Sabtu, 30 Juli 2011

Mengapa Anders Breivik tidak disebut Teroris?

Oslo, Norwegia sebuah negara yang dikenal damai dan aman dihentakkan dengan sebuah serangan membabi buta dari seorang yang bernama Andres Breivik. Kurang lebih 76 orang menjadi korban penembakan dan bom yang ‘katanya’ dirancang sendiri oleh Breivik. Sebagian masyarakat dan media di Indonesia pun terkejut dengan aksi seorang Breivik karena dilakukan di negara yang selama ini dikenal ‘aman dan damai’. Namun sebagian komentar di beberapa forum dan milis justru tidak begitu terkejut dengan aksi ini. Mengapa? Mereka yang pernah tinggal di Eropa ternyata paham betul bahwa masyarakat Eropa sekarang ini begitu sensitif dengan isu ras dan para imigran yang berasal dari negara-negara berkembang. Tak heran jika sebagian masyarakat Eropa justru mendukung dan memberi simpati kepada Breivik (Kompas 28 Juli 2011). Alasan soal ‘membanjirnya’ imigran itulah yang diduga motif dari penyerangan dari seorang yang bernama Breivik.

Perhatian saya tidak tertuju pada motifnya tetapi pada sebutan yang dikenakan kepada Breivik. Awalnya media berspekulasi bahwa yang melakukan ini adalah kelompok garis keras dalam islam, kemudian ekstrim sayap kanan dan terakhir disebut Kristen Fundamentalis (Kompas 25 Juli 2011). Penyebutan tentang siapa dan dari kelompok mana Breivik jelas ‘agak’ bermasalah buat saya. Penyebutan kelompok tertentu yang dikaitkan dengan Islam yang diduga di belakang penyerangan tersebut adalah sebuah ‘keberhasilan’ dari usaha cuci otak yang dilakukan AS dan sekutunya dengan slogan ‘war on terror’. Setiap ada insiden penyerangan atau bom, masyarakat selalu mencurigai ‘jangan-jangan pelakunya adalah seorang garis keras dari kalangan tertentu’. Sebut saja Al-Qaida, JI dan berbagai organisasi yang seideologi dengannya. Keberhasilan cuci otak ini oleh Yasraf Amir Pilliang lewat bukunya Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial disebut sebagai ideologisasi teror. Dia mengatakan “Ideologisasi teror adalah penggunaan mekanisme oposisi biner (binary opposition) dalam rangka menciptakan kategorisasi siapa yang teroris dan siapa yang bukan teroris berdasarkan logika paralogisme. Logika ini misalnya :’oleh karena yang teroris adalah Al-Qaeda maka kami jelas bukan teroris’”. Melalui mekanisme biner inilah masyarakat global dipengaruhi secara psikologis seperti nampak dalam slogan ‘war on teror’ yang diusung Bush dan (parahnya) Indonesia juga ngekor di dalamnya!

Yang mengherankan mengapa istilah yang sama tidak dikenakan kepada Breivik? Mengapa dia tidak disebut sebagai teroris? Apalagi dengan penyebutan ‘fundamentalis’ kepada Breivik dan bukan teroris. Apakah tidak semestinya seorang teroris lahir dari kalangan Kristen. Bukankah dalam sejarah gereja yang kelam dan gelap itu juga bermunculan teror yang tidak kalah hebatnya dengan Osama? Inilah yang saya lihat bagaimana masyarakat Eropa termasuk medianya memandang bahwa apa yang dilakukan Breivik tidak bisa dimasukkan dalam kegiatan terorisme oleh karena ia bukan dari kalangan garis keras seperti Al-Qaida. Mekanisme oposisi biner berhasil dilakukan dalam kasus Breivik: Oleh karena Breivik bukan seorang/bagian dari Al-Qaida atau yang berideologi sama dengannya, maka kegiatan teror yang dia lakukan bukanlah kegiatan seorang teroris. Padahal apa yang dia lakukan jelas-jelas adalah kegiatan seorang teroris!

Breivik jelas adalah peneror masyarakat Norwegia dan mungkin masyarakat Eropa. Namun, di balik itu sejarah teror telah membuktikan bahwa realitas teror selama ini telah digiring ke dalam “kesadaran palsu” dimana terjadi “konotasi distortif” yang menggiring masyarakat global termasuk Indonesia ke dalam “pengelompokkan” kelompok tertentu sebagai teroris. Hal ini dilanggengkan misalnya melalui propaganda media massa yang membentuk terus-menerus kesadaran masyarakat bahwa yang dimaksud dengan teroris adalah kelompok tertentu saja. Sebagiamana citra teroris telah berhasil ditempelkan pada diri seorang Osama dan organisasinya Al-Qaida ataupun yang terkait dengannya.

Labelisasi teroris adalah kegemaran AS dan sekutunya. Namun labelisasi ini pulalah yang mesti menyadarkan kita bahwa kegiatan teror ataupun teroris bisa lahir dari mana saja, termasuk dari kalangan Kristen sendiri. Bukankah kegiatan teroris justru dilakukan oleh mereka yang katanya beragama? Jika kita masih beranggapan bahwa kegiatan teror terkait dengan Al-Qaida dan teman-temannya saja, maka mungkin kita memang sudah termakan ‘mekanisme oposisi biner’ buatannya AS dan sekutunya. Ahmad Syafii Maarif dalam buku Menggugat terorisme: Pendapat Para Pengamat dan Tokoh menuliskan :”Ini penting, sebab bila upaya pemberantasan terorisme dilakukan secara serampangan, dengan memberikan label teroris pada kelompok masyarakat tertentu misalnya, justru merupakan aksi terorisme tersendiri”. So, semua yang berbau teror, entah itu dilakukan oleh seorang Breivik, penindasan bangsa Palestina oleh Israel, dan perang melawan teror AS dan sekutunya dengan ‘menciptakan’ teror adalah tindakan teroris. Ini pendapat saya!

Jumat, 29 Juli 2011

Siapa bermain di Lumpur?


Beruntunglah Indonesia menang 4-3. meski deg-degan melihat pemain Indonesia yang kocar kacir karena kondisi fisik yang sudah makin menurun di menit terakhir. Tetapi good job Boaz cs. Ribuan penonton yang memadati GBK tentunya mendapat aplos dari permainanmu yang cantik di babak pertama sampai pertengahan babak kedua. Aku dan teman-teman merasa terhibur dengan permainanmu.

Saya jadi ingat, ketika seminggu yang lalu bermain di Turkmenistan. Tak bisa engkau bermain seperti itu. Meski akupun tahu bahwa apalah susahnya mengalahkan tim Turkmenistan di kandang sendiri. Tetapi lapangan yang kondisinya memprihatinkan itu masih bisa engkau taklukan meski hanya bermain imbang 1-1. Akupun tak habis pikir bagaimana mungkin lapangan yang hancur seperti itu bisa menjadi lapangan untuk pertandingan internasional apalagi road to Brazil. Aku pun tak pernah lihat selama LSI (Liga Super Indonesia) dan LPI (Liga Primer Indonesia) lapangan yang sama. Akupun berceloteh dalam hati “lapangan itu hanya bisa disejajarkan dengan lumpur lapindo”. Ah mengapa Lumpur Lapindo? Lapangan yang memprihatinkan itu hanya bisa aku temui di Sidoarjo sana. Waktu itu aku membayangkan Garuda sedang bermain dengan tim Turkmenistan di atas lumpur itu.

Gmana nasib masyarakat Lumpur Lapindo? Mungkin masih memprihatinkan. Korban lumpur adalah manusia yang terlantar oleh perbuatan yang tidak mereka lakukan. Tetapi bukankah itu yang terjadi dengan kemiskinan atas bangsa ini? Banyak dari mereka yang seharusnya bisa mendapatkan hidup yang lebih baik tetapi tindakan sebagian orang yang di atas sono memaksa sebagian masyarakat kita gigit jari. Mau apa lagi? Gigit jari saja sudah sakit apalagi yang lain..dan itu pulalah yang terjadi dengan korban lumpur. Mereka hanya bisa gigit jari dengan janji-janji esbeye dan bakery (kayak roti saja). Tak ada action dari esbeye sebagai yang diberi mandat oleh rakyat (ah itupun jika masih ingatL). Pantesan saja bu-tet bilang kalau esbeye itu cuman tahunya ‘prihatin’. So, Sys EnS pun dilarang memakai kata itu karena sudah copyright.

Siapa sebenarnya bermain di lumpur Lapindo? Kalau bangsa ini tunduk pada korporasi-korporasi besar yang menyengsarakan, bukankah ini ancaman, bukan hanya untuk mereka yang di Sidoarjo sana saja tetapi juga masyarakat kita dari Aceh sampai Papua? Reformasi yang dilahirkan dengan sakit ternyata tak banyak membawa perubahan. Korporat-korporat besar masih suka bermain meski tahu bahwa mereka sedang bermain di atas lumpur. Sebelum reformasi ada freeportt dan setelah reformasi ada lumpur lapindo. Pertandakah ini bahwa negara ini akan tenggelam oleh karena korporasi-korporasi ini? Ah, aku pun tak tahu. Yang pasti janganlah bermain-main di atas lumpur..janganlah pula mempermainkan mereka korban lumpur..karena aku takut bahwa suatu saat aku melihat sebuah headline surat kabar menuliskan “esbeye tenggelam dalam lumpur”J

Masih berharap yang terbaik. Akupun ndak berharap esbeye seperti lele yang senang bermain di lumpur. Jika itu yang terjadi, maka tak ada lagi harapan buat mereka yang jadi korban para korporat. Mau dibawa kemana negara ini jika Paduka esbeye bermain di atas penderitaan orang bersama para korporasi-korporasi yang menyengsarakan rakyatnya sendiri. Mengulur-ngulur waktu untuk mengembalikan apa yang hilang dari korban lumpur ini hanya akan menenggelamkan harapan mereka. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa itupun akan menenggelamkan seorang esbeyeL

Beruntunglah tim nas kita tak seperti esbeye dan bekery. Mereka ingin bermain cantik, atraktif dan menghibur. Aplouse pun diberikan dan berharap bahwa tak ada lagi yang bermain di atas lumpur seperti di Turkmenistan dan Sidoarjo sana. Semoga!

Kamis, 28 Juli 2011

Sumbangan Monotheisme Keluarga dalam Allah Tritunggal dalam konteks Masyarakat Indonesia (sebuah refleksi pribadi)

Sadar atau tidak, prinsip Monotheisme telah menjadi roh bangsa ini. Setidaknya hal itu dapat dilihat dari sila pertama Pancasila “KeTuhanan Yang Maha Esa”. Meskipun ada yang berpendapat bahwa keberadaan Esa dalam sila tersebut jangan ditafsir dari sisi teologis melainkan dari sisi ideologis dan politis. Namun agaknya susah melepas diri dari pengaruh teologis mengenai yang Esa apabila melihat latar belakang pembentukan Pancasila yang terdiri dari mereka yang disebut Kyai, nasionalis religius dan seorang Kristen. Setuju atau tidak, Esa itu justru menunjukkan pengaruh monotheisme yang dianut masing-masing orang yang membentuknya meski persoalan itu terjadi dalam wilayah negara yang sedang membentuk dasar negara. Itulah konsensus yang diterima dan telah mengiringi bangsa ini sampai detik ini.

Namun, bagi seorang Kristen, yang diyakini adalah prinsip monotheisme keluarga dalam Allah Tri Tunggal. Meski harus diakui bahwa kekristenan berasal dari akar yang sama dengan prinsip Monotheisme ke ESAan agama-agama Ibrahim. Allah Tri Tunggal tidaklah berbicara tentang Politheisme ataupun Panteisme sebagaimana dipahami oleh mereka yang meyakini prinsip keEsaan Allah, namun berbicara tentang prinsip monotheisme keluarga, dimana keberagaman dihargai. Prinsip ini misalnya dikatakan oleh Yahya Wijaya dalam bukunya Kemarahan, Keramahan dan Kemurahan Allah “prinsip trinitas didasarkan pada pengalaman umat bahwa Allah meskipun adalah yang satu-satunya, tanpa tandingan dan tanpa saingan, tidak menjadi Allah yang sewenang-wenang”.

Salah satu sumbangan dari prinsip Allah Tri Tunggal adalah keberpihakan Allah terhadap mereka yang miskin dan menderita. Allah tidaklah Dia yang duduk saja di atas sana, dan abai terhadap penderitaan manusia. Namun Ia adalah Allah yang bersedia turun ke dalam dunia dan berpihak kepada mereka yang tersingkir dan menderita. Dalam wujud kemanusiaannya Ia dikenal sebagai Yesus yang dalam pelayanannya dikenal sangat berpihak kepada mereka yang termarginalkan dalam masyarakat. Yahya Wijaya mengatakan “Sebaliknya, Allah yang satu-satunya itu adalah Allah yang adil, yang menolak segala kesewenang-wenangan dan membela mereka yang tertindas serta menolong mereka yang lemah. Allah yang satu-satunya itu juga bukan Allah yang jual mahal, tetapi Allah yang mau mendekati manusia, menjadi sejajar dengan manusia, berada di tempat manusia dalam segala kesusahan dan kelemahannya”.

Realitas masyarakat Asia menurut A. Pieris dalam Asia’s Strunggle for Full Humanity ditandai dengan 2 hal yaitu kemiskinannya yang merajalela dan kepelbagaian dalam hal religiositas. Hal ini dipertegas kembali oleh Yewangoe dalam tulisannya Theologia Crucis di Asia dengan mengatakan demikian : “Meskipun kemiskinan dan orang miskin dapat ditemukan di mana-mana di seluruh dunia, bahkan juga di negara-negara yang disebut “Dunia Pertama” (Eropa Barat dan Amerika Serikat), realitas kemiskinan di Asia jauh lebih mencolok...Juga suatu fakta yang jelas bahwa bangsa Asia adalah bangsa yang religius, bukan saja kebanyakan agama yang dikenal umat manusia lahir di Asia, tetapi juga karena orang-orang Asia dalam usaha mereka untuk memahami dan mengatasi kemiskinan, biasanya mengaitkan kemiskinan itu dengan keberagamaannya.”

Konteks Indonesia pada dasarnya mempunyai kemiripan dengan konteks Asia pada umumnya. Kekristenan merupakan agama minoritas yang harus hidup berdampingan dengan agama-gama dan kepercayaan-kepercayaan lain yang telah ada dan berkembang di Indonesia. Dalam kaitannya dengan itu, prinsip Allah Tri Tunggal dimana Allah berpihak kepada mereka yang termarginalkan mengajak kita membangun sebuah teologi agama yang memperhitungkan kemiskinan. Hanya dengan demikianlah, teologi agama-agama yang dibangun dapat menjadi sebuah syalom bagi masyarakat Indonesia sendiri.

Setidaknya hal tersebut dicatat oleh E.G. Singgih yang menuliskan bahwa di Indonesia ada 5 isu yang perlu kita perhatian. Ke-5 isu tersebut adalah: Pluralisme budaya dan agama, kemiskinan yang parah, penderitaan dan bencana, ketidakadilan termasuk ketidakadilan gender dan kerusakan ekologis. Nampak bahwa kemiskinan dan keberagaman agama termasuk hal yang perlu diperhatikan oleh gereja-gereja di Indonesia. Oleh karena itu, monotheisme keluarga dalam Allah Tri-Tunggal merupakan konsep yang cocok dalam realitas masyarakat Indonesia dengan kemiskinan dan ketertindasannya. Allah yang diwahyukan dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus tidak menentukan semua dari atas, tetapi berjuang dari bawah dengan mereka yang menderita. Dengan demikian gereja-gereja diajak agar berpihak kepada mereka yang miskin dan lemah, dan bersama melawan ketidakadilan sebagaimana Yesus berjuang dari bawah bersama mereka yang tertindas, lemah dan miskin.

Rabu, 27 Juli 2011

Politik Ala Yesus: Politik Bela Rasa

Yesus itu berpolitik. Hal itu terlihat dari visi dan misi yang Ia jalankan selama ada bersama para muridnya. B.A. Pareira , Ocarm dalam tulisannya ‘Yesus dan Politik’ dalam buku Yesus dan Situasi Zamannya mengatakan bahwa tidak mudah melepaskan Yesus dari politik. Setidaknya hal itu terjadi ketika Yesus menjadi korban dari imperium Romawi yang justru menyalibkan Yesus sebagai penjahat politik. Maka salib Yesus berdimensi politik. Keputusan tergantungnya Yesus di kayu salib adalah buah keputusan politik. Tuduhan-tuduhan kepada Yesus berbau politik: tuduhan melakukan pemberontakan (Luk. 23:2), penghasut rakyat, agitator dan pengganggu keamanan (Luk. 23:5).

Belum lagi berbicara tentang pengaruh Yesus terhadap kekuasaan para Rabbi dan Roma. Kegiatan pelayanan yang Ia lakukan menarik banyak perhatian dan pengikut sehingga menjadi ancaman bagi penguasa agama dan pemerintah waktu itu. Keberpihakannya terhadap orang kecil dan terpinggirkan adalah juga penegasan akan perlawanannya kepada kekuasaan yang menindas waktu itu entah dari agama sendiri maupun kekuasaan Roma. Tentu apa yang dilakukan Yesus adalah sebuah implementasi nilai yang ia bahwa yaitu ‘pembebasan’. Pembebasan mereka yang tertindas dan tersingkir dari masyarakat. Inilah yang Markus J. Borg tuliskan sebagai ‘Politik Bela Rasa’, yaitu sebuah paradigma sosial , nilai inti bagi kehidupan dalam paguyuban.

Dalam bukunya Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali, Borg menuliskan bahwa kata Ibrani untuk bela rasa yang bentuk tunggalnya berarti ‘rahim’ sering dipakai untuk Allah dalam Perjanjian Lama. Kata ini diterjemahkan sebagai ‘pengasih’ untuk menggambarkan sifat Allah sebagai Allah yang ‘pengasih’ dan ‘penyayang’, ‘gracious and merciful’. Dalam LAI kata tersebut diterjemahkan ‘Rahmani dan Rahimi’. William Barclay dalam The Gospel of Matthew menuliskan “It is (compassion) formed from the word splagchna, which mean the bowels, and it describes the compassion which moves people to the deepest depths of their being”. Dengan demikian Yesus yang berbela rasa menggambarkan sifat Allah yang berbela rasa sebagaimana terdapat dalam Perjanjian Lama.

Borg melanjutkan “dengan mengatakan bahwa Allah itu berbela rasa sama dengan mengatakan bahwa Allah itu ‘seperti sebuah rahim’ bahwa dia itu ‘rahimi’.” Metafora sebagai rahim mau menunjukkan bahwa Allahlah yang melahirkan kita-sang ibu yang melahirkan kita. sebagaimana seorang ibu menyayangi anak-anak yang lahir dari kandungannya demikian pula sifat Allah yang menyayangi kita. Allah yang berbela rasa mau menunjukkan kepada kita bahwa ia adalah rahim yang memberi kehidupan, memelihara, menjaga dan merangkul kita. Dan politik seperti inilah yang ditunjukkan Yesus selama ia melayani, yaitu politik yang empati dengan mereka yang tertindas dan bergaul dengan mereka. Ia berpihak kepada mereka yang dipinggirkan dari masyarakat dan mau menunjukkan bahwa Allah akan berpihak kepada mereka. Karena Allah adalah rahim yang akan menolong mereka. Yesus mengedepankan sebuah politik yang merangkul bukan menyingkirkan dan menjauh dari mereka yang ‘dicap’ sebagai miskin dan berdosa.

Mutiara Andalas dalam Kesucian politik: agama dan politik di tengah krisis kemanusiaan bahkan menuliskan demikian “Yesus menjungkirbalikkan tata kelola sosial yang dehumanitatif. Dia mengundang para korban sejarah yang disisihkan dari meja perjamuan untuk duduk bersamaNya dalam satu meja perjamuan. Meja perjamuan merupakan miniatur masyarakat yang didesain secara hierarkies diskriminatif. Dia mendapatkan dakwaan sebagai tukang makan, pemabok, serta mencemarkan diri dengan tukang pajak, pelacur, dan kaum pendosa lainnya. Dia juga mendapat dakwaan senada saat menyenuh pribadi-pribadi yang sakit. Dia menghapus garis pemisah sosial yang dibalut ritual agama dan politik”. Politik bela rasa yang dilakukan oleh Yesus adalah sebuah usaha untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia yang berasal dari rahim Allah sendiri. Perlawanan itu memang mengakhiri pelayanannya di kayu salib, namun apa yang dilakukan Yesus adalah sebuah tanda keberpihakan sekaligus perangkulan.

Yesus memang tidak berpolitik untuk mendapat kuasa. Ia menerapkan politik bela rasa, dimana rangkulan Allah nyata sebagai pemberi hidup. Dalam situasi seperti di Indonesia, gereja mesti mendorong agar para penguasa kita mampu menunjukkan keberpihakannya kepada mereka yang tertindas dan tersingkir dalam masyarakat. Dan pada saat yang sama, gereja mesti mendorong para penguasa agar mereka menjadi penguasa yang tidak hanya berpikir tentang kuasa tetapi bagaimana mereka menjadi perpanjangan kuasa kerahiman Allah. Ia melawan para penjajah yang menyengsarakan dan oleh karenanya gereja juga mesti mendorong agar pemerintah kita tidak menjadi penjajah atas rakyatnya sendiri. Gereja harus aktif dalam menyuarakan suara mereka yang tersisih dan terpinggirkan untuk menunjukkan bahwa Allah sedang bekerja atas dunia.

Senin, 25 Juli 2011

Sarang penyamun di tubuh Partai Demokaratan

Penyamun bisa bersarang dimana saja. Dia bisa bersembunyi ditempat dimana dia merasa aman. Termasuk bersarang di sebuah Partai. Pemberitaan tentang Nazarr belakangan ini makin membuka dengan jelas siapa-siapa para penyamun yang bersembunyi di tubuh partai besutan esbeye tersebut. Para penyamun ini bukanlah kader biasa melainkan para petingginya sendiri. Meski demikian, para penyamun ini masih aman-aman saja. Bahkan ada beberapa pengamat melihat bahwa para penyamun ini sengaja bersarang di tubuh partai demokaratan agar permasalahan hukum yang mereka (akan) hadapi tak dengan mudah dibawa ke ranah hukum. So, sekarang partai ini selain dikenal sebagai sarang penyamun, juga dikenal sebagai tempat pelarian para koruptor..hah!

Partai adalah wajah demokrasi. Jakob Oetama dalam bukunya Berpikir ulang tentang keindonesiaan mengatakan “Amatlah jelas, partai adalah pilar demokrasi. Lewat partai, rakyat memberikan suara dan memilih wakilnya. Patai politik dalam sistem demokrasi adalah saluran suara rakyat, suara kedaulatan rakyat”. Jika partai jadi sarang penyamun, harapan rakyat akan sebuah bangsa yang bersih dan berkeadilan yang justru disalurkan lewat partai politik agaknya mulai diragukan. Hal ini terjadi karena para elit partai politik sudah kehilangan idealis untuk mensejahterakan rakyat. Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial menyebutkan: “Ironi dan absudirtas politik bangsa ini membiak seperti virus ke setiap sudut ruang politik bangsa sebagai akibat dari dunia politik yang telah kehilangan sifat transendensinya dan metafisisnya, yang menjadi pijakan nilai setiap wacana politik. Tidak ada lagi sebuah fondasi metafisis yang di atasnya setiap wacana politik menyandarkan dirinya, yang terhadapnya setiap aktor politik merasa takut berdosa (Tuhan), takut tidak dicintai (nasionalitas), takut malu (moralitas) atau takut dihukum (masyarakat)”.

Begitulah wajah demokrasi kita sekarang. Demokrasi yang sudah dihinggapi rayap-rayap politikus yang justru akan membuat demokrasi akan rusak dari dalam. Demokrasi dan partai membusuk dan berkarat akibat perilaku kader-kadernya. Salah seorang politikus bahkan pernah mengatakan agar rakyat jangan sampai pada opini bahwa gedung rakyat adalah sarang penyamun. Karena di sana masih banyak orang baik. Tetapi rakyat sudah terlanjur tidak percaya dan apatis dengan semua hal yang katanya ‘berjuang untuk rakyat’. Demokrasi yang kita banggakan pelan-pelan dihancurkan sendiri oleh pelaku dari pilar demokrasi-PARTAI.

Dan sungguh sangat disayangkan bahwa kini partai demokaratan, partai besutan esbeye itu, yang mengklaim diri sebagai partai bersih, jujur dan cerdas agaknya sudah tinggal slogan saja. Karena realitasnya partai ini dihinggapi oleh rayap-rayap politik yang hanya berpikir selamat, diri sendiri dan cari untung. Komaruddin Hidayat dan Abdullah Wong dalam buku 250 wisdoms: membuka mata, menangkap makna menuliskan demikian: Koruptor bagaikan rayap yang tidak kelihatan, namun menghancurkan rumah dari dalam. Basmi koruptor sebelum Indonesia roboh dari dalam. Begitulah realitas politik Indonesia sekarang ini. Demokrasi dirusak justru dari mereka yang juga adalah sesama anak bangsa.

Para penyamun dan rayap-rayap ini mesti segera dibasmi jika negara ini ingin selamat. Karena apa? Dalam sebuah orasi yang diselenggarakan oleh IMPULS, J. Kristiadi mengatakan “kredibilitas demokrasi yang rusak akan menyebabkan gelombang balik yang dapat mengembalikan bangsa bersangkutan kepada sistem kekuasaan yang menindas atau bahkan menjadi anarki sosial yang tidak kalah destruktifnya dengan sistem kekuasaan yang otoriter”. Kekwatiran J. Kristiadi ini tidaklah berlebihan. Karena selama 13 tahun reformasi, demokrasi yang kita gembor-gemborkan sudah makin rusak dan sepertinya akan masuk UGD. Jika rakyat sudah tidak percaya, tidak menutup kemungkinan gelombang balik yang menghantam demokrasi dan pilar-pilarnya ini akan terjadi. Dan ini yang kita tidak inginkan! Karena betapapun buruknya sistem demokrasi toh sistem ini masih lebih baik dibanding dengan sistem lain yang pernah ada (Winston Churchill)

Kristen Fundamentalis dan permasalahannya

Di negara dengan mayoritas Muslim seperti Indonesia, yang namanya Kristen Fundamentalis jarang terdengar. Padahal yang namanya fundamentalis itu lahir dari sejarah kekristenan/gereja. Tepatnya pada abad ke 19 dan awal abad 20. Pada awalnya, fundamentalis di dalam gereja muncul sebagai counter terhadap ilmu pengetahuan yang berkembang pesat. Akibatnya gereja kurang PD terhadap perkembangan tersebut bahkan melabeli ilmu pengetahuan dengan banci ataupun sesat. Sikap gereja tersebutlah yang kemudian menafikkan keberadaan akal sebagai yang bertentangan dengan Allah dan Alkitab. Di dalam dunia Biblika, mereka juga menolak adanya pendekatan kritis (misalnya historis-kritis) terhadap Alkitab. Alkitab haruslah dipahami secara harafiah karena Alkitab tidak pernah salah.

Dalam buku Fundamentalisme, agama-agama, dan teknologi dituliskan bahwa ada sebuah anekdot terkenal tentang Kitab Yunus yang mengatakan :”sekiranya pun tertulis di dalam Alkitab bahwa Yunus yang menelan ikan paus itu, saya percaya!” Maka menurut buku ini, kelompok fundamentalis yang paling diutamakan adalah doktrinnya tentang Alkitab bahwa Alkitab itu tidak pernah salah dalam hal apapun. Konfrontasi dengan lingkungan seperti perkembangan ilmu pengetahuan (di AS misalnya Darwin) adalah hal yang dianggap sah karena mereka memposisikan diri sebagai pembela kebenaran dari wahyu Allah. Musuh mereka jelas: Ilmu pengetahuan, modernisasi, dan sekularisme. Sehingga jika ada sebuah kekuatan yang mengancam Alkitab apalagi meragukannya, mereka akan ‘pasang badan’ untuk melawan ancaman tersebut.

Namun seorang James Barr mengatakan bahwa pada kenyataannya kelompok fundamentalis ini sebenarnya tidak menolak modernitas bahkan sains modern karena di Inggris para pengikutnya juga merupakan para ilmuwan (saintis). Hal ini misalnya terjadi pada pembuktian kain kafan Turin yang dibela mati-matian melalui pembuktian saintifis bahwa kain tersebut merupakan kain yang pernah dipakai sebagai kain kafan Yesus. Jadi para saintis ini sebenarnya ingin membuktikan bahwa kebangkitan tubuh Kristus secara jasmani adalah benar dan oleh karena itu kebangkitan Yesus di dalam Injil adalah juga benar dan harus dipahami secara harafiah. Ini jugalah yang terjadi di AS dimana sebagian tokoh fundamentalis tidak lagi sejiwa dengan temannya yang lain karena sebagian dari mereka justru anti-inteletualisme. Inilah yang kemudian melahirkan Asosiasi Evangelical Nasional pada tahun 1941.

Peter Berger adalah salah satu pendukung tesis ‘teori sekularisasi’ pada tahun 1950an dan 1960an. Tesis ini secara sederhana mau mengatakan bahwa agama akan tersingkir dari masyarakat seiring dengan perkembangan teknologi dan modernitas. Bersama Harvey Cox yang terkenal dengan bukunya “secular city’ melihat bahwa bahwa masa depan agama terletak pada gerakan-gerakan akar rumput, seperti fundamentalisme, Pentakostalisme dan teologi pembebasan. Tetapi apa yang terjadi sekarang justru adalah kebalikan dari tesis ‘teori sekularisasi’ tersebut. Agama pada saat sekarang ini justru semakin berkembang dan mengalami kebangkitan yang luar biasa. Berger mengatakan "the assumption we live in a secularized world is false.... The world today is as furiously religious as it ever was." Berger justru melihat bahwa agama mampu mengembangkan identitasnya sendiri dengan berbagai kepercayaan dan praktek-praktek agamanya masing-masing. Hal ini juga nampak dalam apa yang disampaikan oleh David Martin tentang betapa berkembangnya orang-orang Protestan Evangelis khususnya di Afrika dan Amerika Selatan. Martin sebagai seorang Sosiolog menemukan dan melaporkan bahwa kontribusi paling kuat dari gerakan Injili adalah penciptaan mereka terhadap asosiasi sukarela yang cenderung mendorong demokrasi dan bukan totalitarianisme atau upaya menciptakan "masyarakat Kristen."

Jadi pada satu sisi kaum fundamentalis sebenarnya melihat ilmu pengetahuan sebagai ancaman tetapi pada satu sisi mereka justru memakai ilmu pengetahuan untuk mendukung kebenaran yang mereka yakini. Inkonsistensi inilah yang agaknya membuat kita bingung apakah sebenarnya yang namanya fundamentalis agama itu benar-benar menolak akal dan ilmu pengetahuan? Agaknya tidak. Mereka hanyalah orang-orang yang merasa terancam dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang makin meminggirkan agama dari dunia. Sekularisasi dan modernisasi? Berger membuktikan bahwa sekularisasi dan modernisasi yang juga ditentang oleh kaum fundamentalis justru melahirkan identitas keagamaan yang beragam. Klaim (yang juga tentu berasal dari fundamentalis) bahwa agama akan tersingkir juga tidak terbukti benar.

Minggu, 24 Juli 2011

Transformasi Kesalehan dengan Pendidikan Karakter

Beberapa bulan belakangan ini, media menyuguhi kita dengan berita-berita korupsi para petinggi partai dan pemerintah. Mereka tidak lain adalah orang-orang yang dipilih sebagai ‘wakil’ rakyat untuk memajukan kesejahteraan sang pemberi mandat-rakyat. Mereka adalah orang-orang yang telah diserahi tanggungjawab oleh rakyat dan negara menata dan mengelola negara ini menjadi lebih baik. Tetapi suguhan media tentang korupsi, makelar kasus, mafia pemilu dan calo anggaran membuat kita sangsi apakah mereka layak diserahi mandat tersebut?

Di seberang sana, kita pun melihat berjubelnya bangunan-bangunan ibadah. Tak hanya itu, kita pun mendapati antrian dan sesaknya jemaat yang beribadah. Kita pun tahu bahwa sebagian dari mereka yang korup adalah orang-orang yang juga rajin beribadah, beramal dan bahkan tak segan-segan menyumbangkan uangnya untuk ‘megah’nya rumah ibadah tersebut. Bukankah sesaknya para penganut agama di rumah ibadah adalah bukti kesalahen? Tidakkan itu cukup membuktikan bahwa orang-orang Indonesia adalah orang-orang yang religius? Lalu mengapa justru kenyataan yang kita dapati adalah sebaliknya?

Kenyataan yang kita dapati justru adalah ketidaksingkronan nilai atau norma keagamaan yang diyakini dengan perilaku. Ketika agama memandang bahwa mencuri adalah sesuatu yang tidak diperkenankan, banyak di antara kita justru membudayakan pencurian dalam bentuk korupsi berjemaah. Sampai-sampai negara ini dijuluki sebagai negara ‘kleptokrasi’, negri yang gemar mencuri sesuatu yang bukan miliknya. KKN tidak lagi menjadi kata yang jarang kita temukan melainkan kata mubajir yang terus mengalir sejalan dengan makin maraknya korupsi di negeri ini. Belum lagi berbicara tentang kasus kriminal seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan dan lain-lain.

Dalam perspektif Injil yang holistik, kesalehan yang dipraktekkan dalam ritual-ritual ibadah hendaknya selaras dengan tindakan. Yesus sendiri begitu mengecam para alim ulama waktu itu karena mereka begitu memberi tekanan kepada ritual-ritual ibadah sampai lupa bahwa di sekeliling mereka begitu banyak orang miskin dan menderita. Dalam bukunya Runtuhnya Kepedulian Kita, Yongky Karman mengatakan :”substansi keberagamaan pejabat adalah integritas moralnya. Kesalehan publiknya. Kecintaannya kepada rakyat. Pengabdiannya tanpa pamrih.” Maka bukanlah sebuah jaminan apabila seorang pejabat atau wakil rakyat yang diserahin mandat begitu rajin untuk melakukan ritual keagamaan sudah pasti akan melaksanakan tugas dan mandat yang diserahin kepadanya.

Saya masih ingat ada seorang Bupati di tempat saya yang begitu aktif di gereja bahkan demi mendapatkan simpati jemaat, ia rela menghabiskan jutaaan rupiah hanya untuk melengkapi fasilitas gereja. Tetapi apa? Beberapa tahun kemudian, ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena nyolong uang rakyat. Lebih memprihatinkan lagi ia nyolong uang rakyat yang menderita karena gempa dan tsunami pada tahun 2005 silam. Maka keselahan bukanlah jaminan bahwa orang akan terbebas dari korupsi dan teman2nya yang lain.

Oleh karenanya, transformasi kesalehan seharusnya dimulai sejak kecil. Disinilah pentingnya pendidikan karakter dibandingkan dengan pendidikan agama. Pendidikan agama cenderung memaksa anak untuk taat pada ajaran agama dan lebih menitikberatkan pembelajaran pada sisi kognitifnya saja. Menurut Doni Koesoema dalam bukunya Pendidikan Karakter menuliskan “pendidikan karakter adalah sebuah usaha manusia untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang berkeutamaan. Pendidikan karakter merupakan hasil dari usaha manusia dalam mengembangkan dirinya sendiri”. Kutamaan yang seperti apa yang diharapkan? Wiratman Wangsadinata (ed.) dalam bukunya Roosseno, Jembatan dan menjembatani menuliskan “karakter adalah budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (kognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Untuk itu terdapat karakter standar universal yang berlaku secara universal yang dikaitkan dengan syarat keberhasilan yaitu meliputi kepercayaan, kejujuran, keadilan, tanggungjawab, keterbukaan dan sebagainya”.

Pendidikan karakter mengajarkan tidak hanya bagaimana supaya tahu tetapi apa yang harus dilakukan setelah itu. Anak tidak hanya diajarkan defenisi dari mencuri tetapi mengapa tidak mencuri? Akibatnya apa. Anak diajarkan untuk bertanggungjawab terhadap tindakannya. Maka pendidikan karakter juga tidak hanya terjadi di dalam kelas tetapi juga di luar kelas, belajar dari lingkungan dan alam. Teknisnya tentu masih sangat banyak. Namun prinsipnya anak diajarkan untuk jujur, bertanggungjawab atas apa yang dilakukan. Ia tidak hanya diajar supaya tahu tetapi juga bertindak.

Pendidikan karakter juga seharusnya menyentuh ranah pembelajaran di dalam pengajaran-pengajaran semisalnya khotbah, katekisasi dan bentuk-bentuk ibadah lainnya. Tentu berbeda dengan apa yang diajarkan kepada anak-anak sekolah. Maksud saya adalah bagaimana jemaat juga bisa diajarkan untuk bertindak dan tidak hanya sekedar tahu. Contohnya, saya pernah mengajarkan katekisasi di sebuah jemaat. Pembicaraannya seputar apa itu Tuhan, Trinitas, 100% manusia 100% Allah. Lalu apa? Itu sih penting tetapi anak tidak diajarkan bagaimana menjadi anak-anak yang punya kepribadian seturut dengan apa yang diajarkan Yesus. Padahal Yesus justru sederhana. Jika kamu melihat orang yang kelaparan ya kasih makan. Jika kamu kelebihan baju ya kasihlah kepada mereka yang ndak punya. Jujur, tanggungjawab, berbagi, kerjasama adalah hal yang seharusnya menghiasi calon2 pemimpin.

Transformasi kesalehan seharusnya tidak hanya terjadi pada sisi kognitif saja. Tidak cukup berkhotbah bahwa korupsi itu haram. Jemaat juga harus diajarkan sedini mungkin mengapa korupsi berbahaya dan apa dampaknya. Anak-anak harus sedini mungkin diajarkan untuk bertanggungjawab. Anak-anak seharusnya sedini mungkin diajarkan untuk action atas ajaran agama yang dia dapati. Semoga!!

Minggu, 17 Juli 2011

Pantaskah kaum puritan disebut puritanisme agama?

Mereka yang menyebut diri sebagai puritan agama mengklaim diri sebagai gerakan yang paling benar dan murni. Puritan berasal dari kata pure yang berarti murni. Oleh Leonard Held dalam bukunya Jujur Terhadap Pietisme: Menilai Kembali Reputasi Pietisme dalam Gereja mengatkan bahwa isilah ini dipergunakan sekitar tahun 1560 untuk satu aliran yang dianggap terlalu keras. Aliran ini menganggap diri sebagai yang murni dibanding dengan gereja resmi waktu itu. Lebih lanjut Held juga menuliskan bahwa aliran ini sangat menekankan peranan alkitab dibanding dengan tradisi gereja yang waktu itu memang menjadi ciri khas dari gereja resmi.

Hal ini sejalan dengan apa yang dituliskan oleh A.M Hendropriyono dalam bukunya Terorisme. Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam mengatakan bahwa ‘puritanisme merupakan aliran keras yang terdapat dalam gereja Anglikan Inggris pada abad ke-16. Kaum puritan ingin membesihkan atau mempurifikasi gereja dari sisa-sisa pengaruh agama katolik yang telah dimusuhinya’. Jadi sudah sejak abad ke-16, puritanisme agama muncul. Namun dalam perkembangannya istilah ini kemudian mewarnai gerakan keagamaan dalam semua kelompok yang ingin mengembalikan kemurnian agama. Biasanya kelompok ini menafsir kitab sucinya secara literal dan a-historis.

Gerakan puritanisme agama berusaha ‘menggeser’ pandangan-pandangan yang berlawanan dengan mereka.. Biasanya kata yang keluar dari kelompok ini untuk menggeser pandangan yang lain adalah ‘kafir’, sesat dan bid’ah. Inilah kata yang dipakai sebagai labelisasi kelompok yang berbeda dengan mereka. Padahal, kaum puritan sendiri juga ‘menafsir’ dari kacamata mereka. ‘Kemutlakkan’ sebenarnya hanyalah merupakan pembenaran terhadap keyakinan mereka. Inilah makanya puritanisme agama lebih dekat dengan istilah fundamentalisme agama yang ingin mengembalikan agama pada sesuatu yang dasar atau fundamen.

Puritanisme agama sebenarnya hanyalah ortodoksi yang berlebihan dari sebuah persepsi dan bukan kebenaran itu sendiri. Maka kalangan puritan atau pemurnian agama ini sebenarnya tidak pantas disebut puritan karena ia hanya mempersepsikan sesuatu berdasarkan ‘enggel’ atau sudut pandang keyakinan sendiri. Contohnya: jika saya menganggap bahwa gajah itu adalah ekornya, itukan sebenarnya hanya persepsi. Karena ekor sebagai gajah hanyalah interpretasi dari seekor gajah. Inilah yang oleh kalangan puritanisme agama disebut sebagai puritanisme atau pemurnian. Padahal dasar klaim mereka hanyalah dari sebuah persepsi dan bukan kebenaran itu sendiri.

Maka dari itu, tidak pantaslah menurut saya menyebut kaum puritan sebagai gerakan puritanisme agama. Karena bagaimana pun gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap kelompok-kelompok lain yang ada di luar dirinya dan juga pengaruh perkembangan manusia itu sendiri dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Juga karena kelompok ini tidaklah berbeda dengan yang lainnya yang juga melahirkan ‘keyakinan’ atas dasar persepsi dan tafsir atas kebenaran itu sendiri.

Kelompok-kelompok keagamaan lain haruslah dipandang sebagai wahana-wahana keselamatan dari Allah yang mengambil bentuk yang berbeda dalam setiap agama. Perbedaan sudut pandang melahirkan pula gagasan dan konsep yang berbeda dari kebenaran itu sendiri. Maka perbedaan haruslah dipandang sebagai sesuatu yang menggembirakan.

sumber gambar: pixabay.com

Jumat, 15 Juli 2011

Kitab Wahyu dan Paulus dan gejala Shizofrenik

Benarkah penulis kitab Wahyu mengidap stres berat yang disebut dengan Skizofrenik? Gangguan akibat tidak tahan terhadap stres dapat mengakibatkan terjadinya ‘halusinasi’ yakni sebuah persepsi panca indera tanpa adanya ransangan eksternal. Maksudnya ada perasaan dalam diri seseorang merasa melihat objek tertentu padahal jelas-jelas objek tersebut tidak ada (film Beautiful Mind adalah salah satu film yang bercerita tentang penyakit Skizofrenik). Halusinasi yang disebabkan oleh stres yang luar biasa ini akhirnya melahirkan orang-orang dengan cerita yang tak pernah terjadi.

Dalam tulisannya mengenai kitab Wahyu, Johan S. Vos mencoba menyelusuri mengapa dalam PB khususnya kitab Wahyu dan surat-surat Paulus, pemisahan dan kekerasan bisa sangat menyolok. Pemisahan terjadi atas 2 kelompok yang berbeda, yaitu mereka yang percaya kepada Yesus dan mereka yang tidak percaya [believers dan unbelievers]. Dalam pembahasannya mengenai Kitab wahyu, ditunjukan sebuah dikotomis mutlak, dimana dalam peristiwa eskatologis, manusia dipisahkan dalam dua kelompok. Dia mengatakan bahwa “on the positive side, there are the saints, the righteous, the holy ones, the servants of God”. Mereka adalah yang tetap menjaga perintah Tuhan dan berpegang teguh pada iman kepada Yesus. Gambaran ini dilanjutkan dengan mengatakan “they are pure and blameless, as symbolized by the white garments in which they are clothed. They are virgins because “they have not defiled themselves with women”. Bahkan mereka ini disebut tercatat dalam “buku kehidupan”. Pada sisi negatif sebaliknya. Disebutkan “not give up worshiping demons and idols, the evildoers ‘who did not repent of the works of their hands’, the dogs, the polluted, the sorcerers, the fornicators and the murderers, those who love and practice falsehood, those who have committed fornication with the great whore, Babylon.” Mereka yang digolongkan dalam bagian ini justru tidak ditemukan namanya dalam ‘buku kehidupan’. Yang paling mengenaskan adalah bahwa kepada kelompok terakhir ini, akan mengalami murka Allah dan murkanya dalam bentuk yang mengenaskan. Disebutkan di sana ‘violent way’. Gambaran-gambaran yang dialami sungguh tak tertahankan.

Disana disebutkan mereka akan disiksa, dengan sengatan matahari, hujan es besar yang dijatuhkan dari langit, mereka akan di sengat oleh belalang yang mempunyai sengatan kalejengking, dilemparkan ke dalam lautan api. Mereka akan dibunuh oleh setiap wabah, gempa, kelaparan, wabah penyakit dan luka busuk yang menyakitkan, dan daging mereka akan dimakan oleh burung-burung. Yang paling mengerikan adalah penulis Wahyu Yohanes justru mengajak [menghasut] orang beriman untuk bersukacita pada kehancuran Babel [wahyu 18:20]. Jadi, penulis mencoba mendapatkan penjelasan bagaimana mungkin Allah digambarkan bisa berperilaku sekejam itu dan bahkan orang beriman diajak bersukacita akan penderitaan orang lain? Dalam hal ini penulis kemudian memakai pendekatan psikoanalisis untuk melihat lebih dalam relasi fenomena pemisahan dan kekerasan tersebut.

Beberapa ahli secara luas menyepakati bahwa hal ini bertalian dengan balas dendam terhadap kerajaan Romawi khususnya ketika Domitianus menjadi kaisar. Asumsinya bahwa Domitianus telah menganggap dirinya sebagai seorang tuhan yang hidup, bahwa ia menuntut bahwa kurban ditawarkan kepadanya, dan bahwa ia meluncurkan penganiayaan terhadap orang Kristen yang menolak untuk melakukannya. Tetapi oleh penulis dikatakan bahwa penelitian terbaru justru menunjukkan hal sebaliknya. Mereka justru mengalami kehidupan yang tenang di dalam kekaisaran Romawi. Jadi apa yang tercantum dalam kitab Wahyu Yohanes hanyalah konstruksi pemikiran yang bersifat independent dari penulis kitab. Maka dari itu, yang diperlu dijelaskan adalah visi apokaliptik dari penulis kitab Wahyu Yohanes. Dan dalam hal ini, pendekatan psikoanalis bermain.

Eugen Drewermann
Seorang teolog Jerman yang sangat dipengaruhi oleh Carl Jung. Dia mengatakan bahwa kitab Wahyu Yohanes tidaklah lebih dari kesalahan sejarah. Ramalan dari penulis kitab adalah kekaisaran Romawi akan jatuh dan kerajaan mesianis akan datang dalam waktu dekat. Tetapi yang terjadi pada abad berikutnya justru gereja ‘menikah’ dengan pelacur Babel yaitu kekaisaran Roma, dan bertahan sekitar 1500 tahun lamanya. Drewermann mengatakan bahwa itu hanyalah sebuah proyeksi dari jiwa penulis ke dalam sejarah dunia. Lebih tepatnya, konflik itu sebenarnya terjadi dalam jiwa manusia sendiri. Pembalasan kejam dari Allah misalnya merupakan superego, setan dan binatang adalah representasi dari energi ‘id’. Ada sebuah ‘pelayaran’ dalam diri penulis kitab dalam penemuan diri dan penyembuhan. Jadi apa yang tercantum dalam Wahyu 8:2-22-5 adalah sebuah proses individuasi, sebuah cara di mana manusia kembali dari kecemasan dan keterasingan pada dirinya sendiri dan asal-usul dirinya. Menurut Drewermann, literatur apokaliptik mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan pengalaman schizophrenic. Keduanya didominasi oleh dualisme absolut diantara dua dunia yang saling bertentangan. Dan ini juga terjadi pada penulis kitab Wahyu Yohanes, perjuangan di antara aspek jiwa yang bertentangan, diantara ketidaksadaran dan kesadaran, insting dan jiwa, id dan superego, sensualitas dan moralitas. Berhubung dengan kekerasan yang ada, Drewermann mengatakan bahwa setiap penyiksaan tersebut adalah sebagai langkah di dalam proses individuasi dan integrasi.

Edward F. Edinger
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Drewermann, namun ia lebih melihat apokaliptik sebagai ‘the momentous event of the coming of the self into conscious realization’. Entah itu terjadi pada individu maupun kolektif. Isi pola dasar dari Apokalipse menghadirkan ‘penghancuran dunia sebagaimana telah terjadi, diikuti oleh pemulihan’. Pada pandangan Edinger, kitab Wahyu adalah sebuah dokumen separatio. Isi dari buku tersebut terutama melibatkan sebuah penentuan, pemisahan radikal antara surga dan bumi, semuanya mengenai hal atas dan bawah, antara materi dan roh atau alam. Buku berisi keseluruhan seri dari gambaran separatio yang sangat keras. Separatio ini dapat dimengerti sebagai sebuah keperluan psikologis dalam proses yang diperlukan pada tahapan tentang perkembangan psikis kolektif. Kekerasan adalah bagian penting dari jalan menuju persatuan yang bertentangan. Pada jalan yang sama sbagaimana Drewermann, Edinger menginterpretasikan wabah sebagai tahapan di dalam perkembangan proses jiwa [psikis].

Hartmut Raguse
Raguse mengatakan bahwa ternyata dalam kitab Wahyu kita menemukan banyak unsur posisi paranoid-skizofrenia dan narsisisme sebagaimana yang dipahami oleh Bela Grunberger. Kitab Wahyu dicirikan oleh dikotomi absolut di mana hanya ada “either-or”. Pembaca diajak untuk memilih salah satu dari ‘yang baik’ atau yang buruk dan bukan dengan suam-suam kuku [Wahyu 3:16]. Yang memilih yang baik akan menjadi milik ‘komunitas Allah’. Ditinjau dari sudut pandang psikoanalisis yang namanya kemurnian dan keseragaman dimungkinkan hanya karena setiap elemen penentangan diproyeksikan ke dalam musuh. Elemen penentangan berupa seksualitas dan merupakan sebuah bentuk penyimpangan dalam kitab Wahyu diproyeksikan sebagai ‘pelacur Babel’. Proyeksi ini juga berlaku untuk semua elemen penentangan yang akan mengancam kemurnian orang-orang kudus. Elemen yang menyimpang inilah yang diproyeksikan ke dunia luar dan dihadirkan sebagai ‘feces’. Pemisahan radikal ini memungkinkan narator/penulis untuk menghancurkan dengan kekerasan segala jenis yang menentang terwujudnya Yerusalem baru. Raguse mengatakan ‘The radical splitting up of the world allows the narrator to indulge in sadistic fantasies to an extreme degree without feelings of guilt’. Menurut Raguse penulis Kitab Wahyu menghasut para pembaca ke sisi makhluk surgawi yang menyebabkan kekejaman di bumi dan untuk bersukacita pada kehancuran kekerasan orang-orang yang tidak percaya.

Unsur kekerasan dan kekejaman dalam Kitab Wahyu memakai teori ‘narsisisme’. Narsis yang dimaksud dalam hal ini adalah perasaan akan sebuah dunia yang ideal yang bisa dicapai dengan konfrontasi langsung dengan realitas yang menentang hal ini. Menurut teori ini, kita selalu mempunyai keinginan kembali kepada pengalaman untuk masuk dalam surga. Karena dunia ini sebagaimana digambarkan dalam Kitab Wahyu ada yang baik dan yang buruk, maka menghancurkan yang buruk akan mengembalikan dunia narsistik yang ideal terwujud. Dia mengutip misalnya kata-kata Yesus dalam Yohanes 16:33: ’…Aku telah mengalahkan dunia’. Menurutnya dalam setiap agama yang mengajarkan kasih dan perdamaian, kita menemukan orang-orang yang militan dan fanatisme agama.

Yang juga penting dalam Raguse adalah ‘sejarah penerimaan kitab Wahyu’. Dia mengatakan bahwa dalam periode kemudian, pembaca dari Kitab Wahyu ini memiliki kekuasaan dan dengan ide-ide yang tersedia, mereka menargetkan kekerasan terhadap kelompok tertentu. Visi pemerintahan 1000 tahun menjadi program politik dan teks sangat merusak. Bahkan menurut Reguse, hal itu bahkan bisa dilihat sampai sejarah Jerman dari tahun 1933-1945. Baginya, inilah efek terburuk dari Kitab Wahyu yang telah ‘memfasilitasi’ orang untuk melakukan kekerasan terburuk, khususnya dalam sejarah peradaban barat.

P.E. Jongsma-Tieleman
Jongsma-Tieleman mengatakan bahwa apa yang kita temukan dalam kitab Wahyu Yohanes adalah simbol-simbol baik dan jahat yang digunakan dan tidak harus memimpin pembaca teks ke pemisahan dari kenyataan. Seluruh perjuangan antara yang baik dan yang jahat digambarkan dengan bantuan simbol. Hal ini tidak langsung jelas siapa atau apa yang dimaksud dengan simbol kejahatan, seperti naga raksasa dan pelacur besar. Mungkin yang dimaksud oleh orang Kristen perdana adalah kekaisaran Romawi, tetapi kemudian pembaca memiliki pandangan berbeda. Jongsma-Tieleman adalah seorang terapis sehingga ia mengatakan bahwa agresi kekerasan yang ada dalam Kitab Wahyu sama seperti ketika ia melakukan terapis pada pasiennya,yaitu dengan meneriakkan atau memukul barang-barang tertentu. Tujuannya adalah memberi rasa lega pada pasien. Hal ini dilakukan agar pasien memiliki ruang untuk memulihkan citra ideal dan tetap dalam harapan. Baginya, kekerasan adalah sebuah ekspresi simbolis dari agresi orang yang ditekan/tertekan. Pembaca dari kitab Wahyu, menurut pendapat Jongsma-Tieleman, adalah diundang untuk percaya kepada Tuhan dan dengan sabar bertahan penindasan. Adegan-adegan kekerasan dalam buku ini dapat memiliki fungsi wadah dari agresi orang beriman yang sedang dalam ketertindasan, sehingga menawarkan ‘transisi’ dari posisi paranoid-skizofrenia ke posisi depresi. Suatu sikap penerimaan realitas, dari menunggu sambil memegang harapan dan kepercayaan. Disinilah ia berbeda dengan Raguse. Jadi dalam hal ini pemisahan dan kekerasan bukan bertujuan sebagai tindakan destruktif tetapi sebagai ‘healing function of the visions of judgment and wrath that predominate’.

Dalam hal ini, Vos justru tidak sependapat dengan Jongsma-Tieleman dalam beberapa hal
1. Bagi Jongsma-Tieleman, pemisahan baik dan jahat dalam Kitab Wahyu terjadi pada tingkat simbolis, dan simbol-simbol baik dan jahat yang digunakan dalam buku ini tidak selalu memimpin pembaca teks ke realitas pemisahan . Menurut Vos, bagaimanapun, Kitab Wahyu jelas mengidentifikasi unsur-unsur realitas dengan baik atau jahat. Dunia nyata dibagi menjadi mereka yang percaya dalam Yesus Kristus di jalan pendukung penulis dan mereka yang tidak. Misalnya dia menyinggung simbol seperti Pelacur Babel dan Vos mengatakan bahwa penulis Kitab Wahyu memberi petunjuk begitu banyak kepada pembaca kontemporer bahwa akan sulit bagi mereka untuk tidak memikirkan kota Roma.
2. Jongsma-Tieleman menyarankan bahwa ada ruang untuk bergerak dari posisi paranoid-skizofrenia ke posisi depresi. Namun Vos tidak menemukannya dalam Kitab Wahyu. Menurut Vos, tidak ada ruang bagi pembaca kitab Wahyu untuk mentolerir ambiguitas
3. Menurut Tieleman Jongsma, adegan kekerasan adalah ekspresi simbolis dari agresi suatu bangsa ditekan dan tertekan. Sedangkan bagi Vos, hubungan gereja dan dunia merupakan rekonstruksi penulis, dan oleh karena itu lebih independen dari realitas sosial-politik zamannya.
4. Bagi Vos, dalam pengalamannya, ia menemukan bahwa yang namanya peperangan rohani ditimbulkan oleh gambaran dari kitab Wahyu yang justru memiliki pengaruh yang buruk. Maka baginya, kitab ini justru sangat mencemaskan.

Surat-surat Rasul Paulus
Dalam surat-surat Paulus kita menemukan unsur-unsur yang mengingatkan kita pada posisi-skizofrenia paranoid serta elemen yang merupakan ciri khas dari posisi depresi seperti yang dijelaskan oleh Melanie Klein. Dalam tulisan-tulisannya tentang ‘dunia’ dipisahkan menjadi yang baik dan yang buruk, menjadi orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus dan mereka yang tidak, mereka yang harus diselamatkan dan mereka yang akan binasa, objek belas kasih Tuhan dan objeknya murka, orang-orang kudus dan orang-orang yang penuh dosa. Rasul sendiri, sebagai utusan Injil, punya fungsi sebagai kekuatan yang memisahkan: “Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir, kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan.” Ada sebuah ambivalensi dalam diri Paulus untuk menggambarkan mereka yang tidak percaya termasuk di dalamnya yahudi dan mereka yang percaya. Ambivalensi ini jelas-dinyatakan dalam kata-kata: “Mengenai Injil mereka adalah seteru Allah oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang” [Roma 11:28]. Ini sedikit berbeda dengan pemisahan radikal dalam kitab Wahyu. Dalam hal ini, Paulus justru menyatakan kekerabatannya dengan mereka yang dianggap seteru Allah.

Menurut teori Melanie Klein, pertemuan kebencian dan kasih terhadap objek yang menimbulkan kesedihan yang sangat pedih dia sebut ‘depresi kecemasan’. Karakteristik posisi depresif adalah kebutuhan untuk reparasi atau perbaikan yaitu sebuah upaya yang dilakukan untuk memaksimalkan aspek mencintai hubungan ambivalen dengan seluruh objek rusak. Bagian dari Roma 9-11 dapat dilihat sebagai upaya tersebut. Seperti penulis Kitab Wahyu, Paulus mengharapkan “hari murka” dalam penghakiman Allah yang benar akan terungkap dan mereka yang tidak taat kepada kebenaran akan dihukum sementara mereka yang percaya dalam Kristus akan diselamatkan [Roma 2:5; I Tesalonika 1:10]. Namun, Paulus tidak pernah menggambarkan hukuman orang-orang asing dalam bagian tentang peristiwa eskatologis. Dalam 1 Korintus 15 di mana ia menggambarkan peristiwa eskatologis dari kebangkitan Kristus sampai akhir dunia, ia hanya menyebutkan kedatangan Kristus, kebangkitan orang percaya, dan pembentukan Kerajaan Allah. Pembaca bahkan memberi kesan bahwa rasul mengharapkan keselamatan untuk semua orang: “. Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, sehingga semua akan dibuat hidup dalam Kristus”. Bahkan jika “semua” hanya merujuk pada orang-orang percaya, titik kontroversial kalangan sarjana Perjanjian Baru, itu harus dicatat bahwa Paulus sama sekali tidak tertarik pada nasib orang-orang asing. Yang pasti, musuh-musuh Allah akan dihancurkan, tetapi musuh ini bukan manusia, tetapi kekuatan dipersonifikasikan dosa dan kematian. Paulus bahkan lebih spesifik dalam Roma 11: Segera setelah “jumlah penuh dari bangsa-bangsa lain” telah datang, “seluruh Israel” akan diselamatkan. Sedangkan kata “seluruh Israel” yang jelas, “jumlah penuh” dari bangsa-bangsa lain tidak selalu berarti “semua bangsa-bangsa lain.”

Tentu saja, fakta bahwa Paulus tidak mempertahankan seperti sikap radikal sebagai nabi Yohanes dalam sikapnya terhadap dunia yang tidak percaya, dan khususnya terhadap orang Yahudi, tidak berarti bahwa sejarah penerimaan rasul Paulus menghasilkan efek yang sama sekali berbeda dari Kitab Wahyu dalam hal ini. Dari abad ke-empat sampai dengan Third Reich di Jerman, kata-kata Paulus digunakan untuk melegitimasi penindasan orang Yahudi. Pada saat yang sama, namun dapat dibuktikan bahwa penilaian positif Paulus tentang orang-orang Yahudi sering berfungsi sebagai penangkal terhadap anti-Semitisme. Dalam Third Reich, misalnya, kata-katanya difungsikan sebagai rebutan bagi banyak anti-Semit, dan di antara teolog perjuangan melawan anti-Semitisme dilakukan dalam nama Rasul Paulus. Pada akhirnya, keputusan untuk efek positif atau negatif dari teks terletak dengan pembaca.

Tanggapan
Menarik melihat pendekatan psikoanalisis terhadap teks Wahyu Yohanes dengan surat-surat Paulus. Bukan saja membantu kita untuk memahami pola pikir dari para penulis kedua kitab tersebut beserta gagasan-gagasannya tetapi juga menjadi pertimbangan bagi kita untuk dengan jeli dan kritis melihat teks-teks [PB] yang berbicara tentang kekerasan. Oleh karena tidak sedikit orang yang menjadikan teks-teks PB [dan juga PL] dalam melegitimasi tindakan mereka untuk menghancurkan dan melukai orang lain.

Wahyu adalah sebuah Kitab yang bercorak apokaliptis, di dalamnya terdapat uraian-uraian tentang eskhaton, akhir zaman. Oleh karena itu Kitab ini disebut dengan Apocalypse. Kitab Wahyu merupakan kitab yang sulit untuk dipahami, karena banyak menggunakan bahasa apokaliptis yang penuh simbol dan gambaran yang asing bagi pembaca masa kini. Dengan pendekatan psikoanalisis, meskipun bukan satu-satunya pendekatan yang membantu kita mengenal dengan baik teks-teks Kitab Suci, tetapi setidaknya, pendekatan ini membantu kita memutuskan bagaimana kita harus memahami kitab suci khususnya dalam konteks kita sekarang ini. Dalam hal ini kita diajak untuk memahami pola pikir penulisnya sendiri.

Pemisahan yang disebutkan oleh penulis dalam hal ini, antara mereka yang percaya dan tidak percaya adalah sebuah gambaran dari sebuah gagasan apokaliptik. Karena dalam gagasan apokaliptik, orang akan berharap akan adanya dunia yang akan datang. Pengharapan itulah yang disebut sebagai eskatologis, yaitu sebuah zaman di mana Allah akan mendatangkan sebuah dunia yang adil buat mereka.Oleh karena itu, kitab wahyu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap akhir zaman, penghukuman Allah dan keselamatan yang kekal.

Pemaparan dari Johan Vos menurut saya membantu kita memahami mengapa sampai gagasan yang berisikan tentang kekerasan bisa sampai menjadi bagian dari kitab Wahyu. Tanggapan saya juga mempertegas ‘asumsi awal saya’ tentang betapa rumitnya kitab Wahyu untuk dipahami. Dari pembahasannya, kita menemukan bahwa ada ketidaksingkronan apa yang dibayangkan dengan kenyataan. Mungkin dalam hal ini benarlah indikasi dari beberapa ahli yang mengatakan bahwa apokaliptik tidak terkait dengan sesuatu yang objektif tetapi fiksi.

Salah satu dari sekian banyak ciri sastra apokaliptik adalah ‘dualisme’. Maka wajar saja jika penulis kitab wahyu dan juga surat-surat Paulus membedakan dua dunia yang berbeda. Dalam sastra apokaliptik, masa kini merupakan masa yang penuh dosa dan kejahatan, namun sifatnya sementara dan akan binasa . Sebaliknya, masa yang akan datang adalah saat dimana Allah akan membangun kerajaan-Nya (saat umat Allah akan diselamatkan dari dosa dan semua pengaruh kejahatan) yang kekal dan tidak akan binasa. Transisi dari masa kini ke masa yang akan datang tidak akan dicapai dengan proses sejarah, melainkan hanya dengan tindakan Allah. Begitu juga penggunaan simbol-simbol, merupakan ciri khas dari sastra apokaliptik. Dan dalam hal ini, Vos mencoba menunjukkan bagaimana sampai gambaran kekerasan bisa sampai menjadi pertimbangan oleh penulis Kitab Wahyu.

Dengan pemaparan pendekatan psikoanalisis, kita menemukan bahwa gambaran-gambaran kekerasan bisa membawa efek yang sangat luar biasa, jika tidak memahaminya dengan baik. Memang kelemahan dari tulisan ini adalah mereduksi teks hanya dari satu sisi pendekatan saja. Tetapi, jika sastra apokaliptik bukan merupakan penglihatan nyata, maka kita bisa menduga bahwa ada kemungkinan bahwa ini memang rekonstruksi penulis yang oleh Vos disebut relatif lebih independen. Maka dengan demikian, tidak harus secara harafiah, gambaran-gambaran dalam kitab Wahyu misalnya diterjemahkan langsung dalam konteks kita sekarang. Kita harus memahami mengapa sampai gambaran-gambaran bernada kekerasan itu muncul, seraya melakukan rekonstruksi ulang terhadap gambaran-gambaran tersebut, sesuai dengan konteks keberadaan kita sekarang ini.

Acuan: Johan S.Vos, ‘Splitting and Violence in the New Testament: Psychoanalytic Approaches to the Revelation of John and the Letters of Paul, dalam J. Harold Ellens (ed.),The Destructive Power of Religion. Violence in Judaism, Christianity, and Islam (Westport, CT:Praeger Publisher, 2004)



Vulpes pilum mutat, non mores

Kalimat dalam bahasa latin tersebut berarti Seekor serigala (dapat) mengubah kulitnya, bukan kebiasaan (wataknya). Mirip dengan kalimat ’serigala berbulu domba’. Meskipun agak susah kita membayangkan bagaimana mungkin seorang serigala berbajukan domba. Kalimat lain yang terkait dengan serigala adalah ‘homo homini lupus’ yang artinya manusia adalah serigala bagi manusia lain. dalam dua kalimat tersebut agaknya serigala digambarkan sebagai hewan yang tamak dan rakus, karena punya sifat licik (berbulu domba) dan memakan sesamanya.

Serigala sering dipakai sebagai gambaran bagi mereka yang terlihat baik di luar tetapi sebenarnya mereka adalah maling. Beberapa bulan belakangan ini maling-maling yang terkesan seperti tak berdosa dan baik-baik saja itu pelan-pelan mulai terlihat jelas. Mereka tak lain adalah orang-orang yang juga sering sedekahan sama orang dan rajin beribadah. Mereka tampil necis dan terkesan seperti orang baik dan teratur namun di balik penampilan mereka tersembunyi sifat buas. Mereka merancang strategi bagaimana mencuri uang rakyat demi menumpuk kekayaan sebesar-besarnya. Malah menurut saya ini melebihi serigala karena serigala sendiri tak pernah menumpuk makanan.

Serigala berbaju safari juga nokrong di tempat-tempat yang kesannya ‘peduli dengan rakyat’. Namanya gedung rakyat. Mereka (terlihat) berjuang demi rakyat, rapat demi rakyat, dan saling cela (katanya) demi memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka juga melempar senyuman tanda bahwa mereka dekat dengan rakyat. Mereka bahkan pernah memperjuangkan dana untuk ‘rumah aspirasi rakyat’ meski ditolak karena (katanya) uang tersebut akan dipakai untuk mempertebal dompet segelintir orang dan partai.

Namun, kelemahan serigala adalah ketidakmampuan mereka menyembunyikan taring dan cakarnya. serigaLa tetaplah serigala. Meskipun berbaju safari, di dalamnya ia adalah binatang buas yang akan memangsa rakyat. Bukankah itu yang terjadi? Karni Ilias, seorang pemimpin redaksi TVONE dan Presiden dari Jakarta Lawyers Club pernah menyampaikan sebuah kutipan dari seorang filsuf yang berbunyi ‘kemiskinan disebabkan oleh kejahatan yang tak pernah anda lakukan’. Agaknya sang filsuf benar karena apa yang terjadi dengan kemiskinan di kebanyakan masyarakat Asia khususnya di Indonesia justru lebih disebabkan oleh karena para pemimpinnya gemar ‘menumpuk’ harta. Para ‘bandit berdasi’ ini sebenarnya berjuang demi popularitas dan diri mereka sendiri. Pernah seorang tokoh berujar agar diberi ‘amnesti massal’ kepada para koruptor tetapi syaratnya mereka mengembalikan semua kekayaan negara yang dicuri. Tetapi agaknya susah untuk melepaskan diri dari motif tersembuyi sang tokoh yang waktu itu memang sedang berkampanye untuk pemilu.

Para predator ini juga sering bersembunyi di bawah ketiak para penguasa. Maka tak heran jika serigala yang mestinya masuk bui, dengan santainya bercokol di kekuasaan meskipun sebagian terpaksa berpindah tempat ke negara tetangga. Maka ketika sang penguasa teriak untuk ‘bersih-bersih’, sebagian dari kita hanya tertawa geli...sumpeh lo?! Serigala tetaplah serigala. Kita mungkin telah bisa menjinakkan kuda tetapi mampukah menjinakkan serigala? Agak susah karena kadang kita tertipu dengan penampilan mereka-penampilan seekor domba.

Pada suatu hari ada seekor serigala yang kehausan minum air di sebuah sungai kecil. Dia melihat seekor anak domba lemah sedang minum tidak jauh dari tempat tersebut. Serigala ingin memangsa anak domba itu tetapi ia harus mempunyai alasan untuk memakannya. ‘Mengapa engkau mengotori sungaiku?’ tanya serigala kepada anak domba dengan marah. ‘Maafkan saya tuan, saya tidak tahu kalau sungai ini milik tuan’, jawab anak domba dengan ketakutan. ‘Tetapi mengapa engkau menyepelekan aku ketika engkau melihat aku setahun yang lalu?’ tanya serigala lagi. ‘saya belum lahir tahun lalu, tuan’ jawab si anak domba dengan hati-hati. ‘itu pasti anak domba lain’ lanjutnya. ‘itu pasti ayahmu dan kamu harus membayar untuk ketololan ayahmu’, kata serigala sambil menerkam si anak domba. Serigala itu segera memakan anak domba. (dari P. Cosmas Fernandez, SVD, 50 Cerita Bijak)

Yang jahat akan selalu mencari alasan untuk kejahatan mereka. Selalu...

Kamis, 14 Juli 2011

Para penyembah mamon


Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon (Matius 6:24)

Bagaimana sampai Yesus menyamakan Allah dengan mamon? Verne H. Fletcher dalam bukunya Lihatlah sang Manusia mengatakan bahwa penyamaan mamon dengan Allah adalah buatan Yesus karena pada dasarnya mamon dalam bahasa Aram hanyalah berarti kekayaan dan harta milik. Artinya kata mamon tidaklah berkonotasi buruk dan negatif. Tetapi Yesus mempribadikan uang dan harta benda bahkan menyamakannya dengan dewa sampai-sampai itu dilihat sebagai lawan dari Allah. Penyamaan tersebut tentu terkait dengan kecenderungan orang yang mudah untuk menggantikan Allah dengan mamon itu sendiri. Yesus tidak anti dengan kekayaan tetapi sangatlah berbahaya jika sampai kita menggantikan keyakinan kita kepada harta tersebut. Kraybill dalam bukunya Kerajaan Yang Sungsang mengatakan: ‘Yesus tidak memberikan status keilahian pada pengetahuan, ketrampilan, penampilan, pekerjaan, kebangsawanan maupun kebangsaan. Kekayaanlah, kataNya yang berseru untuk mengendalikan dan membawahi kita seperti yang ilahi’. Tentu, pernyataan Yesus ini sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sikap Yesus yang begitu kritis terhadap mereka yang berharta milik banyak. Apalagi dalam Injil kita menemukan posisi yang jelas dari Yesus dengan berpihak kepada mereka yang miskin dan menderita. Ia tidak mempermasalahkan harta milik itu sendiri tetapi agaknya Yesus menemukan terjadinya ketidakdilan karena harta milik itu justru didapat dari memperalat mereka yang tidak berdaya, misalnya dengan pajak.

Dan bukankah ini yang terjadi dengan elit-elit bangsa ini yang gemar menumpuk harta sampai-sampai negara ini disebut mempunyai sistem ‘kleptokrasi’- dimana para elitnya gemar mencuri sesuatu yang bukan miliknya? Peringatan Yesus akan bahaya mamon terbukti terjadi ketika sebagian elit bangsa ini sibuk beribadah kepada uang dan harta sampai-sampai mengorbankan masyarakat.Tetapi apakah hanya elit bangsa ini yang gemar memuja mamon? Bahkan hal itu terjadi beberapa waktu yang lalu ketika seorang pendeta terpaksa ‘angkat tikar’ dari gerejanya karena jemaatnya tahu bahwa sang pendeta mempunyai utang kartu kredit yang demikian besar. Dan berapa banyak gereja yang gemar menumpuk ‘pemasukan’ daripada mempersembahkannya kepada mereka yang membutuhkan? Itu artinya setiap kita bisa menjadi penyembah mamon ketika mamon itu telah menguasai kita, tak peduli bahwa anda seorang aktifis gereja atau bukan. Kita begitu sayang kepada mamon daripada menggunakan mamon itu untuk kebaikan bersama.

Namun apa boleh buat, negara kita sudah terlanjur dihuni oleh para penyembah mamon. Maka tak heran jika banyak orang merasa bahwa reformasi yang sudah berjalan selama 13 tahun belakangan ini dianggap tak lain hanyalah untuk mendulang emas di negeri sendiri. Sementara rakyat hanyalah korban dari permainan para elit yang sudah terlanjur menggantikan sila KeTuhanan Yang Maha Esa menjadi keMamonan yang Maha Esa. Perlombaan untuk mendulang emas inilah yang akhir-akhir ini kita begitu mudahnya ditemukan pada jiwa-jiwa pemuda seperti Gayes Tambenan dan M. Nazeruddin yang masih berusia 30an.

Kita tidak bisa mengabdi sekaligus kepada dua tuan, yang satu Tuhan dan yang satunya mamon. Oleh sebab itulah, betapa rumah ibadah membanjir bahkan saling numpuk di negara ini, ketamakan dan kerakusan akan uang tidak akan hilang karena simbol dari rumah ibadah sudah digantikan dengan mamon. Ritual-ritual keagamaan di negeri yang katanya paling religius ini, hanyalah kamu flase saja. Sebab ketika kita mengatakan: aku mencintai Tuhan, itu berarti kita membenci mamon. Tetapi ketika hati kita mengatakan: aku mencintai mamon, bukankah dengan sendirinya kita membenci Tuhan. Lalu mengapa kita masih berpura-pura untuk menyapa Tuhan? Mengapa kita masih berlagak seperti orang yang taat kepada Tuhan sedangkan Tuhan tidak lagi bersemayam di hati kita? kita berusaha menipu Tuhan dengan tindakan kita memberi sedekah dan berharap bahwa Tuhan masih bertegur sapa dengan kita. Tuhan sudah kita singkirkan, sekarang kita pun masih menipu dan menyogoknya.

Ah, manusia..berapa lama lag?

Minggu, 10 Juli 2011

Hidup bagai bejana tanah Liat


Hidup bagai bejana tanah liat adalah tepat untuk menggambarkan kenyataan hidup kita yang mudah retak dan tak berdaya. Apalagi kalau kita sedang ditindas dan dianiaya entah dalam bentuk apapun. Sering kali yang muncul adalah perasaan tidak berdaya. Namun itu menandakan bahwa manusia memang terbuat bukan dari besi baja seperti Gatot Koco tetapi dari tanah yang memang mudah retak. Kita ini rentan dengan segala hal yang datang dari luar untuk rusak. Diri kita ini mudah sekali pecah oleh karena memang diri kita terbuat dari tanah liat. Ingat, tanah liat!!

Dengan menyadari ini kita terbebas dari sikap sombong. Kita bukanlah orang-orang yang tangguh dalam segala hal, yang tak pernah akan merasakan pahitnya dunia. Justru sebaliknya kita adalah manusia-manusia yang ‘pasti’ butuh orang lain. kita tidaklah seperti manusia dalam banyangan Nietche yang berbicara tentang ‘Manusia Super” atau Ubermensch. Linda Smith & William Raeper dalam bukunya Ide ide filsafat dan agama dulu dan sekarang menyebutkan bahwa Manusia Super yang dimaksud oleh Nietzche adalah seseorang yang menyadari keadaan sulit yang dialami manusia. Ia menciptakan nilai-nilainya sendiri dan mampu membentuk hidupnya sendiri. Ia mengatasi kelemahan dan membencinya di dalam diri orang lain. Bagi Nietzche Manusia Super akan menjadi manusia Dionysian jenis baru dengan daya hidup nyata dan kekuatan besar, percaya diri dan disiplin diri. Meskipun Franz Magnis Suseno dalam bukunya Menalar Tuhan membantah bahwa Nietzche tidaklah mengaitkan Ubermensch sebagaimana ‘SuperMan’ yang kita kenal, melainkan dimaksudkan sebagai manusia yang tidak lagi melemparkan tanggungjawab kepada Allah dan Agama. Namun, sulit untuk melepaskan gagasan Ubermensch dari keyakinan bahwa kita sebenarnya bisa mandiri dan terbebas dari orang lain bahkan Allah. Bayangan Nietzche ini mau tidak mau terkait dengan bayangan bahwa manusia sebenarnya mampu untuk tangguh di hadapan kenyataan apapun, termasuk dunia.

Ambisi sang filsuf yang terkenal nyentrik dengan kalimat ‘Allah telah mati’ itu justru berkebalikan dengan kenyataan manusia sendiri. Lemah dan tak berdaya adalah sebuah hal yang mengitari diri manusia. Bahkan kenyataan bahwa manusia itu lemah dimulai ketika kita lahir di dunia ini dengan tangisan, karena kita akan masuk ke dalam ‘medan’ penderitaan.

Paulus, dalam kitab 2 Korintus 4:7-18 berkisah tentang bejana tanah liat. Dalam hal ini bejana tanah liat adalah kiasan yang digunakan oleh Paulus di dalam menggambarkan tubuhnya yang lemah. Robert Banks dalam bukunya Paul’s Idea of Commnunity mengatakan bahwa Paulus dipengaruhi oleh filsafat Stoa. Maka tidak mengherankan kalau dualisme yang ada dalam berbagai macam pemikiran Paulus sangat terasa. Namun dalam kaitannya dengan metafora tanah liat, Paulus nampaknya justru melihat tubuh yang lemah sebagai jalan masuk bagi Allah untuk berkarya. Calvin J. Roetzel dalam bukunya Paul a Jew on the Margins mengatakan bahwa melalui metafor bejana tanah liat, Paulus ingin menggambarkan tubuhnya yang lemah tetapi justru lewat tubuh yang lemah inilah dipercayakan untuk mewartakan Injil Yesus Kristus. Allah telah mempercayakan pelayanan kepada manusia yang lemah yang digambarkan dengan bejana tanah liat yang mudah retak dan hancur karena pemakaian sehari-hari. Apa yang dialami oleh Paulus, dengan sangat jelas terkait dengan ‘penderitaan’ yang dialaminya. Misalnya terlihat dalam kata-kata ditindas, dianiaya, dihempaskan (ayat 8-10). Dalam keseluruhan surat Korintus kita bisa menemukan bagaimana rasul Paulus memang sering mengalami penderitaan. Apalagi jika dikaitkan dengan keberadaan para rasul lain yang ada di Korintus. Mereka yang menjadi lawan dari rasul Paulus dalam kitab Korintus menyebut diri sebagai ‘rasul’ dan ‘pelayan Kristus’. Sering kali rasul-rasul tersebut oleh Paulus disebut sebagai ‘super apostle’ (11:5;12:11), false apostle (11:13) dan minions of satan atau kaki tangan setan (11:13-15).

Hal yang menarik dalam pemaparan Roetzel adalah bahwa metafora tentang bejana tanah liat adalah sebuah cara bagi Paulus untuk menyamakan dan ambil bagian dalam kematian Yesus. Dengan cara inilah, Paulus menegaskan bahwa badannya yang lemah dan mudah hancur oleh kematian, dengan kekuatan yang dari Kristus yang telah dibangkitkan telah mengalahkan kematian itu sendiri. Maka dengan metafora bejana tanah liat, Paulus ingin memperlihatkan bahwa manusia seperti dirinya di mata manusia (khususnya di mata rasul yang menjadi saingannya) adalah lemah dan tidak berarti apa-apa, tetapi justru dengan itulah kekuatan yang dari Allah datang (ayat 7). Maka Paulus mendapati kekuatannya menjadi sempurna di dalam kelemahan.

Seorang teman mengatakan bahwa penderitaan yang kita alami adalah jalan masuk bagi Allah untuk mengangkat kita dari beban kita. Dia percaya bahwa selama kita masih bisa menanggung beban kita sendiri, Allah berjalan di samping kita. tetapi ketika kita sudah tidak sanggup lagi mengangkat beban kita, Allah yang akan menggendong kita. Saya jadi ingat tentang Puisi ‘Jejak-jejak Kaki’ dari Margaret Fishback Powers:

Suatu malam aku bermimpi berjalan-jalan di sepanjang pantai Bersama Tuhanku. Melintas di langit gelap babak-babak hidupku.Pada setiap babak, aku melihat dua pasang jejak kaki, Yang sepasang milikku dan yang lainnya milik Tuhanku. Ketika babak terakhir terkilas di hadapanku. Aku menengok jejak-jejak kaki di atas pasir. Dan betapa terkejutnya diriku Kulihat acap kali di setiap hidupku. Hanya ada sepasang jejak kaki Aku sadar bahwa ini terjadi Justru saat hidupku berada dalam keadaan yang paling menyedihkan.Hal ini selalu menggangguku dan akupun bertanya kepada Tuhan: “Tuhan, ketika aku mengambil keputusan untuk mengikutMu, Engkau berjanji akan selalu berjalan dan bercakap-cakap denganku di sepanjang jalan hidupku. Namun ternyata dalam masa yang paling sulit dalam hidupku, hanya ada sepasang jejak kaki. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa ketika aku sangat memerlukanMu engkau meninggalkan aku”. Ia menjawab dengan lembut:”AnakKu, aku sangat mengasihiMu dan sekali-kali Aku tidak akan pernah membiarkanmu, terutama sekali ketika pencobaan dan ujian datang. Bila engkau hanya melihat hanya ada sepasang jejak kaki, ini karena engkau berada dalam gendonganKu”.
Apa yang dialami oleh Paulus adalah sesuatu yang manusiawi sekali. Ada sakit yang terasa ketika penderitaan itu datang. Bagaikan bejana tanah liat, tubuh kita yang lemah adalah pertanda bahwa kita bukanlah ‘manusia super’ yang jauh dari tangisan dan air mata. Namun, penghayatan Paulus atas penderitaannya membawa dia pada Yesus sendiri yang merupakan sumber kekuatan. Sangat normatif mungkin. Namun, satu hal yang menarik bahwa ‘perspektif’ Paulus akan penderitaannya tidaklah gampang di temukan dalam diri orang percaya. Ketika penderitaan datang, hujatan datang bertubi-tubi, entah kepada Tuhan, iblis, keluarga, teman atau siapapun yang pantas jadi sasaran amarah dari penderitaan tersebut. Paulus tidaklah demikian. Sadar betul bahwa ia lemah, ia justru meminta kekuatan dari Tuhan. Karena hanya dengan demikianlah, Allah berkarya dalam dirinya. Sehingga yang keluar dari mulut Paulus adalah-justru ‘ucapan syukur’.

Allah tidaklah membiarkan kita sendirian dalam penderitaan kita. Ketika kita tidak sanggup lagi Ia akan menggendong kita. Karena dengan itulah, Allah berkarya alam diri kita.