Jumat, 29 Juli 2011

Siapa bermain di Lumpur?


Beruntunglah Indonesia menang 4-3. meski deg-degan melihat pemain Indonesia yang kocar kacir karena kondisi fisik yang sudah makin menurun di menit terakhir. Tetapi good job Boaz cs. Ribuan penonton yang memadati GBK tentunya mendapat aplos dari permainanmu yang cantik di babak pertama sampai pertengahan babak kedua. Aku dan teman-teman merasa terhibur dengan permainanmu.

Saya jadi ingat, ketika seminggu yang lalu bermain di Turkmenistan. Tak bisa engkau bermain seperti itu. Meski akupun tahu bahwa apalah susahnya mengalahkan tim Turkmenistan di kandang sendiri. Tetapi lapangan yang kondisinya memprihatinkan itu masih bisa engkau taklukan meski hanya bermain imbang 1-1. Akupun tak habis pikir bagaimana mungkin lapangan yang hancur seperti itu bisa menjadi lapangan untuk pertandingan internasional apalagi road to Brazil. Aku pun tak pernah lihat selama LSI (Liga Super Indonesia) dan LPI (Liga Primer Indonesia) lapangan yang sama. Akupun berceloteh dalam hati “lapangan itu hanya bisa disejajarkan dengan lumpur lapindo”. Ah mengapa Lumpur Lapindo? Lapangan yang memprihatinkan itu hanya bisa aku temui di Sidoarjo sana. Waktu itu aku membayangkan Garuda sedang bermain dengan tim Turkmenistan di atas lumpur itu.

Gmana nasib masyarakat Lumpur Lapindo? Mungkin masih memprihatinkan. Korban lumpur adalah manusia yang terlantar oleh perbuatan yang tidak mereka lakukan. Tetapi bukankah itu yang terjadi dengan kemiskinan atas bangsa ini? Banyak dari mereka yang seharusnya bisa mendapatkan hidup yang lebih baik tetapi tindakan sebagian orang yang di atas sono memaksa sebagian masyarakat kita gigit jari. Mau apa lagi? Gigit jari saja sudah sakit apalagi yang lain..dan itu pulalah yang terjadi dengan korban lumpur. Mereka hanya bisa gigit jari dengan janji-janji esbeye dan bakery (kayak roti saja). Tak ada action dari esbeye sebagai yang diberi mandat oleh rakyat (ah itupun jika masih ingatL). Pantesan saja bu-tet bilang kalau esbeye itu cuman tahunya ‘prihatin’. So, Sys EnS pun dilarang memakai kata itu karena sudah copyright.

Siapa sebenarnya bermain di lumpur Lapindo? Kalau bangsa ini tunduk pada korporasi-korporasi besar yang menyengsarakan, bukankah ini ancaman, bukan hanya untuk mereka yang di Sidoarjo sana saja tetapi juga masyarakat kita dari Aceh sampai Papua? Reformasi yang dilahirkan dengan sakit ternyata tak banyak membawa perubahan. Korporat-korporat besar masih suka bermain meski tahu bahwa mereka sedang bermain di atas lumpur. Sebelum reformasi ada freeportt dan setelah reformasi ada lumpur lapindo. Pertandakah ini bahwa negara ini akan tenggelam oleh karena korporasi-korporasi ini? Ah, aku pun tak tahu. Yang pasti janganlah bermain-main di atas lumpur..janganlah pula mempermainkan mereka korban lumpur..karena aku takut bahwa suatu saat aku melihat sebuah headline surat kabar menuliskan “esbeye tenggelam dalam lumpur”J

Masih berharap yang terbaik. Akupun ndak berharap esbeye seperti lele yang senang bermain di lumpur. Jika itu yang terjadi, maka tak ada lagi harapan buat mereka yang jadi korban para korporat. Mau dibawa kemana negara ini jika Paduka esbeye bermain di atas penderitaan orang bersama para korporasi-korporasi yang menyengsarakan rakyatnya sendiri. Mengulur-ngulur waktu untuk mengembalikan apa yang hilang dari korban lumpur ini hanya akan menenggelamkan harapan mereka. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa itupun akan menenggelamkan seorang esbeyeL

Beruntunglah tim nas kita tak seperti esbeye dan bekery. Mereka ingin bermain cantik, atraktif dan menghibur. Aplouse pun diberikan dan berharap bahwa tak ada lagi yang bermain di atas lumpur seperti di Turkmenistan dan Sidoarjo sana. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar