolok...Juga suatu fakta yang jelas bahwa bangsa Asia adalah bangsa yang religius, bukan saja kebanyakan agama yang dikenal umat manusia lahir di Asia, tetapi juga karena orang-orang Asia dalam usaha mereka untuk memahami dan mengatasi kemiskinan, biasanya mengaitkan kemiskinan itu dengan keberagamaannya.”

Konteks Indonesia pada dasarnya mempunyai kemiripan dengan konteks Asia pada umumnya. Kekristenan merupakan agama minoritas yang harus hidup berdampingan dengan agama-gama dan kepercayaan-kepercayaan lain yang telah ada dan berkembang di Indonesia. Dalam kaitannya dengan itu, prinsip Allah Tri Tunggal dimana Allah berpihak kepada mereka yang termarginalkan mengajak kita membangun sebuah teologi agama yang memperhitungkan kemiskinan. Hanya dengan demikianlah, teologi agama-agama yang dibangun dapat menjadi sebuah syalom bagi masyarakat Indonesia sendiri.

Setidaknya hal tersebut dicatat oleh E.G. Singgih yang menuliskan bahwa di Indonesia ada 5 isu yang perlu kita perhatian. Ke-5 isu tersebut adalah: Pluralisme budaya dan agama, kemiskinan yang parah, penderitaan dan bencana, ketidakadilan termasuk ketidakadilan gender dan kerusakan ekologis. Nampak bahwa kemiskinan dan keberagaman agama termasuk hal yang perlu diperhatikan oleh gereja-gereja di Indonesia. Oleh karena itu, monotheisme keluarga dalam Allah Tri-Tunggal merupakan konsep yang cocok dalam realitas masyarakat Indonesia dengan kemiskinan dan ketertindasannya. Allah yang diwahyukan dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus tidak menentukan semua dari atas, tetapi berjuang dari bawah dengan mereka yang menderita. Dengan demikian gereja-gereja diajak agar berpihak kepada mereka yang miskin dan lemah, dan bersama melawan ketidakadilan sebagaimana Yesus berjuang dari bawah bersama mereka yang tertindas, lemah dan miskin.

2 komentar:

  1. Masukan bagus gan... tapi kayaknya kalo g iklsa sama aja deh

    BalasHapus
  2. שלום/ Shalom saudara-saudari Kristen. Sudah ada yang pernah mendengar tentang Shema Yisrael belum? Kalimat ini dapat ditemukan di Ulangan 6 ayat 4 dan Yesus juga pernah mengutip kalimat pengakuan iman orang Yahudi ini dalam Injil Markus 12 ayat 29. Umumnya mereka selalu mengumandangkan terlebih dahulu sebelum memulai ibadah entahkah itu ibadah harian ( pada pagi, siang maupun malam hari menjelang tidur ) juga di hari Shabat dan hari-hari raya. Dengan mengucapkan Shema, mereka mengakui keesaan YHWH ( Adonai ) sebagai Elohim.
    Di sini saya ijin untuk membagikan ayatnya dalam bahasa Ibrani beserta cara mengucapkannya ( huruf Ibrani dibaca dari kanan ke kiri ) :

    Teks Ibrani Ulangan 6 ayat 4 : " שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אלהינו " ( Shema Yisrael YHWH [ Adonai ] Eloheinu YHWH [ Adonai ] ekhad )

    Kemudian dilanjutkan dengan mengucapkan berkat : " ברוך שם כבוד מלכותו לעולם ועד " ( barukh Shem kevod malkuto le'olam va'ed )

    ש🕎✡️🐟📜🖖🏻✝️🗺️🕊️🌾🍇🍎🍏🥛🍯🍷

    BalasHapus