Sudah sejak lama manusia terpesona dengan film. Sejarah mencatat bahwa keterpesonaan itu dimulai akhir abad ke 18 sampai awal ke 19. Namun yang menarik, dari perjalanan sejarah tersebut, film telah hadir dalam banyak segi kehidupan manusia dan mempengaruhi kehidupan manusia baik dari segi ekonomi, politik dan sosial budaya. Penemuan dan perkembangan teknologi telah menjadikan film dan segenap perangkatnya menjadi faktor penting dalam membangun dan [bahkan] membentuk realitas kita tentang dunia. Bahkan dalam bentuknya yang sederhana kita sudah dapat melihat orang saling pukul dalam layar kaca. Apalagi ketika film sudah diproduksi secara besar dan menjadi sebuah industri, misalnya dengan muncul dan lahirnya Nickelodeon dan Walt Disney.
Film dalam sejarahnya juga terbukti ampuh bekerja sebagai alat propaganda bagi sebuah kelompok atau dengan ideologi tertentu. Film sebagai alat propaganda tentu punya tujuan untuk mendukung dan secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk menyetujui apa yang dilakukan pihak-pihak tertentu demi kepentingan tertentu. Setidaknya Nerfita Primadewi mencatat bahwa kepentingan itu bisa dimanfaatkan oleh pemerintah, kaum penjajah ataupun mereka yang punya ideologi-ideologi tertentu. Film sebagai alat propaganda dan pembentuk opini publik yang efektif. Sebut saja film G30S/PKI yang di”paksa”kan untuk ditonton oleh anak SD-SMU, hanya untuk mempengaruhi kesan masyarakat terhadap Soeharto dan Orba. Ya, film dapat berfungsi sebagai alat komunikasi massa yang mampu mempengaruhi sekaligus menghibur penontonnya.
Dalam sejarah perfilman, khususnya di Indonesia tercatat bahwa tema-tema seksual juga menjadi tema perfilman yang sangat populer di kalangan masyarakat, film yang dapat menarik banyak penonton sekalipun mengekspos tubuh [khususnya keseksian dan tubuh perempuan] dan kesan ke”telanjang”an menjadi bagian dari sejarah perfilman Indonesia. Tema-tema seksual yang awalnya hanya sebagai “bumbu” berubah menjadi sentral suguhan dalam film nasional. Tetapi menurut Nerfita Primadewi adalah hal yang aneh jika pemerintah meloloskan film-film bertemakan peng”ekspos”an tubuh dan ke”telanjang”an karena pemerintah sudah punya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur hal tersebut. Namun menurut Nerfita Primadewi, hal ini dimanfaatkan sebagai “alat pelarian” kesadaran dari realitas yang dihadapi sehari-hari, karena kondisi masyarakat yang sedang terpuruk karena ekonomi.
Dalam film birahi yang ditampilkan, muncul sebuah peng”kuasa”an terhadap gender. Masyarakat dibentuk sedemikian rupa, dengan ideologi tertentu, melalui film untuk kemudian menyetujui apa yang dilihat dan kemudian menjadi hal yang “dianggap” sebagai nature. Padahal yang nature ini dibentuk oleh ideologi tertentu. Dalam film birahi, hal ini juga berlaku dan terlihat adanya eksploitasi gender yang dilakukan oleh pihak penguasa untuk melegalkan kekuasaannya dengan membuat tubuh perempuan tidak berdaya dan [bahkan] ditaklukan demi kepentingan laki-laki. Secara tidak sadar, hal ini membentuk pandangan kita tentang perempuan dan bahkan dalam film birahi kita kemudian menikmatinya. Penonton “terilusi” sedemikian rupa sehingga tanpa sadar mengubah pola pikir dan cara pandang tertentu dan bahkan kemudian menyetujui pandangan atau pola pikir penguasa. Dalam menangkal film birahi, sebagaimana ditulis oleh Nerfita Primadewi, nampak pemerintah bersikap tidak tegas. Dia membiarkan penayangan film birahi sekalipun tahu bahwa ada aturan yang jelas tentang hal ini.
Bahaya lain dari film tersebut adalah ketika adanya nilai-nilai yang ditayangkan berdampingan dengan tema-tema seksual. Nilai “kepercayaan” dekat dengan perihal seksual bahkan ending dari film birahi yang membuat aktor bertobat seakan-akan ingin mengatakan bahwa film birahi adalah hal yang wajar. Toh pada akhirnya dia akan bertobat. Maka film yang dianggap sebagai representasi dari realitas mampu menjadi agen pembentuk realitas. Maka film birahi dapat membentuk realitas kita tentang dunia, tentang nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat dan akan sangat berbahaya jika kemudian nilai dan norma itu sekedar di”reduksi” ke dalam persoalan seks belaka yang memang cukup handal mempengaruhi masyarakat. Apalagi dalam kondisi masyarakat yang sudah sangat penat dengan kehidupan sehari-hari yang membingungkan dan tidak jelas.
Dari sekedar merepresentasikan realitas, sekarang “layar kaca/mini/tv” membentuk dan membangun sebuah realitas tertentu yang dalam bahasanya Baudrillard dikenal dengan istilah “Hiperealitas”. Karena sekarang dia membangun realitas, maka nilai-nilai dari sebuah ideologi yang ada dibelakang “layar kaca” ikut mempengaruhi dan [bahkan] membentuk pola pikir kita. Apalagi dengan adanya ideologi kapitalis yang ditopang oleh tontonan sebagai alat komoditi/komoditas yang ikut mengubah gaya hidup seseorang terhadap lingkungannya. Kita tidak dapat menghindari “serangan” dari sejumlah nilai yang ada dibelakang ini karena, film yang muncul dalam layar kaca kebanyakan merupakan produk impor/barat dan terbukti banyak digandrungi oleh kebanyakan masyarakat kita.
Film dalam sejarahnya juga terbukti ampuh bekerja sebagai alat propaganda bagi sebuah kelompok atau dengan ideologi tertentu. Film sebagai alat propaganda tentu punya tujuan untuk mendukung dan secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk menyetujui apa yang dilakukan pihak-pihak tertentu demi kepentingan tertentu. Setidaknya Nerfita Primadewi mencatat bahwa kepentingan itu bisa dimanfaatkan oleh pemerintah, kaum penjajah ataupun mereka yang punya ideologi-ideologi tertentu. Film sebagai alat propaganda dan pembentuk opini publik yang efektif. Sebut saja film G30S/PKI yang di”paksa”kan untuk ditonton oleh anak SD-SMU, hanya untuk mempengaruhi kesan masyarakat terhadap Soeharto dan Orba. Ya, film dapat berfungsi sebagai alat komunikasi massa yang mampu mempengaruhi sekaligus menghibur penontonnya.
Dalam sejarah perfilman, khususnya di Indonesia tercatat bahwa tema-tema seksual juga menjadi tema perfilman yang sangat populer di kalangan masyarakat, film yang dapat menarik banyak penonton sekalipun mengekspos tubuh [khususnya keseksian dan tubuh perempuan] dan kesan ke”telanjang”an menjadi bagian dari sejarah perfilman Indonesia. Tema-tema seksual yang awalnya hanya sebagai “bumbu” berubah menjadi sentral suguhan dalam film nasional. Tetapi menurut Nerfita Primadewi adalah hal yang aneh jika pemerintah meloloskan film-film bertemakan peng”ekspos”an tubuh dan ke”telanjang”an karena pemerintah sudah punya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur hal tersebut. Namun menurut Nerfita Primadewi, hal ini dimanfaatkan sebagai “alat pelarian” kesadaran dari realitas yang dihadapi sehari-hari, karena kondisi masyarakat yang sedang terpuruk karena ekonomi.
Dalam film birahi yang ditampilkan, muncul sebuah peng”kuasa”an terhadap gender. Masyarakat dibentuk sedemikian rupa, dengan ideologi tertentu, melalui film untuk kemudian menyetujui apa yang dilihat dan kemudian menjadi hal yang “dianggap” sebagai nature. Padahal yang nature ini dibentuk oleh ideologi tertentu. Dalam film birahi, hal ini juga berlaku dan terlihat adanya eksploitasi gender yang dilakukan oleh pihak penguasa untuk melegalkan kekuasaannya dengan membuat tubuh perempuan tidak berdaya dan [bahkan] ditaklukan demi kepentingan laki-laki. Secara tidak sadar, hal ini membentuk pandangan kita tentang perempuan dan bahkan dalam film birahi kita kemudian menikmatinya. Penonton “terilusi” sedemikian rupa sehingga tanpa sadar mengubah pola pikir dan cara pandang tertentu dan bahkan kemudian menyetujui pandangan atau pola pikir penguasa. Dalam menangkal film birahi, sebagaimana ditulis oleh Nerfita Primadewi, nampak pemerintah bersikap tidak tegas. Dia membiarkan penayangan film birahi sekalipun tahu bahwa ada aturan yang jelas tentang hal ini.
Bahaya lain dari film tersebut adalah ketika adanya nilai-nilai yang ditayangkan berdampingan dengan tema-tema seksual. Nilai “kepercayaan” dekat dengan perihal seksual bahkan ending dari film birahi yang membuat aktor bertobat seakan-akan ingin mengatakan bahwa film birahi adalah hal yang wajar. Toh pada akhirnya dia akan bertobat. Maka film yang dianggap sebagai representasi dari realitas mampu menjadi agen pembentuk realitas. Maka film birahi dapat membentuk realitas kita tentang dunia, tentang nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat dan akan sangat berbahaya jika kemudian nilai dan norma itu sekedar di”reduksi” ke dalam persoalan seks belaka yang memang cukup handal mempengaruhi masyarakat. Apalagi dalam kondisi masyarakat yang sudah sangat penat dengan kehidupan sehari-hari yang membingungkan dan tidak jelas.
Dari sekedar merepresentasikan realitas, sekarang “layar kaca/mini/tv” membentuk dan membangun sebuah realitas tertentu yang dalam bahasanya Baudrillard dikenal dengan istilah “Hiperealitas”. Karena sekarang dia membangun realitas, maka nilai-nilai dari sebuah ideologi yang ada dibelakang “layar kaca” ikut mempengaruhi dan [bahkan] membentuk pola pikir kita. Apalagi dengan adanya ideologi kapitalis yang ditopang oleh tontonan sebagai alat komoditi/komoditas yang ikut mengubah gaya hidup seseorang terhadap lingkungannya. Kita tidak dapat menghindari “serangan” dari sejumlah nilai yang ada dibelakang ini karena, film yang muncul dalam layar kaca kebanyakan merupakan produk impor/barat dan terbukti banyak digandrungi oleh kebanyakan masyarakat kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar