Kamis, 17 Desember 2009

Menunggu


Menunggu? Buat aku ini adalah pekerjaan yang paling membosankan dan buat kesal.

Bagaimana tidak kesal? Kita janjian dengan seseorang di suatu tempat pada jam yang sudah disepakati bersama. Ehh, sampai lewat 2 jam, orang yang dinanti ndak juga kunjung datang.


Bayangin siapa ndak kesal. Energi kita habis hanya untuk menunggu seseorang

yang tak juga kunjung menampakkan batang hidungnya.

Padahal kan kita ndak muluk-muluk, kita hanya ingin melihat batang hidungnya doang...tp ya,

menunggu memaksa kita harus mengerutkan dahi dan telapak tangan kita seraya mengatakan “dasar kampret”!

Selasa, 15 Desember 2009

Bahasa "pengadilan" dalam gereja


Di beberapa gereja, sering terdengar kata-kata pembuka yang bunyinya demikian "sidang jemaat yang dikasihi oleh Tuhan". Lalu saya mulai berpikir mengapa jemaat di sapa dengan kata "sidang". Belakangan, kata-kata ini mulai membuat saya terganggu dan tidak sejahtera jika datang ke gereja (mungkin ini perasaan saya saja.hehehe).

Kata sidang membawa pikiran dan imajinasi saya ke ruang pengadilan. ruang pengadilan yang "biasanya" identik dengan ke"terdakwa"an seseorang atas "dugaan" perbuatan tidak menyenangkan menurut aturan normatif yang berlaku dalam sebuah komunitas sosial. selain adanya terdakwa, disana ada hakim yang biasanya bertugas untuk menentukan apakah seseorang bersalah apa tidak, jaksa penuntut yang biasanya menerangkan kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan, dan pengacara yang akan membela si terdakwa. lalu pertanyaan saya, mengapa jemaat disapa dengan kata "sidang".

imajinasi saya mulai memikirkan apakah memang pertemuan orang beriman tersebut disamakan [atau setidaknya sengaja dipersepsikan] sebagai sebuah sidang layaknya sebuah pengadilan? apakah memang betul, jemaat yang hadir sedang dalam suasana miripnya sebuah ruang pengadilan? lalu kalau "sengaja" dipersepsikan demikian, siapa yang akan menjadi terdakwanya? apakah jemaat? apakah semua, termasuk pendeta dan majelis? lalu siapa yang menjadi hakimnya? kepala saya menengadah ke atas, lalu bertanya dalam hati: Tuhan benarkah engkau yang menjadi hakim atas jemaatmu?

[tulisan ini belum jadi...mohon maaf..hahahah]

Minggu, 13 Desember 2009

BATAS DOGMA


Pada suatu hari, Sultan Mahmud yang Agung berada dijalan di
Ghazna, ibu kota negerinya. Dilihatnya seorang kuli
mengangkut beban berat, yakni sebungkah batu yang didukung
di punggungnya. Karena rasa kasihan terhadap kuli itu,
Mahmud tidak bisa menahan perasaannya, katanya memerintah:

"Jatuhkan batu itu, kuli."

Perintah itupun langsung dilaksanakan. Batu tersebut berada
di tengah jalan, merupakan gangguan bagi siapapun yang ingin
lewat, bertahun-tahun lamanya. Akhirnya sejumlah warga
memohon raja agar memerintahkan orang memindahkan batu itu.

Namun Mahmud, menyadari akan kebijaksanaan administratif,
terpaksa menjawab.

"Hal yang sudah dilaksanakan berdasarkan perintah, tidak
bisa dibatalkan oleh perintah yang sama derajatnya. Sebab
kalau demikian, rakyat akan beranggapan bahwa perintah raja
hanya berdasarkan kehendak sesaat saja. Jadi, biar saja batu
itu disitu."

Oleh karenanya batu tersebut tetap berada di tengah jalan
itu selama masa pemerintahan Mahmud. Bahkan ketika ia
meninggal batu itu tidak dipindahkan, karena orang-orang
masih menghormati perintah raja.

Kisah itu sangat terkenal. Orang-orang mengambil maknanya
berdasarkan salah satu dari tiga tafsiran, masing-masing
sesuai dengan kemampuannya.

Mereka yang menentang kepenguasaan beranggapan bahwa kisah
itu merupakan bukti ketololan penguasa yang berusaha
mempertahankan kekuasaannya.

Mereka yang menghormati kekuasaan merasa hormat terhadap
perintah, betapapun tidak menyenangkannya.

Mereka yang bisa menangkap maksudnya yang benar, bisa
memahami nasehat yang tersirat. Dengan menyuruh menjatuhkan
batu di tempat yang tidak semestinya sehingga merupakan
gangguan, dan kemudian membiarkannya berada disana, Mahmud
mengajar kita agar mematuhi penguasa duniawi -dan sekaligus
menyadarkan kita bahwa siapapun yang memerintah berdasarkan
dogma kaku, tidak akan sepenuhnya berguna bagi kemanusiaan.

Mereka yang menangkap makna ini akan mencapai taraf pencari
kebenaran, dan akan bisa menambah jalan menuju Kebenaran.

Catatan

Kisah ini muncul dalam karya klasik yang terkenal,
Akhlaq-i-Mohsini 'Akhlak Dermawan,' ciptaan Hasan Waiz
Kashifi; hanya saja tanpa tafsir seperti yang ada dalam
versi ini.

Versi ini merupakan bagian ajaran syeh Sufi Daud dari
Qandahar, yang meninggal tahun 1965. Kisah ini merupakan
pengungkapan yang bagus tentang pelbagai taraf pemahaman
terhadap tindakan; masing-masing orang akan menilainya
berdasarkan pendidikannya. Metode penggambaran tak langsung
yang dipergunakan Sultan Mahmud itu dianut pada Sufi, dan
bisa diringkaskan dalam ungkapan, "Bicaralah kepada dinding,
agar pintu bisa mendengar."

[dari kisah2 sufi tulisan Idris Shah]

Sabtu, 12 Desember 2009

PauL van Buren n Harvey Cox


Sekitar tahun 1961, muncullah sebuah teologi yang disebut Teologi Tuhan Mati. Para teolog tersebut seperti William Hamilton yang menulis buku The New Essence of Christianity, Gabriel Vahanian dalam bukunya The Death of God. Tahun 1966, Thomas J.J. Altizerr menulis The Gospel of Christian Ateism. Sedangkan Paul Van Buren dalam bukunya The Secular meaning of the Gospel (1963) dan Harvey Cox dalam bukunya The Secular City (1964), menulis buku tetang sekularisasi yang senada dengan konsep teologi Tuhan mati. Tetapi sebenarnya gagasan tentang Tuhan mati sebenarnya telah muncul jauh sebelumnya, seperti Gogarten, Bonhoeffer, Tillich. Proklamasi pertama mengenai kematian Tuhan untuk pertama kalinya dikumandangkan oleh F.W. Nietzsche dalam suatu bagian bukunya yang berjudul Die Frohliche Wissenschaft (Ilmu pengetahuan yang menggirahkan)

Menurut Nietzsche Tuhan sudah mati (God is dead). Ketuhanan harus terhapus dari hati manusia. Menurut dia, agama Kristen adalah lambang pemutarbalikkan nilai-nilai. Sebab yang dipandang sebagai jiwa Kristiani ialah menolak segala yang alamiah sebagai hal yang tak layak, yang memusuhi segala yang nafsani. Pengertian “Allah” agama Kristen adalah pengertian yang paling rusak dari segala pengertian tentang Allah, sebab Allah dipandang sebagai Allah anak-anak piatu dan janda-janda, Allah orang-orang sakit. Allah dipandang sebagai roh, yang bertentangan sekali dengan hidup ini. Menurutnya, semua itu harus dibongkar. Nietzsche ingin menghentikan gagasan Kristiani tentang Tuhan yang demikian itu, supaya umat manusia dibebaskan dari kesewenang-wenangan Tuhan dan dikembalikan menjadi orang-orang kreatif di bidang kebudayaan.

Hamilton mengatakan bahwa kita hidup di zaman “Tuhan Mati”, yaitu zaman dimana orang-orangnya menganggap bahwa Tuhan telah mengundurkan diri dari dunia ini, bahwa Tuhan tidak hadir lagi dalam dunia ini, sehingga harus dikatakan bahwa Tuhan mati. Vahanian mengatakan bahwa Tuhan Mati artinya Tuhan sudah tidak berguna lagi, segera ia dijadikan barang tambahan bagi cita-cita umat manusia. Kebudayaan barat bersifat imanen, artinya manusialah yang menjadi pokoknya.

PAUL VAN BUREN
Ia adalah seorang teolog Amerika. Pada awalnya ia menjadi pengikut Karl Barth yang setia, tetapi kemudian ia menyimpang dengan menulis buku The Secular Meaning of The Gospel yang ditulis pada tahun 1963. Van Buren bermaksud meneruskan apa yang telah dikemukakan oleh Bonhoeffer, yaitu persoalan bagaimana seorang Kristen pada zaman sekuler ini dapat mengerti imannya secara sekuler. Bonhoeffer mengusulkan adanya suatu interpretasi yang non religius terhadap konsep-konsep Alkitab.

Tetapi menurut Van Buren mengatakan bahwa persoalan tersebut akan dapat diberikan dengan menganalisis apa yang dimaksud orang jika ia memakai bahasa iman, jika ia mengulang-ngulang pengakuannya bahwa Yesus itu adalah Tuhan. Disini kita dapat melihat pengaruh filsafat bahasa dalam diri Van Buren, yang mencoba menjelelaskan arti pernyataan-pernyataan dengan meneliti caranya pengertian-pengertian itu biasanya dipakai. Dalam filsafat analisis bahasa, jika kita ingin mengetahui arti suatu kata atau suatu pernyataan, kita harus meninjau cara kata atau pernyataan itu berfungsi dalam pemakaiannya yang actual. Arti sebuah kata identi dengan pemakaiannya. Jadi, hal tersebut harus juga kita terapkan dalam mengerti injil pada zaman modern ini.

Menjadi orang Kristen tidak berarti menyangkal bahwa ia terlibat dalam dunia sekuler dan dalam cara dunia itu berpikir. Pemikirannya berpangkal pada keyakinan bahwa hubungan antara injil dan hidup serta kata-kata dan kematian Yesus memanggil kita untuk mengaadakan analisis bahasa dengan hati-hati. Inilah suatu soal ”histories”. Kita harus secara berhati-hati menganalisis fungsi orang beriman masa kini. Perbuantan ini akan mengungkapkan arti sekuler injil. Jika orang Kristen mendapat kesempatan unutk menceritakan sejarah Yesus itu maka ia akan memanfaatkan, mengungkapkan, merumuskan atau menjelaskan perspektifnya yang histories. Sebab justru inilah arti sekuler injil.

HARVEY COX
Dalam bukunya The Secular City dengan sub judul Secularization and Urbanization in Theological Perspective bermaksud memberikan petunjuk pada gereja dan orang Kristen Amerika bagaimana memberitakan injil dalam kota-kota secular. Menurutnya tanda-tanda zaman yang kini dialami orang-orang Amerika ialah munculnya keadaban daerah perkotaan (urban) dan keruntuhan agama Kristen yang tradisional. Bentuk keadaban ini dipengaruhi oleh kemajuan kemajuan ilmu pengetahuan modern dan teknik yang mengakibatkan rongsoknya pandangan dunia yang tradisional. Hidup orang di kota-kota besar itu menjadi sekuler. Cox melihat bahwa sekularisasi melepaskan dunia dari agama-agama dan dari pengertian religius yang palsu, meniadakan segal pandangan dunia yang tertutup dan mematahkan segala mite yang supranatural dan symbol-simbol yang dianggap suci. Hidup di kota besar memunculkan semacam imunitas terhadap orang-orang yang dijumpai, yang tampak dingin bahkan tanpa kasih. Hidup yang seperti ini disebut “ de-personalisasi”.

Tetapi hidup yang anonimitas juga akan membawa kebebasan. Dan oleh karena itu, dapat dijelaskan secara teologis sebagai pembebasan injil terhadap hukum (Taurat). Di sana ada kebebasan, bukan keterbelenggungan tanpa kritik. Di sana ada kebebasan. Tetapi sayangnya gereja masih hidup pada pandangan yang pra-kota besar. Gereja hidup dalam sikap tiruan kota-kota kecil. Harusnya gereja mengembangkan teologi anonimitas yang dapat dipakai

Menurut Cox, pangkal pikiran teologi masa kini seharusnya ialah teologi perubahan sosial. Hidup gereja tak mungkin dapat dipenjarakan dalam perincian-perincian yang kuno itu. Hidup itu harus mau ditembus dan dibentuk kembali secara terus-menerus oleh perbuatan-perbuatan Allah yang berkesinambungan. Itulah sebabnya diperlukan adanya suatu teologi perubahan sosial. Untuk itu Cox menganjurkan supaya kita berpangkal dari sumbol-simbol kehidupan kota sekuler. Gagasan tentang kota sekuler memberikan gambaran kepada kita yang paling memberi harapan untuk mengerti apa yang dalam Perjanjian Baru di sebut Kerajaan Allah dan untuk mengembangkan suatu teologi yang dapat hidup, yang muncul dariperubahan sosial yang revolusioner.


Wayang OKA


Ikon oka ukdw...kreatif ya:-D

Bunglon dan Kelelawar

Suatu kali pernah timbul pertentangan  antara  beberapa
ekor kelelawar dan seekor bunglon. Perkelahian antara mereka
sudah sedemikian sengitnya, sehingga pertentangan itu sudah
melampaui batas. Para kelelawar setuju bahwa jika saat
petang menjelang malam telah menyebar melalui ceruk
lingkaran langit, dan matahari telah turun di hadapan
bintang-bintang menuju lingkup terbenamnya matahari, mereka
akan bersama-sama menyerang si bunglon dan, setelah
menjadikannya tawanan mereka, menghukumnya sesuka hati dan
melampiaskan dendam. Ketika saat yang dinantikan tiba,
mereka menyerang dengan tiba-tiba, dan semuanya bersama-sama
menyeret bunglon yang malang dan tak berdaya itu ke dalam
sarang mereka. Dan malam itu mereka memenjarakannya.

Ketika fajar tiba, mereka bertanya-tanya apakah sebaiknya
bunglon itu disiksa saja. Mereka semua setuju bahwa dia
harus dibunuh, tetapi mereka masih merencanakan bagaimana
cara terbaik untuk melaksanakan pembunuhan itu. Akhirnya
mereka memutuskan bahwa siksaan yang paling menyakitkan
adalah dihadapkan pada matahari. Tentu saja, mereka sendiri
tahu bahwa tidak ada siksaan yang lebih menyakitkan, selain
berada dekat dengan matahari; dan, dengan membuat analogi
dengan keadaan mereka sendiri, mereka mengancam supaya dia
memandang matahari. Bunglon itu, sudah pasti, tidak
mengharapkan yang lebih baik lagi. 'Penghukuman' semacam itu
persis seperti yang diinginkannya, sebagaimana dikatakan
oleh Husayn Manshur,

Bunuhlah aku, kawan-kawanku, sebab dengan
terbunuhnya diriku, aku akan hidup. Hidupku ada
dalam kematianku, dan kematianku ada dalam
hidupku. (keterangan: baris-baris ini terdapat
dalam Al-Hallaj, 14.1)

Maka ketika matahari terbit, mereka membawanya keluar dari
rumah mereka yang menyedihkan agar dia tersiksa oleh cahaya
matahari, siksaan yang sesungguhnya merupakan jalan
keselamatan baginya.

Janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur
dalam peperangan di jalan Allah itu mati. Tidak!
Bahkan mereka hidup. Mereka mendapat rizki dan
Tuhannya. (QS 3:169)

Kalau saja para kelelawar itu tahu betapa murah hati
tindakan mereka terhadap bunglon itu, dan betapa mereka
telah berbuat keliru, karena mereka justru memberinya
kesenangan, mereka pasti akan mati sedih. Bu-Sulayman Darani
berkata, "Jika orang-orang yang lalai itu tahu betapa mereka
telah mengabaikan kesenangan orang-orang yang sadar, mereka
pasti akan mati karena kecewa." (dikutip dalam bahasa Persia
'Aththar, Tadzkirah, hal. 282)

[oleh Syihabuddin Yahya As-Suhrawardi
Hikayat-hikayat Mistis]

Jumat, 11 Desember 2009

AKU

Puisi K. Anwar ini sudah aku kenal sejak SD...heheh...dan aku suka puisinya :)
aku masih ingat, waktu SD dulu aku pernah membacakannya di depan kelas
tetapi aku harus jujur bahwa aku membacakannya tanpa tahu apa artinya
bahkan mungkin sampai sekarang
aku tak pernah tahu apa artinya....
tetapi biarlah
toh, buat aku, puisi ini bagus
dan aku bisa menikmatinya.....
[tak perlu anda setuju dengan aku...nikmati sajalah puisinya...]

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi




merasa berhak men"tiada"kan Allah


Selama ini kita selalu berpikir
Bahwa kitalah yang selalu berpikir tentang Allah
Sehingga merasa berhak untuk berteriak
Ketika kita [merasa] bahwa Allah tidak mendengar kita
Ketika kita [merasa] bahwa Allah tak mau juga memberikan apa yang kita inginkan
Bahkan ketika kita lelah untuk berpikir tentang Dia
Kita lalu mempertanyakan apakah dia ADA
Dan kalau ADA mengapa Ia tidak mendengar dan memenuhi keinginan kita
Lalu kita sampai pada kesimpulan bahwa
Allah tidak ada dan ngapain repot-repot berpikir tentang DIA
Berpikir tentang ALLAH?
Toh Allah tidak ada, bukan?


Coba perhatikan cerita Zen berikut ini:


TIDAK ADA

Yamaoka Tesshu, sebagai seorang pelajar muda Zen,
mengunjungi satu per satu guru. Ia mendatangi Dokuon dari
Shokoku.

Dengan maksud menunjukkan pencapaiannya, ia berkata,
"Pikiran, Buddha, dan makhluk berindera, semuanya tidak ada.
Sifat sebenarnya dari semua fenomena ialah kehampaan. Tidak
ada penyadaran, tiada khayalan, tiada orang bijak, tiada
orang awam. Tidak ada pemberian dan tidak ada yang
diterima."

Dokuon, yang secara diam-diam merokok, tidak mengatakan
apa-apa. Tiba-tiba, ia memukul Yamaoka dengan pipa rokok
bambunya. Ini membuat pemuda itu cukup marah.

"Jika tidak ada apa-apa," jelas Dokuon, "Dari manakah
kemarahan ini bersumber?"


dari manakah semua itu? Darimanakah anda dan saya? Dan dari manakah pikiran anda yang bisa berpikir itu?


Pencarian akan Allah


Sepanjang sejarah, manusia berusaha mencari siapa Allah? Kitab suci sebagai salah satu sumber tertulis telah menjadi sebuah buku iman yang merefleksikan pencarian itu. Saya lebih melihatnya sebagai buku iman dan bukan buku sejarah meskipun refleksi akan Allah menyejarah.


Mengapa? Karena ia menceritakan peristiwa-peristiwa reflektif dimana manusia mencari dan Allah melibatkan diri dan bahkan membuat dirinya ikut terlibat dalam sejarah manusia tetapi kehadirannya tidak pernah bisa ditangkap oleh manusia.


Meskipun demikian, komunitas umat beriman selalu percaya dan mempercayai diri kepada yang namanya Allah ini, karena iman dan keyakinan itu sendiri [menurut pengalaman mereka] telah ikut menentukan sejarah mereka sendiri. Maka menjadi sangat mungkin, kitab suci bukanlah sebagai buku sejarah karena peran subjektif manusia menjadi sebuah refrensi penuh yang diukir ke dalam sebuah teks-teks yang pada zaman itu bisa direalisasikan lewat tradisi penuturan sampai kepada tradisi tertulis.

ISA DAN ORANG-ORANG BIMBANG


Diceritakan oleh Sang Guru Jalaludin Rumi dan yang
lain-lain, pada suatu hari Isa, putra Mariam, berjalan-jalan
di padang pasir dekat Baitulmukadis bersama-sama sekelompok
orang yang masih suka mementingkan diri sendiri.

Mereka meminta dengan sangat agar Isa memberitahukan kepada
mereka Kata Rahasia yang telah dipergunakannya untuk
menghidupkan orang mati. Isa berkata, "Kalau kukatakan itu
padamu, kau pasti menyalahgunakannya."

Mereka berkata, "Kami sudah siap dan sesuai untuk
pengetahuan semacam itu; tambahan lagi, hal itu akan
menambah keyakinan kami."

"Kalian tak memahami apa yang kalian minta," katanya -tetapi
diberitahukannya juga Kata Rahasia itu.

Segera setelah itu, orang-orang tersebut berjalan di suatu
tempat yang terlantar dan mereka melihat seonggok tulang
yang sudah memutih. "Mari kita uji keampuhan Kata itu," kata
mereka, Dan diucapkanlah Kata itu.

Begitu Kata diucapkan, tulang-tulang itupun segera
terbungkus daging dan menjelma menjadi seekor binatang liar
yang kelaparan, yang kemudian merobek-robek mereka sampai
menjadi serpih-serpih daging.

Mereka yang dianugerahi nalar akan mengerti. Mereka yang
nalarnya terbatas bisa belajar melalui kisah ini.

Catatan

Isa dalam kisah ini adalah Yesus, putra Maria. Kisah ini
mengandung gagasan yang sama dengan yang ada dalam Magang
Sihir, dan juga muncul dalam karya Rumi, di samping selalu
muncul dalam dongeng-dongeng lisan para darwis tentang
Yesus. Jumlah dongeng semacam itu banyak sekali.

Yang sering disebut-sebut sebagai tokoh yang suka
mengulang-ngulang kisah ini adalah salah seorang di antara
yang berhak menyandang sebutan Sufi, Jabir putra al-Hayan,
yang dalam bahasa Latin di sebut Geber, yang juga penemu
alkimia Kristen.

Ia meninggal sekitar 790. Aslinya ia orang Sabia, menurut
para pengarang Barat, ia membuat penemuan-penemuan kimia
penting.


[dari kisah2 sufi tulisan Idries Shah

GusTavo GuTierrez


Gustavo Gutierrez adalah sorang tokoh yang terkenal dengan teologi pembebasannya. Dia dikenal sejak kemunculan bukunya yang berjudul Teologia de la Liberacion pada 1971. Perhatiannya yang luar biasa akan kaum miskin dan tertindas di daerahnya, dan komitmennya akan keberpihakan kepada orang kecil dan lemah serta mendahulukan mereka yang lemah, telah membuat Gutierrez dikenal di seluruh dunia.
Apalagi metodenya yang baru, yang membalik metode teologi tradisional. Teologi tradisional bertolak dari kitab suci, tradisi dan ajaran gereja yang kemudian melahirkan refleksi teologis menuju praktek kehidupan sebagai orang beriman. Tetapi metode Gutierrez adalah praksis hidup beriman menjadi pangkal dari refleksi teologis. Dan yang menjadi subjek praksisnya adalah “kaum miskin”. Sehingga teologi adalah refleksi kritis atas praksis kaum miskin dalam terang sabda Allah.

Dalam paper ini akan diuaraikan panjang lebar mengenai biografinya untuk mengenal situasinya dan orang yang mempengaruhi hidupnya. Kemudian kita akan melihat bagaimana ia berteologi dan dalam konteks yang bagaimana ia berteologi. Pada akhirnya kita akan melihat penilaian terhadap Gustavo, serta menarik relevansi dari teologianya ini.
Dengan demikian kita dapat melihat bagaimana Gustavo Gutierrez berteologi dalam konteksnya sendiri
Banyak kekurangan dalam paper ini, oleh karena kalau membahas Gustavo membutuhkan waktu yang panjang, dan buku-buku acuan yang juga banyak. Oleh karena itu kritik dan saran tetap berlaku, demi kesempurnaan paper ini.


Gustavo Gutierrez Merino Lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan miskin di Lima, Ibu kota Peru. Ia berasal dari keluarga sederhana yang berdarah Mestizo, keturunan campuran Hispanic (Spanyol) dan Indian. Dalam keluarga yang memiliki tiga orang anak itu, Gutierrez adalah satu-satunya anak laki-laki. Meskipun ada kesulitan-kesulitan ekonomi, ia tidak mengalami kekurangan cinta dari keluarganya. Bahkan dalam sebuah wawancara, Gutierrez berkata bahwa ia menerima begitu besar kasih sayang dari orang tua dan keluarganya.

Ketika berada di bangku sekolah menengah, Gutierrez diserang penyakit Osteomiletis. Penyakit ini menyebabkan kepincangan permanen pada dirinya. Penyakit ini pulalah yang menuntun dia memilih jurusan farmasi pada Universitas San Marcos, Lima. Akan tetapi, kemudian ia memutuskan untuk masuk seminari dan belajar filsafat-teologi di Seminari Santiago de Chile.

Pada tahun 1951-1955, ia melakukan tugas belajar pada Universitas Katolik Louvain, Belgia. Ia memperoleh gelar master dalam bidang filsafat dan psikologi dengan tesis Konflik Psikis dalam Freud. Di Louvain, ia bersahabat baik dngan Francois Houtart, yang kelak menjadi teolog sosial garda depan Gereja Katolik. Ia juga bersahabat baik dengan Camilo Torres, yang kelak menjadi Pastor gerilyawan di Amerika Latin. Pada tahun 1955-1959, ia melanjutkan kuliah teologi di Universitas Katolik Lyons, Prancis, dan memperoleh master Teologi dengan tesis kebebasan Religius. Di Lyons, ia diperkenalkan dengan la nouvelle theologie, yakni upaya beberapa pemikir Katolik Prancis menghubungkan secara nyata iman dengan masalah-masalah abad ke-20, di antaranya henri de Lubac, Jean Daniellou, Yves Congar. Mereka adalah teolog-teolog barat yang cukup berpengaruh dalam pemikiran Gutierrez selain Karl Rahner dan G. von Rad.

Gutierrez sempat belajar teologi di Universitas Katolik Gregoriana, Roma pada tahun 1959-1960. Di Roma pula ia ditahbiskan imam pada tanggal 6 Januari 1959. Setelah itu pada tahun 1960, ia kembali ke Amerika Latin dan mengajar di Universitas Katolik Lima, Peru. Namun, tugas utama yang dilakukan Gutierrez adalah menjadi pastor yang hidup dan berkarya di antara akum miskin di Rimac, Lima. Di sini pulalah ia memperoleh landasan dan arah baru delam pemikiran teologisnya.

Dalam keterlibatannya di tengah-tengah kaum miskin, Gutierrez merakan bahwa perjalan studi di Eropa selama ini tidak memberikan dasr kokoh baginya untuk memahami dan menghayati situasi Amerika Latin. Ia menemukan ketidakcocokkan antara teologi Barat yang dipelajari dengan kenyataan kongkret yangada. Karena itu, ia mulai mempelajari dengan serius sejarah bangsanya sendiri. Ia membaca lagi Injil dan Teologi dalam konteks Amerika Latin, yakni situasi kaum miskin dan tertindas.

Hal ini memperkenalkan ia dengan pemikir-pemikir besar Amerika Latin. Salah satu tokoh yang berpengaruh besar terhadap Gutierrez adalah Bartolome de las Casas (1484-1566). Las Casas adalah imam Dominikan yang menjadi pembela orang-orang Indian Amerika terhadap penjajahan Spanyol. Gutierrez melihat kesamaan besar antar apa yang ditemukan oleh de las Casas pada abad ke-16 dan kenyataan Amerika Latin pada abad ke-20 ini : kenyataan orang-orang mati sebelum waktunya (people died before their time). Penjajahan Spanyol mengakibatkan begitu banyak orang Indian mati secara premature dan tidak adil. Karena itu, evangelisasi gereja di Amerika Latin menurut de las Casaa bukan terutama menginisasi orang kafir masuk ke dalam kebudayaan Kristiani Barat, tetapi melakukan advokasi terhadap kaum miskin yang tertindas

Selain de las Casas, pemikir Amerika Latin yang memberikan banyak inspirasi kepada Gutierrez adalah Jose Carlos Mariategui (1895-1930). Ia adalah seorang pemikir marxis dari peru. Menurut Michael Candelaria, Mariategui memberikan tiga sumbangan penting bagi pemikiran Gutierrez. Tokoh lainnya adalah Jose Maria Arguedas (1911-1969). Ia adalah seorang antropolog, penyair dan Novelis. Arguedas sungguh menyadari situasi konflik sosial di Peru antara golongan kaya dan golongan miskin. Hal ini yang mempertalikan mereka secara pribadi, yakni dalam keprihatinan dasar yang sama untuk memahami dan bersuara bagi kaum miskin

Pada tahun 1971, Gutierrez menerbitkan karya monumentalnya A Theology of Liberation (terjemahan dalam bahasa Inggris tahun 1973). Sebuah buku yang menguraikan secara sistematis dan komprehensif refleksi teologis Gutierrez dalam konfrontasi dengan dunia kaum miskin di Amerika Latin yang ia hidupi selama ini

Dalam tahun-tahun berikutnya terbit beberapa buku lainnya dari Gutierrez yang bertolak dari keprihatinan dasar yang sama , yaitu bagaimana menyuarakan jeritan kaum miskin Amerika Latin dalam bahasa Teologis.
Tahun 1979, terbit The Power Of The Poor in History, yaitu esai mengenai visi konferensi Para Uskup Amerika Latin di Medellin, Kolumbia (1968), Konferensi Puebla (1979), kekhasan teologi pembebasan dalam perbandingan dengan teologi Barat.
Tahun 1983, terbit We Drink From Our Own Wells, yang berbicara tentang spritualitas pembebasan
Tahun1986, terbit On Job : God Talk and the Suffering of Innocent, yang merupakan tafsir Kitab Ayub dalam konteks Amerika Altin.
Tahun 1986, terbit The Truth Shall Make You Free, yang berisi rangkuman analisis Sosial maupun pandangan teologisnya.
Tahun 1990, terbit The God of Life, yang berbicara tentang Allah dalam kitab suci dari perspektif Amerika Latin.
Tahun 1992, terbit Las Casas : In Search of the Poor of Jesus Christ, sebuah karya besar penelitian histories tokoh yang dianggap telah memolopori teologi pembebasan pada abad ke-16

Gutierrez juga aktif dalam CELAM (Konferensi Para Uskup Amerika Latin). Juga penasihat pelbagai kelompok pastoral dan refleksi teologis, anggota pendiri ONIS (Oficina Nacional de Investigacion), anggota editorial majalah Concilium dan Paginas, partisipas konferensi-kongernsi EATWOT (Ecumenical Association of Third World Theologians). Ia juga pernah mengajar di Union Theological Seminary, New York; Pacific School of Religion, Berceley, California; Universitas Of Michigan, Annarbar; Boston College, Boston; Maryknoll School of Theology, New York; Mexican American Cultural Center, San Antonio, Texas; Cambridge University, Inggris, dan lain-lain.

Gutierrez masih hidup sampai sekarang. Ia masih tinggal di Rimac, sebuah daerah pemukiman kumuh di Peru. Di sana ia tetap berkarya sebagai pastor paroki, sebagai gembala yang hidup di tengah-tengah umat yang miskin.


Mayoritas penduduk Amerika Selatan, terperangkap dalam kehidupan yang melarat. Negara-negara di sana dikuasai oleh sekelompok elite yang kaya, yang mempertahankan kedudukannya dengan mengorbankan mayoritas penduduk. Dari penjelasan Biografinya tadi, kita melihat bahwa titik tolak refleksi teologis Gustavo Gutierrez adalah praksis dalam realitas kemiskinan Amerika Latin.
Dalam analisisnya terhadap realitas kemiskinan Amerika Latin, Gutierrez memperlihatkan bahwa persoalan itu bukan hanya menyangkut masalah sosial melainkan juga masalah teologis.

Sekitar tahun lima puluhan dan enam puluhan diusahakan untuk membawa “pembangunan” ke Amerika Latin karena dikira kesulitan di sana disebabkan oleh tidak adanya pembangunan. Akan tetapi usaha ini tidak berhasil membawa perbaikan nasib bagi mayoritas penduduknya yang miskin malah semakin tertindas. Kesulitan ini disebabkan oleh struktur yang tidak adil, baik di dalam masing-masing Negara itu sendiri

Sejak depresi dunia pada 1930-an, perekonomian negara-negara di Amerika Latin begitu bergantung pada ekspor barang mentah ke Eropa dan Inggris. Sebaliknya, mereka mengimpor komoditas pabrik. Sesudah Perang Dunia II, harga barang-barang mentah jatuh di pasaran dunia. Akibatnya perekonomian negara-negara itu kacau. Mereka juga tak mampu mengimpor barang-barang pabrik. Untuk memenuhi kebutuhan barang pabrik di dalam negeri, negara-negara itu mencanangkan modernisasi dengan memacu industrialisasi atas bantuan negara maju. Mereka menerapkan sistem kapitalisme sebagai model modernisasi.

Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum proletar --kelas buruh-- tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator. Pada 1945, misalnya, kelompok militer di Brasilia menggulingkan pemerintahan sipil. Pada tahun yang sama, Kolonel Juan Peron menjadi penguasa tunggal Argentina, setelah mengudeta penguasa sebelumnya. Tahun 1948, Manuel Odria menjadi diktator di Peru. Dan penindasan terhadap rakyat terjadi hampir di seluruh belahan Amerika Latin.

Pada akhir abad ke-19, banyak wilayah Amerika Latin berhasil memperoleh kemerdekaannya sehingga menjadi Negara-negara baru. Tetapi berakhirnya kolonialisme politik tidak serat merta diikuti oleh hadirnya kebebasan yang sejati dan kemerdekaan yang integral. Kolonialisme politik diganti dengan kolonialisme ekonomi. Kekuatan Ekonomi Barat melanjutkan eksploitasi di Amerika Latin, sambil bekerjasama dengan elite kekuasaan dalam negeri yang didukung militer Puncak eksploitasi ini terjadi dalam dasawarsa 1950-an, ketika Amerika Latin mengadopsi model ekonomi Barat, yakni Kapitalisme.

Sistem Ekonomi Kapitalisme ternyata tidak membawa kemakmuran bagi rakyatnya, tetapi sebaliknya mengakibatkan kemiskinan yang massif. Juga, semakin memantapkan ketergantungan Amerika Latin terhadap Negara-negara Barat dan menguntungkan ekonomi mereka. Tragisnya, gereja tidak banyak berbuat apa-apa. Gereja hanya menangani hal-hal yang sifatnya religius, sedangkan urusan kemasyarakatan seperti kemiskinan adalah masalah Negara (dunia)

Dari situasi yang semacam inilah kemudian lahir teologi Gustavo Gutierrez.

Teologi yang muncul
Teologi Gustavo Gutierrez lahir dan berkembang dalam arus praksis perjuangan pelbagai kelompok untuk mewujudkan kehadiran gerejani baru yang kontekstual dengan kenyataan kongkret Amerika Latin.

Menurutnya, teologi adalah refleksi kritis atas praksis histories dalam terang sabda Allah. Teologi adalah pembacaan kembali sabda Tuhan, sebagaimana sabda itu dihayati dan dilaksanankan dalam kehidupan komunitas Kristen, sekaligus juga refleksi yang diarahkan pada komunikasi iman, pada pewartaan Kabar Gembira tentang cinta Bapa kepada seluruh umat manusia. Teologi mesti bertolak dari praksis, yakni pengalaman akan Allah dalam kontemplasi (ibadat/mistik) dan aksi (komitmen/politik).

Gustavo Gutierrez dikenal sebagai teolog pembebasan dan teologianya lahir dengan Teologi Pembebasan, tepatnya setelah Gustavo Gutierrez (pastor dari Peru) ini menerbitkan buku Teologia de la Liberacion pada 1971.

Di bidang keagamaan, terjadi pergeseran pandangan teologis di kalangan Gereja Katolik di seantero Amerika Latin. Disebutkan dalam buku Teologi Pembebasan, selama berabad-abad gereja di Amerika Latin menganut pemahaman teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional. Para uskup Amerika Latin menilai, cara berteologi Barat telah menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masaah-masalah kongkret. Gereja-gereja penganut teologi Barat, tuding mereka, hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian. Pembebasan (liberation) merupakan istilah kunci dalam teologi Gutierrez. Bagi Gutierrez, istilah pembebasan menyajikan gambaran menyeluruh (sosial, personal, dan teologis) tentang realitas Amerika Latin.

Pembebasan memperlihatkan realitas Konfliktual dalam proses ekonomi, politik sosio-budaya Amerika Latin yang membagi masyarakat dalam kelas kaya dan kelas miskin. Pembebasan menunjukkan aspirasi dan perjuangan kelas sosial tertindas (miskin) untuk keluar (baca:bebas) dari lilitan penindasan itu (dimensi sosial).

Pembebasan menunjuk pada martabat pribadi manusia yang memiliki kebebasan dan tanggungjawab atas nasibnya. Pembebasan juga memiliki dasar Biblis yang fundamental, yakni karya pembebasan Allah bagi umatNya. Allah dalam Yesus Kristus bertindak membebaskan manusia dari dosa dengan segala akibatnya termasuk ketidakadilan sosial (kemiskinan)

Maka istilah pembebasan menunjuk pula dimensi rahmat, yakni anugerah pembebasan Allah kepada manusia. Dalam kerangka rahmat inilah dapat diabangun perjuangan pembebasan manusia atas struktur sosial yang tidak adil (dimensi teologis)

Bagi Gutierrez, istilah pembebasan juga sangat erat kaitannya dengan penyelamatan. Penyelamatan adalah persatuan manusia dengan Allah, yang mencakup seluruh realitas manusia, mentransformasikannya dan menuntunnya menuju kepenuhan dalam Kristus. Pembebasan terutama digunakan Guiterrez untuk menunjukkan dinamika penyelamatan yang terjadi dalam sejarah manusia. Penyelamatan ditafsirkan kembali sebagai pembebsan politik. Allah mengerjakan keselamatannya dalam seluruh sejarah manusia. Masalah penyelamatan dewasa ini bukan kuantitatif (siapa yang akan diselamatkan), tetapi kualitatif (apa sifat penyelamatan itu). Pembebasan adalah realisasi histories Kerajaan yang selalu terbuka pada pemenuhan di masa depan, yakni kedatangan Kerajaan yang merupakan anugerah Allah.

Berdasarkan relasi penyelamatan dan pembebasan tersebut, Gutierrez mendefenisikan teologi pembebasan sebagai suatu teologi penyelamatan dalam kondisi-kondisi kongkret, historism, dan politis dalam dunia dewasa ini. Situasi histories ini ditandai oleh kemiskinan akibat ketidakadilan sosial (situasi Amerika Latin). Karena itu, ia kerap pula menyebut teologi pembebasan sebagai teologi kaum miskin, teologi teman bicara (interlocutor) kaum miskin dan mengartikulasikan perjuangan dan harapan mereka.

Dengan demikian kini di Amerika Latin teologi akan merupakan refleksi tentang, dan dalam, iman sebagai praksis pembebasan. Ia akan merupakan suatu pemahaman iman yang bertolak dari suatu pilihan dan suatu komitmen. Teologi ini akan merupakan pemahaman iman yang bertolak dari solidaritas yang kongkrit dan efektif dengan kelas-kelas yang terperas, kelompok-kelompok etnis yang tertindas, budaya-budaya Amerika Latin yang terhina, serta bertolak dari dalam dunia mereka. Teologi ini akan merupakan sebuah refleksi yang bertolak dari komitmen untuk menciptakan sebuah masyarakat adil, sebuah komunitas yang bagiakan saudara-saudara sekandung, dan yang harus melihat bahwa komitmen ini sedang tumbuh dengan semakin radikal dan menyeluruh. Teologi ini akan merupakan sebuah refleksi teologis yang menjadi benar, terverifikasi, dalam keterlibatan yang nyata dan bermanfaat dalam proses pembebasan.

Apa yang telah dilakukan oleh Gustavo, perhatiannya kepada mereka yang terstindas, dalam konteks Amerika Latin adalah sumbangan besar bagi generasi selanjutnya untuk menjadi pembebas dari ketertindasan dari pihak-pihak tertentu.

Bagi saya, apa yang dilakukan oleh Gustavo adalah sebuah komitmen untuk menghayati kehadiran Allah bagi mereka yang tidak mendapat perhatian, karena situasi dan keadaan mereka yang “miskin”. Orang-orang ini sering tidak mendapatkan tempat dalam masyarakat dan dianggap sebagai sampah masyarakat. Dan inilah juga yang terjadi dalam konteks Amerika Latin.

Analisis sosial hanya bisa menyimpulkan bahwa kemiskinan merupakan akibat struktur sosial yang tidak adil. Namun refleksi teologis harus melampaui analisis sosial dengan memperlihatkan bahwa kemiskinan berkaitan juga dengan relasi terhadap Allah. Kemiskinan berakar dalam hubungan yang rusak antara manusia dengan Allah dan sesama.
Gutierrez berhasil menunjukkan kemiskinan bukanl masalah sosial saja, tetapi juga masalah teologis. Karena itu pula kemiskinan menjadi tantangan iman yang serius. Maka dalam perspektif iman Kristiani, perjuangan mengatasi kemiskinan tidak sekedar kegiatan pelayanan sosial tetapi wujud penghayatan iman

Gutierrez sangat menandaskan bahwa Allah adalah Dia yang terlibat dalam sejarah manusia. Allah menyatakan kasihNya dalam tindakan pembebasan semua orang terutama kaum miskin. Keterlibatan Allah dalam sejarah manusia berpuncak dalam diri Yesus Kristus.

Gustavo tidak berbicara sesuatu yang utopis tetapi dengan rela mengabdikan dirinya untuk memperhatikan dan menaruh minat akan kehidupan mereka (praxsis). Keunggulan teologi ini terletak dalam kepedulian dan orientasinya untuk mewujudkan kehidupan Kerajaan Allah, kerajaan keadilan dan perdamaian, kebenaran dan kemerdekaan, dengan mendahulukan kaum miskin dan tertindas. Praxis, kontemplasi dan aksi pembebasan merupakan titik tolak teologi pembebasan menuju praxis baru.


Bisa dikatakan bahwa teologi pembebasan adalah teologi yang menghayati sabda Tuhan lewat sebuah tindakan nyata bagi mereka yang tertindas, karena Allah pun menjadi sama dengan manusia unutk membebaskan manusia dari ketertindasannya atas dosa.

Secara geografis dan situasi masyarakatnya, Indonesia berbeda dari Amerika Latin. Namun bukan berarti bahwa tidak ada yang dapat menjadi bagian yang penting dalam teologi ini, untuk kemudian secara kritis memunculkan teologi sendiri atas pergumulan kita sendiri.

Kesamaannya adalah situasi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih dalam taraf kemiskinan. Kemelaratan, pengangguran, busung lapar masih membelenggu sebagian besar masyarakat kita. Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia.

Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk yang tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998). Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.

Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan "buatan" terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.

Elite negara kita sungguh menutup mata terhadap realitas kemiskinan dalam masyarakat bawah. Mereka masih melihat realitas kemiskinan sekadar sebagai catatan kaki. Sebab kemiskinan bukan produk dari masyarakat yang sehat. Kemiskinan itu kotoran masyarakat yang sedang menderita sakit, kasus-kasus penggusuran paksa di daerah-daerah kumuh memperlihatkan secara terang bagaimana hidup orang miskin semakin digeser ke periferi dan secara sengaja ditinggalkan melalui tindakan kekerasan.

Faktanya, koeksistensi dengan realitas kemiskinan sebagai skandal kemanusiaan tidak otomatis menjelmakan komitmen untuk melakukan protes atasnya. Dialog kehidupan kita dengan masyarakat korban belum menumbuhkan praksis liberatif dengan orientasi mengatasi penderitaan mereka. Singkatnya, selama ini kita gagal mengalamatkan problem the suffering other. Lebih buruk, kita sering kali membiarkan hidup orang miskin dilucuti kemanusiaannya.Kemiskinan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang para pelakunya belum pernah diajukan ke pengadilan. Mempertahankan hidup dari ancaman kematian merupakan problem terbesar bagi orang miskin. Kemiskinan itu terutama bersangkutpaut dengan hilangnya martabat manusia. Pada level etis, kemiskinan merupakan kejahatan moral terbesar. Kemiskinan mengekspresikan kedosaan fundamental dunia ini, yaitu penghancuran kehidupan. Akhirnya, pada level teologis kemiskinan mengajukan pertanyaan fundamental tentang Tuhan.

Penyingkapan fakta kemiskinan membuka mata kita untuk dapat mengenali wajah kemanusiaan yang sesungguhnya. Problem kemiskinan menyeberangi batas kemanusiaan dan agama. Sebab kemiskinan merupakan skandal humanisasi-religius. Jika menolak pengalaman ini dan menolak tantangan darinya, kita akan menjadi tidak humanis-religius. Karena kemiskinan merupakan skandal humanisasi dan religius, kita harus melakukan protes atasnya. Di hadapan elite negara dan pelaku ekonomi global yang self-seeking dalam mengelola negara, kita melakukan protes dengan mengarahkan jari kita pada penderitaan, ketidakadilan orang miskin.

Protes itu mengambil bentuk solidaritas dengan mereka yang miskin. Kita tidak hanya menunjuk fakta orang miskin dari luar, namun mengekspresikannya dalam diri kita. Kita menjadi simbol riil kaum miskin. Baik penyingkapan realitas orang miskin maupun solidaritas dengan mereka semua berorientasi pada praksis. Solidaritas kita dengan orang miskin memediasikan pembebasan orang miskin. Oleh karena itu, solidaritas dengan orang miskin melahirkan suatu komunitas praksis. Harapan kaum miskin adalah keadilan, bukan sekadar dapat bertahan hidup. Komunitas korban (the crucified people) menjadi tanda zaman utama yang memanggil kita untuk menurunkan mereka dari salib.

Gustavo Gutierrez, teologi dengan solidaritas profetiknya tidak mengklaim mampu mengajukan solusi teknis terhadap problem kemiskinan. Namun, solidaritas profetik mengajak kita untuk mengingat, tidak melupakan orang miskin. Kita mempertaruhkan nama Tuhan ketika menanggapi problem kemanusiaan religius ini.

Kalau kita melihat apa yang ada di dalam Alkitab, maka nyata di sana adanya Keprihatinan Yesus terhadap orang miskin. Sebagian besar, jika kita melihat Injil, orang-orang yang dating kepadanya adalah orang-orang sakit, miskin dan menderita, orang buta, pincang, lumpuh dan pengemis. Kita juga melihat bagaimana Yesus berkonflik dengan kelas-kelas kaya.

Situasi Gustavo Gutierrez tidak jauh berbeda dengan tempat pelayanan Yesus. Kita melihat bahwa sebagian besar penduduk palestina dulu (waktu zaman Yesus) adalah orang-orang miskin.
Mereka juga menaruh perhatian pada orang-orang miskin, yang tertindas.

Bagaimana kita sekarang, dalam penghayatan kita akan Allah yang melalui anakNya yang tunggal datang sebagai pembebas. Akankah kita menghayati pembebasan itu dengan menujukkan perhatian kita akan mereka yang lemah dan membutuhkan perhatian kita.

Gustavo di Amerika Latin dan teristimewa Tuhan Kita Yesus Kristus telah memberikan sifat keteladanan kepada kita untuk menjadi penyalur kasih Allah dengan perhatian kepada mereka yang lemah dan tertindas.


my bro


hehe