Sabtu, 20 Maret 2010

Kisah anak kerang


Pada suatu petang yang sendu, seekor anak kerang kerang di dasar laut datang mengadu dan mengaduh pada ibunya. Sebutir pasir tajam bagai sembilu memasuki tubuhnya yang merah dan lembek. "Anakku," kata sang ibu sambil bercucuran air mata. "Tuhan tidak memberikan kepada kita bangsa kerang ini sebuah tangan pun, sehingga ibu tak bisa menolongmu. Sakit sekali, aku tahu anakku. Namun terimalah itu sebagai takdir alam. Jadi kuatkanlah hatimu, Nak. Jangan lagi terlalu lincah. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu. Tegarkan jiwamu menanggung nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa engkau perbuat anakku," bujuk ibunya dengan lembut namun pilu.

Si anak kerang mencoba nasihat bundanya. Ada hasilnya, namun perih pedih tak alang kepalang. Kadang kala, di tengah-tengah erang kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Namun tak ada pilihan lain. Ia terus bertahan, dan dengan banyak air mata ia berusaha tegar, mengukuhkan hati, menguatkan jiwa, bertahun-tahun lamanya. Tanpa disadarinya, sebutir mutiara mulai tebentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Kian lama kian bulat. RAsa sakit pun semakin berkurang. Mutiara juga semakin menjadi. Kini bahkan rasa skitnya teras biasa. Dan ketika masanya tiba, sebutir mutiara besar, utuh dan mengkilap, akhirnya terbentuk sempurna.

Si anak kerang berhasil merubah pasir menjadi mutiara. Deritanya berubah menjadi mahkota kemuliaan. Air matanya kini menjadi harta sangat berharga. Dirinya sekarang, sebagai bentukan nestapa bertahun-tahun, lebih berharga daripada sejuta kerang lainnya yang cuma disantap orang di bawah naungan tenda-tenda di pinggir jalan yang bertuliskan "Sedia kerang rebus". Kristal kekecewaannya kini telah menjadi perhiasan mahal dan bergengsi tinggi di leher-leher indah para perempuan kaya yang menambah kejelitaan mereka.

Penderitaan sering kali kita anggap sebagai sesuatu yang negative. Bahkan tak jarang kita berusaha menghindarinya dengan mencoba berbuat banyak hal. Iseng saya tanya kepada teman, mengapa dia harus belajar setiap hari. Alasannya semoga nanti dia tidak mengalami penderitaan sebagaimana dia pernah alami dulu, ketika keluarganya harus berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dia mencoba menghindari penderitaan dengan cara belajar. Tetapi bagaimana kalau toh penderitaan itu pengennya numpangin kita dan bilang : “kamu aja ya yang tak tumpangin”. Iya kalau kita masih bisa bilang: “maaf ye, emang lo siapa. Ndak kenal. Enak aja numpangin saya. Mbok ya kenalan dulu”. Tetapi sering kali yang terjadi, penderitaan itu telah menjakiti kita, dan kita kemudian mengatakan: “kok aku ya”.

Dalam kondisi begini, kita sering kali mengeluh dan bahkan tak jarang menghujat Sang Pencipta yang di atas sana dan bahkan meng”kambing”-“hitam”kan Tuhan dan sesama kita sebagai penyebab kita menderita. Bayangin aja udah kambing, hitam lagi…apa ndak keterlaluan itu.
Namun ilustrasi di atas mencoba mengajak anda dan saya untuk melihat penderitaan sebagai jalan masuk pada sesuatu yang lebih besar, yang menguatkan dan membesarkan kita. Pada dasarnya kita punya potensi untuk mengubah kerang menjadi mutiara. Kita punya potensi untuk mengubah kekecewaan dan penderitaan menjadi hal yang menjadikan kita sebagai pribadi-pribadi yang luar biasa. Proses menjadi pribadi-pribadi yang luar biasa memang sering kali sulit untuk kita terima, termasuk kalau itu harus melewati yang namanya penderitaan, kesakitan dan bahkan air mata. Namun, dengan bertahannya kita pada situasi yang demikian dan dengan keyakinan bahwa kita memang punya potensi untuk bisa bertahan kita akan mewujudkan mutiara-mutiara baru yang indah. Temanku bilang: “emang lo bisa. Jalan kaki aja lo ndak mau. Gmana mau jadi orang besar?”.

You were born with potential.
You were born with goodness and trust.
You were born with ideals and dreams.
You were born with greatness.
You were born with wings.
You are not meant for crawling, so don’t.
You have wings.
Learn to use them and fly.
(Rumi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar