Rabu, 17 Maret 2010

Meng"ADA" dalam dunia yang beragam gaya hidup


Kita sudah tidak asing lagi dengan mall, industri kecantikan, kuliner, telepon seluler dan pusat perbelanjaan lain yang luar biasa mewabahnya dan berkembangnya. Jangan sebut Jakarta dulu. Yogyakarta menurut saya adalah salah satu kota yang perkembangan pusat-pusat perbelanjaannya luar biasa cepatnya. Bangunan-bangunan itu menjadi tempat bagi para konsumen dari berbagai kelas [ingat kata Ibrahim, orang miskin pun bisa berlagak jadi orang kaya], untuk ”nimbrung” dalam merealisasikan dirinya. Merealisasikan hasrat sebagai ”pemenuhan” gaya hidup. Permasalahan ini setidaknya menurut Ibrahim dikarenakan sejarah globalisasi ekonomi dan kapitalisme konsumsi. Maka Cafe, mall dan berbagai pusat perbelanjaan tidak hanya dihuni oleh mereka yang dari kalangan ekonomi menengah ke atas saja tetapi semua kelas bahkan mahasiswa yang notabene masih harus menerima ”sumbangan” dari orang tuanya. Persoalan gaya hidup adalah persoalan semua kelas [lintas kelas] yang berwujud dalam pusat-pusat perbelanjaan. Maka dengan demikian, persoalan gaya hidup menjadi masalah serius dan sekaligus tidak sederhana sehingga menurut Ibrahim, butuh kajian akademis dan ilmiah.

Anda mungkin pernah mendengar istilah ”anak-anak mall”. Ya, mereka adalah remaja-remaja yang menjadikan mall [dan pusat perbelanjaan lainnya] sebagai tempat persinggahan untuk sekedar ”ngeceng” sampai menjadikannya sebagai ruang yang mencerminkan citra diri. Citra diri yang ingin ditampilkan adalah citra diri yang khas sebagai ”penghuni” mall sehingga terkesan mewah dan berkelas. Aktualisasi diri dan pencarian identitas ditampilkan melalui ke”berada”annya di mall dan pusat perbelanjaan lainnya. Identitas dan citra diri bagi mereka adalah ditentukan oleh pilihan gaya hidup yang mereka tentukan sendiri. Inilah yang kemudian menjadi kekwatiran dari Ibrahim karena ”berjubalnya” bentuk gaya hidup yang disodorkan kepada kita [khususnya anak muda] yang akhirnya membuat anak muda menjadi bingung dan gelisah tentang identitas mana yang harus mereka pilih dari sekian banyak warna dan beragamnya bentuk gaya hidup.

Gaya hidup kita menunjukkan siapa diri kita kepada orang lain. Anda dan saya mau dilihat seperti apa? Tergantung dari gaya hidup, identitas, penampilan dan citra diri yang kita pilih. Dari hal inilah kemudian industri memanfaatkan hal ini untuk menawarkan berbagai macam pilihan, sehingga persoalan gaya hidup, identitas, penampilan dan citra diri direduksi dalam persoalan konsumsi semata. Agaknya, kapitalisme mencoba mereduksi manusia dalam sekedar permasalahan gaya hidup, dengan membanjirnya produk-produk yang ditawarkan yang mengarahkan kita untuk mengatakan bahwa ”gaya hidup adalah penentu siapa saya”. Maka menarik melihat judul bacaan ini: ”Kamu bergaya maka kamu ada”. Gaya hidup menjadi penentu siapa anda dan saya di dunia ini. Keber”Ada”an anda tidak lagi ditentukan oleh siapa anda secara utuh tetapi menurut saya sudah direduksi sedemikian rupa [yang menurut Ibrahim] hanya sebagai persoalan gaya hidup dan konsumsi semata.

Sekeliling kita sudah dikuasai oleh segudang bentuk gaya hidup yang berusaha mempengaruhi kita. Melalui teknologi termasuk media dan jurnalisme selebriti, kita dihipnotis dengan bentuk gaya hidup yang dalam pandangan mereka adalah baik. Termasuk yang dibahas oleh Ibrahim adalah masalah iklan. Melaluinya, iklan, media dan jurnalisme selebiriti “berusaha” membentuk realitas baru yang tentu saja bisa mempengaruhi kita. Harapannya adalah kita menampilkan diri kita sebagaimana yang diharapkan oleh iklan dan media jurnalisme selebriti. Tentu kita ingin tampil dan berbicara kepada dunia melalui apa yang terlihat dari diri kita. Tetapi sering kali yang kita tampilkan sebenarnya adalah gaya hidup yang lahir dari pengaruh media, yang sebenarnya tidak kita perlukan. Kita ingin seperti Madonna, karena apa yang ditampilkan media adalah Madonna. Sebagaimana dituliskan oleh Sindhunata, maka Madonna bukan lagi menjadi that girl tetapi telah menjadi ikon publik. Madonna adalah lifestyle. Ia bisa membawakan lifestyle, sampai ia sendiri ejawantahan dari lifestyle itu sendiri. Maka gaya hidup Madonna menjadi gaya hidup sebagian perempuan di dunia, karena sebagaimana diungkapkan oleh Ibrahim, dalam budaya berbasis selebriti (celebrity based-culture), para selebriti (dalam hal ini Madonna) membantu dalam pembentukan identitas para konsumen kontemporer. Begitu pula dengan segala macam jenis kosmetik, yang lebih banyak mempengaruhi konsumen melalui media dan iklan. Media dan Iklan ”menggiring” konsumen untuk menjadi putih, karena kalau tidak putih, konsumen tidak akan disebut cantik. Mungkin inilah yang dimaksud oleh Audifax yang mengatakan bahwa idealisme modernisme mengembangkan universalitas dan homogenitas yang ditempatkan sebagai tuntutan dari kapitalisme industrial. Dalam hal ini menurutnya, media memainkan peran dalam menjaga kultur homogenitas tersebut, mulai dari media cetak (seperti majalah) sampai kepada radio dan televisi. Maka, identitas kita, gaya hidup kita ditentukan bukan oleh diri kita tetapi lebih banyak karena pengaruh dari luar diri kita (khususnya media entah cetak maupun elektronik, termasuk melalui iklan gaya hidup yang mempesona dan memabukkan).

Tetapi apakah kita perlu memandang ”terlalu” negatif hal ini? Menurut saya sendiri tidak. Perlu kita sadari bahwa kita ada dalam dunia sejak awal dalam bentuk ”kuasa”, yang menurut Foucalt justru ada sejak lahir. Kita terlahir dalam kekuasaan tubuh, kemudian kekuasaan keluarga, kekuasaan kultur atau masyarakat. Artinya kita berhadapan dengan kekuasaan yang lebih besar, yang bagaimanapun akan mempengaruhi kita. Menurut saya sendiri, persoalan bersolek, entah itu wanita maupun laki-laki adalah bagian dari usaha kita berhadapan dengan kekuasaan tersebut. Artinya, ketika kita berusaha tunduk pada kekuasaan yang ditampilkan oleh kultur atau masyarakat, maka gaya hidup kita akan menyesuaikan diri dengan bentuk yang ditampilkan. Tetapi jika tidak, maka hal sebaliknyalah yang ingin kita tampilkan [Ibrahim menuliskan bahwa pada saat yang bersamaan ada gerakan untuk kembali ke alam...]

Heidegger melihat bahwa manusia adalah entitas yang bergerak dalam pemahaman tentang Ada-nya di dunia. Maka dalam keseharianpun, manusia dapat memetik pemahaman tentang ‘Ada’ melalui ke”waspada”an dan “meluangkan waktu” untuk mencoba mengkaji apa yang sedang berlangsung. Heidegger mengatakan ini sebagai mistik keseharian, yaitu bersikap mistis dalam keseharian; yang berarti menghayati keseharian secara mendalam sampai ke dasar-dasar Ada kita sendiri, dengan cara terus-menerus menanyakan Ada. Dalam hal inilah saya sependapat dengan Chaney yang dikutip oleh Ibrahim bahwa gaya hidup merupakan konsep reflektif. Ada negosiasi praktis di dalamnya.

Manusia terus mengada dalam dunia. Manusia, dalam konteks sekarang, berhadapan dengan satu kekuatan di luar dirinya, dimana gaya hiduplah yang menentukan ia eksis atau tidak. Ia bisa jatuh dan terjebak dalam permainan gaya hidup, tetapi pada saat yang bersamaan pula ia bisa menemukan dirinya dalam dialog dengan berbagai macam gaya hidup yang ditawarkan, tentu melalui proses reflektif. Inilah yang kemudian ditegaskan oleh Ibrahim sendiri di akhir tulisannya dengan mengatakan bahwa gaya hidup bisa kita pahami sebagai proses aktualisasi diri dimana para aktor secara refleksif terkait dengan bagaimana mereka harus hidup dalam suatu konteks interdependensi global. Dialektika inilah yang memungkinkan kita untuk bisa me”reformulasi”kan kembali bentuk terbaik dari gaya hidup kita, karena hidup manusia yang terus berubah, pun menuntut cara yang baru yang sesuai dengan konteks zamannya. Dan itu hanya bisa dilakukan jika kita dengan sadar menganggap persoalan gaya hidup adalah sebuah proses yang terus berinteraksi dengan kehidupan manusia itu sendiri yang berubah.

Bacaan Tambahan:

Basis No.09-10, September-Oktober 2006, Seks Membuat Revolusi?

Audifax, Imagining Lara Croft, (Yogyakarta: Jalasutra), 2006

F. Budi Hardiman, Heidegger dan mistik Keseharian (Jakarta: KPG), 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar