Kedua mata kami memandang ke arah mereka. Kedua orang tua itu terlihat santai sekali di usia mereka yang sudah tidak muda lagi. Sepertinya mereka menikmati hidup mereka….
Hal ini membuatku berpikir tentang satu hal. Cerita. Ya cerita. Mungkin dalam istilah lain, ia dikenal dengan istilah ”narasi”. Tapi maaf, yang saya maksud bukan hanya sekedar narasi dalam pengertian sastra. Narasi yang saya maksud lebih dari sekedar kajian sastra. Narasi yang saya maksud adalah tentang apa cerita itu sendiri dan bagaimana sebuah narasi diceritakan. Maka dalam pengertian ini, narasi adalah sesuatu yang bergerak dalam ranah kehidupan manusia bahkan menyejarah. Narasi bertalian dengan hidup kita, tentang apa yang telah kita goreskan dalam bentuk yang tidak hanya sekedar penggalan-penggalan lepas. Ia membentuk keber”ada”an kita dan membuat kita meng”ada” seperti sekarang ini. Maka narasipun lebih dari sekedar penceritaan tentang cerita itu sendiri, tetapi lebih jauh ia, yang dalam bahasanya Heiddeger, dasein, ke”mengada”an kita sendiri.
Kita hidup dari narasi yang telah, sedang dan akan kita bentuk. Kita menyusun setiap narasi-narasi pendek menjadi sebuah narasi kehidupan yang tentunya lebih bermakna. Ketika kita pertama kali hadir dalam dunia, kita memulai tahap penulisan diri kita sendiri. Tentu dalam tahap itu, narasi kehidupan kita lebih banyak dibentuk oleh orang tua dan keluarga kita. Tetapi, pada akhirnya kitalah yang seharusnya lebih banyak membentuk narasi hidup kita sendiri. Kita harus masuk dalam kesadaran ini. Tujuannya adalah agar keber”ada”an kita di dunia tidak sekedar mengada tanpa proses sadar akan diri sebagai bagian dari dunia. Kita ada, dengan eksistensi kita, dengan segala ke”unik’kan kita, maka adalah hal yang wajib bagi kita untuk bertindak membentuk narasi hidup kita sendiri.
Penglihatan kami waktu itu menyadarkanku betapa kedua orang tua itu telah melalui banyak narasi-narasi hidup. Kemengadaan mereka sekarang tentunya dibentuk oleh narasi yang telah mereka lalui. Narasi sebagai pembentuk hidup membawa mereka pada kondisi yang damai dan bahagia. Mungkin lho. Kami hanya mengamatinya dari luar. Namun satu hal yang membuat aku sadar, bahwa kita hidup dalam sebuah narasi, dimana kitalah yang membentuknya sendiri. Kita ingin bagaimana dalam dunia, masuklah dalam proses renungan dan reflektif yang terus menerus tentang diri anda sendiri, agar dengan demikian, kita bisa membangun narasi yang lebih baik tentang diri.
Pada suatu petang yang sendu, seekor anak kerang kerang di dasar laut datang mengadu dan mengaduh pada ibunya. Sebutir pasir tajam bagai sembilu memasuki tubuhnya yang merah dan lembek. "Anakku," kata sang ibu sambil bercucuran air mata. "Tuhan tidak memberikan kepada kita bangsa kerang ini sebuah tangan pun, sehingga ibu tak bisa menolongmu. Sakit sekali, aku tahu anakku. Namun terimalah itu sebagai takdir alam. Jadi kuatkanlah hatimu, Nak. Jangan lagi terlalu lincah. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu. Tegarkan jiwamu menanggung nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa engkau perbuat anakku," bujuk ibunya dengan lembut namun pilu.
Si anak kerang mencoba nasihat bundanya. Ada hasilnya, namun perih pedih tak alang kepalang. Kadang kala, di tengah-tengah erang kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Namun tak ada pilihan lain. Ia terus bertahan, dan dengan banyak air mata ia berusaha tegar, mengukuhkan hati, menguatkan jiwa, bertahun-tahun lamanya. Tanpa disadarinya, sebutir mutiara mulai tebentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Kian lama kian bulat. RAsa sakit pun semakin berkurang. Mutiara juga semakin menjadi. Kini bahkan rasa skitnya teras biasa. Dan ketika masanya tiba, sebutir mutiara besar, utuh dan mengkilap, akhirnya terbentuk sempurna.
Si anak kerang berhasil merubah pasir menjadi mutiara. Deritanya berubah menjadi mahkota kemuliaan. Air matanya kini menjadi harta sangat berharga. Dirinya sekarang, sebagai bentukan nestapa bertahun-tahun, lebih berharga daripada sejuta kerang lainnya yang cuma disantap orang di bawah naungan tenda-tenda di pinggir jalan yang bertuliskan "Sedia kerang rebus". Kristal kekecewaannya kini telah menjadi perhiasan mahal dan bergengsi tinggi di leher-leher indah para perempuan kaya yang menambah kejelitaan mereka.
Penderitaan sering kali kita anggap sebagai sesuatu yang negative. Bahkan tak jarang kita berusaha menghindarinya dengan mencoba berbuat banyak hal. Iseng saya tanya kepada teman, mengapa dia harus belajar setiap hari. Alasannya semoga nanti dia tidak mengalami penderitaan sebagaimana dia pernah alami dulu, ketika keluarganya harus berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dia mencoba menghindari penderitaan dengan cara belajar. Tetapi bagaimana kalau toh penderitaan itu pengennya numpangin kita dan bilang : “kamu aja ya yang tak tumpangin”. Iya kalau kita masih bisa bilang: “maaf ye, emang lo siapa. Ndak kenal. Enak aja numpangin saya. Mbok ya kenalan dulu”. Tetapi sering kali yang terjadi, penderitaan itu telah menjakiti kita, dan kita kemudian mengatakan: “kok aku ya”.
Dalam kondisi begini, kita sering kali mengeluh dan bahkan tak jarang menghujat Sang Pencipta yang di atas sana dan bahkan meng”kambing”-“hitam”kan Tuhan dan sesama kita sebagai penyebab kita menderita. Bayangin aja udah kambing, hitam lagi…apa ndak keterlaluan itu. Namun ilustrasi di atas mencoba mengajak anda dan saya untuk melihat penderitaan sebagai jalan masuk pada sesuatu yang lebih besar, yang menguatkan dan membesarkan kita. Pada dasarnya kita punya potensi untuk mengubah kerang menjadi mutiara. Kita punya potensi untuk mengubah kekecewaan dan penderitaan menjadi hal yang menjadikan kita sebagai pribadi-pribadi yang luar biasa. Proses menjadi pribadi-pribadi yang luar biasa memang sering kali sulit untuk kita terima, termasuk kalau itu harus melewati yang namanya penderitaan, kesakitan dan bahkan air mata. Namun, dengan bertahannya kita pada situasi yang demikian dan dengan keyakinan bahwa kita memang punya potensi untuk bisa bertahan kita akan mewujudkan mutiara-mutiara baru yang indah. Temanku bilang: “emang lo bisa. Jalan kaki aja lo ndak mau. Gmana mau jadi orang besar?”.
You were born with potential. You were born with goodness and trust. You were born with ideals and dreams. You were born with greatness. You were born with wings. You are not meant for crawling, so don’t. You have wings. Learn to use them and fly. (Rumi)
Filsafat Paul Ricoeur relatif belum banyak digunakan oleh para teolog di dalam teologi. Stiver mengatakan“....his philosophy is still relatively untapped by theologians”. Dengan demikian, Stiver mencoba menunjukkan bahwa filsafat Ricoeur penting di dalam mengembangkan wawasan teologi. Dan inilah yang saya kira ingin ditunjukkan oleh Stiver yaitu adanya hubungan antara teologi dan filsafat.
Ada tiga tantangan yang dihadapi oleh teolog-teolog kontemporer yaitu postmodernisme, pluralisme, dan praksis. Postmodernisme berhadapan dengan nilai-nilai modernitas yang dicirikan oleh fondasionalis epistemologi, penekanan pada metode yang ketat, kepercayaan objektivisme, pencarian kepastian dan kejelasan, komitmen terhadap dualisme, dan beralih ke subjek yang otonom dengan tradisi tersirat penolakan.. Sebaliknya, postmodernisme menyoroti epistemologi non-fondasionalis, yang diwujudkan dan holistik konsepsi diri (holistic conception of the self), dan komitmen untuk "hermeneutic turn" yang berarti bahwa "semua pengetahuan yang berakar pada tindakan hermeneutis tentang penilaian tidak yakin dapat dibuktikan secara konklusif atau ditunjukkan. Tantangan pluralisme terdiri terutama dalam pengakuan bahwa semua teolog berpikir dari sudut pandang tertentu. Tantangan ketiga, praksis, kepedulian itu sendiri dengan berbagai teologi pembebasan yang bergerak dari "bawah ke atas bukan dari atas ke bawah".
Pentingnya filsafat Ricoeur untuk semua ini adalah bahwa ia telah melawan semua tantangan ini dalam cara yang produktif. Ricoeur mengambil unsur-unsur kunci postmodernitas, pluralisme, dan perhatian kepada praksis, sementara pada saat yang sama menghindari kecenderungan relativistik.
Busur Hermeneutik Ricoeur ini bertalian dengan hermeneutika yang mengintegrasikan “explanation” dan “interpretation” momen objektif dan momen eksistensial penafsiran teks. Dengan begitu Riceour cukup berhasil mengatasi dikotomi Dilthey tentang “penjelasan” dan “pemahaman”. Busur hermeneutik Ricoeur diterangkan bahwa proses/lingkaran hermeneutis itu antara pra-paham, paham dan aksi selalu berada dalam “proses”.
Bahkan ketika kita menganggap bahwa kita sedang berada dalam fase “pra-paham” pun disana terjadi proses memahami dan aksi dan seterusnya. Artinya, Ricoeur ingin mengatakan bahwa sebenarnya pemisahan/ dikotomis Delthey sebenarnya tidak terlalu tepat. Karena misalkan Historis Kristis yang pada zamannya dianggap yang paling objektif pun juga melibatkan subjektif di dalamnya. Busur hermeneutik Ricoeur ini juga oleh banyak ahli dianggap sebagai mediasi antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu humaniora. Dialektika antara objektif dan subjektif, antara eisegese dan eksegese tidak bisa dipisahkan. Tetapi pada saat yang bersamaan, menurut Ricoeur proses kritis juga harus terjadi. Artinya, kita tetap harus menghargai teks dan menempatkannya secara proporsional sehingga yang namanya eksegese tetap harus dilakukan. Hal inilah yang membuat Ricoeur sebagaimana penuturan Stiver masih menggunakan tafsir Historis Kritis dan Von Rad.
Hermeneutik kecurigaan (hermeneutic of suspection) menurut Ricoeur dengan mendasarkan dan mengolah berbagai kajian dari master kecurigaan seperti Freud, Nietzsche, dan Marx adalah cara membaca teks secara berlawanan dengan isi teks. Tujuannya adalah menemukan makna yang terpendam dan kepentingan-kepentingan yang tersembunyi di balik teks. Dengan jelas Ricoeur ingin mengungkapkan bahwa makna tidak hanya muncul melalui teks, akan tetapi makna bisa juga muncul melalui diri pembaca. Artinya, makna yang tidak terkandung dalam suatu teks bisa dimunculkan oleh pembaca. Jadi ada hubungan yang komplek antara teks, pembaca, pengarang dan komunitas penafsir.
Namun perlu Perlu diingat, sebagaimana dijelaskan oleh Dan Stiver, Hermeneutik Kecurigaan berada dalam perdebatan antara ilmu alam dan ilmu humaniora. Proses ini dumulai oleh F. Schleiermacher yang berusaha mendapatkan makna melalui jalan pikiran pengarang sampai kepada karya Hans-George Gadamer yang menyumbangkan gagasan dengan sebuah cakrawala dialektika antara teks dan pembaca, dan peran yang radikal dari pembaca. Adapun Ricoeur mencoba melampaui keduanya dan tidak mau jatuh pada kedua kutub tersebut. Ia tidak mau menempatkan diri kepada Schleiermacher dan kepada Gadamer yang sangat mengagungkan peran pembaca.
Cara melampauinya adalah dengan cara berjalan bersama dalam kedua kutub tersebut yaitu berjalan pada objektifitas namun tetap terbuka pada apa yang mungkin dikatakan teks kepada kita. Hermeneutika kecurigaan Ricoeur berperan penting dalam melihat kemungkinan-kemungkinan yang ingin dikatakan teks kepada kita yaitu dengan bersedia untuk mencurigai, bersedia untuk mendengarkan apa yang dikatakan teks. Dengan demikian terjadi yang namanya proses kreatif di depan teks dimana itu juga berpengaruh terhadap kita sebagai pembaca. Pemahaman dan penjelasan adalah dua hal yang dicoba diangkat oleh Ricoeur. Itu berarti cara berpikir Ricoeur mau mengangkat apa yang ada di belakang teks, di depan teks, bagaimana pengaruh subjek yang adalah penafsir. Perdebatan antara objektifitas dan subjektifitas dilampaui oleh Ricoeur dengan mengatakan bahwa kita tidak bisa memutlakkan salah satunya. Ini pulalah yang kemudian banyak ahli menggolongkannya ke dalam filsuf postmodernisme.
Rujukan bacaan: Dan Stiver, Theology After Ricoeur. New Directions in Hermeneutical (Kentucky: Westminster John Knox Press, 2000) Paul Ricour, Hermeneutik Ilmu Sosial (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006)
Manusia yang difoto itu seorang selebriti, foto ini suskes terjual seharga $643,200 di tahun 2006.
7. The Great Wave, Sete (1857) By: Gustave Le Gray
Dijepret pada tahun 1857 Inget yah.. pada waktu itu blom ada sotosop. Jadi efek yang dipake itu manual. Ditambah teknik pencucian fotonya yang mungkin kamu sekalian tidak ada yang ngerti. Terjual di pelelangan seharga $838,000 pada taun 1999.
6. [No.113] Athènes, Temple de Jupiter olympien pris de l'est (1842) By: Joseph-Philibert Girault de Prangey
Terjual seharga $922,488 pada tahun 2003.
5. Untitled (Cowboy) (1989) By: Richard Prince
ini keren kaya iklan Marlboro dah. Nah yang ini tembus 1 juta dollar Sukses terjual seharga $1,248,000 di New York, tepatnya Christie's Auction, November 2005
4. Georgia O'Keeffe (Hands) (1919) By: Alfred Stieglitz juga
Ini foto seorang model, cuman tangannya doang Bisa ya terjual seharga $1,470,000 di New York, dasar orang amrik kaya kaya amat.
3. Nude (1925) By: Edward Weston
terjual dengan harga $1,609,000 tahun 2008.
2. The Pond-Moonlight (1904) By: Edward Steichen
Foto jaman dulu juga, jepretnya taun 1904. Tapi diliat lama2 serem juga yah
1. 99 Cent II Diptychon (2001) By: Andreas Gursky,
DAN AKHIRNYA! Foto termahal sepanjang masa sodara sodara!
Foto ini memecahkan rekor foto termahal sampai saat ini, terjual seharga $3,346,456 di pelelangan di bulan Februari 2007. Gilanya lagi gan, ini adalah print ke 3! Bukan yang perdana.
Print pertama terjual seharga $2,250,000 pada bulan Mei 2006, dan print kedua terjual$2,480,000 pada bulan November 2006
Seorang Kristen suatu hari mengunjungi seorang Guru Zen dan berkata: 'Bolehkah aku membacakan beberapa kalimat dari Khotbah di Bukit?'
'Silahkan, dengan senang hati aku akan mendengarkannya,' kata Guru Zen itu.
Orang Kristen itu membaca beberapa kalimat, lalu berhenti sejenak dan melihat Guru. Guru tersenyum dan berkata: 'Siapa pun yang pernah mengucapkan kalimat-kalimat ini, pastilah sudah mendapatkan penerangan budi.'
Orang Kristen senang. Ia meneruskan membaca. Sang Guru menyela dan berkata: 'Orang yang mengucapkan ajaran ini, sungguh dapat disebut Penyelamat dunia!'
Orang Kristen itu gembira ria. Ia terus membaca sampai habis. Lalu sang Guru berkata: 'Khotbah itu disampaikan oleh Seorang yang memancarkan cahaya ilahi.'
Sukacita orang Kristen itu meluap-luap tanpa batas. Ia minta diri dan bermaksud kembali untuk meyakinkan Guru Zen itu, agar ia sendiri sepantasnya menjadi seorang Kristen juga.
Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, ia berjumpa dengan Kristus di pinggir jalan. 'Tuhan,' serunya dengan penuh semangat, 'Saya berhasil membuat orang itu mengaku bahwa Engkau adalah Tuhan.'
Jesus tersenyum dan berkata: 'Apa gunanya hal itu bagimu, selain membesarkan ego, Kristenmu?'
(Burung Berkicau, Anthony de Mello SJ, Yayasan Cipta Loka Caraka, Cetakan 7, 1994)
Kita sudah tidak asing lagi dengan mall, industri kecantikan, kuliner, telepon seluler dan pusat perbelanjaan lain yang luar biasa mewabahnya dan berkembangnya. Jangan sebut Jakarta dulu. Yogyakarta menurut saya adalah salah satu kota yang perkembangan pusat-pusat perbelanjaannya luar biasa cepatnya. Bangunan-bangunan itu menjadi tempat bagi para konsumen dari berbagai kelas [ingat kata Ibrahim, orang miskin pun bisa berlagak jadi orang kaya], untuk ”nimbrung” dalam merealisasikan dirinya. Merealisasikan hasrat sebagai ”pemenuhan” gaya hidup. Permasalahan ini setidaknya menurut Ibrahim dikarenakan sejarah globalisasi ekonomi dan kapitalisme konsumsi. Maka Cafe, mall dan berbagai pusat perbelanjaan tidak hanya dihuni oleh mereka yang dari kalangan ekonomi menengah ke atas saja tetapi semua kelas bahkan mahasiswa yang notabene masih harus menerima ”sumbangan” dari orang tuanya. Persoalan gaya hidup adalah persoalan semua kelas [lintas kelas] yang berwujud dalam pusat-pusat perbelanjaan. Maka dengan demikian, persoalan gaya hidup menjadi masalah serius dan sekaligus tidak sederhana sehingga menurut Ibrahim, butuh kajian akademis dan ilmiah.
Anda mungkin pernah mendengar istilah ”anak-anak mall”. Ya, mereka adalah remaja-remaja yang menjadikan mall [dan pusat perbelanjaan lainnya] sebagai tempat persinggahan untuk sekedar ”ngeceng” sampai menjadikannya sebagai ruang yang mencerminkan citra diri.Citra diri yang ingin ditampilkan adalah citra diri yang khas sebagai ”penghuni” mall sehingga terkesan mewah dan berkelas. Aktualisasi diri dan pencarian identitas ditampilkan melalui ke”berada”annya di mall dan pusat perbelanjaan lainnya. Identitas dan citra diri bagi mereka adalah ditentukan oleh pilihan gaya hidup yang mereka tentukan sendiri. Inilah yang kemudian menjadi kekwatiran dari Ibrahim karena ”berjubalnya” bentuk gaya hidup yang disodorkan kepada kita [khususnya anak muda] yang akhirnya membuat anak muda menjadi bingung dan gelisah tentang identitas mana yang harus mereka pilih dari sekian banyak warna dan beragamnya bentuk gaya hidup.
Gaya hidup kita menunjukkan siapa diri kita kepada orang lain. Anda dan saya mau dilihat seperti apa? Tergantung dari gaya hidup, identitas, penampilan dan citra diri yang kita pilih. Dari hal inilah kemudian industri memanfaatkan hal ini untuk menawarkan berbagai macam pilihan, sehingga persoalan gaya hidup, identitas, penampilan dan citra diri direduksi dalam persoalan konsumsi semata. Agaknya, kapitalisme mencoba mereduksi manusia dalam sekedar permasalahan gaya hidup, dengan membanjirnya produk-produk yang ditawarkan yang mengarahkan kita untuk mengatakan bahwa ”gaya hidup adalah penentu siapa saya”. Maka menarik melihat judul bacaan ini: ”Kamu bergaya maka kamu ada”. Gaya hidup menjadi penentu siapa anda dan saya di dunia ini. Keber”Ada”an anda tidak lagi ditentukan oleh siapa anda secara utuh tetapi menurut saya sudah direduksi sedemikian rupa [yang menurut Ibrahim] hanya sebagai persoalan gaya hidup dan konsumsi semata.
Sekeliling kita sudah dikuasai oleh segudang bentuk gaya hidup yang berusaha mempengaruhi kita. Melalui teknologi termasuk media dan jurnalisme selebriti, kita dihipnotis dengan bentuk gaya hidup yang dalam pandangan mereka adalah baik. Termasuk yang dibahas oleh Ibrahim adalah masalah iklan. Melaluinya, iklan, media dan jurnalisme selebiriti “berusaha” membentuk realitas baru yang tentu saja bisa mempengaruhi kita. Harapannya adalah kita menampilkan diri kita sebagaimana yang diharapkan oleh iklan dan media jurnalisme selebriti. Tentu kita ingin tampil dan berbicara kepada dunia melalui apa yang terlihat dari diri kita. Tetapi sering kali yang kita tampilkan sebenarnya adalah gaya hidup yang lahir dari pengaruh media, yang sebenarnya tidak kita perlukan. Kita ingin seperti Madonna, karena apa yang ditampilkan media adalah Madonna. Sebagaimana dituliskan oleh Sindhunata, maka Madonna bukan lagi menjadi that girl tetapi telah menjadi ikon publik. Madonna adalah lifestyle. Ia bisa membawakan lifestyle, sampai ia sendiri ejawantahan dari lifestyle itu sendiri. Maka gaya hidup Madonna menjadi gaya hidup sebagian perempuan di dunia, karena sebagaimana diungkapkan oleh Ibrahim, dalam budaya berbasis selebriti (celebrity based-culture), para selebriti (dalam hal ini Madonna) membantu dalam pembentukan identitas para konsumen kontemporer. Begitu pula dengan segala macam jenis kosmetik, yang lebih banyak mempengaruhi konsumen melalui media dan iklan. Media dan Iklan ”menggiring” konsumen untuk menjadi putih, karena kalau tidak putih, konsumen tidak akan disebut cantik. Mungkin inilah yang dimaksud oleh Audifax yang mengatakan bahwa idealisme modernisme mengembangkan universalitas dan homogenitas yang ditempatkan sebagai tuntutan dari kapitalisme industrial. Dalam hal ini menurutnya, media memainkan peran dalam menjaga kultur homogenitas tersebut, mulai dari media cetak (seperti majalah) sampai kepada radio dan televisi. Maka, identitas kita, gaya hidup kita ditentukan bukan oleh diri kita tetapi lebih banyak karena pengaruh dari luar diri kita (khususnya media entah cetak maupun elektronik, termasuk melalui iklan gaya hidup yang mempesona dan memabukkan).
Tetapi apakah kita perlu memandang ”terlalu” negatif hal ini? Menurut saya sendiri tidak. Perlu kita sadari bahwa kita ada dalam dunia sejak awal dalam bentuk ”kuasa”, yang menurut Foucalt justru ada sejak lahir. Kita terlahir dalam kekuasaan tubuh, kemudian kekuasaan keluarga, kekuasaan kultur atau masyarakat. Artinya kita berhadapan dengan kekuasaan yang lebih besar, yang bagaimanapun akan mempengaruhi kita. Menurut saya sendiri, persoalan bersolek, entah itu wanita maupun laki-laki adalah bagian dari usaha kita berhadapan dengan kekuasaan tersebut. Artinya, ketika kita berusaha tunduk pada kekuasaan yang ditampilkan oleh kultur atau masyarakat, maka gaya hidup kita akan menyesuaikan diri dengan bentuk yang ditampilkan. Tetapi jika tidak, maka hal sebaliknyalah yang ingin kita tampilkan [Ibrahim menuliskan bahwa pada saat yang bersamaan ada gerakan untuk kembali ke alam...]
Heidegger melihat bahwa manusia adalah entitas yang bergerak dalam pemahaman tentang Ada-nya di dunia. Maka dalam keseharianpun, manusia dapat memetik pemahaman tentang ‘Ada’ melalui ke”waspada”an dan “meluangkan waktu” untuk mencoba mengkaji apa yang sedang berlangsung. Heidegger mengatakan ini sebagai mistik keseharian, yaitu bersikap mistis dalam keseharian; yang berarti menghayati keseharian secara mendalam sampai ke dasar-dasar Ada kita sendiri, dengan cara terus-menerus menanyakan Ada. Dalam hal inilah saya sependapat dengan Chaney yang dikutip oleh Ibrahim bahwa gaya hidup merupakan konsep reflektif. Ada negosiasi praktis di dalamnya.
Manusia terus mengada dalam dunia. Manusia, dalam konteks sekarang, berhadapan dengan satu kekuatan di luar dirinya, dimana gaya hiduplah yang menentukan ia eksis atau tidak. Ia bisa jatuh dan terjebak dalam permainan gaya hidup, tetapi pada saat yang bersamaan pula ia bisa menemukan dirinya dalam dialog dengan berbagai macam gaya hidup yang ditawarkan, tentu melalui proses reflektif. Inilah yang kemudian ditegaskan oleh Ibrahim sendiri di akhir tulisannya dengan mengatakan bahwa gaya hidup bisa kita pahami sebagai proses aktualisasi diri dimana para aktor secara refleksif terkait dengan bagaimana mereka harus hidup dalam suatu konteks interdependensi global. Dialektika inilah yang memungkinkan kita untuk bisa me”reformulasi”kan kembali bentuk terbaik dari gaya hidup kita,karena hidup manusia yang terus berubah, pun menuntut cara yang baru yang sesuai dengan konteks zamannya. Dan itu hanya bisa dilakukan jika kita dengan sadar menganggap persoalan gaya hidup adalah sebuah proses yang terus berinteraksi dengan kehidupan manusia itu sendiri yang berubah.
Bacaan Tambahan:
Basis No.09-10, September-Oktober 2006, Seks Membuat Revolusi?
malam senin, 15 Maret 2010 saya mengikuti retret KDM [kata gerit sih bukan retret tp rekoleksi..opo iki?? ndak tahu..tanya pengurusnya aja..hahah], tepatnya bareng dee di Asrama Syantikara, Sagan, Djogja. Acara ini diselenggarakan oleh KDM (Kelompok Doa Meditatif) UKDW.
Dalam satu sesi, ada semacam refleksi dimana kami membahas dan mendiskusikan sebuah surat dari Bruder Alosius, yang merupakan Pemimpin Taize, Prancis. Surat tersebut berjudul "Surat dari Cina".
saya tidak akan menuliskan ulang apa yang ia sampaikan saya mau menuliskan tanggapan saya saja... mau terima apa tidak..silahkan...hahahah
kita tinggal di dalam dunia itupun kalau anda "masih" sadar bahwa anda tinggal dalam dunia jika tidak..ya silahkan saja..hidup..hidup anda sendiri lha kalau masih sadar tentu anda juga sadar bahwa dunia yang kita tinggali ini penuh dengan banyak hal ya, banyak menu yang ditawarkan
dunia bukanlah tempat kosong ia punya banyak sajian saking banyaknya, anda tak akan pernah bisa menjelajahinya bahkan, kata temanku..sampai Yesus datang kedua kalinya anda tak akan pernah bisa menjelajahinya [Yesus komentar gini: "lha aku kok dibawa-bawa toh"]
dunia menawarkan banyak hal dia menyediakan banyak hal menarik sampai kita kadang di buat bingung mau milih yang mana ya? [temanku bilang...lha ya kamu ini gmana sih..tinggal milih saja kok ya bingung...coba bayangkan mereka yang milih tanpa pilihan...."lha maksudmu apa" tanyaku.." "emang ada ya?" tanyaku dalam hati]
tetapi kita harus jujur bahwa memang kita bingung bahkan kadang merasa gelisah ketika semua hal disodorkan di hadapan kita maka, refleksi malam itu mengajak kami dan kita untuk belajar memililah-milah pilihan-pilihan kita agar kita tidak semakin bingung...bingung..bingung... agar kita tidak semakin gelisah dan akhirnya frustasi...dan.... [temanku bilang...akhirnya apa? trus aku jawab: ya, jawab aja sendiri...hahah]
belajar memilah mulai dari sekarang adalah penting belajar untuk mem"prioritas"kan sesuatu [apalagi ini? kok tiba2 nongol ya??]
dengan memprioritaskan hal apa yang penting, kita butuhkan dan bermanfaatkan bagi kita [menurut saya] akan membuat kita semakin lebih bisa memilah hal apa saja yang ingin kita pilih dalam daftar menu yang berjubal banyaknya dalam dunia yang....[kata temanku..FANA..nah ini kata temanku...kalau ndak setuju...protes dia saja...]
Sudah sejak lama manusia terpesona dengan film. Sejarah mencatat bahwa keterpesonaan itu dimulai akhir abad ke 18 sampai awal ke 19. Namun yang menarik, dari perjalanan sejarah tersebut, film telah hadir dalam banyak segi kehidupan manusia dan mempengaruhi kehidupan manusia baik dari segi ekonomi, politik dan sosial budaya. Penemuan dan perkembangan teknologi telah menjadikan film dan segenap perangkatnya menjadi faktor penting dalam membangun dan [bahkan] membentuk realitas kita tentang dunia. Bahkan dalam bentuknya yang sederhana kita sudah dapat melihat orang saling pukul dalam layar kaca. Apalagi ketika film sudah diproduksi secara besar dan menjadi sebuah industri, misalnya dengan muncul dan lahirnya Nickelodeon dan Walt Disney.
Film dalam sejarahnya juga terbukti ampuh bekerja sebagai alat propaganda bagi sebuah kelompok atau dengan ideologi tertentu. Film sebagai alat propaganda tentu punya tujuan untuk mendukung dan secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk menyetujui apa yang dilakukan pihak-pihak tertentu demi kepentingan tertentu. Setidaknya Nerfita Primadewi mencatat bahwa kepentingan itu bisa dimanfaatkan oleh pemerintah, kaum penjajah ataupun mereka yang punya ideologi-ideologi tertentu. Film sebagai alat propaganda dan pembentuk opini publik yang efektif. Sebut saja film G30S/PKI yang di”paksa”kan untuk ditonton oleh anak SD-SMU, hanya untuk mempengaruhi kesan masyarakat terhadap Soeharto dan Orba. Ya, film dapat berfungsi sebagai alat komunikasi massa yang mampu mempengaruhi sekaligus menghibur penontonnya.
Dalam sejarah perfilman, khususnya di Indonesia tercatat bahwa tema-tema seksual juga menjadi tema perfilman yang sangat populer di kalangan masyarakat, film yang dapat menarik banyak penonton sekalipun mengekspos tubuh [khususnya keseksian dan tubuh perempuan] dan kesan ke”telanjang”an menjadi bagian dari sejarah perfilman Indonesia. Tema-tema seksual yang awalnya hanya sebagai “bumbu” berubah menjadi sentral suguhan dalam film nasional. Tetapi menurut Nerfita Primadewi adalah hal yang aneh jika pemerintah meloloskan film-film bertemakan peng”ekspos”an tubuh dan ke”telanjang”an karena pemerintah sudah punya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur hal tersebut. Namun menurut Nerfita Primadewi, hal ini dimanfaatkan sebagai “alat pelarian” kesadaran dari realitas yang dihadapi sehari-hari, karena kondisi masyarakat yang sedang terpuruk karena ekonomi.
Dalam film birahi yang ditampilkan, muncul sebuah peng”kuasa”an terhadap gender. Masyarakat dibentuk sedemikian rupa, dengan ideologi tertentu, melalui film untuk kemudian menyetujui apa yang dilihat dan kemudian menjadi hal yang “dianggap” sebagai nature. Padahal yang nature ini dibentuk oleh ideologi tertentu. Dalam film birahi, hal ini juga berlaku dan terlihat adanya eksploitasi gender yang dilakukan oleh pihak penguasa untuk melegalkan kekuasaannya dengan membuat tubuh perempuan tidak berdaya dan [bahkan] ditaklukan demi kepentingan laki-laki. Secara tidak sadar, hal ini membentuk pandangan kita tentang perempuan dan bahkan dalam film birahi kita kemudian menikmatinya. Penonton “terilusi” sedemikian rupa sehingga tanpa sadar mengubah pola pikir dan cara pandang tertentu dan bahkan kemudian menyetujui pandangan atau pola pikir penguasa. Dalam menangkal film birahi, sebagaimana ditulis oleh Nerfita Primadewi, nampak pemerintah bersikap tidak tegas. Dia membiarkan penayangan film birahi sekalipun tahu bahwa ada aturan yang jelas tentang hal ini.
Bahaya lain dari film tersebut adalah ketika adanya nilai-nilai yang ditayangkan berdampingan dengan tema-tema seksual. Nilai “kepercayaan” dekat dengan perihal seksual bahkan ending dari film birahi yang membuat aktor bertobat seakan-akan ingin mengatakan bahwa film birahi adalah hal yang wajar. Toh pada akhirnya dia akan bertobat. Maka film yang dianggap sebagai representasi dari realitas mampu menjadi agen pembentuk realitas. Maka film birahi dapat membentuk realitas kita tentang dunia, tentang nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat dan akan sangat berbahaya jika kemudian nilai dan norma itu sekedar di”reduksi” ke dalam persoalan seks belaka yang memang cukup handal mempengaruhi masyarakat. Apalagi dalam kondisi masyarakat yang sudah sangat penat dengan kehidupan sehari-hari yang membingungkan dan tidak jelas.
Dari sekedar merepresentasikan realitas, sekarang “layar kaca/mini/tv” membentuk dan membangun sebuah realitas tertentu yang dalam bahasanya Baudrillard dikenal dengan istilah “Hiperealitas”. Karena sekarang dia membangun realitas, maka nilai-nilai dari sebuah ideologi yang ada dibelakang “layar kaca” ikut mempengaruhi dan [bahkan] membentuk pola pikir kita. Apalagi dengan adanya ideologi kapitalis yang ditopang oleh tontonan sebagai alat komoditi/komoditas yang ikut mengubah gaya hidup seseorang terhadap lingkungannya. Kita tidak dapat menghindari “serangan” dari sejumlah nilai yang ada dibelakang ini karena, film yang muncul dalam layar kaca kebanyakan merupakan produk impor/barat dan terbukti banyak digandrungi oleh kebanyakan masyarakat kita.
Waktu itu waktu ceramah. Sang Guru berkata, "Kehebatan seorang komponis diketahui lewat nada-nada musiknya, tetapi menganalisis nada-nada saja tidak akan mengungkapkan kehebatannya. Keagungan penyair termuat dalam kata-katanya, namun mempelajari kata-katanya tidak akan mengungkapkan inspirasi. Tuhan mewahyukan diri-Nya dalam ciptaan, tetapi dengan meneliti ciptaan secermat apa pun kamu tidak akan menemukan Allah; demikian juga bila kamu ingin menemukan jiwa melalui pemeriksaan cermat terhadap tubuhmu."
Pada waktu tanya jawab, seseorang bertanya, "Kalau begitu, bagaimana kami akan menemukan Allah?"
"Dengan melihat ciptaan, tapi bukan dengan menganalisisnya."
"Dan bagaimana seseorang harus melihat?"
"Seorang petani keluar untuk melihat keindahan pada waktu matahari terbenam, tetapi yang ia saksikan hanyalah matahari, awan, langit, dan cakrawala - sampai ia memahami bahwa keindahan bukan 'sesuatu,' melainkan cara khusus melihat.
Kamu akan sia-sia mencari Allah sampai kamu memahami bahwa Allah tidak bisa dilihat sebagai sesuatu. Yang diperlukan ialah cara khusus untuk melihat - mirip seperti cara seorang anak kecil yang pandangannya tidak diganggu oleh pelbagai ajaran dan keyakinan yang telah dibentuk sebelumnya."
ada yang menarik hari ini... aku itu kan entah kebeTuLan atau Tidak aku kan uLtah [uLtah kok kebeTuLan ya...hahahha] Lha, merayakannya justru dengan menjeLajahi Kraton, bangunan Tua di sekitar Gondomanan dengan dee dan berakhir dengan santai bareng di cafe sawah belakang ampLaz..bukan ampas ya...hahahah
sungguh menyenangkan :)
bagi seorang anak, dunia adalah tempat yg indah, kesenangan tanpa akhir, penuh keajaibn. ketika anda tumbuh lebih dewasa dan cendrung melupakan bahwa dunia adalah tempat yg indah, dunia tetap penuh keajaiban, jika anda mempunyai mata untuk melihatnya (pepatah arab)
IniLah gambaran Leonardo TenTang maTahari TerbiT: pada jam pertama hari, atmosfer di selatan dekat cakrawala tersaput kabut gelap awan berwarna merah mawar; ke arah barat, langit tampak semakin gelap dan ke arah timur uap lembab cakrawala tampak lebih terang daripada cakrawala itu sendiri dan warna putih rumah-rumah di sebelah timur nyaris tak terbedakan sementara itu di selatan semakin jauh jaraknya semakin gelaplah warna merah mawar dan semakin gelaplah di arah barat dan sebaliknyalah yang terjadi pada bayangan sebab bayangan-bayangan tersebut lenyap di depan rumah-rumah putih
[Leonardo da Vinci]
ubahlah fokus anda sampai cakrawala terjauh maka perspektif anda tentang sesuatu akan semakin luas
Kita melihat dengan kacamata orang lain lebih banyak dari apa yang kita tangkap dengan mata kita sendiri. Ya, mungkin mata kita bisa melihat apapun dan kemudian menyimpulkan apa yang kita lihat. Tetapi dalam era teknologi informasi sekarang ini, kita melihat justru dengan memakai kacamata orang lain. Realitas yang kita tangkap adalah realitas dari sudut pandang entah kamerawan, produser ataupun sang pemilik media.
Media sangat memainkan peran dalam mempengaruhi persepsi kita tentang sesuatu yang kita sebut sebagai realitas. Padahal realitas yang kita tangkap adalah realitas dengan sudut pandang tertentu yang jelas bukan kita. Maka, menurut saya realitas yang sampai kepada kita, yang kemudian kita olah dan kadang kita sebut sebagai informasi yang sahih dan benar adalah informasi yang sebenarnya tidak mewakili realitas utuh. Kita harus mempertimbangkannya dengan melihat sudut pandang media lain, entah itu masih media televise maupun Koran/majalah. Untuk yang terakhir, ini yang saya kira perlu karena media inilah yang memberikan analisa terhadap satu peristiwa ataupun kejadian yang sering kali tidak tersampaikan di media televise.
Hal yang sama sebenarnya mirip dengan Alkitab. Para penulis Alkitab menulis sesuatu dengan sudut pandang tertentu dan kemudian menuliskannya dengan tujuan tertentu, entah untuk menguatkan komunitasnya ataupun sebagai jawaban atas pertanyaan2 yang membingungkan jemaat. Dalam konteks kita sekarang, perlu sekali melihat sebenarnya apa yang dimaksud dengan pengarang ks untuk mengetahui realitras yang sebenarnya [setidaknya mendekati] aslinya. Dalam rangka itulah kemudian kita perlu mempertimbangkan dokumen di luar Alkitab sebagai informasi yang bisa kita oleh untuk membantu kita melihat dengan jelas realitas yang sedikit banyak bertalian dengan satu peristiwa tertentu.
Penelitian-penelitian social sangat membantuk kita mengerti dengan baik apa yang sebenarnya sampai kepada kita dalam bentuk ks. Mengapa penulis menuliskan demikian adlaah hal yang lumrah untuk kita pertanyakan. Bukan dengan maksud meragukan alkitab tetapi agar kita tidak melakukan kebohongan dengan menyampaikan informasi yang salah kepada orang lain [baca: sesame orang percaya]
Kita memang tidak bisa memahami dengan tepat apalagi setepat-tepatnya apa yang terjadi. Namun dengan adanya niat dan usaha untuk mempertimbangkan informasi yang ada di luar alkitab, kita bisa dengan lebih baik membuat sebuah kesimpulan yang berguna dan bermanfaat untuk kehidupan jemaat.
derita datang tidak pandang buLu dan sering disertai siksa yang tak terperikan Penanggulangan yang sempurna, itu mustahiL kecuaLi menunggu waktu Kini kau yakin tak mungkin membaik Tapi ini tidak benar Kau akan pasti akan bahagia lagi Dengan menyadari ini sungguh-sungguh mempercayainya membuatmu tak akan terlalu sengsara Aku cukup punya pengaLaman tuk mengatakan semua ini
[Abraham LincoLn]
Taman Pintar yang diharapkan dapat membuat orang semakin pintar insyallah....
aku dan dee mencoba menjeLajahi Taman Pintar dan akhirnya berhasiL..heheheh meskipun aku harus akui bahwa aku sendiri maLah semakin bingung apakah aku semakin pintar dengan mengunjungi Taman ini....hahahah
Ini adalah suasana Malioboro di sore hari... cobaLah untuk sejenak menyempaTkan diri unTuk bersanTai di sekitar Malioboro... anda dapat duduk-duduk di sekitar [tepatnya di depan] Gedung Agung dan BenTeng Vredeburg....