Bagi saya sendiri, kekerasan adalah bencana, dan yang namanya bencana, ia butuh bantuan ‘segera’ dan ‘mendesak’ untuk diselesaikan. Mengapa? Karena kekerasan hanya akan mengakibatkan luka, tidak hanya pada pihak korban tetapi kepada ke’manusia’an itu sendiri. Kekerasan, dalam bentuk apapun adalah sikap merendahkan ke’manusia’an itu sendiri, yang justru oleh Tuhan, dibentuk ‘segambar’ dan ‘serupa’ dengan Dia. ketika kita melakukan kekerasan, bagi saya itulah ketika kita merusak gambar Allah yang ada dalam diri kita. Apalagi dalam masyarakat yang sangat majemuk dan heterogen, seperti Indonesia, kekerasan mudah sekali muncul, terutama karena ‘saat ini’ kekerasan sudah tidak lagi bertalian dengan apakah seseorang beragama apa tidak, toh semua orang [dari pengamatan saya] punya potensi untuk melakukannya. Apalagi jika sudah terkait dengan berbagai macam kepentingan entah itu ekonomi dan kekuasaan.
Saya melihat bahwa keKristenan yang kita dapati sekarang kenyataan telah dipengaruhi oleh persoalan politis dan kekuasaan. Di awal keKristenan, keKristenan jelas adalah pasifisme. Mereka menjunjung tinggi sikap Yesus yang tak melakukan perlawanan apapun bahkan ketika kesempatan itu datang. Yang dilakukannya justru melampaui apa yang normatif. Memang kita perlu melihat bagaimana konteks gereja perdana waktu itu yang berhadapan keyakinan-keyakinan mereka berhadapan dengan banyak hal semisal kekaisaran romawi, penganiayaan yang terjadi sampai keyakinan akan ‘eskatologis’. Terlepas dari penafsiran kita seperti apa, saya kira memang benar Yesus adalah seorang pasifisme sejati. Gerakan kepada ‘gerakan tidak melakukan perlawanan’. Tetapi gerakan pasifisme sendiri perlu didengar bahkan perlu diteriakkan besar-besaran di tengah-tengah masyarakat sekarang ini yang sudah menganggap biasa tindakan kekerasan.
Namun, ketika keKristenan bercampur dengan politik, terkhusus ketika keKristenan mendapat tempat yang sungguh amat agung sebagai agama negara, maka keKristenan tidak lepas dari dunia politis. KeKristenan sekarang ini menjadi agama politik karena kebijakannya sedikit banyak dipengaruhi oleh sikap negara dan pemegang kekuasaan [Kaisar], apalagi ketika itu berhubungan dengan dominasi kekaisaran Roma [Roman Emperor] sebagai sebuah kekaisaran yang sedang berhadapan dengan banyak musuh. Maka sejarah akhirnya mencatat bagaimana kemudian bentuk pasifisme itu berusaha di’modofikasi’ sedemikian rupa, yang akhirnya melahirkan bentuk penyesuaian pasifisme itu sendiri dengan kenyataan bangsa Roma yang sedang ber’perang’ dengan musuh. Karakter kekaisaran Roma inilah yang akhirnya menjadi sejarah keKristenan selanjutnya. Mentalitas menantang musuh, mentalitas ingin mendominasi akhirnya menjadi karakter keKristenan. Ruh pasifisme tertelan oleh semangat dominasi kekuasaan dan pihak tak mau kalah [lihatlah bagaimana perang salib justru dikobarkan dengan membawa panji keagamaan]
Logika berpikir kita mesti diubah sedemikian rupa. Menurut saya kita harus menerapkan logika berpikir Yesus. Logika berpikir kita sekarang ini adalah bahwa perang [dan tindakan sejajar seperti tindakan kekerasan dengan alasan militer] akan dapat menyelesaikan masalah. Maka yang terjadi, kita terbiasa menempuh jalan berpikir ini sebagai ‘langkah pertama’. Di benak kita sudah terbiasa berpikir seperti ini, apalagi di tengah beredarnya film-film bergenre perang, yang selalu mengisahkan perang dan pengerahan kekuatan militer dianggap sebagai sesuatu yang baik. Kita diarahkan berpikir seperti ini sampai sekarang. Kalau dulu legitimasi didapat dari gereja yang berselingkuh dengan negara, sekarang secara tidak sadar, legitimasi itu sebenarnya didapat lewat media yang membenarkan dan menganggap biasa dan [bahkan] memberhalakan perang dan kekerasan.
Maka menurut saya, logika yang kita pakai adalah logika berpikir Yesus. Yesus tidak pernah menerapkan kekerasan sebagai cara dia menghadapi lawannya. Padahal, ia hidup di tengah-tengah masyarakat Israel yang masih hidup di bawah penjajahan Roma. Tentu, bisa saja sikap nasionalistiknya muncul seperti kelompok zelot. Ia bisa saja memilih sikap seperti kebanyakan orang Indonesia yang geram dengan Malaysia dengan menyerang dan mengobarkan perang dengan negara yang katanya serumpun itu. Belum lagi Yesus yang seorang Yahudi, tentu Ia sangat paham dengan kitab perjanjian lama yang berisikan kisah-kisah kepahlawanan dan perang. Tetapi mengapa ia tidak memilih itu? Apakah Yesus bukan seorang Yahudi tulen ataukah Ia tidak senasionalistik kelompok zelot. Bagi Yesus, ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menunjukkan bahwa lawan-lawannya bisa dikalahkan bukan dengan cara melegalkan kekerasan tetapi justru menunjukkan kepada siapapun, entah kepada penjajahan Roma entah dengan mush-mush yang sebangsa dengan dia, bahwa kekerasan hanya bisa dilawan dengan menghayati hidup sebagai seorang yang tidak setuju dengan kekerasan itu sendiri. Jadi logika berpikir Yesus adalah logika yang tidak ‘terlebih dulu’ memilih jalan kekerasan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalahnya. Itu dibuktikan Yesus dengan tanpa melakukan perlawanan ketika ia ditangkap sampai kepada ia disalibkan. Gerakan nir kekerasan inilah yang dihayati oleh orang kristen perdana.
Logika berpikir perang dan kekerasan juga terbukti tidak pernah menyelesaikan masalah. Perang dan kekerasan akan selalu melahirkan masalah-masalah yang baru. Kita bisa melihat ini dengan kasat mata dengan apa yang terjadi dengan keinginan oleh USA dibawah kepemimpinan Bush untuk menciptakan perdamaian dengan Irak dan Afganistan. Kampanye against terror telah melahirkan sebuah paradigma berpikir bahwa teror bisa dikalahkan dengan mengobarkan perang dan memakai tindakan kekerasan. Tetapi apakah berhasil? Kita bisa melihat Irak sekarang yang bertambah parah dan agfanistan yang tak pernah sepi dengan bom. Justru hal sebaliknya terjadi dengan Gandi yang menerapkan sikap pasifisme dalam melawan penjajahan Inggris dan berhasil.
Apalagi saya melihat bahwa ada kesempatan yang besar bagi komunitas Kristen yang sekarang ini tidak terlibat langsung dan berhubungan dengan negara sebagaimana terjadi di zaman Konstantin. Artinya, komunitas Kristen bisa dengan lebih greget untuk memperjuangkan masyarakat yang nir kekerasan dimulai dari gereja sendiri. Dengan tak berhubungan dengan negara secara langsung dan kesempatan untuk berselingkuh dengannya sedikit, maka gerakan nir kekerasan harus dapat mengimbangi gerakan yang mengutamakan kekerasan sebagai jalan menyelesaikan masalahnya. Seperti Yesus yang mengubah paradigma di zamannya, selalu ada jalan lain yang bisa di tempuh di luar jalan angkat senjata. Seperti membangun diplomasi. Atau kita bisa belajar dari seorang KH. Ahmad Dahlan yang melawan kolonialisme dengan pendidikan, bukan dengan kekerasan.
Maka yang mau saya katakan adalah, sebagai sebuah komunitas yang [katanya] melanjutkan ke’teladan’an Yesus, harus dapat mengimbangi masyarakat yang menganggap bahwa perang, dan kekerasan sebagai yang baik untuk ditempuh. Selalu ada jalan yang bisa ditempuh di luar perang dan kekerasan. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita bisa menghayati keteladanan Yesus dan belajar dari gerakan keKristenan perdana yang pasifis.
sumber gambar: pixabay.com
Saya melihat bahwa keKristenan yang kita dapati sekarang kenyataan telah dipengaruhi oleh persoalan politis dan kekuasaan. Di awal keKristenan, keKristenan jelas adalah pasifisme. Mereka menjunjung tinggi sikap Yesus yang tak melakukan perlawanan apapun bahkan ketika kesempatan itu datang. Yang dilakukannya justru melampaui apa yang normatif. Memang kita perlu melihat bagaimana konteks gereja perdana waktu itu yang berhadapan keyakinan-keyakinan mereka berhadapan dengan banyak hal semisal kekaisaran romawi, penganiayaan yang terjadi sampai keyakinan akan ‘eskatologis’. Terlepas dari penafsiran kita seperti apa, saya kira memang benar Yesus adalah seorang pasifisme sejati. Gerakan kepada ‘gerakan tidak melakukan perlawanan’. Tetapi gerakan pasifisme sendiri perlu didengar bahkan perlu diteriakkan besar-besaran di tengah-tengah masyarakat sekarang ini yang sudah menganggap biasa tindakan kekerasan.
Namun, ketika keKristenan bercampur dengan politik, terkhusus ketika keKristenan mendapat tempat yang sungguh amat agung sebagai agama negara, maka keKristenan tidak lepas dari dunia politis. KeKristenan sekarang ini menjadi agama politik karena kebijakannya sedikit banyak dipengaruhi oleh sikap negara dan pemegang kekuasaan [Kaisar], apalagi ketika itu berhubungan dengan dominasi kekaisaran Roma [Roman Emperor] sebagai sebuah kekaisaran yang sedang berhadapan dengan banyak musuh. Maka sejarah akhirnya mencatat bagaimana kemudian bentuk pasifisme itu berusaha di’modofikasi’ sedemikian rupa, yang akhirnya melahirkan bentuk penyesuaian pasifisme itu sendiri dengan kenyataan bangsa Roma yang sedang ber’perang’ dengan musuh. Karakter kekaisaran Roma inilah yang akhirnya menjadi sejarah keKristenan selanjutnya. Mentalitas menantang musuh, mentalitas ingin mendominasi akhirnya menjadi karakter keKristenan. Ruh pasifisme tertelan oleh semangat dominasi kekuasaan dan pihak tak mau kalah [lihatlah bagaimana perang salib justru dikobarkan dengan membawa panji keagamaan]
Logika berpikir kita mesti diubah sedemikian rupa. Menurut saya kita harus menerapkan logika berpikir Yesus. Logika berpikir kita sekarang ini adalah bahwa perang [dan tindakan sejajar seperti tindakan kekerasan dengan alasan militer] akan dapat menyelesaikan masalah. Maka yang terjadi, kita terbiasa menempuh jalan berpikir ini sebagai ‘langkah pertama’. Di benak kita sudah terbiasa berpikir seperti ini, apalagi di tengah beredarnya film-film bergenre perang, yang selalu mengisahkan perang dan pengerahan kekuatan militer dianggap sebagai sesuatu yang baik. Kita diarahkan berpikir seperti ini sampai sekarang. Kalau dulu legitimasi didapat dari gereja yang berselingkuh dengan negara, sekarang secara tidak sadar, legitimasi itu sebenarnya didapat lewat media yang membenarkan dan menganggap biasa dan [bahkan] memberhalakan perang dan kekerasan.
Maka menurut saya, logika yang kita pakai adalah logika berpikir Yesus. Yesus tidak pernah menerapkan kekerasan sebagai cara dia menghadapi lawannya. Padahal, ia hidup di tengah-tengah masyarakat Israel yang masih hidup di bawah penjajahan Roma. Tentu, bisa saja sikap nasionalistiknya muncul seperti kelompok zelot. Ia bisa saja memilih sikap seperti kebanyakan orang Indonesia yang geram dengan Malaysia dengan menyerang dan mengobarkan perang dengan negara yang katanya serumpun itu. Belum lagi Yesus yang seorang Yahudi, tentu Ia sangat paham dengan kitab perjanjian lama yang berisikan kisah-kisah kepahlawanan dan perang. Tetapi mengapa ia tidak memilih itu? Apakah Yesus bukan seorang Yahudi tulen ataukah Ia tidak senasionalistik kelompok zelot. Bagi Yesus, ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menunjukkan bahwa lawan-lawannya bisa dikalahkan bukan dengan cara melegalkan kekerasan tetapi justru menunjukkan kepada siapapun, entah kepada penjajahan Roma entah dengan mush-mush yang sebangsa dengan dia, bahwa kekerasan hanya bisa dilawan dengan menghayati hidup sebagai seorang yang tidak setuju dengan kekerasan itu sendiri. Jadi logika berpikir Yesus adalah logika yang tidak ‘terlebih dulu’ memilih jalan kekerasan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalahnya. Itu dibuktikan Yesus dengan tanpa melakukan perlawanan ketika ia ditangkap sampai kepada ia disalibkan. Gerakan nir kekerasan inilah yang dihayati oleh orang kristen perdana.
Logika berpikir perang dan kekerasan juga terbukti tidak pernah menyelesaikan masalah. Perang dan kekerasan akan selalu melahirkan masalah-masalah yang baru. Kita bisa melihat ini dengan kasat mata dengan apa yang terjadi dengan keinginan oleh USA dibawah kepemimpinan Bush untuk menciptakan perdamaian dengan Irak dan Afganistan. Kampanye against terror telah melahirkan sebuah paradigma berpikir bahwa teror bisa dikalahkan dengan mengobarkan perang dan memakai tindakan kekerasan. Tetapi apakah berhasil? Kita bisa melihat Irak sekarang yang bertambah parah dan agfanistan yang tak pernah sepi dengan bom. Justru hal sebaliknya terjadi dengan Gandi yang menerapkan sikap pasifisme dalam melawan penjajahan Inggris dan berhasil.
Apalagi saya melihat bahwa ada kesempatan yang besar bagi komunitas Kristen yang sekarang ini tidak terlibat langsung dan berhubungan dengan negara sebagaimana terjadi di zaman Konstantin. Artinya, komunitas Kristen bisa dengan lebih greget untuk memperjuangkan masyarakat yang nir kekerasan dimulai dari gereja sendiri. Dengan tak berhubungan dengan negara secara langsung dan kesempatan untuk berselingkuh dengannya sedikit, maka gerakan nir kekerasan harus dapat mengimbangi gerakan yang mengutamakan kekerasan sebagai jalan menyelesaikan masalahnya. Seperti Yesus yang mengubah paradigma di zamannya, selalu ada jalan lain yang bisa di tempuh di luar jalan angkat senjata. Seperti membangun diplomasi. Atau kita bisa belajar dari seorang KH. Ahmad Dahlan yang melawan kolonialisme dengan pendidikan, bukan dengan kekerasan.
Maka yang mau saya katakan adalah, sebagai sebuah komunitas yang [katanya] melanjutkan ke’teladan’an Yesus, harus dapat mengimbangi masyarakat yang menganggap bahwa perang, dan kekerasan sebagai yang baik untuk ditempuh. Selalu ada jalan yang bisa ditempuh di luar perang dan kekerasan. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita bisa menghayati keteladanan Yesus dan belajar dari gerakan keKristenan perdana yang pasifis.
sumber gambar: pixabay.com
coba bang digali juga gerakan pasifisne dari berbagai agama di indonesia. dan implikasinya sebagai upaya merealisasikan perdamaian di indonesia ini.
BalasHapus