Menulis kata ‘taruhan’ otak saya langsung merujuk kepada judi. Judi memang sering dikaitkan dengan taruhan karena mana ada judi tanpa taruhan. Misalnya judi kartu. Kalau ada, itu namanya bukan judi tapi dolanan wae. Seperti saya waktu kecil dulu, sering main gaplek dengan teman-teman, tetapi ndak taruhan. Ya, paling-paling hukumannya jongkok atau muka dicoret pake kapur. Tetapi, judi yang dilarang oleh om Roma dalam lagunya tentu beda. Judi dengan taruhan milik sendiri entah itu uang ataupun barang. Tetapi tidak hanya pertaruhan dalam pengertian bahwa ada taruhannya, tetapi judi juga pertaruhan karena tidak seorang pun dari pemainnya yang tahu bakalan menang. Meskipun saya tahu bahwa beberapa orang punya keahlian dalam mengotak-ngatik kartu, tetapi tetap saja hasil akhir tidak pernah tahu. Maka judi bisa dibilang pertaruhan!
Sebagaimana judi, hidup dengan Allah adalah pertaruhan. Mengapa? Karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi ketika kita berelasi dengan yang kita cintai yaitu Allah. Kita tidak pernah tahu bagaimana kisah dengan Allah berakhir apakah seperti dalam kebanyakan film dengan akhir kisah happy ending ataukah justru berakhir tragis atau malah komedi? Tidak ada yang tahu. Hidup dengan Allah adalah sebuah pertaruhan.
Dalam Perjanjian Lama, contoh yang paling jelas terlihat adalah kisah tentang Ayub. Dianne Bergant, CSA. & Robert J. Karris, OFM dalam Tafsir Kitab Perjanjian Lama mengatakan: ‘Kitab itu gambaran jelas dari penderitaan dan perjuangannya untuk memahami Keadilan Allah menghadapi pengalamannya sendiri yang kacau’(2002:403). Pengalaman Ayub berhadapan dengan Keadilan Allah adalah sesuatu yang cukup mengejutkan karena bagaimana mungkin Ayub yang dalam ceritanya disebutkan bersikap saleh dan jujur, mencintai Allah, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayub 1:1) dalam hidupnya bisa mengalami ‘hukuman’ dari Allah? Tetapi, sebagaimana Ayub mengalaminya, hidup kita dalam kenyataannya tidaklah jauh dari kisah seperti itu. Selalu saja ada hal atau kejadian dimana kita mengatakan: Tuhan, bukankah aku telah melakukan segala perintahMu? Tetapi mengapa justru bukan kebaikan yang aku dapat?
Pengalaman yang tidak mudah ini oleh Soelle disebut sebagai ‘sunder warumbe’ atau yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan ‘without a why’. Sarah Katherine Pinnock (ed.) dalam bukunya berjudul The Theology of Dorothee Soelle mengatakan bahwa:’to live ‘without a why’ means to live without intentions, goals, purposes, or power’ (2003:175). Dan dalam kaitannya dengan Ayub, kecintaannya kepada Tuhan tercermin dari sikapnya kepada Allah. Misalnya kita temukan ini dalam pertanyaan yang diajukan oleh Iblis kepada Tuhan dengan mengatakan: apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah?(Ayub 1:9). Pertanyaan ini sejajar dengan apa yang ada dalam sunder warumbe. Apakah kita bisa mencintai Tuhan jika kita tidak mendapat kebaikan dari Tuhan? Apakah kita masih bisa mencintai Tuhan jika kita tidak mendapat berkat dari Tuhan? Tentu ini pertanyaan yang muncul dari kebiasaan kita beragama yang baru ‘beriman’ kepada Tuhan kalau kita mendapatkan sesuatu dari Dia. Hidup beragama yang seperti inilah yang disebut sebagai ‘teologi take and give-memberi untuk mendapatkan sesuatu.
‘Modus’ berpikir manusia sama dengan seorang pemain judi yang ahli dalam mengotak-ngatik kartu. Kita mendesain sedemikian rupa tindakan kita agar ‘kebaikannya’ Allah menjadi bagian kita. Boleh saja sih berpikir begitu! Tetapi, tentu Allah bukanlah sosok yang dapat kita atur apalagi dengan mengaturnya memakai pola pikir manusia. Allah bukanlah objek yang dapat dimanipulasi. Karena sejak awal, nenek moyang kita dalam berbagai macam iman dan tradisi, telah membuktikan dan mengalami sendiri bahwa berelasi dengan Allah adalah sebuah tindakan yang tidak mudah dan berjalan mulus begitu saja.
Dengan kejadian ini saya ingat apa yang dikatakan oleh seorang teman: hidup dengan Allah tidaklah linier tetapi seperti roller coster yang berputar ke atas dan kebawah. Kita bisa saja mengira bahwa memberi dan beramal hidup kita akan mulus bak mengendarai kendaraan di jalan tol. Kita bisa saja berpikir bahwa menolong orang yang kelaparan adalah tindakan yang akan mendapat pahala dari Allah. Tetapi apakah kita masih bisa melakukan itu tanpa mengharapkan apapun? Apakah kita masih bisa dan mau berelasi dengan Allah dengan tidak berharap apapun? Inilah pertaruhan itu, mau mencintai Allah saja, dengan atau tanpa imbalan apapun. Titik!
Sebagaimana judi, hidup dengan Allah adalah pertaruhan. Mengapa? Karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi ketika kita berelasi dengan yang kita cintai yaitu Allah. Kita tidak pernah tahu bagaimana kisah dengan Allah berakhir apakah seperti dalam kebanyakan film dengan akhir kisah happy ending ataukah justru berakhir tragis atau malah komedi? Tidak ada yang tahu. Hidup dengan Allah adalah sebuah pertaruhan.
Dalam Perjanjian Lama, contoh yang paling jelas terlihat adalah kisah tentang Ayub. Dianne Bergant, CSA. & Robert J. Karris, OFM dalam Tafsir Kitab Perjanjian Lama mengatakan: ‘Kitab itu gambaran jelas dari penderitaan dan perjuangannya untuk memahami Keadilan Allah menghadapi pengalamannya sendiri yang kacau’(2002:403). Pengalaman Ayub berhadapan dengan Keadilan Allah adalah sesuatu yang cukup mengejutkan karena bagaimana mungkin Ayub yang dalam ceritanya disebutkan bersikap saleh dan jujur, mencintai Allah, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayub 1:1) dalam hidupnya bisa mengalami ‘hukuman’ dari Allah? Tetapi, sebagaimana Ayub mengalaminya, hidup kita dalam kenyataannya tidaklah jauh dari kisah seperti itu. Selalu saja ada hal atau kejadian dimana kita mengatakan: Tuhan, bukankah aku telah melakukan segala perintahMu? Tetapi mengapa justru bukan kebaikan yang aku dapat?
Pengalaman yang tidak mudah ini oleh Soelle disebut sebagai ‘sunder warumbe’ atau yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan ‘without a why’. Sarah Katherine Pinnock (ed.) dalam bukunya berjudul The Theology of Dorothee Soelle mengatakan bahwa:’to live ‘without a why’ means to live without intentions, goals, purposes, or power’ (2003:175). Dan dalam kaitannya dengan Ayub, kecintaannya kepada Tuhan tercermin dari sikapnya kepada Allah. Misalnya kita temukan ini dalam pertanyaan yang diajukan oleh Iblis kepada Tuhan dengan mengatakan: apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah?(Ayub 1:9). Pertanyaan ini sejajar dengan apa yang ada dalam sunder warumbe. Apakah kita bisa mencintai Tuhan jika kita tidak mendapat kebaikan dari Tuhan? Apakah kita masih bisa mencintai Tuhan jika kita tidak mendapat berkat dari Tuhan? Tentu ini pertanyaan yang muncul dari kebiasaan kita beragama yang baru ‘beriman’ kepada Tuhan kalau kita mendapatkan sesuatu dari Dia. Hidup beragama yang seperti inilah yang disebut sebagai ‘teologi take and give-memberi untuk mendapatkan sesuatu.
‘Modus’ berpikir manusia sama dengan seorang pemain judi yang ahli dalam mengotak-ngatik kartu. Kita mendesain sedemikian rupa tindakan kita agar ‘kebaikannya’ Allah menjadi bagian kita. Boleh saja sih berpikir begitu! Tetapi, tentu Allah bukanlah sosok yang dapat kita atur apalagi dengan mengaturnya memakai pola pikir manusia. Allah bukanlah objek yang dapat dimanipulasi. Karena sejak awal, nenek moyang kita dalam berbagai macam iman dan tradisi, telah membuktikan dan mengalami sendiri bahwa berelasi dengan Allah adalah sebuah tindakan yang tidak mudah dan berjalan mulus begitu saja.
Dengan kejadian ini saya ingat apa yang dikatakan oleh seorang teman: hidup dengan Allah tidaklah linier tetapi seperti roller coster yang berputar ke atas dan kebawah. Kita bisa saja mengira bahwa memberi dan beramal hidup kita akan mulus bak mengendarai kendaraan di jalan tol. Kita bisa saja berpikir bahwa menolong orang yang kelaparan adalah tindakan yang akan mendapat pahala dari Allah. Tetapi apakah kita masih bisa melakukan itu tanpa mengharapkan apapun? Apakah kita masih bisa dan mau berelasi dengan Allah dengan tidak berharap apapun? Inilah pertaruhan itu, mau mencintai Allah saja, dengan atau tanpa imbalan apapun. Titik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar