Yesus itu berpolitik. Hal itu terlihat dari visi dan misi yang Ia jalankan selama ada bersama para muridnya. B.A. Pareira , Ocarm dalam tulisannya ‘Yesus dan Politik’ dalam buku Yesus dan Situasi Zamannya mengatakan bahwa tidak mudah melepaskan Yesus dari politik. Setidaknya hal itu terjadi ketika Yesus menjadi korban dari imperium Romawi yang justru menyalibkan Yesus sebagai penjahat politik. Maka salib Yesus berdimensi politik. Keputusan tergantungnya Yesus di kayu salib adalah buah keputusan politik. Tuduhan-tuduhan kepada Yesus berbau politik: tuduhan melakukan pemberontakan (Luk. 23:2), penghasut rakyat, agitator dan pengganggu keamanan (Luk. 23:5).
Belum lagi berbicara tentang pengaruh Yesus terhadap kekuasaan para Rabbi dan Roma. Kegiatan pelayanan yang Ia lakukan menarik banyak perhatian dan pengikut sehingga menjadi ancaman bagi penguasa agama dan pemerintah waktu itu. Keberpihakannya terhadap orang kecil dan terpinggirkan adalah juga penegasan akan perlawanannya kepada kekuasaan yang menindas waktu itu entah dari agama sendiri maupun kekuasaan Roma. Tentu apa yang dilakukan Yesus adalah sebuah implementasi nilai yang ia bahwa yaitu ‘pembebasan’. Pembebasan mereka yang tertindas dan tersingkir dari masyarakat. Inilah yang Markus J. Borg tuliskan sebagai ‘Politik Bela Rasa’, yaitu sebuah paradigma sosial , nilai inti bagi kehidupan dalam paguyuban.
Dalam bukunya Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali, Borg menuliskan bahwa kata Ibrani untuk bela rasa yang bentuk tunggalnya berarti ‘rahim’ sering dipakai untuk Allah dalam Perjanjian Lama. Kata ini diterjemahkan sebagai ‘pengasih’ untuk menggambarkan sifat Allah sebagai Allah yang ‘pengasih’ dan ‘penyayang’, ‘gracious and merciful’. Dalam LAI kata tersebut diterjemahkan ‘Rahmani dan Rahimi’. William Barclay dalam The Gospel of Matthew menuliskan “It is (compassion) formed from the word splagchna, which mean the bowels, and it describes the compassion which moves people to the deepest depths of their being”. Dengan demikian Yesus yang berbela rasa menggambarkan sifat Allah yang berbela rasa sebagaimana terdapat dalam Perjanjian Lama.
Borg melanjutkan “dengan mengatakan bahwa Allah itu berbela rasa sama dengan mengatakan bahwa Allah itu ‘seperti sebuah rahim’ bahwa dia itu ‘rahimi’.” Metafora sebagai rahim mau menunjukkan bahwa Allahlah yang melahirkan kita-sang ibu yang melahirkan kita. sebagaimana seorang ibu menyayangi anak-anak yang lahir dari kandungannya demikian pula sifat Allah yang menyayangi kita. Allah yang berbela rasa mau menunjukkan kepada kita bahwa ia adalah rahim yang memberi kehidupan, memelihara, menjaga dan merangkul kita. Dan politik seperti inilah yang ditunjukkan Yesus selama ia melayani, yaitu politik yang empati dengan mereka yang tertindas dan bergaul dengan mereka. Ia berpihak kepada mereka yang dipinggirkan dari masyarakat dan mau menunjukkan bahwa Allah akan berpihak kepada mereka. Karena Allah adalah rahim yang akan menolong mereka. Yesus mengedepankan sebuah politik yang merangkul bukan menyingkirkan dan menjauh dari mereka yang ‘dicap’ sebagai miskin dan berdosa.
Mutiara Andalas dalam Kesucian politik: agama dan politik di tengah krisis kemanusiaan bahkan menuliskan demikian “Yesus menjungkirbalikkan tata kelola sosial yang dehumanitatif. Dia mengundang para korban sejarah yang disisihkan dari meja perjamuan untuk duduk bersamaNya dalam satu meja perjamuan. Meja perjamuan merupakan miniatur masyarakat yang didesain secara hierarkies diskriminatif. Dia mendapatkan dakwaan sebagai tukang makan, pemabok, serta mencemarkan diri dengan tukang pajak, pelacur, dan kaum pendosa lainnya. Dia juga mendapat dakwaan senada saat menyenuh pribadi-pribadi yang sakit. Dia menghapus garis pemisah sosial yang dibalut ritual agama dan politik”. Politik bela rasa yang dilakukan oleh Yesus adalah sebuah usaha untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia yang berasal dari rahim Allah sendiri. Perlawanan itu memang mengakhiri pelayanannya di kayu salib, namun apa yang dilakukan Yesus adalah sebuah tanda keberpihakan sekaligus perangkulan.
Yesus memang tidak berpolitik untuk mendapat kuasa. Ia menerapkan politik bela rasa, dimana rangkulan Allah nyata sebagai pemberi hidup. Dalam situasi seperti di Indonesia, gereja mesti mendorong agar para penguasa kita mampu menunjukkan keberpihakannya kepada mereka yang tertindas dan tersingkir dalam masyarakat. Dan pada saat yang sama, gereja mesti mendorong para penguasa agar mereka menjadi penguasa yang tidak hanya berpikir tentang kuasa tetapi bagaimana mereka menjadi perpanjangan kuasa kerahiman Allah. Ia melawan para penjajah yang menyengsarakan dan oleh karenanya gereja juga mesti mendorong agar pemerintah kita tidak menjadi penjajah atas rakyatnya sendiri. Gereja harus aktif dalam menyuarakan suara mereka yang tersisih dan terpinggirkan untuk menunjukkan bahwa Allah sedang bekerja atas dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar