This chamber is an ordinary chamber. i use it to keep and share everything that happen in my journey of life...
Kamis, 25 November 2010
Minggu, 07 November 2010
The Church’s Witness to Peace
Ada beberapa hal yang saya kira penting untuk diperhatikan dalam seminar ini.
Di dalam Pendekatan sejarah yang digunakan oleh Robert Suderman menunjukkan bahwa kekristenan telah terdistorsi sebagai agama yang beringas dan barbar. Saling membunuh di antara kelompok-kelompok Kristen ’diaminkan’ hanya karena perbedaan aliran teologis. Sesat menyesatkan, campur aduk dengan kekuasaan menjadikan kekristenan sebagai 'monster' yang menakutkan dan mematikan. ’Kasihilah musuhmu’ tiba-tiba dikembalikan kepada ’bencilah musuhmu’. Dengan mengangkat surat Efesus 2:14-18, Suderman menunjukkan bahwa gereja seharusnya ’mempersatukan’, ’tidak ada tembok pemisah’, dan menciptakan damai sejahtera. Namun apakah tugas gereja ini sudah terlaksana? Suderman sebagai seorang barat mengaitkannya dengan perang dan kekerasan.
Namun, perlu dipikirkan apa tanggapan dari Prof. Banawiratma yang menyinggung konteks Indonesia yang justru kekerasannya bersifat struktural. Dengan menyadari ini, tugas gereja bukanlah semakin mudah tetapi semakin susah karena gereja akan berhadapan dengan kekuasaan dari negara. Dengan semakin banyaknya orang miskin dan diikuti dengan tindakan korupsi para pejabat, gereja mau tidak mau harus berupaya untuk menghadirkan syalom, justru dengan bersedia berhadapan dengan kekuasaan yang menindas tersebut. Tetapi Suderman mengatakan bahwa tugas gereja memang provokatif dan berbahaya.
Memang yang disampaikan oleh Suderman dan Prof. Bana menarik. Tetapi itu sangat terbalik dengan kenyataan. Berapa banyak sih gereja yang berteriak tentang bencana lumpur lapindo? Berapa banyak gereja yang berteriak tentang ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Papua? Semua diam!! Mengapa? Karena rasa aman itu menyenangkan. Daripada berhadapan dengan kekuasaan negara yang bisa saja mengancam keamanan gereja, gereja lebih memilih menghadirkan syalom khusus bagi dirinya sendiri. Namun apakah itu syalom? Bukankah syalom adalah untuk semua orang? Dengan kenyataan yang seperti ini, gereja sebenarnya ikut andil di dalam ’membunuh’ sesama manusia dengan diam atas tindakan tak berpihak terhadap rakyat. Damai sejahtera yang diawali oleh Suderman ternyata tak bersambut gayung dengan kenyataan masyarakat Indonesia yang semakin menderita. Kata ’damai’ yang terucap lebih dari 100 kali dalam PB saja ternyata belum bisa terwujud dalam masyarakat Indonesia. Sebagaimana dikatakan oleh Suderman, kita harus memikirkan dan merefleksikan ulang tentang tugas panggilan gereja dalam konteks Indonesia. Sudahkah gereja melakukannya???
Hal menarik lainnya dari paparan Suderman adalah ceritanya tentang rekonsiliasi diantara mereka yang selama ini berselisih paham. Dia menyebutkan Katolik-Menonite, Katolik-Lutheran, Lutheran-Menonite, dengan Para pemimpin Islam dunia. Mengapa menarik? Karena inilah yang merupakan perwujudan kerajaan Allah dan damai itu sendiri yang dibawa dan ada dalam diri Yesus. Ia mengembalikan mereka yang semula bermusuh dan saling terpisah. Tetapi tidak hanya sampai di situ, Yesus juga menciptakan satu komunitas baru dimana keterpisahan dan batas-batas sosial dihancurkan. Keberbedaan aliran teologis bukan alasan bagi kita untuk menganggap yang lain sebagai musuh yang harus dihancurkan tetapi justru sebagai sesama mitra Allah yang berusaha mewujudkan syalom di muka bumi. Dan inilah yang dikatakan oleh Suderman bahwa rekonsiliasi dan perdamaian merupakan jantung dari Injil. Desmond Tutu pernah mengatakan ’without forgiveness there is no future’. Dengan paparan Sudermann ini kita melihat sikap positif untuk bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik dengan terlebih dahulu masuk dalam proses saling mengampuni.
Martin Luther King Jr berkata”keadilan rasial yang dicapai dengan jalan kekerasan, sama sekali tidak berguna dan tidak bermoral. Kekerasan tidak ada gunanya karena hanya akan menciptakan kebencian yang dibawa turun-temurun yang pada akhirnya menghancurkan semua pihak”. Maka untuk memutus siklus kekerasan, perlu apa yang disampaikan oleh Suderman “jangan membunuh”. Berhentilah!! Jangan memperjuangkan keadilan dengan kekerasan. Dalam kaitan menciptakan ’damai’ dan berusaha membangun komunitas pantang kekerasan, di Indonesia saya kira alangkah lebih baiknya jika membangun kerjasama antar agama sebagai kekuatan civil society dengan bersama-sama berkomitmen untuk menciptakan perdamaian dan menghindari kekerasan. Akhir-akhir ini, perang terhadap terorisme yang dilancarkan oleh pemerintah Indonesia dan terakhir mendapat pujian dari PM Australia Julia Gillard tidak mendapat perhatian dari gereja-gereja di Indonesia dan komunitas-komunitas keagamaan. Mengapa seolah-olah tindakan bersenjata sampai mengerahkan kekuatan yang luar biasa tersebut justru membuat gereja tidak mengambil peran apa-apa? Takutkah berhadapan kekuasan.
Maka dari itu saya kira apa yang disampaikan oleh Suderman bahwa gereja-gereja harus punya visi seperti Yesus yang fokus pada penciptaan kedamaian dan pantang kekerasan. Suderman mengusulkan dengan istilah ‘ecclesial sphere’. Maka dari itu, gereja harus memprakarsai sebuah proklamasi perdamaian melalui tindakannya sendiri. Gereja harus menyadari bahwa inilah tugas dan tanggungjawabnya yaitu dengan menyaksikan Kristus lewat tindakan-tindakannya
Kita jangan lupa bahwa kita masih tinggal dalam dunia yang masih terjangkiti kejahatan. Maka gereja sebagai saksi terus akan bergumul dengan perang dan kekerasan yang selalu akan mengancam usaha perdamaian. Dengan dua dunia yang seperti ini, gereja sebagai yang melanjutkan visi Yesus harus mampu menunjukkan eksistensinya dan bukannya malah tenggelam dalam tindakan-tindakan kekerasan.
Penting juga memperhatikan apa yang disampaikan oleh Suderman yang mengatakan bahwa tindakan kekerasan sering sekali justru mendapatkan legitimasi dari Kitab Suci yang membenarkan tindakan mereka. Maka dari itu, Suderman mengatakan betapa pentingnya ‘hermeneutic suspicion’ terhadap teks-teks yang berbicara tentang perang dan kekerasan. Dengan heremeneutic suspicion, kita akan selalu ‘waspada’ terhadap teks-teks yang terkesan mendukung perang dan kekerasan.
sumber gambar: peacechurch.ning.com
Jumat, 05 November 2010
Budaya Perdamaian
Theodore J. Koontz mengatakan bahwa pacifisme Kristen adalah sebuah bentuk usaha dalam mencapai kemenangan hanya saja kemenangan tersebut mengikuti Yesus sendiri.Dalam sejarahnya kaum pacifis adalah orang-orang yang ‘aktif’ dalam menentang kebijakan-kebijakan yang merengut kemanusiaan manusia seperti perang, tindakan-tindakan pengekangan dan otoriterisme, penjajahan dsb. Hal ini merujuk pada sikap Yesus sendiri yang adalah seorang pacifis.
Bahkan sebagaimana juga disinggung oleh Theodore J. Koontz, kemenangan Yesus di atas kayu salib adalah bukti bahwa Yesus menang atas kekuasaan. Kekuasaan yang digunakan sebagai alat represif telah dibungkam oleh Yesus yang justru tanpa perlawanan menelanjangi kekuatan dan kekuasaan yang dilakukan atasNya.Kekuasan yang disebutnya didasarkan atas ketakutan untuk lepas dari kekuasaan itu sendiri telah menyebabkan rapuhnya sebuah pemerintahan. Ketidakmampuan mengatasi ketakutan telah melahirkan kepura-puraan dan pertahanan diri dan kekuasaan yang naif. Dalam hal inilah Koontz mencoba menunjukkan bahwa sejarah telah didominasi orang-orang yang punya mentalitas yang bertolak belakang dengan sikap pacifis Yesus sendiri, dengan asumsi-asumsi bahwa kadang-kadang perang diperlukan untuk untuk melindungi dan menyerahkan tindakan tersebut kepada negara dan penguasa untuk melakukannya yang memang punya kekuatan dan paksaan.
Dalam mengembalikan tradisi pacifis yang sudah ternoda oleh kegetiran dan ego manusia yang ditunjukkan lewat perang dan kekerasan tersebut, Koontz mengajak kita untuk kembali pada ruh pacifis itu sendiri. Disini dia menyebutkan bahwa kita harus terhindar dari berbagai macam ‘ketakutan-ketakutan’ yang sudah mencengkrama kita karena menurutnya perang adalah bentuk ekspresi dari ketakutan yang sudah mendominasi kita. Dalam hal ini dia mengikuti apa yang dikatakan Henri Nouwen yang mengatakan bahwa ‘cinta lebih kuat daripada rasa takut’. Kasih dari Allahlah yang mengusir ketakutan dari dalam diri kita. Mencintai dan berdoa bagi musuh adalah bagian dari sikap Yesus yang perlu dihidupkan. Karena Injil sendiri mengajak kita untuk mencintai, mengampuni dan bahkan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita. Dari ini kemudian Koontz menceritakan sebuah cerita yang amat terkenal di dalam tradisi Menonite, seorang yang bernama Dirk Willems. Willems adalah seorang yang mau menunjukkan cintanya terhadap tentara yang mengejar dan ingin menangkapnya tetapi mau tenggelam dalam lapisan es. Willems tidak membiarkannya tenggelam bahkan mengulurkan tangannya untuk mengangkat tentara itu. Meskipun akhirnya Willems dijebloskan kembali ke dalam penjara dan dihukum mati. Ia tahu resiko dari cinta yang ia tunjukkan kepada tentara itu, tetapi Willems tetap memilih untuk mencintai.
Namun Koontz mencoba menunjukkan kepada kita pula betapa Niat baik selalu mendustakan niat tersebut. Niat untuk mencintai dipakai untuk melegalkan perang dengan alasan-alasan tertentu. Seperti untuk menghindari jatuhnya korban, untuk menciptakan perdamaian. Bagaimana kita mau mencintai dengan membunuh. Hal ini nampak misalnya dalam ‘perang terhadap terorisme’ yang diusung oleh Bush. Bagaimana mungkin memerangi terorisme dengan teror itu sendiri. Dalam hal inilah Koontz menurut saya berbeda pendapat dengan Agustinus, dengan justru memberi penekanan kepada tindakan nyata mencari yang terbaik untuk mencintai dan tidak semata-mata didasarkan atas motivasi dan perasaan saja. Tidakkah ini penuh dengan kebohongan? Koontz mengutip Surat Yakobus 2:17 yang mengatakan bahwa ‘Jika iman tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati’. Inilah yang saya kira menjadi poin penting bagi gereja untuk membangun budaya perdamaian. Kualitas iman kita dibuktikan dan nampak dalam tindakan kita sendiri. Karena dengan demikian, kata Koontz kita menyaksikan dan mengkomunikasikan kasih Allah. Artinya, gereja akan mampu menciptakan budaya perdamaian jika gereja sendiri membudayakan iman yang dibuktikan dalam tindakan nyata.
Gereja pada awal kelahirannya memang sudah penuh dengan resiko. Yesus yang adalah tokoh sentral dalam gereja menerima resiko dari sikap mencintai yang ia tunjukkan. Begitu pula dengan martir-martir yang harus menanggung resiko kematian ketika mereka menunjukkan iman mereka untuk mencintai. Mencintai adalah memeluk resiko dan bukan dengan takut kepadanya. Mencintai memampukan kita menciptakan budaya perdamaian. Dan itu mesti ditunjukkan dari kualitas tindakan yang ia lakukan. Dalam dunia yang merasa bahwa perang dan kekerasan akan menyelesaikan masalah dan menciptakan perdamaian, entah itu dengan motif yang baik sekalipun telah menjebak kita masuk dalam siklus perang dan kekerasan yang tidak pernah putus. Pada kenyataannya juga tidak ada teori perang yang telah berhasil menciptakan perdamaian di dunia ini.
Pacifis Kristen haruslah menjadi bagian dari kehidupan gereja itu sendiri. Seringkali menurut Koontz prinsip ini dihadapkan dengan kasus-kasus ekstrim tetapi pada situasi normal, orang sering kali melupakannya. Artinya, sikap pacifis adalah sikap yang menurut saya proaktif dalam menciptakan perdamaian itu sendiri. Ia mulai dari hal-hal yang kecil, dari dalam keluarga, dari sebuah komunitas masyarakat termasuk dalam gereja. Inilah termasuk tantangan yang sering sekali dihadapi oleh mereka yang bersikap pacifis. Padahal tujuan dari pada pacifis itu sendiri adalah bagaimana kita menghidupi diri dan komunitas kita dengan gaya hidup yang berpihak pada yang namanya damai dan nir kekerasan. Pacifis tidak menunggu perang untuk berpihak pada nir kekerasan. Makanya Koontz mengatakan mengapa kita justru tidak berfokus pada diplomasi? Mengapa kita tidak mengarahkan pikiran dan tenaga kita untuk membangun dan memelihara? Mengapa kita tidak menghabiskan uang untuk mendukung PBB membangun perdamaian? Mengapa justru kita menghabiskan uang begitu banyak untuk persenjataan hanya demi pertahan diri sendiri? Hanya dengan meninggalkan ‘rumah ketakutan’ dimana ada kecurigaan, kebencian dan perang dan melangkahkan kaki ke ‘rumah cinta’ dimana ada rekonsiliasi, penyebuhan dan perdamaian, kita bisa hidup.
Gereja, menurut saya harus mampu mengembalikan identitasnya sebagai ‘pembawa damai’ dan membudayakan damai itu sendiri dalam komunitasnya secara konstan dan terus-menerus bahkan ketika harus menghadapi resiko bertalian dengan keamanan diri sendiri. Gereja adalah komunitas yang tidak berfokus pada pertahanan dirinya sendiri tetapi melestarikan kehidupan itu sendiri termasuk di luar dirinya. Gereja sejatinya adalah ‘komunitas pacifis’ yang mengarahkan segenap hati dan pikirannya untuk membangun dan menciptakan perdamaian. Karena kita tidak diciptakan untuk saling perang, saling membunuh dan saling meniadakan, tetapi dengan berpusat pada ajaran Yesus kita diajak untuk hidup dalam masyarakat yang bebas dari rasa takut dan hidup dalam cinta. Kita bisa menyebut Matin Luther King, Thomas Merton dsb adalah orang-orang yang tidak menyimpan Firman Tuhan itu sendiri dalam batas-batas aman dan pribadi saja. Gereja juga seyogiyanya tidak menyimpan Firman itu sendiri pada dirinya sendiri.
Sumber gambar: peacechurch.ning.com
Jumat, 22 Oktober 2010
Teologi berhadapan dengan bencana alam
Banyak hal yang dipikirkan ketika bencana alam terjadi. Entah mempertanyakan apakah ini disebabkan oleh karena dosa ataukah karena Tuhan memang menginginkan ini terjadi. Adeney misalnya mengatakan ‘Bahkan ada pandangan yang beranggapan bahwa bencana alam terkait dengan kondisi sosial-politik masyarakat, tanda bahwa Tuhan tidak senang dengan masyarakat pada umumnya’. Pandangan yang demikianlah yang saya kira menyebabkan banyak orang menerima setiap apapun bentuk penderitaan dan bencana alam di muka bumi ini. Sekalipun banyak fakta yang berdasar pada sains bahwa gempa misalnya berhubungan dengan adanya pergerakan tertentu di bawah bumi, banyak orang tetap meletakkan pandangan itu dalam kerangka ‘kehendak Tuhan’. Pemahaman yang seperti ini pulalah yang menyebabkan pandangan ‘menyalahkan’ atau mengkambinghitamkan korban dan [bahkan] Tuhan sendiri. Adeney mengatakan ‘entah menyalahkan Tuhan (blaming God) atau menyalahkan korban (blaming the victims).’ Dalam hal inipulalah John Campbell-Nelson dalam penelitian di Alor menyinggung soal mitologis yang berkembang.
Tetapi bagi saya sendiri pemahaman ini yang juga dikenal oleh banyak orang sebagai ‘teologi hukuman’ ala teolog ‘deuteronomis’ adalah sebuah pemahaman yang keliru. Karena pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah korban layak dihukum? Apakah para korban benar-benar berdosa? Dan buktinya, banyak orang yang justru jelas-jelas berdosa [seperti pembunuh dan koruptor] toh tak mengalami hal sebagaimana yang dialami oleh mereka yang terkena bencana alam yang juga di dalamnya ada anak-anak yang tak tahu apa-apa. Ini pula yang membawa Gerrit Singgih memperkenalkan ‘teologi salib’. Teologi salib bukanlah teologi pasrah, tetapi sebuah teologi yang mengajak orang memikul salibnya dalam rangka ‘kebangkitan’. Jadi ini bukan sebuah teologi yang begitu saja menerima, pasrah secara pasif, tetapi justru sebuah usaha di dalam mengatasi penderitaan, justru dengan memaknai penderitaan itu terlebih dahulu.
Dalam keterkaitan itulah, gereja menurut saya perlu membangun sebuah teologi yang lebih memihak korban sekaligus tidak mengkambinghitamkan Tuhan. Gereja harus menyadari bahwa dunia akan terus berada dalam bencana dan penderitaan yang silih berganti. Kesadaran ini pulalah yang menurut saya mengharuskan gereja sebagai agen kongkrit Allah di dunia untuk memberi makna terhadap penderitaan itu sendiri, mengatasinya, dan melanjutkan hidup. Karena Allah dalam diri Yesus telah mengatasi penderitaan dengan kebangkitanNya.
sumber gambar: kumpulnet.com
Jumat, 15 Oktober 2010
Sedikit tentang 'The Six Ways of Being Religious' karya Dale Cannon
Ways of sacred rite berfungsi sebagai sebuah tata cara bagi kegiatan-kegiatan agama yang penuh dengan simbol dan semuanya itu merujuk dan berinteraksi dengan ‘realitas mutlak’. Sistem simbol ini mengarahkan manusia kepada realitas mutlak. Jadi ritual tersebut tidak bermakna apa-apa jika tak dihubungkan dengan realitas mutlak. Hal ini misalnya dapat kita temukan pada pelaksanaan ritus gereja oleh kebanyakan pendeta atau pastor, memakai simbol-simbol kristen tertentu atau dalam islam dengan sholatnya.
Ways of right action merujuk kepada penekanan yang bersifat horizontal yaitu kepada sesama. Disini penekananannya adalah bagaimana kita hidup dengan sesama kita dan Tuhan. Jadi bagaimana kita menghidupkan segala macam ritual tersebut dalam kehidupan ‘real’ kita sendiri. Jadi penekanannya kepada perilaku sebagai orang yang bergama.
Ways of devotion merujuk kepada bagaimana sikap kita untuk dengan ketaatan dan hati yg tulus untuk memuji Tuhan. Jadi, ada sebuah sikap dari pemeluk agama yang begitu besar untuk taat kepada realitas mutlak. Kesungguhan dan rasa cinta membawa mereka kepada pengakuan dan penyerahan total kepada realitas mutlak.
Ways of Reasoned Inquiry adalah mereka yang selalu memakai akal mereka untuk mengerti ‘realitas mutlak’ dan segala sesuatu yang terhubung dengannya. Mereka menanyakan dan kemudian menjelaskannya. Di dalam islam misalnya kita mengenal fiqih [menggunakan akalnya].
Mereka yang melalui Ways of mystical melakukan pencarian dengan sebuah sikap batin yang terkadang yang irrasional. Mereka berusaha mengatasi kegelisahannya dengan jalan ‘membatin’. Di dalam kristen kita mengenal banyak tokoh mistik yang sangat menaruh perhatian kepada sikap batin dan pengalaman tersendiri dengan realitas mutlak. Di islam kita mengenal ilmu tasawuf.
Yang terakhir adalah Ways of Shamanic Mediation. Mereka yang melalui jalan ini akan terhubung dengan realitas mutlak dengan melakukan berbagai macam sumber-sumber supranatural sebagai medianya. Mereka biasanya adalah dukun dan orang pinter.
Cannon menyediakan peta bagi kita untuk melihat keanekaragaman bahkan dalam setiap agama. Sehingga dengan itu kita dapat menunjukkan sikap empati kita pada setiap kecenderungan yang ada, entah dengan mereka yang sama beragama dengan kita entah dengan yang berbeda. Karena pada kenyataannya, kita menemukan kecenderungan yang berbeda dalam mendekati ‘realitas mutlak’.
Jadi di sini kita melihat bahwa ada orang-orang tertentu yang menjadikan salah satu jalan sebagai identifikasi jalan yang ia tempuh [dominan], tetapi dia sendiri menggunakan jalan lain yang mungkin tidak begitu utama atau sub way [pendukung]. Jika demikian yang terjadi maka proses pengenalan akan diri sendiri akan sangat menentukan bagi seseorang ia lebih cenderung mengikuti jalan yang mana. Dalam hal ini harus ada semacam otobiografi yang berguna untuk memahami diri sendiri dan faktor apa yang menyebabkan kita cenderung dimana. Misalnya, seorang teman saya percaya bahwa adalah perbuatan yang benar adalah jalan untuk terhubung dengan realitas mutlak. Setelah berdialog dengannya saya menemukan bahwa kecenderungan seperti itu disebabkan oleh karena kedua orang tuanya sudah sejak lama hidup dan bekerja di dunia LSM. Maka tak heran, jika didikan dan bentukan lingkungan ikut menentukan [meski bukan satu-satunya yang menentukan]. Namun terlepas dari itu, Cannon membantu kita memahami bagaimana kita terhubung dengan realitas mutlak tersebut.
Kamis, 14 Oktober 2010
Ide Dikotomis dan Narasi Perdamaian
Setuju atau tidak, saya melihat bahwa kurang lebih ada saham dari pemahaman kita yang terbatas (namanya manusia) akan apa yang dikatakan oleh teks-teks suci. Tetapi ada banyak dari kita yang punya pemahaman yang sempit (ini yang berbahaya) akan teks-teks tersebut. Pemahaman teks-teks suci, bagaimanapun agaknya ikut memberikan andil dalam aksi kekerasan yang selalu dikaitkan dengan agama. J. Harold Ellens misalnya mengatakan bahwa teks-teks suci dan bahasa-bahasa agama [dia menggunakan istilah ‘metafora'] telah menjadi dasar bagi kelompok tertentu untuk me’legal’kan aksi kekerasan yang dilakukannya terhadap kelompok lain. Metafora-metafora tersebut telah mendorong umat beragama dewasa ini untuk mengobarkan kekerasan. Hal yang sama pun diungkapkan oleh Mark Juergensmeyer mengenai ‘perang kosmis’ yang mengatakan bahwa hal ini (aksi kekerasan atas nama agama) sebenarnya bukanlah hal baru tetapi merupakan warisan dari tradisi-tradisi keagamaan. Itu menandakan bahwa pertentangan-pertentangan yang terjadi sekarang sudah merupakan bagian yang amat sangat dekat dengan realitas manusia. Juergensmeyer menunjukkan bahwa ada sebuah kecenderungan ide tentang ‘dikotomis’. Yang lain adalah musuh yang harus dihancurkan. Dalam ide tersebut juga terkandung gambaran tentang kebaikan dan kejahatan. Mereka yang ada di luar adalah jahat oleh karena itu harus dihancurkan.
Menurut pendapat saya sendiri, penggolongan-penggolongan ini telah menyebabkan konflik yang tanpa disadari menjadi [pelan-pelan] semacam ideologi (atau lebih tepatnya cara berpikir). Parahnya hal ini sebenarnya hadir dan dihidupi oleh setiap agama. Konsep kami dan kalian, kita dan mereka, benar dan kafir, dosa dan pahala, surga dan neraka adalah konsep yang secara ‘sengaja’ diinternalisasikan dalam diri setiap penganut agama. Tujuannya membuat sejelas mungkin siapa kami dan siapa mereka. Segregasi yang tajam ini menyebabkan agama bisa disalahartikan untuk menghancurkan orang yang berbeda dengan dia. Penghancuran ini, nampak dalam berbagai konflik bernuansa agama dengan membawa panji agama serta teks-teks suci sebagai cap legalitas. Menurut mereka, tidak ada yang salah dengan apa yang mereka lakukan karena mereka sedang melawan musuh-musuh dari kebaikan dan dengan demikian musuh dari Allah sendiri. Jadi, tidak lagi sekedar pertarungan politik biasa tetapi lebih dari itu, ini perang kosmis, antara kami dan kalian, antara kebaikan dan kejahatan. Militanisme dan fundamentalisme agama lahir dari doktrin seperti ini. Ellens mengatakan bahwa para pelaku dari aksi kekerasan tampaknya benar-benar percaya bahwa tindakan mereka adalah pelaksanaan kehendak dan maksud Allah dan untuk itu mereka akan memiliki “pahala yang sangat besar.” Ide tentang perang ilahi yang ada dalam Kitab Suci dengan gampang diterjemahkan ke dalam kehidupan sekarang. Hal ini pulalah yang menyebabkan kekerasan, perang dan pembunuhan menjadi sesuatu yang tak lagi mengerikan justru oleh karena diselubungi oleh pemahaman agama yang sempit atas teks-teks, yang juga dengan gampang bisa ditemukan dalam Kitab Suci.
Maka dari itu, selain memahami betul konteks dan latar belakang dari teks, yang saya kira perlu dilakukan adalah bagaimana kekerasan yang mendasarkan diri dari kitab suci harus ditandingi oleh sebuah kekuatan yang sifatnya radikal bertalian dengan pembangunan perdamaian. Yang mau saya katakan adalah dalam dunia ini ada banyak narasi-narasi yang memisahkan dan bahkan memusuhi ‘yang lain’. Atas dasar inilah harus ada narasi-narasi yang memperkokoh untuk makin kuatnya perdamaian. Narasi-narasi bernuansa konflik dan permusuhan harus ditandingi dengan narasi-narasi yang mendorong tumbuhnya rasa saling menghormati di antara sesama manusia. Jika yang ada ‘ketiadaan damai’ maka tentu kita harus kritis akan hal itu. Dan saya kira salah satu hal yang bisa kita lakukan adalah dengan membangun sebuah narasi-narasi yang ‘berpihak’ pada damai. Hal ini misalnya dilakukan lewat berbagai ceramah-ceramah yang mengajak orang untuk menghormati orang lain, tidak mengutamakan tindakan kekerasan dalam menyelesaikan konflik, menghargai keberbedaan sebagai sebuah hal yang nyata dan harusnya disyukuri, memperkenalkan anak-anak soal keberbedaan, mengajak keluarga untuk mengenal yang berbeda dengan dia, dsb. Makanya Theodore J. Koontz mengatakan mengapa kita justru tidak berfokus pada diplomasi? Mengapa kita tidak mengarahkan pikiran dan tenaga kita untuk membangun dan memelihara? Mengapa kita tidak menghabiskan uang untuk mendukung PBB membangun perdamaian? Mengapa justru kita menghabiskan uang begitu banyak untuk persenjataan hanya demi pertahan diri sendiri? Hanya dengan meninggalkan ‘rumah ketakutan’ dimana ada kecurigaan, kebencian dan perang dan melangkahkan kaki ke ‘rumah cinta’ dimana ada rekonsiliasi, penyebuhan dan perdamaian, kita bisa hidup.
Kita memang tidak bisa menyangkali bahasa-bahasa keagamaan yang mengandung kekerasan. Jujur bahwa kitab suci kita memang menyediakan cerita kekerasan, perang dan pembunuhan. Tentu (dengan catatan) sebuah kenyataan yang jika ditilik dari keadaaan peradaban manusia 2000 tahun kemudian. Dan sebagian dari kita justru memakai teks-teks 2000 tahun yang lalu ini sebagai penegasan identitas bahwa saya yang benar dan yang lain harus dihancurkan. Dengan sengaja kita membentuk dan memaknai teks-teks itu demi tujuan menghancurkan orang lain. Agama justru menjadi pembenaran bagi tindak perang dan kekerasan dengan skala yang lebih besar. Namun, meskipun begitu, saya tidak setuju jika kekerasan agama di anggap sebagai satu-satunya sumber dari kekerasan atas nama agama. Ada banyak motif mengapa orang melakukan kekerasan terhadap yang lain. Dan agama mungkin saja hanya sebagai pembenaran melakukan kekerasan tersebut.
sumber gambar: www.jpnn.com
Senin, 11 Oktober 2010
Berani berkata tidak pada Tuhan
Aku menuliskan ini memang dalam situasi yang kurang begitu tepat. Aku menuliskan ini dengan segudang rasa jengkel dan marah. Aku jengkel dan marah bukan dengan kamu tetapi dengan berita-berita tentang diriku. Aku lelah. Sebagian dari diriku berusaha untuk mengabaikannya tetapi sebagian lagi ternyata begitu sensitif dengan cerita itu. Aku terjebak dalam dua situasi tersebut. Haruskah aku melampiaskan amarahku? Tetapi kepada siapa aku melampiaskannya? Kamu tahu sendiri aku bukanlah orang yang dengan gampang meluapkan amarahnya. Aku berusaha untuk tegar dengan setiap masalah yang aku hadapi. Tak pernah aku menunjukkan kemarahanku kepada siapapun. Hal yang samapun terjadi dengan ini. Aku tak mau orang lain sampai tahu bahwa aku sedang jengkel dan marah.
Cukuplah kamu tahu bahwa aku sedang jengkel dengan semua ini. Aku sadar betul bahwa apa yang aku alami sekarang tidaklah semestinya terjadi dengan diriku. Beberapa orang dari kalian menuduhku sebagai biang dari semua yang terjadi dengan kalian. Bahkan tak segan-segan kalian membawa nama Tuhan. Dan seolah-0lah apa yang kalian lakukan kepadaku direstui oleh Tuhan. Tidak, aku tidak pernah yakin dengan Tuhan yang seperti dipaksa untuk merestui tindakan jahat kalian. Namun, sudahlah...aku tak pernah menyesal dengan apa yang terjadi. Aku tak pernah mengutuki hari kelahiranku. Tak ada gunanya. Pada akhirnya aku menghibur diriku sendiri dengan mengatakan ‘ya, inilah hidup’.
Aku berusaha tersenyum dengan apa yang terjadi dengan diriku. Meskipun otakku sudah kehabisan akal untuk meluruskan kesalahan tersebut, namun aku berusaha untuk tetap tersenyum. Biarlah semuanya terjadi. Terjadi seperti apa adanya. Karena apa adanya, mungkin lebih baik bagiku dan bagi kalian. Tak tahulah?!!
Kepada sahabatku itu aku pernah bercerita. aku berkata kepadanya bahwa aku sedang dijebak oleh Tuhan. Dia kaget. Dijebak tak lain adalah kata yang tepat dengan situasiku waktu itu, ketika Tuhan dalam kesendirianku datang memelukku dan mengatakan bahwa ‘aku mengasihimu. Aku ingin kamu menyapa dia yang telah menyakitimu’. Saat itu aku tak tahu harus berbuat apa. Aku menengadah ke langit dan berkata ‘tidak, Tuhan’. Sakit ini terlalu menyesakkan. Sakit ini tidak saja membuatku murung dan menjauh dari keramaian dunia. Sakit ini telah membuat sebagian dari hidupku terasa sia-sia. Melelahkan. Tak ada seorangpun yang mau mendengar jeritan terdalam dari sakitku. Mereka hanya tahu bahwa aku sedang sakit. Aku tahu. Aku hanya ingin menawarkan babak baru dalam hidupmu. Babak baru? Sekali lagi aku mengatakan tidak kepada Tuhan. Bukannya aku tak mau, tetapi bagiku hidup tak hanya sekedar bahwa aku hidup tanpa rasa sakit. aku sakit ya, tetapi aku tahu bahwa itulah hidup. Maka aku mengatakan kepadanya untuk sejenak membiarkanku menjalani hidupku dengan rasa sakit ini. Tuhan hanya bisa tersenyum dan seolah merasa tak berdaya dengan hamparan alasan yang aku ajukan kepada dia. ketika dia perlahan berlalu dariku, dari kejauhan dia berkata ‘aku menunggu engkau mengatakan ya’.
Dari dulu aku diajari bahwa Tuhan menginginkan kita jujur. Dan itu yang aku lakukan. Aku jujur kepadanya untuk mengatakan tidak. Aku jujur kepadanya untuk sejenak merengkuh sakit ini. Walau aku tahu apa yang aku lakukan tak lazim dan terkesan melawan arus. Namun, bukankah lebih baik aku jujur dengan Dia daripada harus memaksakan diri mengatakan ya padahal kamu tidak menginginkannya? Jika ini adalah jalan yang salah yang aku tempuh, biarkanlah aku terhanyut dalam keputusanku yang salah. Bukankah pada akhirnya, kelak kita akan berhenti, entah karena tak ada jalan lain lagi, ataukah memang alam menyuruh kita berhenti. Maka kuputuskan untuk mengatakan tidak pada Tuhan.
Sebagian dari kamu memang masih menuduhku melawan Tuhan. Tapi tak apalah. Tuhan tahu apa yang sedang terjadi dengan diriku dan perasaanku. Bahkan ketika aku menolak, ia pun tahu mengapa aku mengatakan tidak padanya. Aku mungkin seperti seekor cacing. Tak perlu berharap apapun dari siapapun. Baginya, ia cukup dengan dirinya sendiri. Jika ia terhimpit dalam tanah yang bau, ia cukup bergumul dengan tanah tersebut. Maka biarkanlah aku bergumul dengan keadaanku yang sekarang.
‘ternyata tak mudah untuk mempraktekkan jika pipi kananmu di tampar, berikan juga pipi kirimu. Pipi kiri ditampar dan rasa sakitnya luar biasa....tetapi lebih baik jujur bahwa sakit itu ya sakit. jangan pura-pura sakit, dan mengatakan ‘Tuhan aku sudah memberi pipi kiri dan kananku’.
Minggu, 10 Oktober 2010
Mungkin lebih baik ndak punya otak
Beginilah otakku. Terkadang di luar kendaliku, tetapi kadang di dalam kendaliku. Jika otakku di luar kendaliku, aku tahu karena otakku sungguh adalah ciptaan yang teramat sangat berharga. Dia punya kemampuan itu. Tetapi jika otakku di dalam kendaliku, siapa yang mengendalikan otakku. Aku yang mana yang mengendalikannya? Bukankah aku bisa berpikir ‘sedang mengendalikannya’ justru karena aku punya otak? Walah, kog ya jadi kacau begini.
Hidup? Lalu hidup yang mengendalikan siapa. Aku? Aku yang mana yang mengendalikannya. Aku yang sedang mengendalikan otakku atau aku yang sedang di kendalikan otakku. Atau jangan2 mereka yang sedang mengendalikannya? Mereka yang secara sengaja mengendalikan otakku sehingga aku hidup berdasarkan maunya mereka? Ah, tetapi siapa mereka? Mengapa mereka harus mengendalikan otakku. Adakah tujuan besar dibalik keinginan mereka mengendalikan otakku.
Ah, aku belum tahu. Yang pasti, otakku sedang berpikir keras untuk tahu sedang apa dia, sedang mengendalikan siapa, atau sedang dikendalikankah? Atau malah sedang secara sengaja dikendalikan oleh otak yang lain di luar otak yang ia tinggali. Ah, mumet ternyata punya otak!!!!
sumber gambar: pixabay.com
Pergilah kemana hati membawamu
Terbentang di hadapanmu
Dan kau tak tahu jalan mana yang harus kauambil
Janganlah memilihnya dengan asal saja
Tetapi duduklah dan tunggulah sesaat
Tariklah nafas dalam-dalam
Dengan penuh kepercayaan
Seperti saat kau bernafas di hari pertamamu di dunia ini
Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu
Tunggulah dan tunggu lebih lama lagi
Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu
Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah
Dan pergilah ke mana hati membawamu
[dr Susanna Tamaro-Pergilah kemana hati membawamu]
Hukum sebagai salah satu sumber etika: Masih relevankah?
Sejauh mana hukum relevan untuk etika sosial di Indonesia? Saya akan mulai dengan kenyataan pahit bahwa hukum di Indonesia sedang mengalami keter”cabik”kan akibat mencuatnya MARKUS (Makelar Kasus). Hukum di Indonesia ternyata ada “makelar”nya. Markus bekerja untuk merekayasa kasus hukum yang ada, sehingga perkaranya bisa tidak terjerat hukum sebagaimana berlaku. Sungguh sebuah kenyataan bahwa Markus ini adalah mereka yang justru di”mandat”kan sebagai penegak hukum. Maka dengan kenyataan yang demikian, apakah kita masih bisa percaya pada hukum? Apakah masih relevan hukum dalam etika sosial di Indonesia justru di tengah-tengah rasa pesimis dan apriori bahwa hukum dapat menjadi salah satu sumber etika sosial di Indonesia? Pendapat saya pribadi masih relevan.
Jika ditanya sejauh mana? Sejauh hukum bisa memberikan rasa adil bagi setiap warga negaranya. Atau dalam bahasa Wright disebut “keadilan Allah”. Jika kenyataan bahwa hukum kita di”permainkan” oleh Markus, maka yang harus di”reformasi” adalah penegak hukumnya, bukan hukumnya [tentu kita harus kritis juga terhadap hukum yang tidak adil!]. Hal ini pulalah yang diungkapkan oleh Wright bahwa banyak orang pada zaman ini yang menjadi korban dari hukum yang timpang atau ketidakadilan yang terencana. Ia mengatakan “ This corresponds well with a growing awareness in our day that people, especially the powerless, the poor, the illiterate, the immigrant, are as often hurt by the process of law, even good law, as they are victims of bad law or deliberate injustice”.
Wright mencoba memaparkan bahwa dalam PL ada berbagai macam jenis hukum mulai dari dasa titah, kitab perjanjian, kumpulan imamat, kumpulan ulangan. Ia juga menyebutkan bermacam-macam hukum seperti hukum pidana, perdata, keluarga, peribadatan dan hukum kebajikan. Namun yang menarik dalam pemaparan Wright adalah bagaimana semua hukum itu merupakan relasi yang vertikal maupun yang horizontal. “Love for God and Love for one’s neighbour thus stand united here as well”. Kalau kita melihat maka pelaksanaan Hukum bagi bangsa Israel dilandasi oleh penghayatan mereka terhadap kasih Allah yang membebaskan mereka dari perbudakan dan bagaimana Allah telah menebus mereka dan Allah memerintahkan mereka untuk melakukan hal yang sama (Ulangan 24:18). Allah ada dibalik hukum. “The whole law, especially the Decalogue, enshrines both the vertical and the horizontal dimensions that are integral to the covenant: God’s redemptive act and man’s responsive obedience, expressed in love for God and for one another”
Hal ini mirip dengan apa yang tercantum dalam hukum yang digali dari Al-Quran. Yoseph Schacht mengatakan bahwa mustahil memahami Islam tanpa memahami hukum Islam. La Jamaa mengatakan konsep hukum dalam Al-Quran bukan saja bernilai profan tetapi juga bernilai trasenden. Dengan kata lain, konsep hukum dalam Al-Quran merupakan integrasi antara nilai Ilahiah karena bersumber dari Tuhan yang trasenden, yang diataati karena didorong keyakinan yang sungguh-sungguh (keimanan) kepada Tuhan, dan karena Allahlah yang maha kuasa, yang berhak menetapkan jalan sebagai petunjuk hidup manusia, tetapi juga bernilai humanis karena konsep hukum tersebut senantiasa memperhatikan kebutuhan manusia dalam kehidupan yang profan. Jadi menurutnya, Al-Quran jika dipandang dari segi hukum, selalu akan memperhatikan sisi vertikal dan horizontal. Hal ini selaras dengan Alkitab yang juga mencoba menguraikan permasalahan akan keadilan dengan berpatokan pada kedua sisi tersebut. Spirit keadilan dapat dijadikan sebagai titik temu yang dapat membuat hukum Islam dan hukum Kristen sebagaimana yang didapat dari Alkitab bergandengan tangan dalam memperjuangkan kehidupan, baik kehidupan dalam relasinya dengan Allah, dengan sesama maupun Alam. Tentu, kita bisa berdebat lebih jauh mengenai harus bagaimana kedua hukum tersebut diterapkan. Tetapi bagi saya, prinsipnya sama. Seringkali justru masalahnya terletak pada persoalan bahasa, apalagi jika itu sudah terkait dengan politik.
Maka dalam pandangan pribadi saya, relevan atau tidak relevan ditentukan oleh sejauh mana hukum itu berpihak pada kehidupan. Jika hukum yang ada [termasuk hukum negara] tidak mendukung ke”berpihak”kan terhadap ke”hidup”an dan keadilan, maka seharusnya hukum tersebut dikritisi oleh agama. Stanley Hauerwas sendiri mengatakan bahwa “jika gereja mau mendapatkan kembali signifikansi sosialnya, ia harus menyadari bahwa tugas sosial utamanya adalah menjadi sebuah komunitas yang “mampu mendengar kisah tentang Allah yang kita jumpai dalam Alkitab dan hidup dengan cara yang sesuai dengan kisah tersebut”
Bacaan:
Christopher Wright, Living as the People of God (England: Inter-Varsity Press, 1989)
La Jamaa, ”Konsep Hukum Dalam Al-Quran: Keadilan dan Kemanusiaan” dalam Junal Syariah dan Hukum Tahkim (Vol. I No. 2 Februari-Juli tahun 2006), hlm. 1-18
Stanley Hauerwas, A Community of Character: Toward a Constructive Christian Social Ethics (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981)
sumber gambar: pixabay.com
Sabtu, 09 Oktober 2010
Masalah tanah: Penegakan Keadilan Sosial melalui hukum. Mungkinkah?
Saya pikir salah satu hal yang menarik yang ditulis oleh Wright bahwa dalam Perjanjian Lama ada kesadaran bahwa hukum itu terbatas kemampuannya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam masyarakat, kalau ada orang yang mengelakkan tuntutannya. Setidaknya dalam hal ini, hukum bukanlah satu-satunya jalan bagi penegakkan keadilan. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa masyarakat tidak dapat dipertahankan atau diperbaharui hanya dengan kekuatan hukum saja. Setidaknya Wright memberi 3 alasan untuk hal tersebut, yang pertama adalah hukum-hukum yang adil mungkin dipergunakan secara tidak adil atau sama sekali diabaikan, yang kedua adalah hukum dapat diubah dan dihindari, orang yang cukup berkuasa dan berpengaruh dapat membuat hukum-hukum yang tidak adil demi keuntungannya sendiri, dan yang ketiga adalah ketidakadilan sudah mendarah daging dan diwujudkan dalam struktur-struktur masyarakat, maka mengubah hukum atau menggali kembali hukum-hukum yang lama bukanlah pengobatan yang memadai.
Oleh karena hal tersebut maka, menurut saya dalam konteks Indonesia, pelaksanaan penegakkan hukum harus dibarengi dengan:
1. Kebajikan. Hal ini sesuai juga dengan apa yang dihayati dalam perjanjian lama dimana hukum seharusnya didasari oleh kemurahan hati. Wright mencatat kategori dimana kebajikan tersebut dilaksanakan: perlindungan untuk orang lemah, khususnya orang yang kurang mendapat perlindungan dari keluarga dan tidak mempuyai hak atas tanah, janda-janda, anak-anak yatim, orang-orang Lewi, para miskin; sikap tidak pandang bulu; kemurahan hati pada musim panen dan dalam kehidupan ekonomi pada umumnya; penghargaan kepada pribadi dan harta milik, bahkan dari seorang musuh; perhatian khusus terhadap pendatang; pembayaran gaji dengan segera, dsb.
Dalam kaitannya dengan itu, maka pelaksanaan hukum bertalian dengan permasalahan penggusuran masyarakat dari tanah tertentu entah dengan alasan ekonomi, pembangunan dengan legitimasi hukum harus dihayati dengan sebuah kebajikan dengan mengedepankan perlindungan bagi mereka yang miski, tertindas dan lemah, sehingga hukum yang dijadikan sebagai sumber legitimasi menjadikan hukum lebih berpihak kepada yang lemah dan tertindas. Karena penggusuran yang terjadi di Indonesia pada umumnya selalu mengorbankan masyarakat kecil dan lemah, yang tidak tahu hukum, yang tidak mengerti mengapa mereka harus digusur. Hukum dengan kebajikan harusnya berpihak kepada orang-orang yang lemah seperti ini.
Sebagai orang Kristen, sebagaimana juga dihayati oleh Perjanjian Lama, hukum selalu harus berpihak kepada mereka yang lemah dan tertindas. Karena setiap hukum khususnya bagi orang beriman dalam Perjanjian lama selalu dihayati dalam relasinya dengan Allah. Allah selalu ada di balik hukum. Allah ada dibalik hukum. “The whole law, especially the Decalogue, enshrines both the vertical and the horizontal dimensions that are integral to the covenant: God’s redemptive act and man’s responsive obedience, expressed in love for God and for one another”
2. Prinsip kasih harus selalu mewarnai pelaksanaan hukum. Dan tidak ada hukum yang boleh dipakai untuk meniadakan kasih. Masalah paling besar adalah bagaimana kasih dapat diwujudkan. Hakekat dari Tuhan adalah kasih, bukan keadilan. Dan kasih adalah dasar keadilan. Kasih adalah nyang paling berkuasa dalam konteks masyarakat. Hukum seharusnya dipakai untuk membuat kasih senyata-nyatanya bagi semua orang. Di dalam hal inilah saya kira masalah penggusuran yang berakibat terjadinya bentrok antara masyarakat dan aparat keamanan (satpol PP) dapat dihindari. Artinya, jika kita melakukan pendekatan tidak dengan mengerahkan kekuatan aparat keamanan melainkan dengan prinsip bahwa setiap dari kita punya kasih, maka tidak akan ada yang namanya bentrok atau unjuk rasa.
Melaksanakan hukum dengan prinsip kasih akan menjadikan masalah pertanahan lebih manusiawi. Walaupun kadang-kadang memerlukan waktu yang relatif lebih lama, namun menurut saya pendekatan ini jauh lebih baik ketimbang mengerahkan se”pleton” aparat keamanan yang di dalam dirinya selalu mengandung kecurigaan terhadap masyarakat. Beberapa kasus yang terjadi di berbagai daerah dengan jatuhnya korban yang tidak sedikit, termasuk dalam kasus makam mbah Priok, menunjukkan bahwa pendekatan dengan pengerahan aparat keamanan besar-besaran sudah waktunya ditinggalkan.
3. Pendekatan dengan mempertimbangkan ilmu sosial. Hukum bisa saja dijadikan sebagai dasar legitimasi terhadap penggusuran. Namun perlu diingat bahwa permasalahan masyarakat begitu amat kompleks. Dalam pengertian lain, hukum harus juga mempertimbangkan bagaimana situasi sosial masyarakat. Makam mbah Priok yang akan ditertibkan tentu bertalian dengan masalah sosial budaya karena menyangkut tentang nilai-nilai yang telah bertahun-tahun diyakini oleh sebuah komunitas. Dalam hal ini, diperlukan sebuah keseriusan untuk melihat bagaimana sampai sebuah komunitas begitu menaruh keyakinan yang amat besar terhadap makam tersebut. Nilai-nilai yang telah diyakini tersebut seyogiyanya dihormati, termasuk oleh pemerintah dengan aparat keamanannya. Pemerintah harus mengindahkan adat-istiadat dalam sebuah komunitas tersebut. Bentrok yang terjadi dengan satpol PP yang berujung meninggalnya 3 orang menunjukkan terdapatnya ketidakpedulian dan pelecehan terhadap sebuah komunitas dengan nilai-nilainya sendiri.
Dalam kasus makam mbah Priok misalnya, pemerintah bisa melibatkan alim-ulama dalam proses dialog bertalian dengan keinginan pemerintah melakukan pelebaran pelabuhan. Atau pun bertalian dengan penertiban beberapa gapura yang mengganggu jalannya bongkar muat di pelabuhan tersebut. Tetapi sayangnya pemerintah lebih memilih untuk melaksanakan hukum dengan sangat harafiah hanya berdasarkan teks-teks mati semata, yang tercantum dalam kitab hukum.
Namun, yang sering sekali kita lihat dan amati di lapanngan adalah pendekatan yang dilandasi oleh arogansi penguasa dalam berhadapan dengan rakyat. Sering muncul kesan “memaksa”, sehingga masyarakat merasakan seolah-olah adanya tekanan dari pemerintah.
Dengan mempertimbangkan pendekatan ilmu sosial dalam menggali permasalahan yang lebih kompleks terhadap satu komunitas tertentu, bagaimana kita mencari dasar sistemik [struktur] yang menyebabkan masalah-masalah sosial yang ada, akan memperkaya pelaksaan aturan dan hukum dengan lebih manusiawi, tanpa harus berjatuhannya korban materi dan jiwa.
4. Kita membutuhkan orang-orang yang berani melaksanakan hukum dengan dihayati oleh keberpihakan terhadap yang lemah dan tertindas. Wright menyebutkan beberapa hal bertalian dengan pelaksanaan hukum tersebut dan bagaimana kita juga belajar dari hal tersebut:
1. hakim-hakim yang memulihkan Israel dari penindasan dan menempatkannya “dalam hubungan yang benar” dengan Allah. Hakim-hakim militer mewujudkan karya Allah yang adil dalam bentuk penyelamatan yang nyata [Debora dan Barak dalam hak. 4:5]
2. raja-raja menjalankan keadilan dan meneladani Allah melindungi yang lemah dan miskin [bnk. Ul.17:18-20]. Dalam tulisan-tulisan hikmat hal inipun dapat kita temui dimana raja harus menegakkan keadilan sosial [ bnk. Ams. 16:12, 29:4, 14]. Perhatikan bunyi Ams. 31:8-9 berikut: “bukalah mulutmu bagi orang yang bisu, untuk hak semua orang yang merana, bukalah mulutmu, ambillah keputusan secara adil, Dan berikanlah kepada yang tertindas dan yang miskin hak mereka
3. Berlaku adil adalah berita para nabi. Perhatikan kata-kata Yesaya 5: 7b berikut: “dinantiNya keadilan (misypat), tetapi hanya ada kelaliman (mispakh), dinantinya kebenaran (tsedaqa), tetapi hanya ada keonaran (tse’aqa)”
Kenyataan ketidakadilan dalam masyarakat, dan penindasan terhadap yang lemah membuat kita harus melaksanakan hukum dengan baik dan benar. Tetapi sebelum itu kita harus mengalami transformasi batin agar pelaksanaan hukum yang ada dapat diterapkan dengan dijawai oleh rasa keadilan dan kasih. Apa yang diungkapkan dalam perjanjian lama tentu mencerminkan bagaimana para nabi mempunyai keberanian dengan memanggil mereka kembali agar kembali pada landasan perjanjian dengan Allah yang adil. Selain para nabi memberitakan bahwa keadilan adalah tuntutan Allah, mereka juga dengan tegas memberikan perhatian kepada orang miskin, lemah dan tertindas, terbuang dan menderita [misalnya nabi Natan yang menentang raja Daud bertalian dengan Uria dan Elia yang melawan Ahab bertalian dengan Nabot]. Dalam hal ini kita juga bisa melihat bagaimana para nabi memainkan peran di dalam keberpihakannya kepada mereka yang miskin dengan menantang para penguasa dan kekuasan yang lalim.
Hukum tidak bisa berjalan sendiri!! Dalam pembahasan di atas, khususnya bertalian dengan penggusuran bertalian dengan permasalahan tanah, pelaksaan hukum harus dibarengi dengan hal lain seperti permasalahan kebajikan, prinsip dan transformasi batin agar pelaksaannya tidak membuat yang lemah semakin lemah, yang tertindas semakin tertindas dan mereka yang miskin semakin dibuat miskin oleh hukum yang tidak berpihak kepada mereka. Dalam konteks Indonesia, pelaksanaan hukum seyogiyanya dilakukan demikian. Karena, menurut saya permasalahan tanah di Indonesia akan semakin meningkat seiring dengan berkembangnya ekonomi nasional dan kebutuhan masyarakat. Apabila tidak ditangani secara bijaksana masalah tersebut akan lebih meningkatkan gejolak sosial di dalam masyarakat kita. Pemerintah harus berorientasi kepada rakyat banyak khususnya mereka yang tertindas dalam hal penggusuran bertalian dengan tanah, dan pendekatan yang dipakai harus lebih manusiawi.
Bacaan: Christopher Wright, Living as the People of God (England: Inter-Varsity Press, 1989)
sumber gambar: pixabay.com
Jumat, 08 Oktober 2010
Ketakutanku
Bersemayam dalam diri saya
Biarlah pendritaan itu tetap ada Dalam tubuh saya yang fana
Biarlah rasa sakit Kecewa dan air mata itu Mengiringi hidup saya
Karena dengan semuanya itu Saya tetap sadar
Bahwa saya adalah manusia Manusia yang tetap butuh pertolonganNya
Kamis, 07 Oktober 2010
Memahami citra Allah yang kontradiksi dalam Alkitab [bag. 1]
Kita tidak bisa menghindari bahwa Alkitab menceritakan silih berganti kasih Allah dan juga tindakan kekerasan dari Allah. Hal ini dengan kasat mata dapat kita temukan dalam Alkitab. Lalu bagaimanakah kita menjelaskan keduanya, antara kasih dan kekerasan Allah? Apakah dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa Allah yang dikenal sebagai Yahweh dalam perjanjian pertama melegitimasi kekerasan?
Dalam hal inilah kita membutuhkan interpretasi yang kritis agar kita bisa dengan baik mengartikan tindakan Allah yang ambigu tersebut dalam kehidupan kita sekarang. Banyak memang yang memandang Alkitab justru kehilangan ke’wibawa’annya oleh karena kekerasan yang ada di dalamnya. Hal ini didukung oleh kata ‘perang’ [milkhamah] yang muncul lebih dari 300 kali dalam Alkitab. Bahkan ada beberapa teks yang memerintahkan perang tanpa belas kasihan sama sekali. Hal ini bisa diterima karena Alkitab yang lahir dalam konteks masyarakat Israel memandang Yahweh sebagai pahlawan perang. Keterlibatan Allah dalam seluruh perjalanan bangsa Israel termasuk dalam perang menjadikan banyak orang merasa bahwa Alkitab tak mungkin bisa dijadikan sumber moral. Secara teologis juga bermasalah karena kontradiktif dengan pemahaman bahwa Allah itu adalah kasih. Kontradiksi inilah yang membuat Allah yang ada dalam PL adalah Allah yang seharusnya ditinggalkan. Hal ini misalnya diungkapkan oleh Marcion yang menyarankan agar PL dibuang saja.
Citra Allah yang kontradiksi menunjukkan bahwa kita sebenarnya melihat ‘gambaran’ Allah itu sebagai yang bertentangan. Kita lupa bahwa gambaran Allah itu bisa berubah, dan juga bisa berkembang. Kesadaran ini sangat penting menurut saya. Bukankah iman itu terus berubah dan berkembang? Ada kelemahan bagaimana kita menggambarkan Allah. Kita sebagai orang yang ada sisi jahatnya berusaha menggambarkan Allah. Karena kita melihat Allah dalam gambarannya, maka itu tidak menunjukkan bahwa Allah jahat.
Dalam Alkitab sendiri saya melihat banyaknya gambaran Allah yang silih berganti, berubah bahkan revolusioner [lihat apa yang dilakukan oleh Yesus, ia menginterpretasikan Allah tidak seperti kebanyakan orang Yahudi memahaminya]. Gambaran tentang Allah tentu tidak sama dengan Allah sendiri. Gambaran Allah tidak sama dengan kenyataan Allah [the reality of God]. Allah tetaplah Allah. Gambaran kita, yang tercermin dalam Alkitab adalah gambaran yang maksimal dan terus berubah. Maka, refleksi kita tentang Allah tidak bisa dilepaskan dari bagaimana kita memahami Allah, bukan dari titik tolak yang tidak berkaitan dengan kita tetapi justru dari keberadaan kita sekarang ini. Selalu ada partisipasi umat di dalamnya!!
Ketika kita meng’kontras’kan keduanya peluang bagi kita untuk jatuh pada pemutlakkan sangat besar. Kalau tidak suka ini, ya itu [terlalu berpikir dalam pola pikir barat-ini atau itu]. Maka itulah yang terjadi dengan Marcion, ketika ia menganggap bahwa PL mesti dibuang saja. Ingat! Kita akan kehilangan keseimbangan, justru ketika kita mengabaikani gambaran Allah yang dihidupi sepanjang sejarah. Untunglah bahwa Alkitab kita bukan hukum, bukan syariat. Nek syariat, wah gawat...kita mesti bingung ya toh mesti nurut yang mana??
Setelah kita memahami ini, kita akan lebih bijak untuk menentukan sikap kita berhadapan dengan kekerasan. Seringkali pertanyaan yang muncul di benak saya adalah apakah perang dapat di’benar’kan? Bukankah perang pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang jahat? Mereka yang kemudian menganggap perang dapat dibenarkan justru mendasari diri pada apa yang Alkitab sendiri katakan. Bahwa Allah sendiri juga terlibat dalam perang yang dilakukan masyarakat Israel. Citra Allah yang kontradiksi ini membuat banyak orang melihat bahwa Allah memang mendukung keterlibatan kita dalam perang. Prinsip kasih[Kristen] yang kita pegang harus berhadapan dengan pilihan apakah demi alasan kemanusiaan, kekerasan pun bisa digunakan.
Dalam pemaparannya, Williard M. Swartley menunjukkan bagaimana sikap gereja berbeda-beda. Ada yang mendukung perang, dan ada yang sama sekali tidak mendukung. Dia menjelaskan bahwa ada yang mendukung perang [posisi tradisional A]. Mereka adalah orang-orang yang mendukung partisipasi orang Kristen secara tegas dalam keterlibatan dalam perang. Ada juga yang menghindari penggunaan simplisitis terhadap apa yang tercantum dalam teks-teks Alkitab [tradisional B]. Kadang-kadang memang, dalam dunia yang masih dihinggapi dosa, perang dapat dibenarkan untuk menghindari kekerasan yang lebih dahsyat. Ada juga yang disebut sebagai teologi revolusi dan pembebasan. Mereka adalah orang-orang yang berpendapat bahwa kekerasan tidak bisa dilepaskan dari sejarah keselamatan itu sendiri. Di lain pihak ada yang kelompok yang lebih berpihak kepada sikap damai [tidak mendukung kekerasan]. Mereka lebih memberi penekanan pada sikap pacifis Yesus dan melihat PL digantikan oleh PB [mengkritiknya] dan melihat perdamaian sebagai pusat dan inti dari Injil itu sendiri.
Bagaimana kita memahami kedua sikap di atas? Bagi saya sendiri, sebagaimana yang saya tunjukkan di poin pertama bahwa harus ada kesadaran terlebih dahulu bahwa kita melihat ‘gambaran Allah” dalam Alkitab dan bukan Allah sendiri. Kesadaran ini akan membuat kita untuk sangat hati-hati menuduh bahwa Allah melegalkan kekerasan. Apalagi ada banyak kelompok Kristen yang kemudian memahami ayat-ayat itu secara harafiah bahkan ayatiah. Dengan kesadaran dan sikap rendah hati, kita akan bersikap lebih baik dalam menentukan sikap dalam masa sekarang, tanpa harus dengan gegabah memahami sikap Allah yang terlanjur kita pisahkan dalam dua karakter yang saling bertolak belakang.
Bacaan: Williard M. Swartley, Slavery, Sabbath, War & Women: Case Issues in Biblical Interpretation (Scottdale and Waterloo: Herald Press, 1983), Chapter 3, p. 96-149
sumber gambar: pixabay.com
Rabu, 06 Oktober 2010
Pancasila penting selama tidak di”sakral”kan
Bagaimana kita melaksanakan sesuatu yang tipis (misalnya HAM) dalam cara yang tebal dan terinci. Karena permasalahannya justru terletak pada penerapan terinci dari prinsip moralitas tipis. Pancasila sebagai hasil kompromi politik sebagai sebuah mufakat tentang apa yang mendasari negara ini. apa yang paling mendasar itu bisa diterapkan sebagai” yang minimal”
Karena semua ideologi ada di dalamnya: kapitalisme, sosialisme, syariat, dsb. Banyak kepentingan di dalam sebuah negara. Kita cari dari yang berbeda ini, dari semua ideologi, agama, kepercayaan apa yang bisa kita setujui (paling minimal). Prinsipnya tentu adalah tipis. Harus ditafsirkan.
Berbahaya adalah orba menafsir pancasila sebagai yang tunggal. dia tidak lagi tipis tetapi tebal dan tidak bisa disetujui banyak orang karena moralitas tebal itu dipaksakan negara untuk diikuti oleh semua orang dan organisasi kemasyarakatan. Memaksa semua orang setuju dengan pancasila. Walaupun tidak sempurna.
Persetujuan yang dimaksud disebut “kontrak sosial”. Pada zaman orba, kontrak sosial dituduh sebagai “barat”. Orba menyebut bahwa bangsa Indonesia punya yang namanya “kekeluargaan”. Karena kami punya darah daging yang sama, berjuang lepas dari penjajahan yang sama, dan berjuang kembali untuk besar.
Jadi hubungannya adalah hubungan primordial dan bukan kontrak sosial. Sebagai keluarga seharusnya kita tidak boleh mempersoalkan NKRI. Konsep kontral sosial kalau satu pihak melanggar (mis. pancasila) akan ditindak. Kalau keluarga, kan tidak ada keluarga yang sempurna. Jadi wajar-wajar saja…
Hal ini sangat berbahaya. Akhir2 ini kita melihat ada banyak komunitas yang merasa dirugikan dengan pemberlakukan Pancasila sebagai dasar negara. Mereka merasa tidak mendapat tempat di bangsa ini. Misalnya Ahmadiah dan agama-agama suku. Padahal mereka adalah bagian dari bangsa ini, hidup dan menggoreskan perjalananya di bangsa ini. Maka dalam hal ini, saya melihat Pancasila tetap harus bisa diperdebatkan karena ia merupakan 'moralitas tipis' yang diharapkan bisa mengayomi semuanya. Kelompok-kelompok ini harus tetap diberi kesempatan untuk menyuarakan keinginan dan pendapatnya, menyuarakan apa yang selama ini diperjuangkannya. Karena hanya dengan itu, kita tidak memberhalakan Pancasila melebihi Tuhan sendiri yang telah menciptakan kita.
sumber gambar:hminews.com
Kritik SosiaL: sebuah pandangan Michael Walzer
Kritik sosial sebagai praktek sosial adalah hal yang ada dalam masyarakat dan berfungsi untuk melakukan interpretasi terhadap kebijakan-kebijakan yang sering sekali tidak benar. Ia berdiri untuk [sebaiknya] menyuarakan apa yang benar.
Walzer mengatakan bahwa kritikus seharusnya bisa menantang para pemimpin, konvensi, praktek-praktek ritual dari masyarakat tertentu, mengutuk, jika perlu, dengan sebuah "pernyataan publik dan pendapat terhormat sebagai sesutu yang munafik." Saya setuju dengan sikap seperti ini karena ini akan menciptakan semacam resistensi yang membuat semacam keseimbangan. Dengan sikap yang seperti ini, diharapkan pemimpin bisa punya sensivitas dalam menjalankan kepemimpinannya sehingga mampu berbuat yang terbaik.
Mereka harus menjadi seperti nabi Amos yang berteriak menentang kekuasaan yang dalam bahasa kita sekarang sangat korup. Masyarakat di zaman Amos telah menjadi korban kekuasaan dan lembaga agama yang korup itu. Apa indikasi situasi korup yang dihadapi masyarakat di zaman Amos? Yaitu ketika keadilan dan kebenaran tidak lagi menjadi norma standar dalam menata kehidupan pada waktu itu. Di sana ada yang namanya suap di pengadilan, manipulasi dan perampasan hak orang miskin, keadilan yang diputarbalikkan bahkan sampai kepada pelecehan seksual.
Seruan Amos pada zamanya adalah sebuah kritik sosial. Namun, mengapa gereja sebagai yang [seharusnya] melanjutkan tradisi perjanjian lama nyaris tak terdengar suaranya dalam menanggapi situasi dalam hidup berbangsa dan bermasyarakat sekarang? Dimana suara gereja dalam menanggapi kasus [misalnya century dan kasus mbok Minah, kasus kekerasan yang mencuat belakangan ini]??
Kritikus sosial memberi sebuah masukan dan mengingatkan kita akan bahaya interpretasi yang menindas kita. Ketika satu hukum atau [bahkan] teks agama dipakai untuk melegitimasi satu ideologi tertentu, dan pada saat yang sama dipakai untuk menindas, maka kritikus sosial mengingatkan kita akan hal ini. Salah satu contoh yang diangkat oleh Marx adalah ketika ideologi kapitalis dipakai untuk menindas para pekerja. Ideologi kapitalis yang lahir di barat dan sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi kepada teks agama [Kristen], dipakai untuk meninabobokan kelas pekerja sebagai sebuah kelompok yang patuh.
Gereja bisa menjadi kritikus sosial dan menyuarakan suara kenabian. Tetapi dalam pengamatan saya justru yang terjadi adalah gereja sering kali bungkam terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Bahkan tak jarang ia justru menjadikan gereja sebagai media dan alat legitimasi untuk melalukan dominasi dan penindasan.
Gereja punya tanggungjawab terhadap masyarakat. Dia tidak hanya diam ketika berhadapan dengan isu-isu sosial sebagaimana lebih banyak terjadi pada saat sekarang ini. “Stereotip” bahwa orang Kristen Indonesia sebagai minoritas tidak boleh menjadi penghalang bagi kita untuk tetap menyuarakan yang benar di tengah-tengah keadaan yang tidak benar. Kita harus menjadi kelompok minoritas yang kreatif yang tetap diperhitungkan.
Kritik yang baik memerlukan jarak kritis. Secara konvensional Walzer sempat menyinggung jarak kritis terhadap satu kebijakan dalam pemaparannya tentang praktek dari Kritik Sosial. Karena kebanyakan dari kita justru lebih senang jika mengidentifikasi diri kita sendiri (baik sebagai individu maupun dalam kelompok) lebih dekat [bahkan sebagai] negara. Oleh karena itulah kita membutuhkan jarak kritis agar dapat melihat dengan jelas. Dia menjelaskan bahwa yang namanya kritik adalah kegiatan eksternal, dan menyebut 2 hal yaitu bahwa kita harus terpisah secara emosional dan terpisah secara intelektual (terbuka dan objektif)
Ini memang sudut pandang konvensional. Namun saya melihat bahwa hal ini diperlukan pada konteks dimana kebijakan-kebijakan justru sangat tidak berpihak pada rakyat kebanyakan. Ketika misalnya, kebijakan-kebijakan hanya menguntungkan segelintir orang. Dalam konteks Indonesia, hal ini justru saya lihat berhasil karena mampu menggulingkan rezim orde baru yang terkenal sangat represif. Pada saat individu dan sekelompok orang mengidentifikasi dirinya justru di luar negara (dalam pemahaman orba/soeharto), kritik itu justru berhasil mengumandangkan suara kenabian dengan jelas dan jernih bahkan bisa menggulingkan salah satu rezim terkuat di dunia. Dengan kata lain, kritik yang konvensional ini masih bisa efektif apabila berhadapan dengan satu rezim yang terkenal sangat tidak memihak kebenaran dan keadilan.
Persoalan nubuatan dari nabi sebagai pengkritik. Walzer mencoba menyajikan kepada kita bagaimana peran nabi pada zamannya mengkrtik situasi sosial masyarakatnya. Dan kadang kala, kritik-kritik tersebut berisi tentang kehancuran-kehancuran.
Ketika sudah menyentuh ranah nubuatan, ini kan masalah interpretasi. Tetapi, sering kali, interpretasi dari sekelompok orang inilah kemudian yang dianggap “paling” benar, sehingga sering kali dimanfaatkan justru untuk “menghancurkan”. Demo yang berujung pada anarkis adalah sebuah bentuk yang menurut saya “memaksakan” sudut pandang dan nilai [kalau bukan interpretasi tertentu] terhadap satu persoalan.
Dengan menganggap diri sebagai mediator antara Tuhan dan manusia, nabi memang punya legitimasi tertentu untuk mengatakan yang benar. Hanya saja, dalam konteks sekarang ini, kita harus hati-hati untuk membedakan mana suara ke”nabi”an dan mana suara kepentingan diri sendiri.
Kita bisa melihat bahwa semenjak reformasi bergulir [atau lebih tepatnya ketika rezim orba runtuh] tak jarang jargon-jargon politik justru dibumbui dengan teks-teks keagamaan. Atau dengan kata lain, [teks-teks] agama dijadikan sebagai komoditi politik-hanya sebagai alat untuk mencapai kepentingan saja. Maka tak mengherankan wujud dari hal itu adalah munculnya banyak teks-teks sebagai sebuah simbol di ranah publik dan seolah ingin mengatakan bahwa “teks-teks” dari agama tersebutlah yang paling benar dan oleh karenanya kami atas nama Tuhan dan agama, akan melakukan penghancuran [mis. FP* yang sering sekali melakukan tindakan kekerasan dengan membawa simbol-simbol agama, baik dalam bentunya yang verbal maupun simbol-simbol dalam bentuk bendera, logo yang berbau agama]
Bacaan: Michael Walzer, Interpretation dan Social Criticism, Chapter 1-2 (pp. 3-66)
[1] Lih. Julianus Mojau, “Mempertimbangkan Teologi Politik Minoritas Notohamidjojo” dalam Jurnal Teologi Proklamasi (Jakarta: STT Jakarta, 2003)