Sabtu, 21 Mei 2011

Egoisme kelompok dalam Kongres PSSI


Akhirnya kongres PSSI di hotel Sultan berakhir tanpa kesepakatan dan putusan apa-apa. Kongres yang diharapkan dapat berjalan dengan baik-tidak seperti kongres di Pekan Baru, Riau, ternyata tak lebih baik. Kongres ricuh sedari awal dengan banyaknya ‘hujan interupsi’. Sebagian dari hujan interupsi ini bertalian dengan tidak dimasukkannya sejumlah nama untuk mengisi kursi no 1 di PSSI. Sebuah kelompok yang sedari awal berjuang mati2an (kalau ndak disebut ngotot) memperjuangkan calon tertentu, meskipun FIFA sudah melarang. Sebagian pengamat sudah memperkirakan bahwa kelompok yang ngotot tersebut akan mengacaukan jalannya sidang. Dan itu terbukti sampai kongres yang dipimpin oleh Ketua Komite Normalisasi tersebut-Agum Gumelar, mengetuk palu tanda berakhirnya kongres meskipun selama 6 jam tak dihasilkan apa-apa.

Sikap ngotot tersebut kemudian dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Kelompok tersebut mengaku sebagai kelompok reformis-yang ingin membangun kultur sepakbola yang jauh lebih baik yang tak kunjung datang semasa kepemimpinan NH. Tetapi belakangan sikap reformis tersebut dipertanyakan oleh sejumlah pihak karena kelompok ini terus saja berupaya memaksakan kehendaknya, memasukkan calon yang mereka usung untuk menjadi calon ketua PSSI. Sebuah hal yang pada akirnya dipertanyakan apakah benar mereka ingin membangun sepak bola Indonesia lebih baik ataukah mereka sedang memperjuangkan kepentingan sekelompok orang untuk duduk di PSSI.

Sikap egoistik sebenarnya tak melulu negatif, meskipun sebagian orang memandang sikap ini adalah sikap yang perlu dilawan karena ia tak lain adalah nama lain dari hawa nafsu (hawa dari bahasa arab: al-nafs yang artinya kecenderungan dalam diri manusia), yang menyebabkan orang bertindak tidak peduli dengan orang lain. Les Giblin dalam bukunya The Art of Dealing with People mengatakan ‘kalau egoisme bisa menyebabkan orang melakukan hal-hal bodoh , irrasional dan destruktif, tetapi ia juga bisa membuat mereka bertindak dengan mulia dan sangat berani’ (2010:8). Dengan mengutip Edwar Bok, ia mengatakan bahwa apa yang disebut oleh dunia sebagai ego dan egoisme sebenarnya adalah ‘percikan api ilahi’ yang tertanam dalam diri manusia, dan hanya orang yang sudah ‘menyalakan percikan api ilahi dalam diri mereka’ yang akan mencapai hal-hal besar (2010:9).

Maka dengan itu, sikap egoistik sebenarnya punya sisi positif. Namun sikap egoistik menjadi berbahaya ketika seseorang merasa bahwa dirinya tidak diterima. Tuntutannya tidak sejalan dengan apa yang diberikan oleh apa yang diluar dirinya. Biasanya, harga diri mereka menjadi hal yang paling tersinggung dan pada akhirnya mereka akan melampiaskannya ke luar. Mereka akan melakukan apapun untuk memperjuangkan itu. Maka tidak sedikit dari mereka yang akhirnya mengabaikan orang dan kepentingan yang lain, sekalipun kepada mereka dialamatkan hujatan, kritik dan amarah. Mereka tidak akan bisa dilawan dengan sikap hujatan dan amarah, melainkan hanya dengan memberikan apa yang mereka anggap sebagai penghargaan terhadap tuntutan dan ‘harga diri’ mereka.

Sikap egoistik sekelompok orang yang ngotot memperjuangkan orang tertentu untuk menjadi calon orang nomor 1 di PSSI nampak ketika Komisi Banding yang dipimpin oleh Cipta Lesmana mengumumkan bahwa GT dan AP dilarang menjadi calon ketua di PSSI. Keputusan tersebut berujung pada ricuhnya Kongres di Pekan Baru yang sedikit banyak disebabkan oleh sekelompok orang pendukung GT dan AP. Dalam berbagai media, dengan mengatasnamakan reformasi di PSSI, mereka tetap ngotot untuk memperjuangkan masuknya GT dan AP. Sampai kemudian Komisi Banding di bawah AR meloskan GP dan AT. Diloloskannya kedua orang tersebut sebenarnya tidaklah mengejutkan karena Komisi Banding di bawah AR adalah bagian dari kelompok pendukung GT dan AP. Tetapi Komisi Normalisasi di bawah Pak Agum Gumelar yang merupakan pelaksana mandat dari FIFA mematahkan keputusan Komisi Banding tersebut. Karena menurut KN, GT dan AP sudah dari awal ditolak dan tidak lulus verifikasi sehingga proses banding tidak diterima. Artinya GT dan AP sebenarnya sudah gugur sebelum mereka mengajukan gugatan terhadap Komisi Banding. Perjuangan GT dan AP tidak hanya berhenti sampai di situ. Mereka kemudian membawa kasus ini ke CAS (Pengadilan Arbitrase Olahraga) tetapi hasilnya tetap sama, menolak gugatan GT dan AP dengan alasan tidak punya yuridiksi untuk memproses proses banding tersebut. Sikap ngotot terlihat semakin menjadi-jadi ketika banyaknya hujan interupsi pada kongres di hotel Sultan tanggal 20 Mei 2011 sampai ketua KN menghentikan jalannya kongres.

Egoisme yang berbahaya tersebut tak akan bisa diselesaikan sampai tuntutan dari kelompok yang mengusung GT dan AP dipenuhi tuntutannya. Artinya kepengurusan PSSI tidak akan jadi selama kelompok pengusung yang memang mayoritas di tubuh PSSI tersebut meloloskan calonnya. Tetapi bagaimana mungkin diloloskan sedangkan FIFA yang merupakan organisasi sepak bola dunia (termasuk PSSI bernaung) tidak meloloskannya. Maka saya kira, adalah hal penting jika pemerintah mempertemukan kelompok yang ngotot tersebut dan mendengarkan keinginan mereka. Selama ini pemerintah ataupun KN terkesan tidak pernah memfasilitasi kelompok tersebut. Begitujuga FIFA yang memang tidak persis tahu apa yang terjadi dengan persepakbolaan Indonesia. So, kelompok pengusung GT dan AP tak akan bisa dilawan hanya dengan mengeluarkan sejumlah keputusan yang merugikan mereka tetapi justru harus dijembatani dengan mendengar keinginan mereka dan kemudian mencari solusi yang terbaik dengan melibatkan sejumlah kelompok, pengamat sepakbola, pemerintah, KN dan kelompok pengusung GT dan AP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar