Jumat, 15 Juli 2011

Kitab Wahyu dan Paulus dan gejala Shizofrenik

Benarkah penulis kitab Wahyu mengidap stres berat yang disebut dengan Skizofrenik? Gangguan akibat tidak tahan terhadap stres dapat mengakibatkan terjadinya ‘halusinasi’ yakni sebuah persepsi panca indera tanpa adanya ransangan eksternal. Maksudnya ada perasaan dalam diri seseorang merasa melihat objek tertentu padahal jelas-jelas objek tersebut tidak ada (film Beautiful Mind adalah salah satu film yang bercerita tentang penyakit Skizofrenik). Halusinasi yang disebabkan oleh stres yang luar biasa ini akhirnya melahirkan orang-orang dengan cerita yang tak pernah terjadi.

Dalam tulisannya mengenai kitab Wahyu, Johan S. Vos mencoba menyelusuri mengapa dalam PB khususnya kitab Wahyu dan surat-surat Paulus, pemisahan dan kekerasan bisa sangat menyolok. Pemisahan terjadi atas 2 kelompok yang berbeda, yaitu mereka yang percaya kepada Yesus dan mereka yang tidak percaya [believers dan unbelievers]. Dalam pembahasannya mengenai Kitab wahyu, ditunjukan sebuah dikotomis mutlak, dimana dalam peristiwa eskatologis, manusia dipisahkan dalam dua kelompok. Dia mengatakan bahwa “on the positive side, there are the saints, the righteous, the holy ones, the servants of God”. Mereka adalah yang tetap menjaga perintah Tuhan dan berpegang teguh pada iman kepada Yesus. Gambaran ini dilanjutkan dengan mengatakan “they are pure and blameless, as symbolized by the white garments in which they are clothed. They are virgins because “they have not defiled themselves with women”. Bahkan mereka ini disebut tercatat dalam “buku kehidupan”. Pada sisi negatif sebaliknya. Disebutkan “not give up worshiping demons and idols, the evildoers ‘who did not repent of the works of their hands’, the dogs, the polluted, the sorcerers, the fornicators and the murderers, those who love and practice falsehood, those who have committed fornication with the great whore, Babylon.” Mereka yang digolongkan dalam bagian ini justru tidak ditemukan namanya dalam ‘buku kehidupan’. Yang paling mengenaskan adalah bahwa kepada kelompok terakhir ini, akan mengalami murka Allah dan murkanya dalam bentuk yang mengenaskan. Disebutkan di sana ‘violent way’. Gambaran-gambaran yang dialami sungguh tak tertahankan.

Disana disebutkan mereka akan disiksa, dengan sengatan matahari, hujan es besar yang dijatuhkan dari langit, mereka akan di sengat oleh belalang yang mempunyai sengatan kalejengking, dilemparkan ke dalam lautan api. Mereka akan dibunuh oleh setiap wabah, gempa, kelaparan, wabah penyakit dan luka busuk yang menyakitkan, dan daging mereka akan dimakan oleh burung-burung. Yang paling mengerikan adalah penulis Wahyu Yohanes justru mengajak [menghasut] orang beriman untuk bersukacita pada kehancuran Babel [wahyu 18:20]. Jadi, penulis mencoba mendapatkan penjelasan bagaimana mungkin Allah digambarkan bisa berperilaku sekejam itu dan bahkan orang beriman diajak bersukacita akan penderitaan orang lain? Dalam hal ini penulis kemudian memakai pendekatan psikoanalisis untuk melihat lebih dalam relasi fenomena pemisahan dan kekerasan tersebut.

Beberapa ahli secara luas menyepakati bahwa hal ini bertalian dengan balas dendam terhadap kerajaan Romawi khususnya ketika Domitianus menjadi kaisar. Asumsinya bahwa Domitianus telah menganggap dirinya sebagai seorang tuhan yang hidup, bahwa ia menuntut bahwa kurban ditawarkan kepadanya, dan bahwa ia meluncurkan penganiayaan terhadap orang Kristen yang menolak untuk melakukannya. Tetapi oleh penulis dikatakan bahwa penelitian terbaru justru menunjukkan hal sebaliknya. Mereka justru mengalami kehidupan yang tenang di dalam kekaisaran Romawi. Jadi apa yang tercantum dalam kitab Wahyu Yohanes hanyalah konstruksi pemikiran yang bersifat independent dari penulis kitab. Maka dari itu, yang diperlu dijelaskan adalah visi apokaliptik dari penulis kitab Wahyu Yohanes. Dan dalam hal ini, pendekatan psikoanalis bermain.

Eugen Drewermann
Seorang teolog Jerman yang sangat dipengaruhi oleh Carl Jung. Dia mengatakan bahwa kitab Wahyu Yohanes tidaklah lebih dari kesalahan sejarah. Ramalan dari penulis kitab adalah kekaisaran Romawi akan jatuh dan kerajaan mesianis akan datang dalam waktu dekat. Tetapi yang terjadi pada abad berikutnya justru gereja ‘menikah’ dengan pelacur Babel yaitu kekaisaran Roma, dan bertahan sekitar 1500 tahun lamanya. Drewermann mengatakan bahwa itu hanyalah sebuah proyeksi dari jiwa penulis ke dalam sejarah dunia. Lebih tepatnya, konflik itu sebenarnya terjadi dalam jiwa manusia sendiri. Pembalasan kejam dari Allah misalnya merupakan superego, setan dan binatang adalah representasi dari energi ‘id’. Ada sebuah ‘pelayaran’ dalam diri penulis kitab dalam penemuan diri dan penyembuhan. Jadi apa yang tercantum dalam Wahyu 8:2-22-5 adalah sebuah proses individuasi, sebuah cara di mana manusia kembali dari kecemasan dan keterasingan pada dirinya sendiri dan asal-usul dirinya. Menurut Drewermann, literatur apokaliptik mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan pengalaman schizophrenic. Keduanya didominasi oleh dualisme absolut diantara dua dunia yang saling bertentangan. Dan ini juga terjadi pada penulis kitab Wahyu Yohanes, perjuangan di antara aspek jiwa yang bertentangan, diantara ketidaksadaran dan kesadaran, insting dan jiwa, id dan superego, sensualitas dan moralitas. Berhubung dengan kekerasan yang ada, Drewermann mengatakan bahwa setiap penyiksaan tersebut adalah sebagai langkah di dalam proses individuasi dan integrasi.

Edward F. Edinger
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Drewermann, namun ia lebih melihat apokaliptik sebagai ‘the momentous event of the coming of the self into conscious realization’. Entah itu terjadi pada individu maupun kolektif. Isi pola dasar dari Apokalipse menghadirkan ‘penghancuran dunia sebagaimana telah terjadi, diikuti oleh pemulihan’. Pada pandangan Edinger, kitab Wahyu adalah sebuah dokumen separatio. Isi dari buku tersebut terutama melibatkan sebuah penentuan, pemisahan radikal antara surga dan bumi, semuanya mengenai hal atas dan bawah, antara materi dan roh atau alam. Buku berisi keseluruhan seri dari gambaran separatio yang sangat keras. Separatio ini dapat dimengerti sebagai sebuah keperluan psikologis dalam proses yang diperlukan pada tahapan tentang perkembangan psikis kolektif. Kekerasan adalah bagian penting dari jalan menuju persatuan yang bertentangan. Pada jalan yang sama sbagaimana Drewermann, Edinger menginterpretasikan wabah sebagai tahapan di dalam perkembangan proses jiwa [psikis].

Hartmut Raguse
Raguse mengatakan bahwa ternyata dalam kitab Wahyu kita menemukan banyak unsur posisi paranoid-skizofrenia dan narsisisme sebagaimana yang dipahami oleh Bela Grunberger. Kitab Wahyu dicirikan oleh dikotomi absolut di mana hanya ada “either-or”. Pembaca diajak untuk memilih salah satu dari ‘yang baik’ atau yang buruk dan bukan dengan suam-suam kuku [Wahyu 3:16]. Yang memilih yang baik akan menjadi milik ‘komunitas Allah’. Ditinjau dari sudut pandang psikoanalisis yang namanya kemurnian dan keseragaman dimungkinkan hanya karena setiap elemen penentangan diproyeksikan ke dalam musuh. Elemen penentangan berupa seksualitas dan merupakan sebuah bentuk penyimpangan dalam kitab Wahyu diproyeksikan sebagai ‘pelacur Babel’. Proyeksi ini juga berlaku untuk semua elemen penentangan yang akan mengancam kemurnian orang-orang kudus. Elemen yang menyimpang inilah yang diproyeksikan ke dunia luar dan dihadirkan sebagai ‘feces’. Pemisahan radikal ini memungkinkan narator/penulis untuk menghancurkan dengan kekerasan segala jenis yang menentang terwujudnya Yerusalem baru. Raguse mengatakan ‘The radical splitting up of the world allows the narrator to indulge in sadistic fantasies to an extreme degree without feelings of guilt’. Menurut Raguse penulis Kitab Wahyu menghasut para pembaca ke sisi makhluk surgawi yang menyebabkan kekejaman di bumi dan untuk bersukacita pada kehancuran kekerasan orang-orang yang tidak percaya.

Unsur kekerasan dan kekejaman dalam Kitab Wahyu memakai teori ‘narsisisme’. Narsis yang dimaksud dalam hal ini adalah perasaan akan sebuah dunia yang ideal yang bisa dicapai dengan konfrontasi langsung dengan realitas yang menentang hal ini. Menurut teori ini, kita selalu mempunyai keinginan kembali kepada pengalaman untuk masuk dalam surga. Karena dunia ini sebagaimana digambarkan dalam Kitab Wahyu ada yang baik dan yang buruk, maka menghancurkan yang buruk akan mengembalikan dunia narsistik yang ideal terwujud. Dia mengutip misalnya kata-kata Yesus dalam Yohanes 16:33: ’…Aku telah mengalahkan dunia’. Menurutnya dalam setiap agama yang mengajarkan kasih dan perdamaian, kita menemukan orang-orang yang militan dan fanatisme agama.

Yang juga penting dalam Raguse adalah ‘sejarah penerimaan kitab Wahyu’. Dia mengatakan bahwa dalam periode kemudian, pembaca dari Kitab Wahyu ini memiliki kekuasaan dan dengan ide-ide yang tersedia, mereka menargetkan kekerasan terhadap kelompok tertentu. Visi pemerintahan 1000 tahun menjadi program politik dan teks sangat merusak. Bahkan menurut Reguse, hal itu bahkan bisa dilihat sampai sejarah Jerman dari tahun 1933-1945. Baginya, inilah efek terburuk dari Kitab Wahyu yang telah ‘memfasilitasi’ orang untuk melakukan kekerasan terburuk, khususnya dalam sejarah peradaban barat.

P.E. Jongsma-Tieleman
Jongsma-Tieleman mengatakan bahwa apa yang kita temukan dalam kitab Wahyu Yohanes adalah simbol-simbol baik dan jahat yang digunakan dan tidak harus memimpin pembaca teks ke pemisahan dari kenyataan. Seluruh perjuangan antara yang baik dan yang jahat digambarkan dengan bantuan simbol. Hal ini tidak langsung jelas siapa atau apa yang dimaksud dengan simbol kejahatan, seperti naga raksasa dan pelacur besar. Mungkin yang dimaksud oleh orang Kristen perdana adalah kekaisaran Romawi, tetapi kemudian pembaca memiliki pandangan berbeda. Jongsma-Tieleman adalah seorang terapis sehingga ia mengatakan bahwa agresi kekerasan yang ada dalam Kitab Wahyu sama seperti ketika ia melakukan terapis pada pasiennya,yaitu dengan meneriakkan atau memukul barang-barang tertentu. Tujuannya adalah memberi rasa lega pada pasien. Hal ini dilakukan agar pasien memiliki ruang untuk memulihkan citra ideal dan tetap dalam harapan. Baginya, kekerasan adalah sebuah ekspresi simbolis dari agresi orang yang ditekan/tertekan. Pembaca dari kitab Wahyu, menurut pendapat Jongsma-Tieleman, adalah diundang untuk percaya kepada Tuhan dan dengan sabar bertahan penindasan. Adegan-adegan kekerasan dalam buku ini dapat memiliki fungsi wadah dari agresi orang beriman yang sedang dalam ketertindasan, sehingga menawarkan ‘transisi’ dari posisi paranoid-skizofrenia ke posisi depresi. Suatu sikap penerimaan realitas, dari menunggu sambil memegang harapan dan kepercayaan. Disinilah ia berbeda dengan Raguse. Jadi dalam hal ini pemisahan dan kekerasan bukan bertujuan sebagai tindakan destruktif tetapi sebagai ‘healing function of the visions of judgment and wrath that predominate’.

Dalam hal ini, Vos justru tidak sependapat dengan Jongsma-Tieleman dalam beberapa hal
1. Bagi Jongsma-Tieleman, pemisahan baik dan jahat dalam Kitab Wahyu terjadi pada tingkat simbolis, dan simbol-simbol baik dan jahat yang digunakan dalam buku ini tidak selalu memimpin pembaca teks ke realitas pemisahan . Menurut Vos, bagaimanapun, Kitab Wahyu jelas mengidentifikasi unsur-unsur realitas dengan baik atau jahat. Dunia nyata dibagi menjadi mereka yang percaya dalam Yesus Kristus di jalan pendukung penulis dan mereka yang tidak. Misalnya dia menyinggung simbol seperti Pelacur Babel dan Vos mengatakan bahwa penulis Kitab Wahyu memberi petunjuk begitu banyak kepada pembaca kontemporer bahwa akan sulit bagi mereka untuk tidak memikirkan kota Roma.
2. Jongsma-Tieleman menyarankan bahwa ada ruang untuk bergerak dari posisi paranoid-skizofrenia ke posisi depresi. Namun Vos tidak menemukannya dalam Kitab Wahyu. Menurut Vos, tidak ada ruang bagi pembaca kitab Wahyu untuk mentolerir ambiguitas
3. Menurut Tieleman Jongsma, adegan kekerasan adalah ekspresi simbolis dari agresi suatu bangsa ditekan dan tertekan. Sedangkan bagi Vos, hubungan gereja dan dunia merupakan rekonstruksi penulis, dan oleh karena itu lebih independen dari realitas sosial-politik zamannya.
4. Bagi Vos, dalam pengalamannya, ia menemukan bahwa yang namanya peperangan rohani ditimbulkan oleh gambaran dari kitab Wahyu yang justru memiliki pengaruh yang buruk. Maka baginya, kitab ini justru sangat mencemaskan.

Surat-surat Rasul Paulus
Dalam surat-surat Paulus kita menemukan unsur-unsur yang mengingatkan kita pada posisi-skizofrenia paranoid serta elemen yang merupakan ciri khas dari posisi depresi seperti yang dijelaskan oleh Melanie Klein. Dalam tulisan-tulisannya tentang ‘dunia’ dipisahkan menjadi yang baik dan yang buruk, menjadi orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus dan mereka yang tidak, mereka yang harus diselamatkan dan mereka yang akan binasa, objek belas kasih Tuhan dan objeknya murka, orang-orang kudus dan orang-orang yang penuh dosa. Rasul sendiri, sebagai utusan Injil, punya fungsi sebagai kekuatan yang memisahkan: “Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir, kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan.” Ada sebuah ambivalensi dalam diri Paulus untuk menggambarkan mereka yang tidak percaya termasuk di dalamnya yahudi dan mereka yang percaya. Ambivalensi ini jelas-dinyatakan dalam kata-kata: “Mengenai Injil mereka adalah seteru Allah oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang” [Roma 11:28]. Ini sedikit berbeda dengan pemisahan radikal dalam kitab Wahyu. Dalam hal ini, Paulus justru menyatakan kekerabatannya dengan mereka yang dianggap seteru Allah.

Menurut teori Melanie Klein, pertemuan kebencian dan kasih terhadap objek yang menimbulkan kesedihan yang sangat pedih dia sebut ‘depresi kecemasan’. Karakteristik posisi depresif adalah kebutuhan untuk reparasi atau perbaikan yaitu sebuah upaya yang dilakukan untuk memaksimalkan aspek mencintai hubungan ambivalen dengan seluruh objek rusak. Bagian dari Roma 9-11 dapat dilihat sebagai upaya tersebut. Seperti penulis Kitab Wahyu, Paulus mengharapkan “hari murka” dalam penghakiman Allah yang benar akan terungkap dan mereka yang tidak taat kepada kebenaran akan dihukum sementara mereka yang percaya dalam Kristus akan diselamatkan [Roma 2:5; I Tesalonika 1:10]. Namun, Paulus tidak pernah menggambarkan hukuman orang-orang asing dalam bagian tentang peristiwa eskatologis. Dalam 1 Korintus 15 di mana ia menggambarkan peristiwa eskatologis dari kebangkitan Kristus sampai akhir dunia, ia hanya menyebutkan kedatangan Kristus, kebangkitan orang percaya, dan pembentukan Kerajaan Allah. Pembaca bahkan memberi kesan bahwa rasul mengharapkan keselamatan untuk semua orang: “. Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, sehingga semua akan dibuat hidup dalam Kristus”. Bahkan jika “semua” hanya merujuk pada orang-orang percaya, titik kontroversial kalangan sarjana Perjanjian Baru, itu harus dicatat bahwa Paulus sama sekali tidak tertarik pada nasib orang-orang asing. Yang pasti, musuh-musuh Allah akan dihancurkan, tetapi musuh ini bukan manusia, tetapi kekuatan dipersonifikasikan dosa dan kematian. Paulus bahkan lebih spesifik dalam Roma 11: Segera setelah “jumlah penuh dari bangsa-bangsa lain” telah datang, “seluruh Israel” akan diselamatkan. Sedangkan kata “seluruh Israel” yang jelas, “jumlah penuh” dari bangsa-bangsa lain tidak selalu berarti “semua bangsa-bangsa lain.”

Tentu saja, fakta bahwa Paulus tidak mempertahankan seperti sikap radikal sebagai nabi Yohanes dalam sikapnya terhadap dunia yang tidak percaya, dan khususnya terhadap orang Yahudi, tidak berarti bahwa sejarah penerimaan rasul Paulus menghasilkan efek yang sama sekali berbeda dari Kitab Wahyu dalam hal ini. Dari abad ke-empat sampai dengan Third Reich di Jerman, kata-kata Paulus digunakan untuk melegitimasi penindasan orang Yahudi. Pada saat yang sama, namun dapat dibuktikan bahwa penilaian positif Paulus tentang orang-orang Yahudi sering berfungsi sebagai penangkal terhadap anti-Semitisme. Dalam Third Reich, misalnya, kata-katanya difungsikan sebagai rebutan bagi banyak anti-Semit, dan di antara teolog perjuangan melawan anti-Semitisme dilakukan dalam nama Rasul Paulus. Pada akhirnya, keputusan untuk efek positif atau negatif dari teks terletak dengan pembaca.

Tanggapan
Menarik melihat pendekatan psikoanalisis terhadap teks Wahyu Yohanes dengan surat-surat Paulus. Bukan saja membantu kita untuk memahami pola pikir dari para penulis kedua kitab tersebut beserta gagasan-gagasannya tetapi juga menjadi pertimbangan bagi kita untuk dengan jeli dan kritis melihat teks-teks [PB] yang berbicara tentang kekerasan. Oleh karena tidak sedikit orang yang menjadikan teks-teks PB [dan juga PL] dalam melegitimasi tindakan mereka untuk menghancurkan dan melukai orang lain.

Wahyu adalah sebuah Kitab yang bercorak apokaliptis, di dalamnya terdapat uraian-uraian tentang eskhaton, akhir zaman. Oleh karena itu Kitab ini disebut dengan Apocalypse. Kitab Wahyu merupakan kitab yang sulit untuk dipahami, karena banyak menggunakan bahasa apokaliptis yang penuh simbol dan gambaran yang asing bagi pembaca masa kini. Dengan pendekatan psikoanalisis, meskipun bukan satu-satunya pendekatan yang membantu kita mengenal dengan baik teks-teks Kitab Suci, tetapi setidaknya, pendekatan ini membantu kita memutuskan bagaimana kita harus memahami kitab suci khususnya dalam konteks kita sekarang ini. Dalam hal ini kita diajak untuk memahami pola pikir penulisnya sendiri.

Pemisahan yang disebutkan oleh penulis dalam hal ini, antara mereka yang percaya dan tidak percaya adalah sebuah gambaran dari sebuah gagasan apokaliptik. Karena dalam gagasan apokaliptik, orang akan berharap akan adanya dunia yang akan datang. Pengharapan itulah yang disebut sebagai eskatologis, yaitu sebuah zaman di mana Allah akan mendatangkan sebuah dunia yang adil buat mereka.Oleh karena itu, kitab wahyu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap akhir zaman, penghukuman Allah dan keselamatan yang kekal.

Pemaparan dari Johan Vos menurut saya membantu kita memahami mengapa sampai gagasan yang berisikan tentang kekerasan bisa sampai menjadi bagian dari kitab Wahyu. Tanggapan saya juga mempertegas ‘asumsi awal saya’ tentang betapa rumitnya kitab Wahyu untuk dipahami. Dari pembahasannya, kita menemukan bahwa ada ketidaksingkronan apa yang dibayangkan dengan kenyataan. Mungkin dalam hal ini benarlah indikasi dari beberapa ahli yang mengatakan bahwa apokaliptik tidak terkait dengan sesuatu yang objektif tetapi fiksi.

Salah satu dari sekian banyak ciri sastra apokaliptik adalah ‘dualisme’. Maka wajar saja jika penulis kitab wahyu dan juga surat-surat Paulus membedakan dua dunia yang berbeda. Dalam sastra apokaliptik, masa kini merupakan masa yang penuh dosa dan kejahatan, namun sifatnya sementara dan akan binasa . Sebaliknya, masa yang akan datang adalah saat dimana Allah akan membangun kerajaan-Nya (saat umat Allah akan diselamatkan dari dosa dan semua pengaruh kejahatan) yang kekal dan tidak akan binasa. Transisi dari masa kini ke masa yang akan datang tidak akan dicapai dengan proses sejarah, melainkan hanya dengan tindakan Allah. Begitu juga penggunaan simbol-simbol, merupakan ciri khas dari sastra apokaliptik. Dan dalam hal ini, Vos mencoba menunjukkan bagaimana sampai gambaran kekerasan bisa sampai menjadi pertimbangan oleh penulis Kitab Wahyu.

Dengan pemaparan pendekatan psikoanalisis, kita menemukan bahwa gambaran-gambaran kekerasan bisa membawa efek yang sangat luar biasa, jika tidak memahaminya dengan baik. Memang kelemahan dari tulisan ini adalah mereduksi teks hanya dari satu sisi pendekatan saja. Tetapi, jika sastra apokaliptik bukan merupakan penglihatan nyata, maka kita bisa menduga bahwa ada kemungkinan bahwa ini memang rekonstruksi penulis yang oleh Vos disebut relatif lebih independen. Maka dengan demikian, tidak harus secara harafiah, gambaran-gambaran dalam kitab Wahyu misalnya diterjemahkan langsung dalam konteks kita sekarang. Kita harus memahami mengapa sampai gambaran-gambaran bernada kekerasan itu muncul, seraya melakukan rekonstruksi ulang terhadap gambaran-gambaran tersebut, sesuai dengan konteks keberadaan kita sekarang ini.

Acuan: Johan S.Vos, ‘Splitting and Violence in the New Testament: Psychoanalytic Approaches to the Revelation of John and the Letters of Paul, dalam J. Harold Ellens (ed.),The Destructive Power of Religion. Violence in Judaism, Christianity, and Islam (Westport, CT:Praeger Publisher, 2004)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar