Minggu, 10 Juli 2011

Hidup bagai bejana tanah Liat


Hidup bagai bejana tanah liat adalah tepat untuk menggambarkan kenyataan hidup kita yang mudah retak dan tak berdaya. Apalagi kalau kita sedang ditindas dan dianiaya entah dalam bentuk apapun. Sering kali yang muncul adalah perasaan tidak berdaya. Namun itu menandakan bahwa manusia memang terbuat bukan dari besi baja seperti Gatot Koco tetapi dari tanah yang memang mudah retak. Kita ini rentan dengan segala hal yang datang dari luar untuk rusak. Diri kita ini mudah sekali pecah oleh karena memang diri kita terbuat dari tanah liat. Ingat, tanah liat!!

Dengan menyadari ini kita terbebas dari sikap sombong. Kita bukanlah orang-orang yang tangguh dalam segala hal, yang tak pernah akan merasakan pahitnya dunia. Justru sebaliknya kita adalah manusia-manusia yang ‘pasti’ butuh orang lain. kita tidaklah seperti manusia dalam banyangan Nietche yang berbicara tentang ‘Manusia Super” atau Ubermensch. Linda Smith & William Raeper dalam bukunya Ide ide filsafat dan agama dulu dan sekarang menyebutkan bahwa Manusia Super yang dimaksud oleh Nietzche adalah seseorang yang menyadari keadaan sulit yang dialami manusia. Ia menciptakan nilai-nilainya sendiri dan mampu membentuk hidupnya sendiri. Ia mengatasi kelemahan dan membencinya di dalam diri orang lain. Bagi Nietzche Manusia Super akan menjadi manusia Dionysian jenis baru dengan daya hidup nyata dan kekuatan besar, percaya diri dan disiplin diri. Meskipun Franz Magnis Suseno dalam bukunya Menalar Tuhan membantah bahwa Nietzche tidaklah mengaitkan Ubermensch sebagaimana ‘SuperMan’ yang kita kenal, melainkan dimaksudkan sebagai manusia yang tidak lagi melemparkan tanggungjawab kepada Allah dan Agama. Namun, sulit untuk melepaskan gagasan Ubermensch dari keyakinan bahwa kita sebenarnya bisa mandiri dan terbebas dari orang lain bahkan Allah. Bayangan Nietzche ini mau tidak mau terkait dengan bayangan bahwa manusia sebenarnya mampu untuk tangguh di hadapan kenyataan apapun, termasuk dunia.

Ambisi sang filsuf yang terkenal nyentrik dengan kalimat ‘Allah telah mati’ itu justru berkebalikan dengan kenyataan manusia sendiri. Lemah dan tak berdaya adalah sebuah hal yang mengitari diri manusia. Bahkan kenyataan bahwa manusia itu lemah dimulai ketika kita lahir di dunia ini dengan tangisan, karena kita akan masuk ke dalam ‘medan’ penderitaan.

Paulus, dalam kitab 2 Korintus 4:7-18 berkisah tentang bejana tanah liat. Dalam hal ini bejana tanah liat adalah kiasan yang digunakan oleh Paulus di dalam menggambarkan tubuhnya yang lemah. Robert Banks dalam bukunya Paul’s Idea of Commnunity mengatakan bahwa Paulus dipengaruhi oleh filsafat Stoa. Maka tidak mengherankan kalau dualisme yang ada dalam berbagai macam pemikiran Paulus sangat terasa. Namun dalam kaitannya dengan metafora tanah liat, Paulus nampaknya justru melihat tubuh yang lemah sebagai jalan masuk bagi Allah untuk berkarya. Calvin J. Roetzel dalam bukunya Paul a Jew on the Margins mengatakan bahwa melalui metafor bejana tanah liat, Paulus ingin menggambarkan tubuhnya yang lemah tetapi justru lewat tubuh yang lemah inilah dipercayakan untuk mewartakan Injil Yesus Kristus. Allah telah mempercayakan pelayanan kepada manusia yang lemah yang digambarkan dengan bejana tanah liat yang mudah retak dan hancur karena pemakaian sehari-hari. Apa yang dialami oleh Paulus, dengan sangat jelas terkait dengan ‘penderitaan’ yang dialaminya. Misalnya terlihat dalam kata-kata ditindas, dianiaya, dihempaskan (ayat 8-10). Dalam keseluruhan surat Korintus kita bisa menemukan bagaimana rasul Paulus memang sering mengalami penderitaan. Apalagi jika dikaitkan dengan keberadaan para rasul lain yang ada di Korintus. Mereka yang menjadi lawan dari rasul Paulus dalam kitab Korintus menyebut diri sebagai ‘rasul’ dan ‘pelayan Kristus’. Sering kali rasul-rasul tersebut oleh Paulus disebut sebagai ‘super apostle’ (11:5;12:11), false apostle (11:13) dan minions of satan atau kaki tangan setan (11:13-15).

Hal yang menarik dalam pemaparan Roetzel adalah bahwa metafora tentang bejana tanah liat adalah sebuah cara bagi Paulus untuk menyamakan dan ambil bagian dalam kematian Yesus. Dengan cara inilah, Paulus menegaskan bahwa badannya yang lemah dan mudah hancur oleh kematian, dengan kekuatan yang dari Kristus yang telah dibangkitkan telah mengalahkan kematian itu sendiri. Maka dengan metafora bejana tanah liat, Paulus ingin memperlihatkan bahwa manusia seperti dirinya di mata manusia (khususnya di mata rasul yang menjadi saingannya) adalah lemah dan tidak berarti apa-apa, tetapi justru dengan itulah kekuatan yang dari Allah datang (ayat 7). Maka Paulus mendapati kekuatannya menjadi sempurna di dalam kelemahan.

Seorang teman mengatakan bahwa penderitaan yang kita alami adalah jalan masuk bagi Allah untuk mengangkat kita dari beban kita. Dia percaya bahwa selama kita masih bisa menanggung beban kita sendiri, Allah berjalan di samping kita. tetapi ketika kita sudah tidak sanggup lagi mengangkat beban kita, Allah yang akan menggendong kita. Saya jadi ingat tentang Puisi ‘Jejak-jejak Kaki’ dari Margaret Fishback Powers:

Suatu malam aku bermimpi berjalan-jalan di sepanjang pantai Bersama Tuhanku. Melintas di langit gelap babak-babak hidupku.Pada setiap babak, aku melihat dua pasang jejak kaki, Yang sepasang milikku dan yang lainnya milik Tuhanku. Ketika babak terakhir terkilas di hadapanku. Aku menengok jejak-jejak kaki di atas pasir. Dan betapa terkejutnya diriku Kulihat acap kali di setiap hidupku. Hanya ada sepasang jejak kaki Aku sadar bahwa ini terjadi Justru saat hidupku berada dalam keadaan yang paling menyedihkan.Hal ini selalu menggangguku dan akupun bertanya kepada Tuhan: “Tuhan, ketika aku mengambil keputusan untuk mengikutMu, Engkau berjanji akan selalu berjalan dan bercakap-cakap denganku di sepanjang jalan hidupku. Namun ternyata dalam masa yang paling sulit dalam hidupku, hanya ada sepasang jejak kaki. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa ketika aku sangat memerlukanMu engkau meninggalkan aku”. Ia menjawab dengan lembut:”AnakKu, aku sangat mengasihiMu dan sekali-kali Aku tidak akan pernah membiarkanmu, terutama sekali ketika pencobaan dan ujian datang. Bila engkau hanya melihat hanya ada sepasang jejak kaki, ini karena engkau berada dalam gendonganKu”.
Apa yang dialami oleh Paulus adalah sesuatu yang manusiawi sekali. Ada sakit yang terasa ketika penderitaan itu datang. Bagaikan bejana tanah liat, tubuh kita yang lemah adalah pertanda bahwa kita bukanlah ‘manusia super’ yang jauh dari tangisan dan air mata. Namun, penghayatan Paulus atas penderitaannya membawa dia pada Yesus sendiri yang merupakan sumber kekuatan. Sangat normatif mungkin. Namun, satu hal yang menarik bahwa ‘perspektif’ Paulus akan penderitaannya tidaklah gampang di temukan dalam diri orang percaya. Ketika penderitaan datang, hujatan datang bertubi-tubi, entah kepada Tuhan, iblis, keluarga, teman atau siapapun yang pantas jadi sasaran amarah dari penderitaan tersebut. Paulus tidaklah demikian. Sadar betul bahwa ia lemah, ia justru meminta kekuatan dari Tuhan. Karena hanya dengan demikianlah, Allah berkarya dalam dirinya. Sehingga yang keluar dari mulut Paulus adalah-justru ‘ucapan syukur’.

Allah tidaklah membiarkan kita sendirian dalam penderitaan kita. Ketika kita tidak sanggup lagi Ia akan menggendong kita. Karena dengan itulah, Allah berkarya alam diri kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar