Kamis, 14 Juli 2011

Para penyembah mamon


Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon (Matius 6:24)

Bagaimana sampai Yesus menyamakan Allah dengan mamon? Verne H. Fletcher dalam bukunya Lihatlah sang Manusia mengatakan bahwa penyamaan mamon dengan Allah adalah buatan Yesus karena pada dasarnya mamon dalam bahasa Aram hanyalah berarti kekayaan dan harta milik. Artinya kata mamon tidaklah berkonotasi buruk dan negatif. Tetapi Yesus mempribadikan uang dan harta benda bahkan menyamakannya dengan dewa sampai-sampai itu dilihat sebagai lawan dari Allah. Penyamaan tersebut tentu terkait dengan kecenderungan orang yang mudah untuk menggantikan Allah dengan mamon itu sendiri. Yesus tidak anti dengan kekayaan tetapi sangatlah berbahaya jika sampai kita menggantikan keyakinan kita kepada harta tersebut. Kraybill dalam bukunya Kerajaan Yang Sungsang mengatakan: ‘Yesus tidak memberikan status keilahian pada pengetahuan, ketrampilan, penampilan, pekerjaan, kebangsawanan maupun kebangsaan. Kekayaanlah, kataNya yang berseru untuk mengendalikan dan membawahi kita seperti yang ilahi’. Tentu, pernyataan Yesus ini sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sikap Yesus yang begitu kritis terhadap mereka yang berharta milik banyak. Apalagi dalam Injil kita menemukan posisi yang jelas dari Yesus dengan berpihak kepada mereka yang miskin dan menderita. Ia tidak mempermasalahkan harta milik itu sendiri tetapi agaknya Yesus menemukan terjadinya ketidakdilan karena harta milik itu justru didapat dari memperalat mereka yang tidak berdaya, misalnya dengan pajak.

Dan bukankah ini yang terjadi dengan elit-elit bangsa ini yang gemar menumpuk harta sampai-sampai negara ini disebut mempunyai sistem ‘kleptokrasi’- dimana para elitnya gemar mencuri sesuatu yang bukan miliknya? Peringatan Yesus akan bahaya mamon terbukti terjadi ketika sebagian elit bangsa ini sibuk beribadah kepada uang dan harta sampai-sampai mengorbankan masyarakat.Tetapi apakah hanya elit bangsa ini yang gemar memuja mamon? Bahkan hal itu terjadi beberapa waktu yang lalu ketika seorang pendeta terpaksa ‘angkat tikar’ dari gerejanya karena jemaatnya tahu bahwa sang pendeta mempunyai utang kartu kredit yang demikian besar. Dan berapa banyak gereja yang gemar menumpuk ‘pemasukan’ daripada mempersembahkannya kepada mereka yang membutuhkan? Itu artinya setiap kita bisa menjadi penyembah mamon ketika mamon itu telah menguasai kita, tak peduli bahwa anda seorang aktifis gereja atau bukan. Kita begitu sayang kepada mamon daripada menggunakan mamon itu untuk kebaikan bersama.

Namun apa boleh buat, negara kita sudah terlanjur dihuni oleh para penyembah mamon. Maka tak heran jika banyak orang merasa bahwa reformasi yang sudah berjalan selama 13 tahun belakangan ini dianggap tak lain hanyalah untuk mendulang emas di negeri sendiri. Sementara rakyat hanyalah korban dari permainan para elit yang sudah terlanjur menggantikan sila KeTuhanan Yang Maha Esa menjadi keMamonan yang Maha Esa. Perlombaan untuk mendulang emas inilah yang akhir-akhir ini kita begitu mudahnya ditemukan pada jiwa-jiwa pemuda seperti Gayes Tambenan dan M. Nazeruddin yang masih berusia 30an.

Kita tidak bisa mengabdi sekaligus kepada dua tuan, yang satu Tuhan dan yang satunya mamon. Oleh sebab itulah, betapa rumah ibadah membanjir bahkan saling numpuk di negara ini, ketamakan dan kerakusan akan uang tidak akan hilang karena simbol dari rumah ibadah sudah digantikan dengan mamon. Ritual-ritual keagamaan di negeri yang katanya paling religius ini, hanyalah kamu flase saja. Sebab ketika kita mengatakan: aku mencintai Tuhan, itu berarti kita membenci mamon. Tetapi ketika hati kita mengatakan: aku mencintai mamon, bukankah dengan sendirinya kita membenci Tuhan. Lalu mengapa kita masih berpura-pura untuk menyapa Tuhan? Mengapa kita masih berlagak seperti orang yang taat kepada Tuhan sedangkan Tuhan tidak lagi bersemayam di hati kita? kita berusaha menipu Tuhan dengan tindakan kita memberi sedekah dan berharap bahwa Tuhan masih bertegur sapa dengan kita. Tuhan sudah kita singkirkan, sekarang kita pun masih menipu dan menyogoknya.

Ah, manusia..berapa lama lag?

Minggu, 10 Juli 2011

Hidup bagai bejana tanah Liat


Hidup bagai bejana tanah liat adalah tepat untuk menggambarkan kenyataan hidup kita yang mudah retak dan tak berdaya. Apalagi kalau kita sedang ditindas dan dianiaya entah dalam bentuk apapun. Sering kali yang muncul adalah perasaan tidak berdaya. Namun itu menandakan bahwa manusia memang terbuat bukan dari besi baja seperti Gatot Koco tetapi dari tanah yang memang mudah retak. Kita ini rentan dengan segala hal yang datang dari luar untuk rusak. Diri kita ini mudah sekali pecah oleh karena memang diri kita terbuat dari tanah liat. Ingat, tanah liat!!

Dengan menyadari ini kita terbebas dari sikap sombong. Kita bukanlah orang-orang yang tangguh dalam segala hal, yang tak pernah akan merasakan pahitnya dunia. Justru sebaliknya kita adalah manusia-manusia yang ‘pasti’ butuh orang lain. kita tidaklah seperti manusia dalam banyangan Nietche yang berbicara tentang ‘Manusia Super” atau Ubermensch. Linda Smith & William Raeper dalam bukunya Ide ide filsafat dan agama dulu dan sekarang menyebutkan bahwa Manusia Super yang dimaksud oleh Nietzche adalah seseorang yang menyadari keadaan sulit yang dialami manusia. Ia menciptakan nilai-nilainya sendiri dan mampu membentuk hidupnya sendiri. Ia mengatasi kelemahan dan membencinya di dalam diri orang lain. Bagi Nietzche Manusia Super akan menjadi manusia Dionysian jenis baru dengan daya hidup nyata dan kekuatan besar, percaya diri dan disiplin diri. Meskipun Franz Magnis Suseno dalam bukunya Menalar Tuhan membantah bahwa Nietzche tidaklah mengaitkan Ubermensch sebagaimana ‘SuperMan’ yang kita kenal, melainkan dimaksudkan sebagai manusia yang tidak lagi melemparkan tanggungjawab kepada Allah dan Agama. Namun, sulit untuk melepaskan gagasan Ubermensch dari keyakinan bahwa kita sebenarnya bisa mandiri dan terbebas dari orang lain bahkan Allah. Bayangan Nietzche ini mau tidak mau terkait dengan bayangan bahwa manusia sebenarnya mampu untuk tangguh di hadapan kenyataan apapun, termasuk dunia.

Ambisi sang filsuf yang terkenal nyentrik dengan kalimat ‘Allah telah mati’ itu justru berkebalikan dengan kenyataan manusia sendiri. Lemah dan tak berdaya adalah sebuah hal yang mengitari diri manusia. Bahkan kenyataan bahwa manusia itu lemah dimulai ketika kita lahir di dunia ini dengan tangisan, karena kita akan masuk ke dalam ‘medan’ penderitaan.

Paulus, dalam kitab 2 Korintus 4:7-18 berkisah tentang bejana tanah liat. Dalam hal ini bejana tanah liat adalah kiasan yang digunakan oleh Paulus di dalam menggambarkan tubuhnya yang lemah. Robert Banks dalam bukunya Paul’s Idea of Commnunity mengatakan bahwa Paulus dipengaruhi oleh filsafat Stoa. Maka tidak mengherankan kalau dualisme yang ada dalam berbagai macam pemikiran Paulus sangat terasa. Namun dalam kaitannya dengan metafora tanah liat, Paulus nampaknya justru melihat tubuh yang lemah sebagai jalan masuk bagi Allah untuk berkarya. Calvin J. Roetzel dalam bukunya Paul a Jew on the Margins mengatakan bahwa melalui metafor bejana tanah liat, Paulus ingin menggambarkan tubuhnya yang lemah tetapi justru lewat tubuh yang lemah inilah dipercayakan untuk mewartakan Injil Yesus Kristus. Allah telah mempercayakan pelayanan kepada manusia yang lemah yang digambarkan dengan bejana tanah liat yang mudah retak dan hancur karena pemakaian sehari-hari. Apa yang dialami oleh Paulus, dengan sangat jelas terkait dengan ‘penderitaan’ yang dialaminya. Misalnya terlihat dalam kata-kata ditindas, dianiaya, dihempaskan (ayat 8-10). Dalam keseluruhan surat Korintus kita bisa menemukan bagaimana rasul Paulus memang sering mengalami penderitaan. Apalagi jika dikaitkan dengan keberadaan para rasul lain yang ada di Korintus. Mereka yang menjadi lawan dari rasul Paulus dalam kitab Korintus menyebut diri sebagai ‘rasul’ dan ‘pelayan Kristus’. Sering kali rasul-rasul tersebut oleh Paulus disebut sebagai ‘super apostle’ (11:5;12:11), false apostle (11:13) dan minions of satan atau kaki tangan setan (11:13-15).

Hal yang menarik dalam pemaparan Roetzel adalah bahwa metafora tentang bejana tanah liat adalah sebuah cara bagi Paulus untuk menyamakan dan ambil bagian dalam kematian Yesus. Dengan cara inilah, Paulus menegaskan bahwa badannya yang lemah dan mudah hancur oleh kematian, dengan kekuatan yang dari Kristus yang telah dibangkitkan telah mengalahkan kematian itu sendiri. Maka dengan metafora bejana tanah liat, Paulus ingin memperlihatkan bahwa manusia seperti dirinya di mata manusia (khususnya di mata rasul yang menjadi saingannya) adalah lemah dan tidak berarti apa-apa, tetapi justru dengan itulah kekuatan yang dari Allah datang (ayat 7). Maka Paulus mendapati kekuatannya menjadi sempurna di dalam kelemahan.

Seorang teman mengatakan bahwa penderitaan yang kita alami adalah jalan masuk bagi Allah untuk mengangkat kita dari beban kita. Dia percaya bahwa selama kita masih bisa menanggung beban kita sendiri, Allah berjalan di samping kita. tetapi ketika kita sudah tidak sanggup lagi mengangkat beban kita, Allah yang akan menggendong kita. Saya jadi ingat tentang Puisi ‘Jejak-jejak Kaki’ dari Margaret Fishback Powers:

Suatu malam aku bermimpi berjalan-jalan di sepanjang pantai Bersama Tuhanku. Melintas di langit gelap babak-babak hidupku.Pada setiap babak, aku melihat dua pasang jejak kaki, Yang sepasang milikku dan yang lainnya milik Tuhanku. Ketika babak terakhir terkilas di hadapanku. Aku menengok jejak-jejak kaki di atas pasir. Dan betapa terkejutnya diriku Kulihat acap kali di setiap hidupku. Hanya ada sepasang jejak kaki Aku sadar bahwa ini terjadi Justru saat hidupku berada dalam keadaan yang paling menyedihkan.Hal ini selalu menggangguku dan akupun bertanya kepada Tuhan: “Tuhan, ketika aku mengambil keputusan untuk mengikutMu, Engkau berjanji akan selalu berjalan dan bercakap-cakap denganku di sepanjang jalan hidupku. Namun ternyata dalam masa yang paling sulit dalam hidupku, hanya ada sepasang jejak kaki. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa ketika aku sangat memerlukanMu engkau meninggalkan aku”. Ia menjawab dengan lembut:”AnakKu, aku sangat mengasihiMu dan sekali-kali Aku tidak akan pernah membiarkanmu, terutama sekali ketika pencobaan dan ujian datang. Bila engkau hanya melihat hanya ada sepasang jejak kaki, ini karena engkau berada dalam gendonganKu”.
Apa yang dialami oleh Paulus adalah sesuatu yang manusiawi sekali. Ada sakit yang terasa ketika penderitaan itu datang. Bagaikan bejana tanah liat, tubuh kita yang lemah adalah pertanda bahwa kita bukanlah ‘manusia super’ yang jauh dari tangisan dan air mata. Namun, penghayatan Paulus atas penderitaannya membawa dia pada Yesus sendiri yang merupakan sumber kekuatan. Sangat normatif mungkin. Namun, satu hal yang menarik bahwa ‘perspektif’ Paulus akan penderitaannya tidaklah gampang di temukan dalam diri orang percaya. Ketika penderitaan datang, hujatan datang bertubi-tubi, entah kepada Tuhan, iblis, keluarga, teman atau siapapun yang pantas jadi sasaran amarah dari penderitaan tersebut. Paulus tidaklah demikian. Sadar betul bahwa ia lemah, ia justru meminta kekuatan dari Tuhan. Karena hanya dengan demikianlah, Allah berkarya dalam dirinya. Sehingga yang keluar dari mulut Paulus adalah-justru ‘ucapan syukur’.

Allah tidaklah membiarkan kita sendirian dalam penderitaan kita. Ketika kita tidak sanggup lagi Ia akan menggendong kita. Karena dengan itulah, Allah berkarya alam diri kita.

Jumat, 08 Juli 2011

Urip Mung Sadrema nglakoni?

Kalimat dalam bahasa jawa di atas berarti ‘hidup hanya sekedar menjalani’. Manusia tidak punya hak untuk protes karena semua sudah ditentukan oleh Tuhan. Semua hal yang terjadi di dunia ini tergantung dari apa yang sudah ditakdirkan oleh Sang Pencipta. Oleh sebab itu, orang Jawa mengidentifikasikan dirinya sebagai wayang yang segala yang dialaminya ditentukan oleh dhalang. Dalam hal ini wayang sebagai simbol manusia dan dhalang sebagai simbol Tuhan. Sikap yang seperti ini bertalian dengan kepercayaan masyarakat Jawa bahwa ia berasal dari Tuhan-dalam pengertian diciptakan oleh Tuhan-dan mereka akan kembali kepada Tuhan. Maka salah satu kata yang sering saya jumpai di lingkungan masyarakat Jawa adalah nrimo, yang oleh Benedict R. O’G Anderson dalam bukunya Mitologi dan Toleransi orang Jawa dituliskan sebagai sebuah sikap ikhlas menerima hidup dan toleransi pemakluman yang besar. Sikap menerima apa adanya inilah yang saya temukan ketika orang Jawa merasa baik-baik saja terhadap kejadian apapun yang dia alami. Teman-teman orang Jawa pun tak suka cari perkara. Kalau memang harus demikian, ya mesti pasrah dan nrimo.

Salah satu pengalaman saya adalah ketika beberapa orang Jawa yang mengalami bencana Merapi justru masih bisa bersikap biasa-biasa saja meskipun penderitaan atas dirinya begitu berat. Mereka selalu berusaha untuk hidup sesuai dengan apa yang terjadi tanpa harus mempersalahkan siapa-siapa termasuk Tuhan. Karena sikap nrimo ini lahir dari sebuah keyakinan bahwa segala kejadian di dunia ini, entah itu baik maupun buruk pada dasarnya sudah ditentukan oleh Sang Gusti Allah. Bagi saya yang bukan orang Jawa, sikap nrimo ini begitu luar biasa karena mampu menyelaraskan diri dengan hidup itu sendiri. Mungkin agak terkesan fatalistik, tetapi yang saya pahami bahwa nrimo itu adalah sebuah ‘sikap’ dan bukan cuman diam dan tak berbuat apa-apa. Nrimo bukanlah sikap pasif dan apatis. Ditengah penderitaan yang dialami warga merapi, mereka nrimo tetapi sekaligus berusaha untuk berjuang kembali untuk mengumpulkan kepingan kegembiraan sebagaimana sebelumnya. Mungkin agak mirip dengan lagunya Bondan Prakoso & Fade 2 Black: ‘ya sudahlah’. Wes sudah terjadi, kenyataannya memang begitu. Tetapikan hidup harus berlanjut..

Keterbukaan pada kenyataan inilah yang menarik dari sikap nrimo. Karena hidup itu sendiri sangatlah unpredictable. Ia tidak mudah ditebak dan diramal. Tetapi kita pun sadar bahwa hidup itu tidak jauh dari kata senang dan sedih, suka dan duka. Maka, ketika kesadaran itu berwujud dalam sikap nrimo, berhadapan dengan hidup yang bagaimanapun kita sudah siap. Kenyataan pahit ataupun enak adalah bagian dari sikap kita menjalani hidup. Dalam salah satu bukunya, Selamat Berpulih, Andar Ismail berkata:’Tetapi menerima kenyataan jangan dianggap menyerah. Menerima kenyataan adalah berdamai dengan diri sendiri lalu secara kreatif mencari jalan untuk menjadikan keadaan hidup tetap berguna’.

Kita semua memang mencita-citakan hidup yang sempurna. Tetapi bukankah hidup yang sempurna itu terjadi ketika kita bisa hidup selaras dengan kenyataan yang ada?

Jumat, 01 Juli 2011

Perselingkuhan Gereja dan Etika Kristen


Perkembangan gereja mula-mula tidak berbenturan dengan etika pada umumnya. Perubahan mulai terjadi ketika posisinya di masyarakat semakin lebih baik dan diperhitungkan. Tinggal di kota2 besar seperti Roma, Efesus dan mereka orang-orang yang pekerja sehari-harinya bertalian dengan jasa [keuangan, jasa telekomunikasi]. Orang Romawi lebih percaya kepada orang Kristen untuk menyimpan uangnya (hal ini terjadi karena sangat taat pada prinsip Yesus yang bersikap baik dan jujur).

Akibat dari semakin dipercayanya orang Kristen dalam wilayah-wilayah dimana mereka berada adalah jumlah mereka yang makin banyak. Ini ancaman buat negara. Posisi penting orang Kristen membuat negara mulai terancam. Di bawah pemerintahan Kaisar Galerius, mereka ditangkapi dan dibunuhi karena mereka (notabene) adalah Kristen.

Namun tindakan represi ini tidak membuat orang Kristen berkurang. Orang Kristen tidak dapat hilang dan malah makin berkembang. Mungkin mirip dengan mottonya orang Kristen kebanyakan ‘semakin dibabat semakin merambat..heheh’. Maka tindakan pemerintahan Romawi berubah dari sikap yang represif terhadap orang Kristen sekarang orang Kristen dirangkul. Orang-orang Kristen dirangkul dan masuk dalam pemerintahan. Dekrit Milan 311, orang Kristen diizinkan ibadah secara terbuka.

Dari sinilah gereja mulai berubah dan etika kristennya berubah. Negara memberi banyak konsensi dan kemudahan. Dan gereja merasa bahwa ternyata negara tidak buruk-buruk amat. Padahal sebelum dirangkul oleh negara, gereja (orang-orang Kristen) sangat Kristis terhadap negara. Mereka tidak pernah berkompromi dengan negara. Tetapi rangkulan yang terkesan baik dari negara membuat orang-orang Kristen akomodatif dengan berbagai kebijakan negara. ‘kan sudah diberi fasilitas ini itu, sudah diizinkan tinggal dan hidup, masa mau ngekritik negara’. ya kira-kira begitulah keadaan orang Kristen pasca rangkulan negara tersebut.


Hal ini berlanjut dengan kebijakan dari Konstantin yang ingin menyatukan Romawi. Menurutnya salah satu tindakan menyatukan negara adalah dengan mengakui kekristenan. Kita tahu bahwa saat kekaisarannyalah muncul perdebatan Trinitas. Perdebatan antara mereka yang mono dan trinitarian ini membawa pada ancaman perpecahan di kalangan Kristen dan ini tidak diinginkan oleh Konstantin. Maka Ia lalu melahirkan Konsili Nicea. Ini adalah Agenda politik Konstantin, bukan karena dia seorang saleh dan taat. Konsili Nicea sendirikan 325 Masehi. Dia dibabtis 336 pas pada saat dia sekarat. Jadi 11 tahun setelah Konsili Nicea diadakan. Persoalan politiklah yang membawa kekristenan masuk ke dalam aliansi negara.

Perangkulan negara yang berlebihan inilah yang akhirnya membawa pengaruh besar terhadap kekristenan seterusnya. Standar diturunkan. Jika tidak tentu akan bertentangan dengan negara. Disini terjadi yang namanya ‘Simbiosis mutualisme’. Kekristenan perlu kaisar dan kaisar butuh orang Kristen demi agenda politik. Kaisar Konstantin perlu didukung karena dia mendukung orang Kristen. Jangan sampai jika dia turun dari tahta, maka muncul kaisar yang ndak respek dengan orang Kristen.

Pendekatannya pada akhirnya adalah diadic. Contoh dari perselingkuhan gereja dan negara ini adalah pendapat dari Agustinus. Ia mengatakan: Kekerasan mau dipakai untuk apa? Pribadi atau orang lain? Kekerasan bertalian dengan kehendak dan aksi. Kehendak yang baik ndak apa-apa. Ini suci. Kalau kita membunuh orang jahat bisa baik untuk dia. Karena jiwanya nanti akan bisa diinjili oleh Kristus. Tujuan membunuh dengan alasan baik dan mulai bisa. Meski tindakannya jelas salah. Tetapi yang menjadi penekanannya adalah kehendaknya bung!!

Ini sangat berbeda dengan etika kristen sebelum terjadi perselingkuhan gereja dan negara yang sangat menekankan tindakan pacifis. Tidak ada kompromi di dalamnya. Kekerasan adalah kekerasan dan itu dipegang oleh orang Kristen sebelum terjadi perangkulan oleh negara.

Maka sejarah gereja yang sudah tercemar ini perlu menjadi pelajaran buat orang Kristen sekarang ini. Kesempatan tidak terikat secara formal dengan negara (Indonesia) adalah kesempatan bagi gereja untuk ‘mengobarkan’ sebuah komunitas nir kekerasan. Sebuah tindakan pacifis yang dibawa oleh Yesus :D

Rabu, 15 Juni 2011

Iman sebesar Biji Sesawi: dari Krisis Identitas ke Krisis Iman



Kata Yesus, andai kita punya iman sebesar biji sesawi, kita akan bisa memindahkan gunung. Mungkin Yesus tahu bahwa iman sebesar biji sesawi adalah hal yang jarang ditemukan dari manusia seperti saya, makanya Dia berani bilang ‘mindahin gunung’. Kalau ndak gitu, entar gunung Merapi bakalan tak pindahin jauh dari Yogya..

William Barclay dalam bukunya Pemahaman Alkitab Setiap Hari menggambarkan biji sesawi sebagai kiasan yang ‘biasa’ dipakai di dunia Timur. Barclay misalnya menunjukkan bagaimana orang Yahudi berbicara tentang setetes darah sama kecilnya dengan biji sesawi; atau pelanggaran kecil terhadap hukum upacara, mereka akan berbicara tentang pencemaran sekecil biji sesawi (2005:122). Dalam kitab Matius, Yesus memakai biji sesawi untuk menggambarkan Kerajaan Sorga dan kemudian menjelaskannya sendiri bahwa biji itu akan tumbuh menjadi besar dimana ‘burung-burung’ akan bernaung untuk mendapat perlindungan atasnya (bdk. Matius 13:32). Memang biji sesawi digambarkan sebagai sebuah biji yang amat kecil, namun seiring dengan pertumbuhannya ia akan menjadi pohon yang besar. Maka jelas bahwa Yesus sebenarnya tidak memakai ‘biji yang lain’ seumpama biji mahoni atau durian oleh karena biji sesawi sudah amat di kenal di daerah Yesus melayani. Dan ‘iman sebesar biji sesawi’ dalam kitab Matius berada dalam konteks ‘Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan’ (Mat. 17:21). Perkataan itu keluar dari mulut Yesus untuk ‘menegur’ para muridnya yang ternyata tidak bisa menyembuhkan penyakit yang di derita oleh anak muda tersebut. Dan itu disebabkan oleh karena para murid ‘kurang percaya’. Maka, dengan agak sedikit kecewa, Yesus menegur para murid dengan mengatakan: ‘berapa lama lagi Aku harus tinggal bersama kamu?’

Maka tak heran jika seorang hindu bernama Dayananda Saraswati dalam artikelnya berjudul ‘The light of Truth’ yang terdapat dalam buku Paul J. Griffiths (ed), Christianity through non-Christianian Eyes menjadikan ayat ini sebagai alasan bagi dia untuk mengatakan bahwa Alkitab tidak lepas dari kesalahan. Ia mengatakan:

Orang Kristen mengajarkan:” Marilah, terimalah agama kami, biarlah dosa-dosamu diampuni dan kamu mendapat keselamatan”. Semuanya ini tidak benar, karena apabila Kristus memiliki kuasa untuk menghapus dosa, menanamkan iman kepada orang lain dan memurnikan mereka, mengapa Ia tidak membebaskan murid-muridNya dari dosa, membuat mereka setia dan murni? Bila Ia tidak dapat membuat mereka yang mengikuti Dia murni, setia dan bersih dari dosa, bagaimana mungkin kini Ia, yang tidak seorang pun tahu dimana keberadaanNya sekarang, dapat memurnikan seseorang? Sementara murid-murid Kristus tidak memiliki iman bahkan sebesar biji sesawi sekalipun dan mereka inilah yang menulis Alkitab, bagaimana mungkin kitab seperti itu bisa diakui sebagai kitab yang berwibawa

Terlepas dari ketidaksetujuan saya terhadap komentar Saraswati di atas, saya kira adalah menjadi soal ketika orang Kristen bahkan tidak memiliki iman sebesar biji sesawi akhirnya menjadi alasan bagi banyak orang yang melihat kita sebagai pengikut Kristus tidak menunjukkan simpatinya. Karena tindakan kita justru tak pernah sedikit pun menunjukkan bahwa Yesus yang kita kenal berkuasa tersebut tak pernah dilihat dalam diri kita. Padahal Yesus bilang : kalau punya iman sebesar biji sesawi, maka kamu bisa angkat gunung’.

Komentar Saraswati di atas terlihat tidak menempatkan konteks ‘iman biji sesawi’ dalam konteksnya, entah itu sejarahnya maupun konteks ceritanya. David J. Bosch dalam bukunya berjudul Transformasi Misi Kristen menyebutkan bahwa “Injil kita yang pertama (Matius-pen.) pada hakikatnya adalah sebuah teks misioner. Visi misionernya inilah yang membuat Matius mulai menulis injilnya. Bukan untuk menyusun Riwayat Yesus melainkan untuk memberikan bimbingan kepada suatu komunitas, yang mengalami krisis tentang bagaimana mereka harus memahami panggilan dan misinya.” (1997:89). Maka cerita tentang ‘Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan’ dimana di dalamnya berbicara soal ‘iman sebesar biji sesawi’ adalah untuk menunjukkan sikap Yesus kepada penerima Injil ini agar percaya akan Yesus. Artinya kisah tentang “Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan” adalah dalam rangka mengatasi ‘krisis’ yang sedang dialami oleh komunitas penerima Injil Matius.

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Schuyler Brown dalam bukunya berjudul The Origins of Christianity yang mengatakan bahwa Injil Matius ditulis pasca penghancuran bait Allah pada tahun 70 M (1984: 119). Willi Marxsen dalam bukunya Pengantar Perjanjian Baru juga mengatakan hal yang sama bahwa:’dapat dipahami bahwa kitab ini berasal di Pela, yang terdapat di daerah sebelah timur Yordan tempat komunitas Kristen Yahudi di Yerusalem menemukan daerah pertemuan baru setelah pelarian dari kota itu tak lama sebelum kehancurannya dalam tahun 70 M (2000:184). Penghancuran bait Allah adalah sesuatu yang ‘memukul’ bagi komunitas Injil Matius. Karena sebagian besar komunitas Injil Matius adalah orang Yahudi, maka meskipun mereka mengikut Yesus sebagai guru mereka sekaligus sebagai utusan Allah. Bait Allah adalah hal yang masih teramat penting, sebagai penegasan identitas mereka dengan bangsa-bangsa lain. Kehancuran Bait Allah berarti kehancuran identitas mereka. Maka, menjadi persoalan kemudian buat mereka apakah memang benar bahwa keyakinan mereka akan Yesus adalah sesuatu yang tepat? Mengapa justru ketika mereka sudah menjadi pengikut Yesus, mereka kehilangan identitas mereka terhadap Bait Allah? Inilah ‘krisis’ yang sedang dihadapi oleh komunitas Injil Matius. Krisis identitas membawa mereka pada krisis iman akan Yesus. Apakah betul Yesus sebagai anak Allah punya kuasa?

Dengan mengetahui konteks sejarah dan ceritanya, kita bisa melihat bahwa iman sebesar biji sesawi ditunjukkan kepada para pengikut Yesus dalam komunitas Injil Matius yang sedang mengalami krisis akibat penghancuran Bait Allah. Sehingga cerita ini ingin memberi ingatan kepada para murid di komunitas Injil Matius untuk kembali pada kepercayaan mereka kepada Yesus.

Dalam hidup ini, krisis dalam bentuknya yang beragam datang silih berganti. Sering sekali krisis tersebut membuat kita kehilangan kepercayaan kita kepada Yesus. Namun jika kita tetap mempertahankan iman kita, krisis dalam bentuknya yang beragam dapat kita atasi. Betapapun berat krisis yang sedang kita hadapi, kita diajak agar menatap Yesus sebagai sumber pengharapan. Artinya, kita membiarkan diri kita untuk dikuasai oleh Krisis atau justru menghadapi krisis bersama dengan sebuah pengharapan dari Yesus. Hal ini mengingatkan saya akan sebuah cerita yang berjudul ‘Petualangan mencari Raja burung’ dalam Sufistik: Melayani Maling dimana dikatakan: ‘kelak dalam perjalanan, kata burung Hud-hud, para burung akan melewati tujuh lembah penderitaan. Masing-masing lembah adalah kelanjutan dari lembah sebelumnya. Karenannya, mereka harus terlebih dahulu berhasil melewati penderitaan pada setiap lembahnya untuk dapat memasuki lembah berikutnya’ (2005: 69). Maka krisis yang dihadapi hendaknya tidak menghilangkan kepercayaan kita tetapi menjadikan itu untuk naik ke tingkat lebih tinggi dari iman dan kepercayaan kita kepada Kristus. Jadilah seperti biji sesawi yang tumbuh menjadi besar sehingga orang lain juga turut merasakan kuasa Yesus dalam diri anda.

Kamis, 09 Juni 2011

Hidup dengan Allah adalah sebuah Pertaruhan

Menulis kata ‘taruhan’ otak saya langsung merujuk kepada judi. Judi memang sering dikaitkan dengan taruhan karena mana ada judi tanpa taruhan. Misalnya judi kartu. Kalau ada, itu namanya bukan judi tapi dolanan wae. Seperti saya waktu kecil dulu, sering main gaplek dengan teman-teman, tetapi ndak taruhan. Ya, paling-paling hukumannya jongkok atau muka dicoret pake kapur. Tetapi, judi yang dilarang oleh om Roma dalam lagunya tentu beda. Judi dengan taruhan milik sendiri entah itu uang ataupun barang. Tetapi tidak hanya pertaruhan dalam pengertian bahwa ada taruhannya, tetapi judi juga pertaruhan karena tidak seorang pun dari pemainnya yang tahu bakalan menang. Meskipun saya tahu bahwa beberapa orang punya keahlian dalam mengotak-ngatik kartu, tetapi tetap saja hasil akhir tidak pernah tahu. Maka judi bisa dibilang pertaruhan!

Sebagaimana judi, hidup dengan Allah adalah pertaruhan. Mengapa? Karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi ketika kita berelasi dengan yang kita cintai yaitu Allah. Kita tidak pernah tahu bagaimana kisah dengan Allah berakhir apakah seperti dalam kebanyakan film dengan akhir kisah happy ending ataukah justru berakhir tragis atau malah komedi? Tidak ada yang tahu. Hidup dengan Allah adalah sebuah pertaruhan.

Dalam Perjanjian Lama, contoh yang paling jelas terlihat adalah kisah tentang Ayub. Dianne Bergant, CSA. & Robert J. Karris, OFM dalam Tafsir Kitab Perjanjian Lama mengatakan: ‘Kitab itu gambaran jelas dari penderitaan dan perjuangannya untuk memahami Keadilan Allah menghadapi pengalamannya sendiri yang kacau’(2002:403). Pengalaman Ayub berhadapan dengan Keadilan Allah adalah sesuatu yang cukup mengejutkan karena bagaimana mungkin Ayub yang dalam ceritanya disebutkan bersikap saleh dan jujur, mencintai Allah, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayub 1:1) dalam hidupnya bisa mengalami ‘hukuman’ dari Allah? Tetapi, sebagaimana Ayub mengalaminya, hidup kita dalam kenyataannya tidaklah jauh dari kisah seperti itu. Selalu saja ada hal atau kejadian dimana kita mengatakan: Tuhan, bukankah aku telah melakukan segala perintahMu? Tetapi mengapa justru bukan kebaikan yang aku dapat?

Pengalaman yang tidak mudah ini oleh Soelle disebut sebagai ‘sunder warumbe’ atau yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan ‘without a why’. Sarah Katherine Pinnock (ed.) dalam bukunya berjudul The Theology of Dorothee Soelle mengatakan bahwa:’to live ‘without a why’ means to live without intentions, goals, purposes, or power’ (2003:175). Dan dalam kaitannya dengan Ayub, kecintaannya kepada Tuhan tercermin dari sikapnya kepada Allah. Misalnya kita temukan ini dalam pertanyaan yang diajukan oleh Iblis kepada Tuhan dengan mengatakan: apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah?(Ayub 1:9). Pertanyaan ini sejajar dengan apa yang ada dalam sunder warumbe. Apakah kita bisa mencintai Tuhan jika kita tidak mendapat kebaikan dari Tuhan? Apakah kita masih bisa mencintai Tuhan jika kita tidak mendapat berkat dari Tuhan? Tentu ini pertanyaan yang muncul dari kebiasaan kita beragama yang baru ‘beriman’ kepada Tuhan kalau kita mendapatkan sesuatu dari Dia. Hidup beragama yang seperti inilah yang disebut sebagai ‘teologi take and give-memberi untuk mendapatkan sesuatu.

‘Modus’ berpikir manusia sama dengan seorang pemain judi yang ahli dalam mengotak-ngatik kartu. Kita mendesain sedemikian rupa tindakan kita agar ‘kebaikannya’ Allah menjadi bagian kita. Boleh saja sih berpikir begitu! Tetapi, tentu Allah bukanlah sosok yang dapat kita atur apalagi dengan mengaturnya memakai pola pikir manusia. Allah bukanlah objek yang dapat dimanipulasi. Karena sejak awal, nenek moyang kita dalam berbagai macam iman dan tradisi, telah membuktikan dan mengalami sendiri bahwa berelasi dengan Allah adalah sebuah tindakan yang tidak mudah dan berjalan mulus begitu saja.

Dengan kejadian ini saya ingat apa yang dikatakan oleh seorang teman: hidup dengan Allah tidaklah linier tetapi seperti roller coster yang berputar ke atas dan kebawah. Kita bisa saja mengira bahwa memberi dan beramal hidup kita akan mulus bak mengendarai kendaraan di jalan tol. Kita bisa saja berpikir bahwa menolong orang yang kelaparan adalah tindakan yang akan mendapat pahala dari Allah. Tetapi apakah kita masih bisa melakukan itu tanpa mengharapkan apapun? Apakah kita masih bisa dan mau berelasi dengan Allah dengan tidak berharap apapun? Inilah pertaruhan itu, mau mencintai Allah saja, dengan atau tanpa imbalan apapun. Titik!

Rabu, 08 Juni 2011

Doa peziarah doa yang menyatukan


Dulu waktu kecil, saya selalu bertanya mengapa orang dewasa pergi ke gereja yang berbeda dengan kami anak kecil. Karena di kampung saya dulu, ada 2 gereja yang satu dipakai untuk kebaktian orang dewasa dan yang satunya dipakai untuk anak seperti kami-di depannya ada sebuah papan putih bertuliskan ‘Sekolah Minggu’ (SM). Di sekolah inilah saya belajar banyak tentang siapa Tuhan Yesus, bagaimana saya harus mengasihi sesama, membaca Alkitab dan bagaimana caranya berdoa. Untuk melatih bagaimana caranya berdoa, ada sebuah lagu yang masih sedikit saya ingat teksnya berbunyi: lipat tangan tutup mata. Selain dari keluarga, dari sekolah minggu inilah saya diajarkan untuk berdoa.

Setelah umur saya mulai banyak bertambahnya, dan mulai banyak mengenal orang saya menemukan bahwa doa bukanlah ‘miliknya’ orang Kristen saja. Ternyata teman-teman saya yang bukan Kristen juga mengenal yang namanya ‘doa’. Baik saudara-saudara saya yang Muslim, Budha dan Hindu saya juga menemukan kata ‘doa’ dalam keseharian mereka. Lalu saya sadar bahwa ternyata kita umat manusia disamakan dan dipertemukan dalam doa. Tentu cara dan apa yang disampaikan berbeda-beda, dari agama yang satu ke agama yang lain, dari budaya yang satu ke budaya yang lain. Tetapi, sebagaimana yang disampaikan oleh Lama Surya Das alam bukunya ‘Awakening to the Sacred’ (2002: 287) mengatakan:’tema umumnya (yang dia maksud doa-tambahan saya) dalam semua tradisi berkisar di sekitar kemauan manusia wajar untuk membuka hati kita dan berkomunikasi dengan prinsip suci, kekuasaan yang lebih tinggi atau sumber Ilahi’. Kita dalam agama dan tradisi yang berbeda selalu digerakkan oleh hati terdalam dan jiwa kita untuk selalu terhubung dengan yang Ilahi.

Jika setiap kita yang berbeda agama dan tradisi ini dengan sadar bahwa ternyata kita sama-sama mengakui ‘kekuasaan’ di luar diri kita, maka dengan sendirinya kita juga seharusnya sadar bahwa kita adalah manusia-manusia yang sedang berziarah dalam dunia, yang penuh dengan ketidakpastian, penuh dengan kelemahan dan pada saat yang sama selalu ‘berusaha’ mengarahkan diri dan hidup kepada Dia yang kita percayai sebagai yang Maha segalanya. Dalam doa, kita semua berserah dan mengaku bahwa dalam perjalanan yang berliku kayak roller coaster ini kita perlu pegangan. Doa adalah usaha kita untuk tetap berjalan dengan berharap akan kekuatan sang Ilahi. Doa adalah kesadaran kita sebagai manusia ciptaan yang sedang berziarah dalam dunia. Rm. DR. Tom Jacobs, S.J dalam bukunya “Teologi Doa” (2010:18) pernah menuliskan bahwa:’syarat mutlak untuk doa adalah ‘masuk dalam dirinya sendiri’, menyadari diri sedalam-dalammnya sebagai makhluk ciptaan, menyadari bahwa hidup yang kita hidupi ini bukanlah berasal dari diri kita sendiri.’

Di setiap Adzan berkumandang, saya diingatkan akan kebesaran Tuhan. Saya tahu bahwa Adzan adalah panggilan bagi saudara saya Muslim untuk sholat. Tetapi, kesadaran bahwa kita sama-sama mengakui akan kebesaran sang Ilahi, tentu itu juga panggilan untuk saya mengumandangkan kesadaran lebih bahwa sang Ilahi yang dipanggil dengan nama berbeda dan berbagai cara itu juga sedang menunggu kesediaan saya untuk masuk dalam ‘doa’. Maka, sekarang ini bukanlah hal yang aneh jika kekristenan khususnya protestan tidak lagi mempermasalahkan yang namanya ‘meditasi’ yang justru merupakan tradisi doa yang berkembang dalam agama Budhis atau ziarah-ziarah ke tempat suci yang merupakan tradisi dari Katolik.

Karena doa adalah pertanda bahwa kita sebagai manusia yang sedang berziarah dalam ketidakpastian seraya tetap berharap akan pertolongan sang Ilahi

Kamis, 26 Mei 2011

Saat dunia menjadi ‘menakutkan’.


Akhir-akhir ini kita sepertinya sedang menyaksikan bangsa kita menuju kehancuran. Berbagai kasus kejahatan yang diidap oleh sesama anak bangsa menjadi pemberitaan yang semakin hari semakin membosankan. Membosankan bukan karena tidak menarik, melainkan karena kita menyaksikan setiap detik media menyajikan kejahatan-kejahatan tersebut. Mulai dari korupsi (baik di tingkat eksekutif, legislatif dan yudikatif), perdagangan manusia, pembunuhan, konflik antar etnis, dan penindasan terhadap kelompok yang lemah (entah karena keyakinan agamanya, kecenderungan seksualitas seperti homo dan lesbi sampai penyiksaan para TKI, TKW dan PRT). Sebuah kenyataan yang membuat miris. Klaim pemuka lintas agama yang mengatakan bahwa bangsa ini sedang menuju negara gagal agaknya mendekati kebenarannya. Karena imbas dari kejahatan-kejahatan tersebut adalah makin senjangnya mereka yang miskin dan kaya, semakin banyaknya orang miskin dan pengangguran (kebutuhan paling dasar tidak tercukupi), semakin bertambahnya pelanggaran HAM, dan pada saat yang sama itu juga menunjukkan semakin lemahnya peran agama yang justru menjadi syarat wajib untuk tinggal di negara ini.

Ironi memang, ketika bangsa yang katanya religius sekaligus menjadi bangsa yang kejahatannya semakin luar biasa (ini juga menegaskan bahwa tidak jaminan bahwa sebuah bangsa yang 100% beragama lantas jadi bangsa yang baik dan lurus-lurus saja..hehehe). Seperti yang dikatakan oleh Islah Gusmian dalam bukunya Pantat Bangsaku: melawan Lupa di negeri para Tersangka (2004: 267): “Dunia keagamaan telah kehilangan nilai spritualitas. Keagungan Tuhan luntur. Konsep diri telah punah. Manusia tak lagi mempunyai rasa malu. Keadilan di jual dalam ruang persidangan oleh penegak hukum, janji palsu diobral dalam kampanye politik oleh para politikus. Masyarakat telah malu untuk memiliki rasa malu”

Kisah penciptaan yang ada dalam Alkitab menunjukkan kepada kita bagaimana Allah tidak membiarkan adanya ‘chaos’. Ia dengan kuasanya justru menata kembali dunia yang chaos tersebut. Chaos adalah realitas, tetapi apakah dengan kita mengalah dengan kenyataan chaos tersebut? Brueggamann dalam bukunya Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocasy (1997:234-235) melihat bahwa kisah penciptaan merupakan narasi liturgis sebuah bangsa yang terbuang di pembuangan (Babilon). Narasi liturgis tersebut adalah sebuah perlawanan terhadap dunia yang penuh bahaya dan penuh dengan kekacauan. Chaos adalah realitas sebuah bangsa yang sedang dalam pembuangan. Tetapi narasi liturgis dimana sebuah dunia yang teratur dan Yahweh menunjukkan kekuasaannya adalah sebuah dunia alternatif bagi bangsa tersebut. Dalam narasi liturgis tersebut terlihat bagaimana Yahweh berkuasa dan menata yang chaos menjadi dunia yang lebih baik. Dunia alternatif ini mengajak sebuah bangsa masuk ke dalamnya dengan tidak menjadi seperti bangsa yang menjajah mereka (Babilon) dengan segenap tindakan dan perilaku buruk mereka.

Pertanyaannya adalah apakah kisah penciptaan ini masih relevan dengan keadaan chaos dan menakutkan yang sedang kita alami sekarang? Menurut saya masih. Dengan mengingat kembali narasi liturgis seperti ini, kita diajak untuk tidak tenggelam dengan dunia yang justru menggumbar kejahatan seperti yang terjadi sekarang ini. Dunia alternatif yang kita usahakan adalah dunia yang berbeda, narasi hidup yang berbeda yang dengan itu terlihat bahwa eksistensi kita sebagai manusia yang merupakan ciptaan Allah adalah ciptaan yang (masih) baik.

Realitas kita memang penuh dengan kejahatan tetapi kita diajak untuk tidak tenggelam dan menjadi sama dengan itu. Semoga doa “Saat Dunia Tampak Menakutkan” oleh Leslie F. Brandt menjadi doa kita yang terus menggema dalam dunia yang memang menakutkan ini.

Saat Dunia Tampak Menakutkan

Ya Tuhan, dunia hari ini tampak menakutkan

Aku takut meninggalkan tempat tidurku yang hangat,

Keamanan dalam rumahku,

Untuk menantang kekuatan-kekuatan alam

Dan kekacauan umat manusia ini

Aku tak yakin bahwa aku memiliki bekal untuk hidup

Seperti yang Engkau harapkan daripadaku

Di tengah-tengah penderitaan dan masalah

Dari begitu banyak orang di sekelilingku.

Aku takut, Tuhan, dan aku malu.

Berikan daku kekuatan ya Allah

Engkau tidak menuntut agar aku memenangkan setiap pertempuran

Engkau hanya meminta agar aku mengangkat senjataku-atau memikul salibku

Dan masuk ke dalam arena kehidupan

Engkat tidak meminta aku bersungut ataupun mengeluh atas keadaan-keadaan yang tak teratasi yang menantang aku

Engkau hanya meminta agar aku menjadi diriku sendiri-AnakMu- MuridMu-WakilMu

Menjangkau orang lain di dalam kasih

Menolong menanggung beban orang lain

Membiarkan Roh Mu mengerjakan kehendakMu melalui aku

Karenanya Allah yang Agung , aku akan maju terus,

Dengan perintahMu dan dalam kuasaMu

Jadilah kehendakMu ya Tuhan, di dalam dan melalui daku

Sabtu, 21 Mei 2011

Egoisme kelompok dalam Kongres PSSI


Akhirnya kongres PSSI di hotel Sultan berakhir tanpa kesepakatan dan putusan apa-apa. Kongres yang diharapkan dapat berjalan dengan baik-tidak seperti kongres di Pekan Baru, Riau, ternyata tak lebih baik. Kongres ricuh sedari awal dengan banyaknya ‘hujan interupsi’. Sebagian dari hujan interupsi ini bertalian dengan tidak dimasukkannya sejumlah nama untuk mengisi kursi no 1 di PSSI. Sebuah kelompok yang sedari awal berjuang mati2an (kalau ndak disebut ngotot) memperjuangkan calon tertentu, meskipun FIFA sudah melarang. Sebagian pengamat sudah memperkirakan bahwa kelompok yang ngotot tersebut akan mengacaukan jalannya sidang. Dan itu terbukti sampai kongres yang dipimpin oleh Ketua Komite Normalisasi tersebut-Agum Gumelar, mengetuk palu tanda berakhirnya kongres meskipun selama 6 jam tak dihasilkan apa-apa.

Sikap ngotot tersebut kemudian dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Kelompok tersebut mengaku sebagai kelompok reformis-yang ingin membangun kultur sepakbola yang jauh lebih baik yang tak kunjung datang semasa kepemimpinan NH. Tetapi belakangan sikap reformis tersebut dipertanyakan oleh sejumlah pihak karena kelompok ini terus saja berupaya memaksakan kehendaknya, memasukkan calon yang mereka usung untuk menjadi calon ketua PSSI. Sebuah hal yang pada akirnya dipertanyakan apakah benar mereka ingin membangun sepak bola Indonesia lebih baik ataukah mereka sedang memperjuangkan kepentingan sekelompok orang untuk duduk di PSSI.

Sikap egoistik sebenarnya tak melulu negatif, meskipun sebagian orang memandang sikap ini adalah sikap yang perlu dilawan karena ia tak lain adalah nama lain dari hawa nafsu (hawa dari bahasa arab: al-nafs yang artinya kecenderungan dalam diri manusia), yang menyebabkan orang bertindak tidak peduli dengan orang lain. Les Giblin dalam bukunya The Art of Dealing with People mengatakan ‘kalau egoisme bisa menyebabkan orang melakukan hal-hal bodoh , irrasional dan destruktif, tetapi ia juga bisa membuat mereka bertindak dengan mulia dan sangat berani’ (2010:8). Dengan mengutip Edwar Bok, ia mengatakan bahwa apa yang disebut oleh dunia sebagai ego dan egoisme sebenarnya adalah ‘percikan api ilahi’ yang tertanam dalam diri manusia, dan hanya orang yang sudah ‘menyalakan percikan api ilahi dalam diri mereka’ yang akan mencapai hal-hal besar (2010:9).

Maka dengan itu, sikap egoistik sebenarnya punya sisi positif. Namun sikap egoistik menjadi berbahaya ketika seseorang merasa bahwa dirinya tidak diterima. Tuntutannya tidak sejalan dengan apa yang diberikan oleh apa yang diluar dirinya. Biasanya, harga diri mereka menjadi hal yang paling tersinggung dan pada akhirnya mereka akan melampiaskannya ke luar. Mereka akan melakukan apapun untuk memperjuangkan itu. Maka tidak sedikit dari mereka yang akhirnya mengabaikan orang dan kepentingan yang lain, sekalipun kepada mereka dialamatkan hujatan, kritik dan amarah. Mereka tidak akan bisa dilawan dengan sikap hujatan dan amarah, melainkan hanya dengan memberikan apa yang mereka anggap sebagai penghargaan terhadap tuntutan dan ‘harga diri’ mereka.

Sikap egoistik sekelompok orang yang ngotot memperjuangkan orang tertentu untuk menjadi calon orang nomor 1 di PSSI nampak ketika Komisi Banding yang dipimpin oleh Cipta Lesmana mengumumkan bahwa GT dan AP dilarang menjadi calon ketua di PSSI. Keputusan tersebut berujung pada ricuhnya Kongres di Pekan Baru yang sedikit banyak disebabkan oleh sekelompok orang pendukung GT dan AP. Dalam berbagai media, dengan mengatasnamakan reformasi di PSSI, mereka tetap ngotot untuk memperjuangkan masuknya GT dan AP. Sampai kemudian Komisi Banding di bawah AR meloskan GP dan AT. Diloloskannya kedua orang tersebut sebenarnya tidaklah mengejutkan karena Komisi Banding di bawah AR adalah bagian dari kelompok pendukung GT dan AP. Tetapi Komisi Normalisasi di bawah Pak Agum Gumelar yang merupakan pelaksana mandat dari FIFA mematahkan keputusan Komisi Banding tersebut. Karena menurut KN, GT dan AP sudah dari awal ditolak dan tidak lulus verifikasi sehingga proses banding tidak diterima. Artinya GT dan AP sebenarnya sudah gugur sebelum mereka mengajukan gugatan terhadap Komisi Banding. Perjuangan GT dan AP tidak hanya berhenti sampai di situ. Mereka kemudian membawa kasus ini ke CAS (Pengadilan Arbitrase Olahraga) tetapi hasilnya tetap sama, menolak gugatan GT dan AP dengan alasan tidak punya yuridiksi untuk memproses proses banding tersebut. Sikap ngotot terlihat semakin menjadi-jadi ketika banyaknya hujan interupsi pada kongres di hotel Sultan tanggal 20 Mei 2011 sampai ketua KN menghentikan jalannya kongres.

Egoisme yang berbahaya tersebut tak akan bisa diselesaikan sampai tuntutan dari kelompok yang mengusung GT dan AP dipenuhi tuntutannya. Artinya kepengurusan PSSI tidak akan jadi selama kelompok pengusung yang memang mayoritas di tubuh PSSI tersebut meloloskan calonnya. Tetapi bagaimana mungkin diloloskan sedangkan FIFA yang merupakan organisasi sepak bola dunia (termasuk PSSI bernaung) tidak meloloskannya. Maka saya kira, adalah hal penting jika pemerintah mempertemukan kelompok yang ngotot tersebut dan mendengarkan keinginan mereka. Selama ini pemerintah ataupun KN terkesan tidak pernah memfasilitasi kelompok tersebut. Begitujuga FIFA yang memang tidak persis tahu apa yang terjadi dengan persepakbolaan Indonesia. So, kelompok pengusung GT dan AP tak akan bisa dilawan hanya dengan mengeluarkan sejumlah keputusan yang merugikan mereka tetapi justru harus dijembatani dengan mendengar keinginan mereka dan kemudian mencari solusi yang terbaik dengan melibatkan sejumlah kelompok, pengamat sepakbola, pemerintah, KN dan kelompok pengusung GT dan AP.

Senin, 25 April 2011

Implikasi Dominasi Patriarkhi




Malam ini sedang bergulat dengan hubungan antara dikotomis tubuh dan jiwa di bawah payung filsafat Yunani. Tentunya sebagian dari kita paham betul bahwa dikotomis tersebut telah melahirkan pemahaman yang dualisme antara tubuh dan jiwa (berlanjut sampai Decartes dengan istilah 'mind'). Paham ini sederhananya: Tubuh dianggap jahat dan sumber segala kejahatan sedangkan jiwa/mind adalah hal yang baik.

Bagi mereka yang bergelut dengan perjuangan pembebasan tubuh perempuan, dikotomis tersebut telah membawa akibat pada perendahan tubuh perempuan dalam konteks masyarakat Patriarkhi. Sering sekali tubuh yang jahat itu dianggap sebagai tubuh perempuan. Dengan asosiasi yang seperti ini, perempuan dalam sejarahnya mengalami penindasan hanya oleh karena ia memiliki tubuh (perempuan). Ini tentu dikonstruksi oleh laki-laki yang kemudian mengekang tubuh perempuan dengan berbagai macam cara entah itu dalam ibadah maupun dengan menempatkan perempuan (hanya) berinteraksi dalam ruang ‘dapur’ saja. Lagi-lagi hanya karena ia memiliki tubuh perempuan. Dalam sebagian tradisi saking jahatnya tubuh perempuan, ia harus ditutupi karena bisa mengundang ‘kejahatan’ bagi laki-laki. Tubuh perempuan yang diasosiakan sebagai sumber kejahatan mesti diasingkan dari kehidupan agar kehidupan menjadi lebih baik. Hah!

Tetapi dalam pembacaan dan perenungan saya, khususnya dalam keterkaitannya dengan kasus human trafficking (perdagangan manusia), saya menemukan bahwa sekarang tubuh yang tertindas itu tidak lagi hanya ditempelkan kepada perempuan saja tetapi juga kepada tubuh laki-laki-yang dalam hal ini lemah dan tak berdaya. Maka, dalam kasus human trafficking kita tidak hanya menemukan perempuan saja yang menjadi korban tetapi laki-laki dan anak-anak.

Maka dominasi akan tubuh perempuan yang lemah dan tak berdaya sejajar dengan pengekangan terhadap mereka yang menjadi korban dalam kasus perdagangan manusia entah itu perempuan maupun laki-laki :)

Tubuh (laki-laki)———–dominasi Patriarkhi

Tubuh (perempuan)——–lemah dan tak berdaya

Tubuh (laki-laki) yang lemah sejajar dengan tubuh perempuan yang tertindas dalam kasus human trafficking)

Dan anda juga tahu bahwa dominasi Patriarkhi ini juga dianut oleh sebagia perempuan.

So, kesimpulannya, dominasi Patriarkhi itu tidak lagi dibatasi dari apakah kamu laki-laki atau perempuan :)

Minggu, 24 April 2011

Puisi Paskah (Oleh : Ulil Absar Abdala)


Ia yang rebah,
di pangkuan perawan suci,
bangkit setelah tiga hari, melawan mati.
Ia yang lemah,
menghidupkan harapan yg nyaris punah.
Ia yang maha lemah,
jasadnya menanggungkan derita kita.

Ia yang maha lemah,
deritanya menaklukkan raja-raja dunia.
Ia yang jatuh cinta pada pagi,
setelah dirajam nyeri.
Ia yang tengadah ke langit suci,
terbalut kain merah kirmizi: Cintailah aku!

Mereka bertengkar
tentang siapa yang mati di palang kayu.
Aku tak tertarik pada debat ahli teologi.
Darah yang mengucur itu lebih menyentuhku.

Saat aku jumawa dengan imanku,
tubuh nyeri yang tergeletak di kayu itu,
terus mengingatkanku:
Bahkan, Ia pun menderita, bersama yang nista.

Muhammadku, Yesusmu, Krisnamu, Buddhamu, Konfuciusmu,
mereka semua guru-guruku,
yang mengajarku tentang keluasan dunia, dan cinta.

Penyakitmu, wahai kaum beriman:
Kalian mudah puas diri, pongah,
jumawa, bagai burung merak.
Kalian gemar menghakimi!

Tubuh yang mengucur darah di kayu itu,
bukan burung merak.
Ia mengajar kita, tentang cinta,
untuk mereka yang disesatkan dan dinista.

Penderitaan kadang mengajarmu
tentang iman yang rendah hati.
Huruf-huruf dalam kitab suci,
kerap membuatmu merasa paling suci.

Ya, Jesusmu adalah juga Jesusku.
Ia telah menebusku dari iman,
yang jumawa dan tinggi hati.
Ia membuatku cinta pada yang dinista!

[Saya ndak habis pikir seorang muslim seperti Mas Ulil bisa membuat puisi sedalam itu. Aku sendiri yang seorang Kristen (baca: pengikut Kristus) tak bisa merefleksikan Yesus yang mati dan bangkit itu dalam puisi yang menyentuh seperti ini. Semoga Allah yang berkuasa itu menyertai Mas Ulil dalam perjuangan untuk terus membela keberagaman di atas tanah air yang kita cintai bersama ini :D ]

sumber: http://www.facebook.com/?ref=hp#!/notes/peduli-yasmin/puisi-paskah-oleh-ulil-absar-abdala/192794757426557

Jumat, 22 April 2011

Jumat Agung dan Para Korban




Kematian Yesus sering kali dipahami sempit. (semua) yang berdosa sudah diampuni. Jadi, mereka yang nyakitin hati orang lain, sudah berniat jahat sama orang, buat menderita orang dengan kata dan tindakannya, sekarang sudah diampuni. Bersih, suci dan tak bernoda (kayak iklan deterjen pakaian). Benarkah demikian?

Jika kita punya pikiran kayak gini, kita mengkondisikan Yesus sebagai manusia yang tak berpihak kepada korban. Kita sudah nyakitin hati orang dan dengan gampangnya kita merasa sudah terampuni dosanya. ‘Kan Yesus sudah gantiin aku di posisi terdakwa’. Enak banget ya!!

Tetapi coba anda di posisi korban. Anda bisa bayangkan kalo tindakan pengorbanan Yesus adalah tindakan menyakiti para korban. Karena orang yang bersalah dengan gampangnya terbebas dengan darah Yesus. Bukan hanya itu, jika ini yang kita pahami, maka hubungan terdakwa dan korban terputus begitu saja.

So, saya punya pemahaman lain soal pengorbanan Yesus. Anda tidak harus setuju dengan saya! Dalam pemahaman saya, Yesus tidak berdiri di posisi terdakwa melainkan berdiri di posisi korban. Ia tidak berpihak kepada mereka yang disebut pelaku. Ia bukanlah Allah yang tak berperasaan dengan mengabaikan hati para korban. Justru sebaliknya, pengorbanan Yesus adalah tindakan keberpihakannya kepada para korban. Ia bisa merasakan bagaimana rasanya disakiti, dibuat menderita, ditindas dan itulah yang membuat Dia mengambil keputusan untuk bersama dengan mereka.

Dengan berdiri bersama mereka para korban, Allah menjadi Allah para korban. Maka kita yang tergolong sebagai ‘terdakwa’, yang suka menindas orang lain, yang suka berniat jahat kepada orang lain, mesti menanggapin kematian Yesus dengan meminta maaf kepada mereka para korban. Kita harus melakukan rekonsiliasi dengan mereka yang disebut para korban. Perjumpaan inilah yang seharusnya terjadi ketika kita merayakan Paskah.