Rabu, 07 April 2010

Kebebasan dan Konflik sesama Manusia Menurut Sartre


Tulisan ini memaparkan “sangat sedikit” tentang bagaimana Sartre memandang kebebasan manusia. Hal ini penting lho karena setiap diri kita, entah siapapun, selama masih mengaku manusia dan masih waras pasti dalam dirinya ada yang namanya kebebasan.

Kebebasan selalu mengiringi manusia. Entah sadar atau tidak, dalam perjalanan hidup, kita akan dihadapkan dengan diri yang punya kebebasan. Kita ingin melakukan apa? Kita bebas memilihnya bukan. Bahkan kita bebas kok untuk mau bangun pagi apa ndak, kita bebas untuk percaya ama Tuhan atau tidak, bahkan kita bisa memilih kok mau Tuhan yang mana dan berapa Tuhan yang akan kita sembah. Kita punya kebebasan untuk melakukan itu. Kita bahkan punya kebebasan untuk dilihat seperti apa, mau orang yang ambur adul atau orang yang kelihatan rapi. Setiap kita punya kebebasan untuk memilih dan melakukan apapun. Kita bebas. Enak buanget ya....


Ndak juga. Soale, kebebasan kita itu ndak dengan gampangnya berlaku dalam dunia ini. Ndak gampang? Ya, karena tiap orang tentu punya kebebasannya sendiri. Ini masalah bukan. Ya, kebebasan kita berhadapan dengan kebebasan orang lain. Makane kebebasan kita itu mesti [seharusnya] ndak berbenturan dengan orang lain bukan. Makanya dibuatlah banyak aturan sosial, hukum sosial, norma-norma yang mengatur dan mengendalikan banyak kebebasan kita. Institusi-institusi itu akhirnya menjadi batas dari setiap kebebasan yang kita miliki. Tp ada juga orang yang nekat lho mau ngelompatin tuh norma. Bahkan tanpa takut bahwa kebebasannya itu berbenturan dengan orang lain. Misalnya, wah malam-malam gini pengennya teriak-teriak. “Ya sakarepmulah” kata temanku. “mau jungkir balik juga bisa”. Lha, tetapi itu kan mengganggu orang lain toh yang lagi bobo dengan tenang. “gila, malam-malam gini siapa yang teriak-teriak ya”. Lha, makanya kemudian kebebasan itu tidak hanya dibatasi sedemikian rupa oleh institusi tersebut tetapi juga bagi yang melanggar dikenai “hukuman”. Jadi kebebasan manusia skarang ini ndak dengan gampangnya bisa diterapkan, kecuali.....”..kecuali lo mau masuk penjara, mas” kata temanku....hahahahah. Dan memang benar, kalau kita mau masuk dalam teorinya Hobes, akar dari adanya hukum adalah karena manusia saling memangsa sesamanya manusia, sehingga dibutuhkan Leviatan. Manusia saling mengobjekkan satu dengan yang lain, dan itu tampak dalam berbagai macam peristiwa mengerikan seperti pembantaian orang Yahudi.


Bagaimana dengan Sartre [nama lengkapnya Jean Paul Sartre]. Dia mengatakan bahwa kebebasan itu ontologis. Artinya kebebasan itu sudah merupakan bagian yang melekat dalam diri manusia dan memang sudah ada dan demikian adanya. Maka, kebebasan menurutnya adalah sesuatu yang “mutlak”. Maka bagi dia, kebebasan merupakan penentu bagaimana orang membentuk eksistensinya. Setiap orang harus punya kebebasan untuk membentuk bagaimana dirinya dalam dunia. Tanpa itu, manusia belumlah menjadi dirinya.


Tetapi kan di dunia ini ndak hanya ada aku toh. “ya iyalah mas, masa cuman lo. Gmana jadinya dunia ini kalau cuman lo?” nyindir temanku. Lha, jika kebebasan merupakan syarat pembentuk eksistensi, bagaimana dengan orang lain? Makanya, Sartre mengatakan bahwa orang lain adalah “ancaman”. Ketika orang lain memandang diriku, maka pada saat itu aku diobyekkan dan dia menjadi subyek di atasku. Aku menjadi suatu “benda” dalam dunia orang lain (Bartens: hlm.166).

Being and Nothingness merupakan karya puncak Sartre dalam memahami eksistensi manusia dan kebebasannya. Dalam buku ini juga dijelaskan tentang sikap ontologi Sartre. Setidaknya kita bisa mencatat beberapa hal tentang pikiran2 Sartre [masih banyak tentunya yang diuraikan di dalamnya]:


1. Cara berada. Selalu mulai dari “kesadaran”. Kesadaran ini membawa kita pada Ada. Ada ini dibedakan oleh Sartre sebagai “Ada pada dirinya” yang menunjuk pada benda dan “Ada bagi dirinya” yang menunjuk pada manusia. Manusia adalah kesadaran karena ia adalah sesuatu tetapi pada saat yang sama ia bisa mengambil jarak terhadap sesuatu itu. Benda tidak bisa dan hanya merujuk pada sesuatu. Cara berada ini pulalah yang kemudian sangat mempengaruhi bagaimana kita melihat orang lain dalam gagasan Sartre.

2. Kebebasan

Kesadara membawa manusia pada kebebasan karena ia bisa melihat dirinya dan melakukan pengubahan terhadap dirinya. Maka, dirinya bukanlah sesuatu yang seperti itu [tidak statis] karena kebebasan itu membawanya pada pengubahan terhadap dirinya sendiri. Manusia akan terus melakukannya terus menurus dan dengan jelas ini pulalah yang membedakannya dengan benda. Benda tidak bisa melakukan pengubahan terhadap dirinya. Kebebasan selalu akan membawa manusia pada usaha untuk “meniadakan diri”


Konflik menjadi khas dalam gagasan Sartre. Ia hadir dalam relasi subjek-objek. Dan itulah hal yang wajar. Namun yang menjadi masalah adalah ketika kemudian konflik relasi itu berujung pada dominasi dan menindas. Menurutnya, manusia memang punya potensi untuk itu karena manusia bukanlah benda dan karena manusia sendiri punya kebebasan untuk melakukannya.


Dari sudut pandang Kristen, tentu kita seharusnya menjadikan manusia lain sebagai sesama dan bukan sebagai objek yang kemudian kita tindas. Yesus menentang setiap bentuk dominasi dengan jalan Dia sendiri tidak membawa kuasa yang mendominasi, bahkan ketika setiap kesempatan itu ada. Ia melakukan perlawanan terhadap mereka karena melihat bahwa orang pada zamannya telah sedemikian rupa melakukan peng”objek”kan terhadap kemanusiaan manusia itu sendiri.


Tentu tidak adil jika kita menghakimi gagasan Sartre. Bagi saya sendiri, gagasan Sartre adalah sesuatu yang nyata ada dalam diri. Ia membongkar dasar dari relasi yang biasanya kita bangun, yang sering kali meng”objek”kan orang. Kebebasan itulah yang membuat kita menjadi seperti itu. Tetapi tentu, dalam perspektif Kristen, hal itu harus bisa kita minimalisir karena justru yang diinginkan dari kita adalah sikap menempatkan manusia pada subjek, dirinya sendiri, sebagaimana adanya dia, tanpa menghakimi, tanpa menindas dan mendominasinya.


Jean Paul Sartre adalah tokoh Eksistensialisme yang hidup pada abad ke-20 ini. Dia dilahirkan di Paris, Perancis pada tanggal 21 Juni 1905

Selasa, 06 April 2010

Etika Sosial dan keberagaman budaya di Indonesia


Di Indonesia, sumber moralitas secara umum datang dari agama. Agama sebagai sistem simbol yang menggambarkan sesuatu yang trasenden. Agama memberikan gambaran terhadap apa yang nyata. Di indonesia ada mitos bahwa semua agama memiliki kesamaaan dalam hal moralitas. Tetapi sesungguhnya ada banyak perbedaan. Inilah sumber pembelajaran yang harusnya dikembangkan agar kita dapat belajar dan kenal satu dengan yang lain. Misalnya keberbedaan itu muncul dalam budaya-budaya yang berbeda.

Budaya adalah cara untuk tahu arah. Ia adalah cerita nenek moyang yang membentuk kita sekarang, dan itu memberikan kita pemahaman tentang apa yang baik dan salah. Kemampuan untuk membuka diri dan belajar dari orang lain adalah hal penting.

Tetapi yang harus dihidari adalah eksklusif budaya yang kemudian menganggap bahwa yang di luar dirinya adalah orang lain. Tetapi di dalam solidaritasnya sangat kuat. Ada semacam paradoks di dalamnya. Oleh karena itu, yang harus kita hindari adalah adanya solidaritas tertutup yang hanya mau bergabung dan bergaul dengan sesama etnis yang sama saja. Identifikasi sesama suku yang selama ini kita pakai untuk meniolong orang dan bergaul dengan yang lain adalah hal yang mesti kita hindari dan hentikan. Kita harus mengembangkan solidaritas yang terbuka, yang mau menyapa orang yang ada diluar kita.

Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan dan dihidupi oleh Yesus sendiri, dimana dia mengembangkan sebuah solidaritas yang terbuka. Ia bergaul dengan siapa saja bukan berdasarkan etnisnya saja. Ia bahkan mengambil contoh mereka yang di luar etnisnya sebagai contoh yang dipakai dalam khotbahnya [lih. orang samaria yang baik hati]

So, jika kita mau mengembangkan sebuah solidaritas yang terbuka, kembangkanlah prinsip hidup Yesus dan teladanilah. Semoga!!

aku mabuk aLLah


Emha Ainun Nadjib atau yang lebih dikenal dengan nama Cak Nun dikenal sebagai tokoh agama dan pluralis dan juga seniman religius-spritualis, yang mencoba mengkaryakan kemampuan seninya untuk melantunkan doa dan nyanyian kepada Allah. salah satunya adalah puisi

yang paling khas dalam puisi Cak Nun adalah bahwa puisi-puisinya tersebut bercorak sufistik. Aprinus Salam [oposisi sastra sufi: p.76] mengatakan bahwa puisi-puisi cak nun dapat dikategorikan ke dalam sastra sufi karena sesuai dengan kriterian dari sastra sufi itu sendiri yaitu: mempersoalkan prinsip Tauhid (prinsip Keesaan Tuhan), prinsip ke-Ada-an Tuhan, prinsip fana-baka, prinsip penetrasi Tuhan dan kehendak bebas manusia, serta derivasi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut”.

Ada sebuah puisi yang menarik, yang aku sendiri sukai dari puisi-puisi cak nun. judulnya adalah "aku mabuk allah".


aku mabuk allah

semata-mata allah

segala-galanya allah

tak bisa lain lagi

aku mabuk allah

lainnya tak berhak dimabuki

lainnya palsu, lainnya tiada

nyamuk tak nyamuk

kalau tak mengabarkan allah

langit tak langit

kalau tak menandakan allah

debu tak debu

badai tak badai

kalau tak membuktikan allah

kembang tak mekar

api tak membakar

kalau tak allah

mabuklah aku mabuk allah

tak bisa lihat tak bisa dengar

cuma allah cuma allah

kalau matahari memancar

siapa sebenarnya yang menyinar

kalau malam legam

siapa hadir di kegelapan

kalau punggung ditikam

siapa merasa kesakitan

mabuklah aku mabuk allah

kalau jantung berdegup

siapa yang hidup

kalau menetes puisi

siapa yang abadi

allah semata

allah semata

lainnya dusta.


Gagasan John H. Yoder tentang gereja dalam masyarakaT


Tulisan ini hanya ingin memaparkan sedikit tentang gagasan dari J.H. Yoder dalam keterkaitannya dengan peran gereja di tengah-tengah masyarakat.

Banyak orang beranggapan bahwa Yesus tidak relevan dengan kondisi saat ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Yesus pada zamannya adalah sesuatu yang idealis. Singkatnya mereka ingin bilang kalo etika Yesus itu sungguh tidak relevan dengan keadaan masyarakat sekarang. Inilah yang membuat gelisah Yoder. Ia mencoba mempertanyakan bagaimana mungkin etika Yesus tidak relevan dengan keadaan kita sekarang ini? Benarkah demikian??

Pada dasarnya Yoder mengatakan bahwa apa yang selama ini diklaim orang sebagai yang tidak relevan, dari kacamatanya Yoder justru sangat relevan. Ia mendasarkan diri pada kajian hermeneutis Injil Lukas dan melihat bahwa tindakan Yesus pada zamannya adalah sebuah tindakan politis. Namun yang membedakannya dengan yang lain [seperti para penguasa Romawi dan agama] yaitu bahwa Yesus mengusung sebuah visi tentang ”kemanusiaan baru” dimana di dalamnya tidak ada lagi pembedaan antara mereka yang Yahudi dan Yunani [mungkin kalo di Indonesia antara suku yang satu dengan suku yang lain], penghargaan dan pembelaan terhadap mereka yang lemah dan tertindas dan diruntuhkannya strata-strata sosial yang sering kali menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat.

Agar visi tentang ”kemanusiaan baru” itu terlaksana, berdasarkan kajian Yoder, Yesus melakukannya bukan dengan ”kekerasan” seperti zelot atau ”menjauh dari dunia” yang memang tidak adil seperti esseni, tetapi dengan mengambil jalan alternatif lain. Ia menciptakan satu komunitas yang konsen terhadap mereka yang miskin, menghindari kekerasan, mau menyapa dan menolong mereka yang tertindas. Komunitas alternatif inilah yang ditampilkan Yesus di zamannya, yang kemudian membedakan mereka dengan komunitas lain di zamannya. Kalau sedikit menyinggung gagasan Hauerwes, Yoder pada dasarnya tidak mau menjauh dari dunia tetapi malah masuk ke dalam dunia. Kalo Hauerwes agak sektarian, menjaga kesucian dan kekudusan kelompok, maka Yoder justru sebaliknya, berbaur dan terjun ke dalam dunia.

Mengapa Komunitas baru? Karena menurut Yoder, agar terciptanya kemanusiaan baru diperlukan contoh dan teladan yang dapat dilihat oleh banyak orang. Dengan komunitas baru ini, diharapkan dapat memiliki implikasi politis terhadap komunitas lain. Efek politis inilah yang akan membuat masyarakat punya visi dan misi dan melaksanakan gagasan tentang ”kemanusiaan baru”.

Oleh karenanya, bagi Yoder, Gereja sangat penting karena melalui gereja sebagai sebuah komunitas yang mewarisi dan menghayati gagasan-gagasan ”kemanusiaan barunya” Yesus dapat dilaksanakan. Maka bagi Yoder, gereja merupakan ”agen perubahan” yang dapat ”menciptakan” kemanusiaan baru tersebut, bukan yang lain, bahkan bukan negara. Karena gereja sebagai bagian dari dunia, yang masih juga bisa jatuh ke dalam dosa, maka gereja memang tidak sempurna.

Tetapi, meskipun demikian, menurut Yoder, yang paling bisa melaksanakannya adalah gereja, meskipun tidak sempurna. Komunitas Yesus juga tidak sempurna. Di dalamnya terjadi persaiangan [mis. Siapa yang paling besar di antara ke-12 murid Yesus] bahkan pada akhirnya, salah seorang di antara mereka mengkhianati Yesus. Ketidaksempurnaan itu sesuatu yang wajar, karena kita masih tinggal dalam dunia yang penuh dengan dosa. Tetapi, pada saat yang sama, komunitas inilah yang diharapkan dapat menjadi agen perubahan untuk menciptakan ”kemanusiaan baru”.

Jadi tanggungjawab sosial gereja bukan hanya masalah duniawi saja tetapi juga adalah bagaimana menjadi agen perubahan di dalam masyarakat untuk menciptakan kemanusiaan baru tersebut, dengan menjadi teladan bagi masyarakat dimana kita berada. Jadi anggapan bahwa kita baru bisa melakukan perubahan dalam masyarakat dengan memiliki ”kuasa” di dalam pemerintahan atau jabatan2 lain di berbagai isntitusi adalah hal yang sangat tidak tepat. Hal ini pernah dilakukan oleh PGI dengan gagasannya menempatkan Jenderal kristen di jajaran kepengurusan agar visi dan misinya dapat terlaksana. Begitu pula dengan usaha mendirikan partai Kristen, menurut gagasan Yoder adalah sesuatu usaha yang menghabiskan energi. Kita bisa menjadi agen perubahan dalam masyarakat dengan menjadi teladan.

Kesimpulannya adalah visi dan misi tentang ”kemanusiaan baru” yang menghapus kesenjangan sosial, jauh dari tindakan kekerasan, penghargaan terhadap martabat manusia baik sebagai laki-laki maupun perempuan hanya dapat dilakukan jika gereja benar-benar menjadi sebuah komunitas alternatif yang memberikan teladan seperti itu dan mau masuk ke dalam dunia.

Bacaan Lebih lanjuT:
John Howard Yoder, The Politics of Jesus: Behold the Man! Our Victorious Lamb (Grand Rapids, Mich.: W.B. Eerdmans, 1994)

Senin, 05 April 2010

di balik salib: PergumuLan Yesus dan tindakan yang Ia lakukan


Dalam tradisi Kristiani, salib merupakan simbol penting karena ia merupakan simbol yang menyatakan keselamatan yang diberikan Allah kepada manusia. Salib, menjadi momentum bagi kesediaan Yesus untuk melaksanakan misi penyelamatan atas kengerian hukuman yang “semestinya” menjadi tanggungan bagi setiap manusia. Kengerian hukuman digantikan dengan kesediaan Allah menjadi bagian dari manusia berdosa. Kesediaan inilah yang membuktikan kasih dan sayang Allah kepada manusia ciptaanNya. Agus Cremers menuliskan bahwa “Bagi seorang Kristen, salib adalah pusat seluruh kesalehannya, sebab ia tahu bahwa salib menjadi tempat peralihan dari kegelapan maut ke dalam terang hidup abadi” [Cremers: p.10]


Dr. Harun Hadiwijono mengatakan bahwa “Sejak manusia pertama (Adam) jatuh ke dalam dosa, seperti dikisahkan pada kitab Kejadian dari Alkitab Perjanjian Lama, “maka pintu gerbang dunia terbuka bagi masuknya dosa ke dalam dunia” [Harun: p. 238] Artinya, sejak Adam jatuh ke dalam dosa maka dosa memasuki dunia dan menguasai seluruh umat manusia, sehingga seluruh umat manusia dianggap sebagai orang berdosa di hadapan Allah. [ibid: p.239] Namun dengan kerelaan Yesus untuk menjadi korban penebusan bagi umatNya, narasi tentang kehidupan manusia yang berdosa, yang akan mendapatkan hukuman, dibebaskan.


Manusia, mendapatkan keselamatan dan terbebaskan dari kengerian hukuman, karena Yesus sebagai utusan Allah, telah melaksanakan misi BapaNya dengan mati di atas kayu salib. Jurgan Moltmann mengatakan bahwa “Peristiwa salib merupakan peristiwa di mana Allah sendiri menderita dan solider kepada manusia. Maka peristiwa salib menjadi pembelaan terhadap segala tuduhan tentang Allah berhadapan dengan keburukan dan penderitaan, karena kini Ia sendiri turut menderita [Kleden: p.299]


Salib memang menjadi sesuatu yang sentral dalam kepercayaan orang Kristen. Cremers mengatakan:

Tanpa melebih-lebihkan, kita boleh katakan bahwa salib itu merupakan tanda inti, fakta asli, sumber dan intipati cakrawala kepercayaan Kristiani. Seorang Kristen “berdiri di bawah salib”. Baginya, percaya berarti mengenal Allah yang ikut disalibkan di dalam diri Yesus yang tersalibkan itu. Hal itulah merupakan titik pangkal, dasar dan sumber kepercayaan Kristen, dan tidak ada dasar lain. Agama Kristen adalah “agama salib”, dan teologinya adalah “theologia crucis” [Cremers: p.8]


Maka tidaklah heran apabila salib telah menjadi ciri khas orang Kristen. Hampir setiap rumah seorang Kristen akan kita temui salib, seorang remaja dengan anting dan kalung salibnya dan bahkan seorang dengan tato salib yang ada di lengannya. Sekalipun bisa dimaknai berbeda oleh setiap orang yang menggunakannya, namun harus diakui bahwa salib merujuk kepada agama Kristen dimana Yesus adalah pusatnya.


Namun kita seringkali lupa bahwa kesediaan Yesus untuk menjadi penyelamat dengan mengorbankan diri di Kayu Salib, dilatarbelakangi oleh pergumulan yang sangat hebat. Schlink mengatakan “dukacita yang tak terucapkan memenuhi Tuhan kita Yesus pada malam itu di Taman Getsemani. Ia sudah mulai merasakan ancaman ketakutan dan pencobaan yang mendekati Dia dari segala jurusan” [Schlink: p.10] Lebih lanjut Schlink mengatakan “kengerian dan rasa takut yang hebat meliputi diri-Nya dan Ia mulai Gemetar” [ibid] Tentu saja Schlink mencoba menggambarkan apa yang terjadi dengan diri Yesus malam itu. Schlink ingin menunjukkan bahwa pengalaman Yesus yang akan berhadapan dengan kayu salib adalah pengalaman yang tidak mudah. Ia harus bergumul apakah Ia akan menuruti kehendakNya ataukah Ia akan melakukan kehendak BapaNya.


Pergumulan Yesus di taman Getsemani seharusnya menjadi perhatian penting kita. Karena pergumulanNya di taman inilah Ia memutuskan apakah akan menerima salib atau tidak. Apakah Ia bersedia untuk menuntaskan tugas penyelamatan manusia atau tidak. Artinya salib itu tidak otomatis terjadi begitu saja. Salib ada lewat pergumulan seorang manusia yang bisa merasakan kengerian hukuman yang Ia tanggung-apalagi hukuman atas dosa yang tidak Ia lakukan. Schlink menggambarkannya demikian: “Betapa mengerikan bagi Yesus untuk melihat kekejian semua dosa serta beban dan hukuman yang diakibatkannya, dari kejatuhan manusia hingga hari kiamat-dan mengecap semuanya pada saat itu” [ibid: p.14]


Pergumulan Yesus yang teramat berat ini dapat kita lihat dimana Ia melakukan tiga kali pergumulan (doa) di taman Getsemani. Tidak cukup hanya sekali Ia membawakan pergumulanNya dalam doa, melainkan ada tiga kali. Hal ini menandakan bahwa apa yang memang disampaikan oleh Yesus adalah sesuatu yang teramat berat untuk ditanggung, sehingga Ia membawaNya dalam pergumulan dengan BapaNya [Memang, ada sedikit perbedaaan dengan Lukas yang tidak menyebutkan Taman Getsemani, namun secara garis besar, para penulis ingin menginformasikan bagaimana Yesus berhadapan dengan pergumulan yang sungguh amat berat, namun dengan titik tekan yang berbeda]


Kita memusatkan perhatian kepada Yesus tidak hanya karena pengakuan iman kita bahwa Ia adalah “Tuhan” tetapi karena Ia, dalam kesempurnaannya juga adalah sebagai “teladan” kita yang sejati. Apa yang dialami oleh Yesus menunjukkan bagi kita bahwa pergumulan adalah hal yang setiap orang akan alami. Setiap dari kita, kalo merasa masih manusia dan sadar bahwa ia adalah manusia, maka pergumulan semestinya bukanlah hal yang harus kita jauhi dan mengutuknya untuk menjauh. Sebagaimana yang Yesus lakukan, kita mesti membawanya dalam doa, dalam pergumulan dengan Tuhan. Tentu sebagaimana yang Yesus lakukan pun, kita menyerahkan pergumulan kita bukan agar kehendak kita dituruti tetapi agar kehendak Dia saja yang terjadi dalam diri kita. Bukan meminta agar setiap pergumulan kita menjauh dari kita tetapi agar kita diberi kekuatan untuk menjalaninya [ingat, pada saat Yesus berdoa, seorang malaikan Turun ke atasnya dan memberikan dia kekuatan].


Rujukan bacaan:

Cremers, Agus, Salib dalam seni rupa Kristiani (Maumere: LPBAJ, 2002)

Hadiwijono, Dr. Harun, Iman Kristen, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1999)

Kleden, Paul Budi, Membongkar Derita (Maumere: LPBAJ, 2006)

Schlink, Basilea, Dari Getsemani ke Golgota (Malang: Gandum Mas, 1983)

Kesetiaan Menghayati Peran


Dalam sebuah percakapan di telpon dengan teman peziarahan saya, entah bagaimana, kami membicarakan tentang “peran” yang sedang kami jalani. Awalnya saya sedang melihat peran yang sedang dia jalani selama ini. Dari sana saya kemudian menyatakan bahwa selama ini begitu banyak peran yang telah dan sedang ia jalanin. Lalu dia mengajak saya untuk menghitung satu-persatu peran yang telah dan sedang ia lakonkan mulai dari: anak, mahasiswa, pacar, sahabat, konselor, sampai kepada peran sutradara yang sedang ia lakonkan waktu itu [sutradara dalam sebuah pementasan drama tour paskah]. Saya menghitung waktu itu peran yang telah dan sedang ia jalani ada sebanyak 20 peran. “wah, banyak juga” komentar saya. Lalu dia mencoba menghitung peran yang telah dan sedang saya perankan dan waktu itu ada sebanyak 7 peran saja. “dikit banget ya..parah...hahah” kataku dalam hati.

Lalu saya bilang bahwa itu adalah berkat dan talenta yang Tuhan berikan. “lho, kok talenta” tanyanya. “ya, karena tidak semua orang mau memberikan telinga dan hatinya, justru ketika kamu sudah merasa lelah dan capek dengan banyaknya kegiatanmu. Engkau masih menyempatkan diri untuk menjadi sabahat bagi mereka” kataku kepadanya menjelaskan. “engkaupun sangat maksimal dengan peran sutradaramu selama ini, meskipun kamu harus mengalami capek yang teramat berat dan sangat melelahkan, membagi waktu dengan kegiatan lain di luar itu” lanjutku menjelaskan.

Peran. Hm, berapa banyak peran yang telah dan sedang kita jalani?? Mungkin ada yang 1, 2, 10 atau malah lebih dari itu. Kita kadang menjadi seorang sahabat buat orang lain dan pada saat yang lain kita menjadi kakak bagi adek-adek kita. Kita menjadi konselor yang mencoba mendengar pergumulan teman lain dan pada saat lain kita memainkan peran kita sebagai mahasiswa. Lalu, apakah kualitas kehidupan kita ditentukan oleh banyaknya peran yang sedang kita jalani? Menurut saya tidak. Tentu dalam mengarungi hidup ini kita punya peran-peran yang kadang orang lain tidak memilikinya. Mungkin teman kita jauh lebih banyak memainkan peran. Tetapi mungkin saja tidak.

Menurut saya, yang jauh lebih penting adalah seberapa jauh kita menghayati peran kita tersebut. Menghayatinya dengan penuh rasa tanggungjawab dan melakukannya dengan maksimal. Memainkan peran dengan sungguh-sungguh, entah apapun itu, adalah hal yang menurut saya jauh lebih penting. Sebagai seorang sahabat, jadilah sahabat yang baik dan bertanggungjawab, sebagai seorang pacar, jadilah pacar yang bertanggungjawab dengan bertindak jujur dan mengasihi, sebagai seorang anak, jadilah anak yang bertanggungjawab sebagai seorang anak yang menghargai orang tua, sebagai seorang konselor, jadilah seorang konselor yang bertanggungjawab dengan memberikan telinga dan hati anda untuk mendengar pergumulan orang lain.

Menghayati peran dengan sungguh-sungguh adalah sebuah bentuk “kesetiaan” terhadap berkat dan talenta yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Maksud saya begini, dalam diri kita ada banyak potensi yang mesti kita berdayakan dan kembangkan [ingat perumpamaan tentang talenta]. Tentu adalah pilihan bagi kita untuk mengembangkannya atau tidak. Terserah. Tetapi dalam perumpaan tentang talenta, kita diajak oleh si pemberi agar memberdayakan dan mengembangkan talenta tersebut. Dalam diri kita ada banyak talenta termasuk dengan peran-peran yang sedang kita jalani.

Kita mungkin menganggap bahwa yang namanya talenta adalah ketika kita punya keahlian di bidang2 tertentu. Itu menurut saya ndak salah. Tetapi bagi saya, peran sebagai seorang anak, sahabat, pacar, dan apapun yang sedang kita perankan adalah talenta-talenta yang perlu kita kembangkan dengan baik. Tentu dengan setia menghayati peran-peran tersebut, bertanggungjawab dan dengan memaksimalkan melakukan peran-peran tersebut.

Apapun peran kita, entah berapa pun peran yang sedang kita jalani, lakukanlah itu dengan setia, tentu dengan cara bertanggungjawab dan maksimal atas peran-peran tersebut.


Minggu, 04 April 2010

Paskah: mengubah diri sendiri


Dalam sebuah khotbah Paskah beberapa tahun yang lalu seorang pendeta dengan suara yang lantang dan keras dan dengan perasaan bangga [kelihatan dari bahasa tubuhnya] ia mengatakan bahwa kita harus mengubah dunia karena Yesus sudah mengubah dunia dengan kematian dan kebangkitannya. Lalu ia mengajak mereka yang mendengarnya [ya, waktu itu kelihatannya ada juga orang yang ndak mau dengar khotbahnya karena sibuk dengan dirinya sendiri dan teman sebelahnya alias ngerumpi…jdi bagi para pendeta, suara anda yang keras ndak menjamin orang mendengar anda..heheh], agar kita juga mau mengubah dunia. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tugas untuk mengubah dunia adalah sebuah kewajiban karena jika kita tidak mengubah dunia kita telah menyia-nyiakan pengorbanan Yesus.


Saya tidak tahu apakah benar apa yang dikatakan pendeta tersebut. Yang jelas, timbul pertanyaan dalam hati saya apakah benar bahwa kita diajak oleh Yesus untuk mengubah dunia. ”wah, dunia ini besar lho, mas” sahut temanku. ”jadi pepatah yang mengatakan bahwa dunia ini tak selebar daun kelor ada benarnya. Lha kalo cuman selebar daun kelor, tanpa disuruh juga aku mau mengubah dunia. Tetapi kenyataannya...seluas samudra, sedalam lautan, setinggi gunung, dan .....”. Lanjutnya. ”dan apa?”. ”dan seterusnya mas. hahahah” Pertanyaan lain yang muncul dalam hati saya adalah apakah benar itu sebuah kewajiban? Apakah benar pengorbanan Yesus akan sia-sia jika saya tidak mengubah dunia. Hm...lalu saya berpikir dalam hati bagaimana caranya saya mengubah dunia? ”pendetanya jelasin ndak caranya mengubah dunia” tanya temanku. ”maksudmu?”ya, dia ndak jelasin poh langkah-langkah mengubah dunia...ya kayak manual guide gitu lah” lanjutnya. ”ndak e, dia cuman teriak dan teriak agar kita mengubah dunia” jawabku. ”walah, itu pendeta mbok ya jelasin detail..lha kalo gini kan aku juga yang pusing” katanya. ”lha, lho kok kamu yang pusing?” tanyaku ke dia penuh keheranan. ”ya, iyalah, kalo lo pusing kan aku juga yang susah harus berdialog dengan orang pusing kayak kamu...hahahah”


Sikap pendeta itu sebenarnya mewakili banyak hamba Tuhan dan jemaat dalam menanggapi pengorbanan Yesus. Mereka merasa harus mengubah dunia yang gede dan besar ini. Salah? Ndak sih. Salah sih ndak, tetapi justru itulah yang menurut saya akhirnya kita ndak pernah mau bersedia untuk mengubah dunia itu sendiri. Karena kita berpikir bahwa kalau mau menanggapi kematian dan kebangkitanNya, kita mesti harus mengubah dunia ini, melakukan hal-hal besar..pokoke proyek-proyek besar, penginjilan masal, pembabtisan masal....akhirnya ada dua sikap yang muncul: yang pertama, militan ekstrim karena ”merasa wajib” untuk mengubah dunia, ia lalu memandang negatif semua orang dan dunia sebagai sarang dosa dan kafir yang harus ditobatkan. Yang kedua, pesimis. Wah, kalau dunia sebesar gini, gmana mau mengubah dunia. Mustahil. Mendingan tidur saja, kan lebih enak dan nyaman.


Ada ilustrasi yang menarik dari de Mello. Ilustrasinya berjudul ” Mengubah dunia dengan mengubah diriku”.

Sufi Bayazid bercerita tentang dirinya seperti berikut ini: 'Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan aku selalu berdoa: Tuhan, berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia!'

'Ketika aku sudah separuh baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah doaku menjadi: 'Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku: keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas.'

'Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat kematianku sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Doaku satu-satunya sekarang adalah: 'Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri.' Seandainya sejak semula aku berdoa begitu, maka aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku!'

Setiap orang berpikir mau mengubah umat manusia. Hampir tak seorang pun berpikir bagaimana mengubah dirinya.

Lebih baik bukan apa yang dikatakan de Mello. Mulailah mengubah diri anda sendiri. Kalau setiap orang mau menanggapi kematian dan kebangkitan Yesus dengan mengubah dirinya sendiri terlebih dahulu, bukankah itu akan menjadikan dunia yang katanya penuh dosa ini menjadi lebih baik. Bisa aja berpikir mau mengubah dunia..tetapi mulailah dari diri anda. “ya, makanya jangan tidur terus mas” ejek temanku. Selamat paskah [lagi] dan selamat mengubah diri sendiri.

Paskah, Nietzsche dan Kuasa: Moral budak sebagai pelanggengan ke”kuasa”an gereja?


Nietzsche yang terkenal dengan ungkapannya ”Tuhan sudah mati” [God is dead] melihat bahwa kelemahlembutan, kesabaran dan berbagai nilai yang ada dalam Agama Kristen merupakan racun yang sangat berbahaya, yang justru menghalangi manusia untuk dapat berkembang. Ia melihatnya sebagai kelemahan yang ditanamkan dalam diri manusia sehingga manusia mengekang dan menundukkan sifat alamiah yang ia miliki. Ia mengatakan bahwa moral ”budak” adalah moral yang terus-menerus ditanamkan ke dalam pemikiran orang beragama [baca: Kristen] sehingga hal ini menurutnya haruslah dilawan. Caranya adalah dengan cara menggantikannya dengan moral ”tuan”.

Moral Kristen telah mengasingkan manusia dari sifat dasariahnya yaitu kehendak untuk berkuasa sehingga manusia terasing dari dirinya sendiri. Moral Kristen mengasingkannya dengan penanaman moral budak tersebut. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang tunduk pada nilai-nilai yang semestinya tidak harus ia lakukan. Tetapi dengan legitimasi keagamaan, nilai tersebut dianggap sebagai sesuatu yang terbaik dan harus dilakukan meskipun dalam dirinya, ia mengingkarinya.

Setuju atau tidak tidak dengan Nietzsche, kita juga mesti harus jujur bahwa gereja sering kali terjebak dalam permainan yang diungkapkan oleh Nietzsche tersebut. Ketundukan dan ketaatan jemaat dimanfaatkan justru untuk menginternalisasikan dengan sengaja ”moral budak” sehingga mau tidak mau harus tunduk. Jemaat dibuat tidak kritis atas berbagai hukum moral yang ada dalam gereja, tanpa perlawanan hanya karena anggapan bahwa moral Kristen yang seperti itu adalah sesuatu yang dilegitimasi oleh gereja [dan Alkitab]. Rujukan-rujukan ayat yang tidak memperhatikan konteks dipakai untuk memberi penegasan terhadap hukum2 yang justru seringkali tidak menghargai manusia sebagai pribadi yang unik dan lagi, segambar dan serupa dengan Allah.

Mungkin kita perlu menjadikan gagasan Nietzsche tersebut sebagai otokritik bagi gereja sendiri agar terhindar dari memanfaatkan moral Kristiani sebagai kesempatan untuk justru melanggengkan kuasa untuk mendominasi. Artinya, ketika gereja mengajak jemaat untuk taat kepada nilai2 tersebut, semisalnya kelemahlembutan, kasih, gereja jangan sampai memanfaatkan itu sebagai pelanggengan terhadap dominasi ke”kuasa”an gereja.

Saya masih melihat bahwa moral Kristiani masih tetap diperlukan dan harus tetap dijaga dan saya menganggapnya bukanlah moral budak sebagaimana yang disampaikan oleh Nietzsche. Namun itu bisa menjadi moral budak ketika itu justru dipakai untuk tujuan-tujuan pelanggengan kuasa oleh pejabat-pejabat gereja atas kedudukan dan tindakan-tindaknya.

”lha apa hubungannya dengan paskah, bung?” apa hubungannya dengan kebangkitan Yesus?” tanya temanku. ”ndak ada..hahaha” Jawabku. ”hah...ndak ada. Lo asal nulis aja ye?!!”.adalah ya jeng” jawabku lebih lanjut. Saya hanya mau bilang gini..gerejalah yang sering kali justru menyalib Yesus kedua kali karena nilai-nilai yang ditebarkan oleh Yesus justru digunakan untuk tujuan-tujuan seperti yang saya sebutkan di atas. Paskah adalah momentum dan puncak bagi Yesus untuk menegaskan bahwa Dia membawa sebuah perubahan yang besar justru di saat orang mengagungkan kuasa, dia merendahkan diri dan memilih untuk tidak punya kuasa [lebih tepatnya sih melepaskan kuasa], di saat orang membanggakan keagamannya justru Yesus dengan rendah hati melarang muridnya untuk memberitahukan apa-apa tentang Dia, di saat orang mengandalkan kekerasan sebagai jalan mendapatkan tujuan, Yesus justru memilih jalan damai dan kasih. Nilai inilah yang mesti kita pertahankan, bukan dengan menjadikannya sebagai moral budak, tetapi karena itulah nilai yang seharusnya hidup dan kita hidupi dalam dunia ini.

Dengan kematian dan kebangkitan Yesus, Yesus menunjukkan kepada kita bahwa kuasa yang Ia bawa tidaklah seperti yang dijalani selama ini oleh dunia. Ia justru memutarbalikkan nilai-nilai moral pada zamannya sebagai sesuatu yang salah. Tetapi, kebangkitan itu menandakan bahwa Ia justru jauh lebih berkuasa dari mereka. Maka, itu juga berarti bahwa nilai-nilai Kristiani yang kita yakini benar harus tetap kita pertahankan, bukan untuk memanipulasi dan melegitimasi kekuasaan kita, tetapi karena nilai itu yang mesti kita jadikan sebagai nilai moral kita. Semoga dengan kebangkitanNya, kita selalu punya harapan bahwa kritik Nietzsche bahwa ”Tuhan telah mati” ternyata ”sudah bangkit”, karena memang itulah jalan Kristiani sejati. Dan gerejalah sebagai karya paling nyata yang seharusnya menghidupi itu, agar jangan lagi ada orang seperti Nietzsche yang mengatakan bahwa ”Tuhan sudah mati”. Selamat Paskah!!

Sabtu, 03 April 2010

Renungan WakTu


Suatu hari, seorang ahli “manajemen waktu” berbicara di depan sekelompok mahasiswa bisnis, dan ia memakai ilustrasi yang tidak akan dengan mudah dilupakan mahasiswanya. Ketika dia berdiri dihadapan mahasiswanya dia berkata” baiklah sekarang waktunya kuis.” Kemudian dia mengeluarkan toples berukuran satu galon yang bermulut cukup lebar, dan meletakknya di atas meja. Lalu ia juga mengeluarkan sekitar selusin batu berukuran segenggam tangan dan meletakkan dengan hati-hati batu-batu itu ke dalam toples. Ketika batu itu memenuhi toples sampai ke ujung atas dan tidak ada batu lagi yang muat untuk masuk ke dalamnya, dia bertanya:”Apakah toples ini sudah penuh?”

Semua siswanya serentak menjawab “sudah”. Kemudian dia berkata “benarkah?” Dia lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil. Lalu dia memasukkan kerikil-kerikil itu ke dalam toples sambil sedikit mengguncang-guncangkannya, sehingga kerikil itu mendapat tempat di antara celah-celah batu-batu itu. Lalu ia bertanya kepada siswanya lagi, “Apakah toples ini sudah penuh?” Kali ini para siswanya hanya tertegun, “mungkin belum”, salah satu dari siswanya menjawab. ”bagus!” jawabnya, kembali dia meraih dari bawah meja dan mengeluarkan sekeranjang pasir. Dia mulai memasukkan pasir itu ke dalam toples, dan pasir itu dengan mudah langsung memenuhi ruang-ruang kosong di antara kerikil dan bebatuan. Sekali lagi dia bertanya, “apakah toples ini sudah penuh?” “belum”, serentak para siswanya menjawab. Sekali lagi dia berkata ”bagus!”

Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai menyiramkan air ke dalam toples, sampai toples itu terisi penuh hingga ke ujung atas. Lalu si ahli manajemen waktu itu memandang ke arah siswanya dan bertanya, ”apakah maksud dari ilustrasi ini?” seorang siswanya yang antusias langsung menjawab, ”maksudnya, betapapun penuhnya jadwalmu, jika kamu berusaha, kamu masih dapat menyisipkan jadwal lain ke dalamnya.” ”Bukan”, jawab si ahli, ”bukan itu maksudnya.”

Sebenarnya ilustrasi ini mengajarkan kita bahwa kalo kamu tidak meletakkan batu besar itu sebagai yang pertama, kamu tidak akan pernah bisa memasukkannya ke dalam toples sama sekali. Apakah batu-batu besar dalam hidupmu? Mungkin anak-anakmu, suami/istri, orang-orang yang kamu sayangi, persahabatanmu, pendidikanmu, mimpi-mimpimu. Hal-hal yang kamu anggap paling berharga dalam hidupmu, hobimu, waktu untuk dirimu sendiri dan kesehatanmu. Ingatlah untuk selalu meletakkan batu-batu besar ini sebagai yang pertama, atau kamu tidak akan pernah punya waktu untuk melakukannya.

”Jika kamu mendahulukan hal-hal kecil (kerikil dan pasir) dalam waktumu maka kamu hanya memenuhi hidupmu dengan hal-hal kecil, kamu tidak akan punya waktu berharga yang kamu butuhkan untuk melakukan hal-hal besar dan penting (batu-batu besar) dalam hidupmu.”

[diambil dari berita GKMI, No. 421 Tahun XXXV Oktober 2002, p. 9]

Daud dan Goliat: Cerita kepahlawanan bergenre ke”keras”an


Siapa yang tidak kenal cerita mengharukan di atas..”hah, mengharukan. Kayak drama aja mas” nyahut temanku. “dimana harunya?” lanjutnya. “kamu tidak tahu po kalo cerita itu mengharukan? Masa anak kecil yang masih ingusan berhasil meng”kalah”an Goliat yang digambarkan sebagai seorang besar, tegar dan lagi, lengkap dengan senjata. Apa itu ndak mengharukan?” jelasku. “ya ndak lagi. Itu kayak “superman” aja kali. Itu ndak mengharukan kali, paling orang akan melihatnya sebagai tontonan heroik karena tindakan luar biasa yang bahkan tak terbayangkan secara rasio” katanya kepadaku dengan wajah serius. “tumben lo bisa serius” sahutku.

Cerita Daud dan Goliat adalah cerita yang sudah saya kenal sejak saya ditahbiskan sebagai anak SM [sekolah minggu]. Anak SM yang masih sangat belia, polos dan tak tahu banyak tentang apapun, mendadak diperkenalkan dengan cerita-cerita seperti itu: kisah kepahlawanan yang mau melawan musuh. Ya, kesadaran ini juga mendadak tahu ketika justru sudah gede gini. Dulu mana sadar, malah menikmati dengan wajah penuh antusias, membayangkan kalo suatu saat ada orang gede yang ndak saya suka, saya juga bisa melawan. Lha iya toh, Daud aja bisa, masa saya ndak bisa.

Cerita kepahlawanan yang berbau kekerasan seperti ini ternyata sudah ditanamkan sejak kita belia dan masih sangat polos. Ingat, kita tidak bisa memilih. Kita disajikan dengan cerita seperti itu. Maka, kita mendapatkan cerita-cerita yang begenre kekerasan mirip film laga atau horor. “ya mestinya film kartun ya mas, kayak spongebob dan doraemon” sahut temanku. Kenyataan ini menurut saya patut kita pertanyakan dan kritisi kembali karena bagaimanapun, cerita-cerita tersebut berefek pada kebiasan anak yang akan dengan sangat mudah meniru apa yang diceritakan. Belum lagi kalau cerita-cerita itu juga disertai gambar-gambar yang memang menunjukkan tindakan perlawanan dan kekerasan.

Saya masih ingat dengan baik bagaimana saya mendapatkan buku-buku cerita di waktu kecil yang sangat vulgar menampilkan adegan perkelahian tersebut. Disana digambarkan bagaimana Daud yang masih belia tersebut mengambil batu di tepi sungai dan kemudian melemparkannya memakai sebuah alat [saya ndak tahu namanya]. Sementara disisi musuh, ada Goliat yang bertubuh besar lengkap dengan senjata, perisai dan baju [mungkin anti batu kali ya..heheh]. Terjadilah perkelahian diantara mereka. Sangat detail penggambarannya hingga kita menghidupkan cerita bergambar tersebut dalam imajinasi kita dan mulai berpikir bahwa saya juga bisa melakukan hal yang sama.

Hal yang ingin saya katakan adalah jangan sampai cerita-cerita ini yang terus-menerus kita hidupi dalam diri anak. Ya, memang itu cerita ada dalam Alkitab. Tetapi kan masih ada cerita lain dalam Alkitab yang tidak hanya mengekspos kekerasan, perlawanan dan permusuhan seperti itu. Di Alkitab kan juga ada cerita-cerita persahabatan seperti cerita Daud dan Yonatan. Mengapa bukan ini?

Anak adalah generasi, tidak hanya gereja tetapi masyarakat secara keseluruhan. Jika kita telah menanamkan bahwa kita bisa mengalahkan musuh apalagi dengan memakai kekerasan dan senjata, mungkin kita akan mendapati generasi-generasi berwajah bengis dan mau menindas sesama. Tetapi jika sebaliknya kita mencoba menceritakan cerita-cerita persahabatan, maka mungkin kita akan mendapati anak-anak yang mau memilih menjadikan orang lain sebagai sahabat daripada sebagai musuh yang harus dilawan. Semoga!!

Jumat, 02 April 2010

Ibadah isine kok tayangan penuh ke"keras"an

Tentu anda tak harus setuju dengan saya soal ini. Saya muak ikut ibadah di sebuah gereja hari ini. Bagaimana tidak, bau ke”keras”an menghiasi jalannya ibadah termasuk ilustrasi pendetanya yang menayangkan sebuah video orang cacat yang ada di kursi roda tertabrak sebuah mobil.


Anda tentu masih ingat bagaimana Mel Gibson dengan filmnya "The Passion of Christ" terlalu ekstrim menggambarkan tindakan kekerasan terhadap Yesus. Anda boleh setuju dengan dia atau tidak. Tentu itu interpretasi dia terhadap kisah penderitan dan penyaliban Yesus. Dan film inilah yang menghiasi ibadah di gereja tersebut. Maaf, tetapi saya muak dengan tontonan seperti itu. Dalam hati, apa ndak ada gambar lain yang tidak menampilkan tindakan kekerasan seperti itu???


Yang mau saya katakan adalah betapa kita sudah terbiasa menyaksikan tayangan2 kekerasan bahkan kesenangan itu pun masuk ke dalam gereja. Benar bahwa ada tindakan kekerasan terhadap Yesus ya..tetapi tentu ada hal lain yang juga bisa ditonjolkan agar berimbang, misalnya bagaimana Yesus justru masih mau mengampuni manusia meskipun Ia sendiri tergantung kesakitan di atas kayu salib, atau bertalian dengan tindakan Maria yang penuh kasih dan dengan setia berada di bawah kayu salib dan ikut merasakan penderitaan anaknya.


Gereja harus betul2 menghayati makna paskah tentu dengan tidak hanya menampilkan efek kekerasannya saja. Sungguh..saya muak. Maaf!!

Tirai baiT Allah terbelah: sebuah dialog Paskah dadakan


Dalam sebuah dialog pada kuliah Teologi dan etika politik, Pdt. Paulus S. Widjaja Ph.D sebagai dosen pengampu mata kuliah menceritakan hal yang menarik bertalian dengan suasana penyaliban Yesus.

[dialog berikut hasil ciptaan saya sendiri yang artinya ndak persis seperti ini. Saya hanya mau menyampaikan inti dialog waktu itu]


“...saya mendapatkan gagasan ini dari C.S. Song. Apa yang menarik dari kisah penyaliban Yesus yang selama ini bahkan tidak pernah dikhotbahkan?” kata Pdt. Paulus.

“apa ya? Ya, mungkin 7 perkataan salib, pak” sahut salah seorang dari kami.

“apalagi?” tanya pdt. Paulus lebih lanjut.

“dialog dengan orang berdosa” teman di sebelah saya menjawab.”

“Perkataan seorang tentara yang mengatakan bahwa ‘sungguh Dialah anak Allah’”.

“ibu dan saudara-saudaranya yang berada di kakinya”.

“hm, apalagi, ayo” tanya pdt Paulus lebih lanjut.

“suasananya kali ya Pak. Gelap, kayak mau turun hujan...mungkin gerimis” jawab teman saya yang dari tadi diam. Mendengar jawabannya semua pada tertawa.

“iya, suasananya. Trus pada saat itu apa yang terjadi?”.

“terbelahnya bait Allah pak”. “hah, terbelahnya bait Allah....hmm, kamu belum pendeta. Ndak apa2” kata pdt Paulus. “ya sudah benar, tetapi yang terbelahnya apa?”.

“tirainya pak yang terbelah, bukan baitnya” seorang teman berusaha meluruskan.

“ya, tirai bait Allah terbelah” pdt Paulus menegaskan.

“nah, apa yang menarik dari terbelahnya tirai tersebut? Yang menarik adalah bahwa ditinjau dari sisi penafsiran dengan menggunakan pendekatan Historis Kristis, ternyata bahan yang digunakan sebagai tirai bait Allah, yang membatasi orang awam dan imam, yang terbelah pada saat penyaliban Yesus adalah terbuat dari kain Tenda” pdt Paulus menjelaskan.

“Kain tenda biasanya digunakan untuk apa? Untuk pengembara waktu itu. Fungsinya apa?”

“melindungi pak” jawab temanku.

“ya, apalagi?”

“supaya ndak kena hujan kali ya pak atau kalau tuh tenda dipakenya siang hari ya supaya ndak kena sinar matahari. Kan bisa dehindrasi” jawab temanku yang kadang ngelantur jawabannya.

“ya, fungsi kain tenda adalah sebagai tempat tinggal ketika kita sedang dalam pengembaraan, tempat yang nyaman bagi kita untuk berkumpul dengan keluarga atau teman-teman. Melindungi kita dari debu, dinginnya malam dan panasnya matahari. Jika tenda robek, apa artinya itu?” tanya pdt Paulus.

“ya, ndak nyaman lagi, pak.”

“ya, siapa yang di dalam tenda dan siapa yang diluar sudah tidak ada bedanya lagi. Sama. Kami dan mereka, kamu dan aku tidak lagi ada pembatasnya. Dengan robeknya tenda, itu berarti tidak ada lagi rasa nyaman, dan ndak ada lagi yang melindungi kita dari debu dan panas. Intinya pembatas hilang dan kita ndak merasa nyaman lagi untuk bernaung di bawah tenda”

“maka, peristiwa penyaliban terhadap Yesus adalah peristiwa bukan hanya saja bahwa kita bisa secara langsung menghadap Tuhan [vertikal, ruang imam dan awan tidak ada lagi] sebagaimana yang sering dikhotbahkan selama ini, tetapi juga secara horizontal, sosial, peritiwa penyaliban Yesus membawa makna bahwa semua kenyamanan yang ada selama ini dirobek. Sekat-sekat sosial yang selama ini ada dihancurkan".

"Kalau anda merasa lebih nyaman untuk hidup dengan yang satu suku dengan anda, maka sekarang anda hidup dengan suku lain. Etnis Batak dengan etnis jawa, etnis jawa dengan etnis Tionghoa. Tidak ada lagi sekat. Nyaman. Bisa ya bisa tidak. Mungkin ndak nyaman. Ya. Tetapi itulah yang diinginkan Yesus. Kenyamananmu yang selama ini kamu hidupi itulah yang membuat kamu tidak mau hidup dengan yang berbeda dengan kamu. Kenyamaman ini yang membuat kita curiga dengan orang lain sehingga enggan bersahabat dengan yang berbeda dengan kita. Dengan robeknya tirai tersebut, kenyamanan kita terganggu dan bahkan kita sekarang diajak berbagi dengan mereka yang berbeda dengan kita, entah etnis, budaya, bahkan agama.” Jelas pdt Paulus.

Maka makna Paskah juga bermakna sosial. Semua sekat yang selama ini menghalangi kita bergaul dan bersahabat dengan yang berbeda dengan kita dihancurkan oleh peristiwa penyaliban Yesus. Sekat-sekat sosial diruntuhkan, agar kita tidak lagi menjadikan etnis, budaya dan agama sebagai hal yang membatasi kita untuk hidup, bergaul dan bersahabat. Selama paskah!!