Oslo, Norwegia sebuah negara yang dikenal damai dan aman dihentakkan dengan sebuah serangan membabi buta dari seorang yang bernama Andres Breivik. Kurang lebih 76 orang menjadi korban penembakan dan bom yang ‘katanya’ dirancang sendiri oleh Breivik. Sebagian masyarakat dan media di Indonesia pun terkejut dengan aksi seorang Breivik karena dilakukan di negara yang selama ini dikenal ‘aman dan damai’. Namun sebagian komentar di beberapa forum dan milis justru tidak begitu terkejut dengan aksi ini. Mengapa? Mereka yang pernah tinggal di Eropa ternyata paham betul bahwa masyarakat Eropa sekarang ini begitu sensitif dengan isu ras dan para imigran yang berasal dari negara-negara berkembang. Tak heran jika sebagian masyarakat Eropa justru mendukung dan memberi simpati kepada Breivik (Kompas 28 Juli 2011). Alasan soal ‘membanjirnya’ imigran itulah yang diduga motif dari penyerangan dari seorang yang bernama Breivik.
Perhatian saya tidak tertuju pada motifnya tetapi pada sebutan yang dikenakan kepada Breivik. Awalnya media berspekulasi bahwa yang melakukan ini adalah kelompok garis keras dalam islam, kemudian ekstrim sayap kanan dan terakhir disebut Kristen Fundamentalis (Kompas 25 Juli 2011). Penyebutan tentang siapa dan dari kelompok mana Breivik jelas ‘agak’ bermasalah buat saya. Penyebutan kelompok tertentu yang dikaitkan dengan Islam yang diduga di belakang penyerangan tersebut adalah sebuah ‘keberhasilan’ dari usaha cuci otak yang dilakukan AS dan sekutunya dengan slogan ‘war on terror’. Setiap ada insiden penyerangan atau bom, masyarakat selalu mencurigai ‘jangan-jangan pelakunya adalah seorang garis keras dari kalangan tertentu’. Sebut saja Al-Qaida, JI dan berbagai organisasi yang seideologi dengannya. Keberhasilan cuci otak ini oleh Yasraf Amir Pilliang lewat bukunya Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial disebut sebagai ideologisasi teror. Dia mengatakan “Ideologisasi teror adalah penggunaan mekanisme oposisi biner (binary opposition) dalam rangka menciptakan kategorisasi siapa yang teroris dan siapa yang bukan teroris berdasarkan logika paralogisme. Logika ini misalnya :’oleh karena yang teroris adalah Al-Qaeda maka kami jelas bukan teroris’”. Melalui mekanisme biner inilah masyarakat global dipengaruhi secara psikologis seperti nampak dalam slogan ‘war on teror’ yang diusung Bush dan (parahnya) Indonesia juga ngekor di dalamnya!
Yang mengherankan mengapa istilah yang sama tidak dikenakan kepada Breivik? Mengapa dia tidak disebut sebagai teroris? Apalagi dengan penyebutan ‘fundamentalis’ kepada Breivik dan bukan teroris. Apakah tidak semestinya seorang teroris lahir dari kalangan Kristen. Bukankah dalam sejarah gereja yang kelam dan gelap itu juga bermunculan teror yang tidak kalah hebatnya dengan Osama? Inilah yang saya lihat bagaimana masyarakat Eropa termasuk medianya memandang bahwa apa yang dilakukan Breivik tidak bisa dimasukkan dalam kegiatan terorisme oleh karena ia bukan dari kalangan garis keras seperti Al-Qaida. Mekanisme oposisi biner berhasil dilakukan dalam kasus Breivik: Oleh karena Breivik bukan seorang/bagian dari Al-Qaida atau yang berideologi sama dengannya, maka kegiatan teror yang dia lakukan bukanlah kegiatan seorang teroris. Padahal apa yang dia lakukan jelas-jelas adalah kegiatan seorang teroris!
Breivik jelas adalah peneror masyarakat Norwegia dan mungkin masyarakat Eropa. Namun, di balik itu sejarah teror telah membuktikan bahwa realitas teror selama ini telah digiring ke dalam “kesadaran palsu” dimana terjadi “konotasi distortif” yang menggiring masyarakat global termasuk Indonesia ke dalam “pengelompokkan” kelompok tertentu sebagai teroris. Hal ini dilanggengkan misalnya melalui propaganda media massa yang membentuk terus-menerus kesadaran masyarakat bahwa yang dimaksud dengan teroris adalah kelompok tertentu saja. Sebagiamana citra teroris telah berhasil ditempelkan pada diri seorang Osama dan organisasinya Al-Qaida ataupun yang terkait dengannya.
Labelisasi teroris adalah kegemaran AS dan sekutunya. Namun labelisasi ini pulalah yang mesti menyadarkan kita bahwa kegiatan teror ataupun teroris bisa lahir dari mana saja, termasuk dari kalangan Kristen sendiri. Bukankah kegiatan teroris justru dilakukan oleh mereka yang katanya beragama? Jika kita masih beranggapan bahwa kegiatan teror terkait dengan Al-Qaida dan teman-temannya saja, maka mungkin kita memang sudah termakan ‘mekanisme oposisi biner’ buatannya AS dan sekutunya. Ahmad Syafii Maarif dalam buku Menggugat terorisme: Pendapat Para Pengamat dan Tokoh menuliskan :”Ini penting, sebab bila upaya pemberantasan terorisme dilakukan secara serampangan, dengan memberikan label teroris pada kelompok masyarakat tertentu misalnya, justru merupakan aksi terorisme tersendiri”. So, semua yang berbau teror, entah itu dilakukan oleh seorang Breivik, penindasan bangsa Palestina oleh Israel, dan perang melawan teror AS dan sekutunya dengan ‘menciptakan’ teror adalah tindakan teroris. Ini pendapat saya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar