Rabu, 08 Juni 2011

Doa peziarah doa yang menyatukan


Dulu waktu kecil, saya selalu bertanya mengapa orang dewasa pergi ke gereja yang berbeda dengan kami anak kecil. Karena di kampung saya dulu, ada 2 gereja yang satu dipakai untuk kebaktian orang dewasa dan yang satunya dipakai untuk anak seperti kami-di depannya ada sebuah papan putih bertuliskan ‘Sekolah Minggu’ (SM). Di sekolah inilah saya belajar banyak tentang siapa Tuhan Yesus, bagaimana saya harus mengasihi sesama, membaca Alkitab dan bagaimana caranya berdoa. Untuk melatih bagaimana caranya berdoa, ada sebuah lagu yang masih sedikit saya ingat teksnya berbunyi: lipat tangan tutup mata. Selain dari keluarga, dari sekolah minggu inilah saya diajarkan untuk berdoa.

Setelah umur saya mulai banyak bertambahnya, dan mulai banyak mengenal orang saya menemukan bahwa doa bukanlah ‘miliknya’ orang Kristen saja. Ternyata teman-teman saya yang bukan Kristen juga mengenal yang namanya ‘doa’. Baik saudara-saudara saya yang Muslim, Budha dan Hindu saya juga menemukan kata ‘doa’ dalam keseharian mereka. Lalu saya sadar bahwa ternyata kita umat manusia disamakan dan dipertemukan dalam doa. Tentu cara dan apa yang disampaikan berbeda-beda, dari agama yang satu ke agama yang lain, dari budaya yang satu ke budaya yang lain. Tetapi, sebagaimana yang disampaikan oleh Lama Surya Das alam bukunya ‘Awakening to the Sacred’ (2002: 287) mengatakan:’tema umumnya (yang dia maksud doa-tambahan saya) dalam semua tradisi berkisar di sekitar kemauan manusia wajar untuk membuka hati kita dan berkomunikasi dengan prinsip suci, kekuasaan yang lebih tinggi atau sumber Ilahi’. Kita dalam agama dan tradisi yang berbeda selalu digerakkan oleh hati terdalam dan jiwa kita untuk selalu terhubung dengan yang Ilahi.

Jika setiap kita yang berbeda agama dan tradisi ini dengan sadar bahwa ternyata kita sama-sama mengakui ‘kekuasaan’ di luar diri kita, maka dengan sendirinya kita juga seharusnya sadar bahwa kita adalah manusia-manusia yang sedang berziarah dalam dunia, yang penuh dengan ketidakpastian, penuh dengan kelemahan dan pada saat yang sama selalu ‘berusaha’ mengarahkan diri dan hidup kepada Dia yang kita percayai sebagai yang Maha segalanya. Dalam doa, kita semua berserah dan mengaku bahwa dalam perjalanan yang berliku kayak roller coaster ini kita perlu pegangan. Doa adalah usaha kita untuk tetap berjalan dengan berharap akan kekuatan sang Ilahi. Doa adalah kesadaran kita sebagai manusia ciptaan yang sedang berziarah dalam dunia. Rm. DR. Tom Jacobs, S.J dalam bukunya “Teologi Doa” (2010:18) pernah menuliskan bahwa:’syarat mutlak untuk doa adalah ‘masuk dalam dirinya sendiri’, menyadari diri sedalam-dalammnya sebagai makhluk ciptaan, menyadari bahwa hidup yang kita hidupi ini bukanlah berasal dari diri kita sendiri.’

Di setiap Adzan berkumandang, saya diingatkan akan kebesaran Tuhan. Saya tahu bahwa Adzan adalah panggilan bagi saudara saya Muslim untuk sholat. Tetapi, kesadaran bahwa kita sama-sama mengakui akan kebesaran sang Ilahi, tentu itu juga panggilan untuk saya mengumandangkan kesadaran lebih bahwa sang Ilahi yang dipanggil dengan nama berbeda dan berbagai cara itu juga sedang menunggu kesediaan saya untuk masuk dalam ‘doa’. Maka, sekarang ini bukanlah hal yang aneh jika kekristenan khususnya protestan tidak lagi mempermasalahkan yang namanya ‘meditasi’ yang justru merupakan tradisi doa yang berkembang dalam agama Budhis atau ziarah-ziarah ke tempat suci yang merupakan tradisi dari Katolik.

Karena doa adalah pertanda bahwa kita sebagai manusia yang sedang berziarah dalam ketidakpastian seraya tetap berharap akan pertolongan sang Ilahi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar