Manusia dilahirkan dalam sebuah komunitas tertentu, yang pada dasarnya merupakan sebuah tempat bagi dia untuk [bisa] berkembang ataupun [bisa] tidak. Komunitas bisa saja, dalam perkembangannya menyebabkan setiap individu mampu untuk mengembangkan dirinya ataupun sebaliknya. Tidak terkecuali perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang pada hakekatnya bisa berkembang dan patut dikembangkan. Potensi-potensi ini adalah anugerah yang diberikan Tuhan, tanpa memandang, entah itu laki-laki ataupun perempuan.
Tetapi, dalam perkembangannya, masyarakat mencoba membatasi ruang gerak, untuk mengembangkan potensi-potensi ini, terutama bagi perempuan yang menurut mereka lemah dan [seharusnya] tidak perlu lagi untuk mengembangkan potensinya. Alasan-alasan tertentu diciptakan, misalnya bahwa perempuan itu kebanyakan lemah, sensitif, yang kemudian (mitos semacam ini) berkembang menjadi sebuah norma ataupun tradisi yang menutup kesempatan bagi perempuan untuk dilihat sebagaimana adanya, sama dengan laki-laki. Akibatnya perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama, seperti laki-laki-entah itu dalam hal (keadilan) mendapatkan pekerjaan, (keadilan) dalam hal bersuara, (keadilan) dalam masyarakat dsb.
Akibat lain yang karena steorotip tersebut, muncullah sikap tidak menghargai perempuan, karena dunia patriakhal yang telah mendukung kedudukan laki-laki dan menempatkan mereka dalam posisi yang lebih. Maka muncullah kekerasan terhadap perempuan, yang sering kali terjadi tanpa perlawanan (misalnya lewat hukum; terjadi misalnya karena ada tekanan, takut, dan berbagai tekanan lainnya).
Di Indonesia, yang katanya negara religius, kekerasan terhadap perempuan menjadi sebuah peristiwa yang sudah seringkali terjadi, bahkan sampai sekarang. Kekerasan ini bermunculan dalam berbagai bentuk, misalnya fisik : pemukulan, penganiayaan dan pemerkosaan, dan juga dalam bentuk psikis. Kekerasan-kekerasan seperti ini seakan-akan mau mengatakan kepada kita bahwa perempuan memang tidak berdaya dalam menghadapi hal-hal seperti ini. Seperti yang diungkapkan Mira Diarsi dari Komnas Perempuan, telah terjadi semacam siklus kekerasan, dimana korban kekerasan [perempuan] telah dimanipulasi dengan janji dan permohonan minta maaf dari pelaku (mis: suami), tetapi ini justru terjadi berulang-ulang. Juga terjadi kekerasan lain, misalnya kekerasan ekonomi, dimana perempuan karena sangat tergantung kepada suaminya, maka sangat rentan terhadap kekerasan.
Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan merupakan tindakan yang sangat tidak adil dan patut mendapat perhatian. Bagaimanapun perempuan adalah sama dan setara dengan laki-laki, dan karenanya punya hak dan kebebasan serta patut dihargai. Penghargaan terhadap perempuanlah yang dibutuhkan, agar dalam melihat perempuan tidak lagi berdasarkan kacamata stereotip yang telah berkembang dalam masyarakat (yang seringkali menyesatkan), melainkan karena dia adalah manusia yang memang [harus] dihargai.
Dibutuhkan kesediaan kita, baik pihak perempuan maupun laki-laki, untuk bersama-sama melawan kekerasan semacam ini. Perempuan sudah seharusnya menyuarakan penentangan terhadap hal-hal yang seperti ini, bukannya bungkam dan diam menerima kekerasan sebagai bagian dari hidup yang harus ia jalani. Memang agak susah, apalagi dengan tekanan-tekanan dari luar. Tapi, setidaknya semangat itu (pertama-tama) harus ditumbuhkan, dengan memposisikan dirinya sebagai manusia yang tidak pantas menerima perlakukan semacam ini. Begitu pula adanya kesediaan laki-laki untuk memahami perempuan sebagai teman, sahabat dan patner bersama untuk mewujudkan dunia yang damai, bukannya menciptakan jarak dan jurang terhadap perempuan dengan menganggap mereka sebagai kaum yang harus di "tindas" dan di "nomorduakan".
Perlawanan terhadap kekerasan semacam ini adalah tugas kita bersama dalam rangka pemulihan martabat manusia secara terus-menerus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar