This chamber is an ordinary chamber. i use it to keep and share everything that happen in my journey of life...
Perkembangan gereja mula-mula tidak berbenturan dengan etika pada umumnya. Perubahan mulai terjadi ketika posisinya di masyarakat semakin lebih baik dan diperhitungkan. Tinggal di kota2 besar seperti Roma, Efesus dan mereka orang-orang yang pekerja sehari-harinya bertalian dengan jasa [keuangan, jasa telekomunikasi]. Orang Romawi lebih percaya kepada orang Kristen untuk menyimpan uangnya (hal ini terjadi karena sangat taat pada prinsip Yesus yang bersikap baik dan jujur).
Akibat dari semakin dipercayanya orang Kristen dalam wilayah-wilayah dimana mereka berada adalah jumlah mereka yang makin banyak. Ini ancaman buat negara. Posisi penting orang Kristen membuat negara mulai terancam. Di bawah pemerintahan Kaisar Galerius, mereka ditangkapi dan dibunuhi karena mereka (notabene) adalah Kristen.
Namun tindakan represi ini tidak membuat orang Kristen berkurang. Orang Kristen tidak dapat hilang dan malah makin berkembang. Mungkin mirip dengan mottonya orang Kristen kebanyakan ‘semakin dibabat semakin merambat..heheh’. Maka tindakan pemerintahan Romawi berubah dari sikap yang represif terhadap orang Kristen sekarang orang Kristen dirangkul. Orang-orang Kristen dirangkul dan masuk dalam pemerintahan. Dekrit Milan 311, orang Kristen diizinkan ibadah secara terbuka.
Dari sinilah gereja mulai berubah dan etika kristennya berubah. Negara memberi banyak konsensi dan kemudahan. Dan gereja merasa bahwa ternyata negara tidak buruk-buruk amat. Padahal sebelum dirangkul oleh negara, gereja (orang-orang Kristen) sangat Kristis terhadap negara. Mereka tidak pernah berkompromi dengan negara. Tetapi rangkulan yang terkesan baik dari negara membuat orang-orang Kristen akomodatif dengan berbagai kebijakan negara. ‘kan sudah diberi fasilitas ini itu, sudah diizinkan tinggal dan hidup, masa mau ngekritik negara’. ya kira-kira begitulah keadaan orang Kristen pasca rangkulan negara tersebut.
Hal ini berlanjut dengan kebijakan dari Konstantin yang ingin menyatukan Romawi. Menurutnya salah satu tindakan menyatukan negara adalah dengan mengakui kekristenan. Kita tahu bahwa saat kekaisarannyalah muncul perdebatan Trinitas. Perdebatan antara mereka yang mono dan trinitarian ini membawa pada ancaman perpecahan di kalangan Kristen dan ini tidak diinginkan oleh Konstantin. Maka Ia lalu melahirkan Konsili Nicea. Ini adalah Agenda politik Konstantin, bukan karena dia seorang saleh dan taat. Konsili Nicea sendirikan 325 Masehi. Dia dibabtis 336 pas pada saat dia sekarat. Jadi 11 tahun setelah Konsili Nicea diadakan. Persoalan politiklah yang membawa kekristenan masuk ke dalam aliansi negara.
Perangkulan negara yang berlebihan inilah yang akhirnya membawa pengaruh besar terhadap kekristenan seterusnya. Standar diturunkan. Jika tidak tentu akan bertentangan dengan negara. Disini terjadi yang namanya ‘Simbiosis mutualisme’. Kekristenan perlu kaisar dan kaisar butuh orang Kristen demi agenda politik. Kaisar Konstantin perlu didukung karena dia mendukung orang Kristen. Jangan sampai jika dia turun dari tahta, maka muncul kaisar yang ndak respek dengan orang Kristen.
Pendekatannya pada akhirnya adalah diadic. Contoh dari perselingkuhan gereja dan negara ini adalah pendapat dari Agustinus. Ia mengatakan: Kekerasan mau dipakai untuk apa? Pribadi atau orang lain? Kekerasan bertalian dengan kehendak dan aksi. Kehendak yang baik ndak apa-apa. Ini suci. Kalau kita membunuh orang jahat bisa baik untuk dia. Karena jiwanya nanti akan bisa diinjili oleh Kristus. Tujuan membunuh dengan alasan baik dan mulai bisa. Meski tindakannya jelas salah. Tetapi yang menjadi penekanannya adalah kehendaknya bung!!
Ini sangat berbeda dengan etika kristen sebelum terjadi perselingkuhan gereja dan negara yang sangat menekankan tindakan pacifis. Tidak ada kompromi di dalamnya. Kekerasan adalah kekerasan dan itu dipegang oleh orang Kristen sebelum terjadi perangkulan oleh negara.
Kata Yesus, andai kita punya iman sebesar biji sesawi, kita akan bisa memindahkan gunung. Mungkin Yesus tahu bahwa iman sebesar biji sesawi adalah hal yang jarang ditemukan dari manusia seperti saya, makanya Dia berani bilang ‘mindahin gunung’. Kalau ndak gitu, entar gunung Merapi bakalan tak pindahin jauh dari Yogya..
William Barclay dalam bukunya Pemahaman Alkitab Setiap Hari menggambarkan biji sesawi sebagai kiasan yang ‘biasa’ dipakai di dunia Timur. Barclay misalnya menunjukkan bagaimana orang Yahudi berbicara tentang setetes darah sama kecilnya dengan biji sesawi; atau pelanggaran kecil terhadap hukum upacara, mereka akan berbicara tentang pencemaran sekecil biji sesawi (2005:122). Dalam kitab Matius, Yesus memakai biji sesawi untuk menggambarkan Kerajaan Sorga dan kemudian menjelaskannya sendiri bahwa biji itu akan tumbuh menjadi besar dimana ‘burung-burung’ akan bernaung untuk mendapat perlindungan atasnya (bdk. Matius 13:32). Memang biji sesawi digambarkan sebagai sebuah biji yang amat kecil, namun seiring dengan pertumbuhannya ia akan menjadi pohon yang besar. Maka jelas bahwa Yesus sebenarnya tidak memakai ‘biji yang lain’ seumpama biji mahoni atau durian oleh karena biji sesawi sudah amat di kenal di daerah Yesus melayani. Dan ‘iman sebesar biji sesawi’ dalam kitab Matius berada dalam konteks ‘Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan’ (Mat. 17:21). Perkataan itu keluar dari mulut Yesus untuk ‘menegur’ para muridnya yang ternyata tidak bisa menyembuhkan penyakit yang di derita oleh anak muda tersebut. Dan itu disebabkan oleh karena para murid ‘kurang percaya’. Maka, dengan agak sedikit kecewa, Yesus menegur para murid dengan mengatakan: ‘berapa lama lagi Aku harus tinggal bersama kamu?’
Maka tak heran jika seorang hindu bernama Dayananda Saraswati dalam artikelnya berjudul ‘The light of Truth’ yang terdapat dalam buku Paul J. Griffiths (ed), Christianity through non-Christianian Eyes menjadikan ayat ini sebagai alasan bagi dia untuk mengatakan bahwa Alkitab tidak lepas dari kesalahan. Ia mengatakan:
Orang Kristen mengajarkan:” Marilah, terimalah agama kami, biarlah dosa-dosamu diampuni dan kamu mendapat keselamatan”. Semuanya ini tidak benar, karena apabila Kristus memiliki kuasa untuk menghapus dosa, menanamkan iman kepada orang lain dan memurnikan mereka, mengapa Ia tidak membebaskan murid-muridNya dari dosa, membuat mereka setia dan murni? Bila Ia tidak dapat membuat mereka yang mengikuti Dia murni, setia dan bersih dari dosa, bagaimana mungkin kini Ia, yang tidak seorang pun tahu dimana keberadaanNya sekarang, dapat memurnikan seseorang? Sementara murid-murid Kristus tidak memiliki iman bahkan sebesar biji sesawi sekalipun dan mereka inilah yang menulis Alkitab, bagaimana mungkin kitab seperti itu bisa diakui sebagai kitab yang berwibawa
Terlepas dari ketidaksetujuan saya terhadap komentar Saraswati di atas, saya kira adalah menjadi soal ketika orang Kristen bahkan tidak memiliki iman sebesar biji sesawi akhirnya menjadi alasan bagi banyak orang yang melihat kita sebagai pengikut Kristus tidak menunjukkan simpatinya. Karena tindakan kita justru tak pernah sedikit pun menunjukkan bahwa Yesus yang kita kenal berkuasa tersebut tak pernah dilihat dalam diri kita. Padahal Yesus bilang : kalau punya iman sebesar biji sesawi, maka kamu bisa angkat gunung’.
Komentar Saraswati di atas terlihat tidak menempatkan konteks ‘iman biji sesawi’ dalam konteksnya, entah itu sejarahnya maupun konteks ceritanya. David J. Bosch dalam bukunya berjudul Transformasi Misi Kristen menyebutkan bahwa “Injil kita yang pertama (Matius-pen.) pada hakikatnya adalah sebuah teks misioner. Visi misionernya inilah yang membuat Matius mulai menulis injilnya. Bukan untuk menyusun Riwayat Yesus melainkan untuk memberikan bimbingan kepada suatu komunitas, yang mengalami krisis tentang bagaimana mereka harus memahami panggilan dan misinya.” (1997:89). Maka cerita tentang ‘Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan’ dimana di dalamnya berbicara soal ‘iman sebesar biji sesawi’ adalah untuk menunjukkan sikap Yesus kepada penerima Injil ini agar percaya akan Yesus. Artinya kisah tentang “Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan” adalah dalam rangka mengatasi ‘krisis’ yang sedang dialami oleh komunitas penerima Injil Matius.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Schuyler Brown dalam bukunya berjudul The Origins of Christianity yang mengatakan bahwa Injil Matius ditulis pasca penghancuran bait Allah pada tahun 70 M (1984: 119). Willi Marxsen dalam bukunya Pengantar Perjanjian Baru juga mengatakan hal yang sama bahwa:’dapat dipahami bahwa kitab ini berasal di Pela, yang terdapat di daerah sebelah timur Yordan tempat komunitas Kristen Yahudi di Yerusalem menemukan daerah pertemuan baru setelah pelarian dari kota itu tak lama sebelum kehancurannya dalam tahun 70 M (2000:184). Penghancuran bait Allah adalah sesuatu yang ‘memukul’ bagi komunitas Injil Matius. Karena sebagian besar komunitas Injil Matius adalah orang Yahudi, maka meskipun mereka mengikut Yesus sebagai guru mereka sekaligus sebagai utusan Allah. Bait Allah adalah hal yang masih teramat penting, sebagai penegasan identitas mereka dengan bangsa-bangsa lain. Kehancuran Bait Allah berarti kehancuran identitas mereka. Maka, menjadi persoalan kemudian buat mereka apakah memang benar bahwa keyakinan mereka akan Yesus adalah sesuatu yang tepat? Mengapa justru ketika mereka sudah menjadi pengikut Yesus, mereka kehilangan identitas mereka terhadap Bait Allah? Inilah ‘krisis’ yang sedang dihadapi oleh komunitas Injil Matius. Krisis identitas membawa mereka pada krisis iman akan Yesus. Apakah betul Yesus sebagai anak Allah punya kuasa?
Dengan mengetahui konteks sejarah dan ceritanya, kita bisa melihat bahwa iman sebesar biji sesawi ditunjukkan kepada para pengikut Yesus dalam komunitas Injil Matius yang sedang mengalami krisis akibat penghancuran Bait Allah. Sehingga cerita ini ingin memberi ingatan kepada para murid di komunitas Injil Matius untuk kembali pada kepercayaan mereka kepada Yesus.
Dalam hidup ini, krisis dalam bentuknya yang beragam datang silih berganti. Sering sekali krisis tersebut membuat kita kehilangan kepercayaan kita kepada Yesus. Namun jika kita tetap mempertahankan iman kita, krisis dalam bentuknya yang beragam dapat kita atasi. Betapapun berat krisis yang sedang kita hadapi, kita diajak agar menatap Yesus sebagai sumber pengharapan. Artinya, kita membiarkan diri kita untuk dikuasai oleh Krisis atau justru menghadapi krisis bersama dengan sebuah pengharapan dari Yesus. Hal ini mengingatkan saya akan sebuah cerita yang berjudul ‘Petualangan mencari Raja burung’ dalam Sufistik: Melayani Maling dimana dikatakan: ‘kelak dalam perjalanan, kata burung Hud-hud, para burung akan melewati tujuh lembah penderitaan. Masing-masing lembah adalah kelanjutan dari lembah sebelumnya. Karenannya, mereka harus terlebih dahulu berhasil melewati penderitaan pada setiap lembahnya untuk dapat memasuki lembah berikutnya’ (2005: 69). Maka krisis yang dihadapi hendaknya tidak menghilangkan kepercayaan kita tetapi menjadikan itu untuk naik ke tingkat lebih tinggi dari iman dan kepercayaan kita kepada Kristus. Jadilah seperti biji sesawi yang tumbuh menjadi besar sehingga orang lain juga turut merasakan kuasa Yesus dalam diri anda.
Dulu waktu kecil, saya selalu bertanya mengapa orang dewasa pergi ke gereja yang berbeda dengan kami anak kecil. Karena di kampung saya dulu, ada 2 gereja yang satu dipakai untuk kebaktian orang dewasa dan yang satunya dipakai untuk anak seperti kami-di depannya ada sebuah papan putih bertuliskan ‘Sekolah Minggu’ (SM). Di sekolah inilah saya belajar banyak tentang siapa Tuhan Yesus, bagaimana saya harus mengasihi sesama, membaca Alkitab dan bagaimana caranya berdoa. Untuk melatih bagaimana caranya berdoa, ada sebuah lagu yang masih sedikit saya ingat teksnya berbunyi: lipat tangan tutup mata. Selain dari keluarga, dari sekolah minggu inilah saya diajarkan untuk berdoa.
Setelah umur saya mulai banyak bertambahnya, dan mulai banyak mengenal orang saya menemukan bahwa doa bukanlah ‘miliknya’ orang Kristen saja. Ternyata teman-teman saya yang bukan Kristen juga mengenal yang namanya ‘doa’. Baik saudara-saudara saya yang Muslim, Budha dan Hindu saya juga menemukan kata ‘doa’ dalam keseharian mereka. Lalu saya sadar bahwa ternyata kita umat manusia disamakan dan dipertemukan dalam doa. Tentu cara dan apa yang disampaikan berbeda-beda, dari agama yang satu ke agama yang lain, dari budaya yang satu ke budaya yang lain. Tetapi, sebagaimana yang disampaikan oleh Lama Surya Das alam bukunya ‘Awakening to the Sacred’ (2002: 287) mengatakan:’tema umumnya (yang dia maksud doa-tambahan saya) dalam semua tradisi berkisar di sekitar kemauan manusia wajar untuk membuka hati kita dan berkomunikasi dengan prinsip suci, kekuasaan yang lebih tinggi atau sumber Ilahi’. Kita dalam agama dan tradisi yang berbeda selalu digerakkan oleh hati terdalam dan jiwa kita untuk selalu terhubung dengan yang Ilahi.
Jika setiap kita yang berbeda agama dan tradisi ini dengan sadar bahwa ternyata kita sama-sama mengakui ‘kekuasaan’ di luar diri kita, maka dengan sendirinya kita juga seharusnya sadar bahwa kita adalah manusia-manusia yang sedang berziarah dalam dunia, yang penuh dengan ketidakpastian, penuh dengan kelemahan dan pada saat yang sama selalu ‘berusaha’ mengarahkan diri dan hidup kepada Dia yang kita percayai sebagai yang Maha segalanya. Dalam doa, kita semua berserah dan mengaku bahwa dalam perjalanan yang berliku kayak roller coaster ini kita perlu pegangan. Doa adalah usaha kita untuk tetap berjalan dengan berharap akan kekuatan sang Ilahi. Doa adalah kesadaran kita sebagai manusia ciptaan yang sedang berziarah dalam dunia. Rm. DR. Tom Jacobs, S.J dalam bukunya “Teologi Doa” (2010:18) pernah menuliskan bahwa:’syarat mutlak untuk doa adalah ‘masuk dalam dirinya sendiri’, menyadari diri sedalam-dalammnya sebagai makhluk ciptaan, menyadari bahwa hidup yang kita hidupi ini bukanlah berasal dari diri kita sendiri.’
Di setiap Adzan berkumandang, saya diingatkan akan kebesaran Tuhan. Saya tahu bahwa Adzan adalah panggilan bagi saudara saya Muslim untuk sholat. Tetapi, kesadaran bahwa kita sama-sama mengakui akan kebesaran sang Ilahi, tentu itu juga panggilan untuk saya mengumandangkan kesadaran lebih bahwa sang Ilahi yang dipanggil dengan nama berbeda dan berbagai cara itu juga sedang menunggu kesediaan saya untuk masuk dalam ‘doa’. Maka, sekarang ini bukanlah hal yang aneh jika kekristenan khususnya protestan tidak lagi mempermasalahkan yang namanya ‘meditasi’ yang justru merupakan tradisi doa yang berkembang dalam agama Budhis atau ziarah-ziarah ke tempat suci yang merupakan tradisi dari Katolik.
Karena doa adalah pertanda bahwa kita sebagai manusia yang sedang berziarah dalam ketidakpastian seraya tetap berharap akan pertolongan sang Ilahi
Akhir-akhir ini kita sepertinya sedang menyaksikan bangsa kita menuju kehancuran. Berbagai kasus kejahatan yang diidap oleh sesama anak bangsa menjadi pemberitaan yang semakin hari semakin membosankan. Membosankan bukan karena tidak menarik, melainkan karena kita menyaksikan setiap detik media menyajikan kejahatan-kejahatan tersebut. Mulai dari korupsi (baik di tingkat eksekutif, legislatif dan yudikatif), perdagangan manusia, pembunuhan, konflik antar etnis, dan penindasan terhadap kelompok yang lemah (entah karena keyakinan agamanya, kecenderungan seksualitas seperti homo dan lesbi sampai penyiksaan para TKI, TKW dan PRT). Sebuah kenyataan yang membuat miris. Klaim pemuka lintas agama yang mengatakan bahwa bangsa ini sedang menuju negara gagal agaknya mendekati kebenarannya. Karena imbas dari kejahatan-kejahatan tersebut adalah makin senjangnya mereka yang miskin dan kaya, semakin banyaknya orang miskin dan pengangguran (kebutuhan paling dasar tidak tercukupi), semakin bertambahnya pelanggaran HAM, dan pada saat yang sama itu juga menunjukkan semakin lemahnya peran agama yang justru menjadi syarat wajib untuk tinggal di negara ini.
Ironi memang, ketika bangsa yang katanya religius sekaligus menjadi bangsa yang kejahatannya semakin luar biasa (ini juga menegaskan bahwa tidak jaminan bahwa sebuah bangsa yang 100% beragama lantas jadi bangsa yang baik dan lurus-lurus saja..hehehe). Seperti yang dikatakan oleh Islah Gusmian dalam bukunya Pantat Bangsaku: melawan Lupa di negeri para Tersangka (2004: 267): “Dunia keagamaan telah kehilangan nilai spritualitas. Keagungan Tuhan luntur. Konsep diri telah punah. Manusia tak lagi mempunyai rasa malu. Keadilan di jual dalam ruang persidangan oleh penegak hukum, janji palsu diobral dalam kampanye politik oleh para politikus. Masyarakat telah malu untuk memiliki rasa malu”
Kisah penciptaan yang ada dalam Alkitab menunjukkan kepada kita bagaimana Allah tidak membiarkan adanya ‘chaos’. Ia dengan kuasanya justru menata kembali dunia yang chaos tersebut. Chaos adalah realitas, tetapi apakah dengan kita mengalah dengan kenyataan chaos tersebut? Brueggamann dalam bukunya Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocasy (1997:234-235) melihat bahwa kisah penciptaan merupakan narasi liturgis sebuah bangsa yang terbuang di pembuangan (Babilon). Narasi liturgis tersebut adalah sebuah perlawanan terhadap dunia yang penuh bahaya dan penuh dengan kekacauan. Chaos adalah realitas sebuah bangsa yang sedang dalam pembuangan. Tetapi narasi liturgis dimana sebuah dunia yang teratur dan Yahweh menunjukkan kekuasaannya adalah sebuah dunia alternatif bagi bangsa tersebut. Dalam narasi liturgis tersebut terlihat bagaimana Yahweh berkuasa dan menata yang chaos menjadi dunia yang lebih baik. Dunia alternatif ini mengajak sebuah bangsa masuk ke dalamnya dengan tidak menjadi seperti bangsa yang menjajah mereka (Babilon) dengan segenap tindakan dan perilaku buruk mereka.
Pertanyaannya adalah apakah kisah penciptaan ini masih relevan dengan keadaan chaos dan menakutkan yang sedang kita alami sekarang? Menurut saya masih. Dengan mengingat kembali narasi liturgis seperti ini, kita diajak untuk tidak tenggelam dengan dunia yang justru menggumbar kejahatan seperti yang terjadi sekarang ini. Dunia alternatif yang kita usahakan adalah dunia yang berbeda, narasi hidup yang berbeda yang dengan itu terlihat bahwa eksistensi kita sebagai manusia yang merupakan ciptaan Allah adalah ciptaan yang (masih) baik.
Realitas kita memang penuh dengan kejahatan tetapi kita diajak untuk tidak tenggelam dan menjadi sama dengan itu. Semoga doa “Saat Dunia Tampak Menakutkan” oleh Leslie F. Brandt menjadi doa kita yang terus menggema dalam dunia yang memang menakutkan ini.
Saat Dunia Tampak Menakutkan
Ya Tuhan, dunia hari ini tampak menakutkan
Aku takut meninggalkan tempat tidurku yang hangat,
Keamanan dalam rumahku,
Untuk menantang kekuatan-kekuatan alam
Dan kekacauan umat manusia ini
Aku tak yakin bahwa aku memiliki bekal untuk hidup
Seperti yang Engkau harapkan daripadaku
Di tengah-tengah penderitaan dan masalah
Dari begitu banyak orang di sekelilingku.
Aku takut, Tuhan, dan aku malu.
Berikan daku kekuatan ya Allah
Engkau tidak menuntut agar aku memenangkan setiap pertempuran
Engkau hanya meminta agar aku mengangkat senjataku-atau memikul salibku
Dan masuk ke dalam arena kehidupan
Engkat tidak meminta aku bersungut ataupun mengeluh atas keadaan-keadaan yang tak teratasi yang menantang aku
Engkau hanya meminta agar aku menjadi diriku sendiri-AnakMu- MuridMu-WakilMu
Menjangkau orang lain di dalam kasih
Menolong menanggung beban orang lain
Membiarkan Roh Mu mengerjakan kehendakMu melalui aku
Karenanya Allah yang Agung , aku akan maju terus,
Dengan perintahMu dan dalam kuasaMu
Jadilah kehendakMu ya Tuhan, di dalam dan melalui daku
Akhirnya kongres PSSI di hotel Sultan berakhir tanpa kesepakatan dan putusan apa-apa. Kongres yang diharapkan dapat berjalan dengan baik-tidak seperti kongres di Pekan Baru, Riau, ternyata tak lebih baik. Kongres ricuh sedari awal dengan banyaknya ‘hujan interupsi’. Sebagian dari hujan interupsi ini bertalian dengan tidak dimasukkannya sejumlah nama untuk mengisi kursi no 1 di PSSI. Sebuah kelompok yang sedari awal berjuang mati2an (kalau ndak disebut ngotot) memperjuangkan calon tertentu, meskipun FIFA sudah melarang. Sebagian pengamat sudah memperkirakan bahwa kelompok yang ngotot tersebut akan mengacaukan jalannya sidang. Dan itu terbukti sampai kongres yang dipimpin oleh Ketua Komite Normalisasi tersebut-Agum Gumelar, mengetuk palu tanda berakhirnya kongres meskipun selama 6 jam tak dihasilkan apa-apa.
Sikap ngotot tersebut kemudian dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Kelompok tersebut mengaku sebagai kelompok reformis-yang ingin membangun kultur sepakbola yang jauh lebih baik yang tak kunjung datang semasa kepemimpinan NH. Tetapi belakangan sikap reformis tersebut dipertanyakan oleh sejumlah pihak karena kelompok ini terus saja berupaya memaksakan kehendaknya, memasukkan calon yang mereka usung untuk menjadi calon ketua PSSI. Sebuah hal yang pada akirnya dipertanyakan apakah benar mereka ingin membangun sepak bola Indonesia lebih baik ataukah mereka sedang memperjuangkan kepentingan sekelompok orang untuk duduk di PSSI.
Sikap egoistik sebenarnya tak melulu negatif, meskipun sebagian orang memandang sikap ini adalah sikap yang perlu dilawan karena ia tak lain adalah nama lain dari hawa nafsu (hawa dari bahasa arab: al-nafs yang artinya kecenderungan dalam diri manusia), yang menyebabkan orang bertindak tidak peduli dengan orang lain. Les Giblin dalam bukunya The Art of Dealing with People mengatakan ‘kalau egoisme bisa menyebabkan orang melakukan hal-hal bodoh , irrasional dan destruktif, tetapi ia juga bisa membuat mereka bertindak dengan mulia dan sangat berani’ (2010:8). Dengan mengutip Edwar Bok, ia mengatakan bahwa apa yang disebut oleh dunia sebagai ego dan egoisme sebenarnya adalah ‘percikan api ilahi’ yang tertanam dalam diri manusia, dan hanya orang yang sudah ‘menyalakan percikan api ilahi dalam diri mereka’ yang akan mencapai hal-hal besar (2010:9).
Maka dengan itu, sikap egoistik sebenarnya punya sisi positif. Namun sikap egoistik menjadi berbahaya ketika seseorang merasa bahwa dirinya tidak diterima. Tuntutannya tidak sejalan dengan apa yang diberikan oleh apa yang diluar dirinya. Biasanya, harga diri mereka menjadi hal yang paling tersinggung dan pada akhirnya mereka akan melampiaskannya ke luar. Mereka akan melakukan apapun untuk memperjuangkan itu. Maka tidak sedikit dari mereka yang akhirnya mengabaikan orang dan kepentingan yang lain, sekalipun kepada mereka dialamatkan hujatan, kritik dan amarah. Mereka tidak akan bisa dilawan dengan sikap hujatan dan amarah, melainkan hanya dengan memberikan apa yang mereka anggap sebagai penghargaan terhadap tuntutan dan ‘harga diri’ mereka.
Sikap egoistik sekelompok orang yang ngotot memperjuangkan orang tertentu untuk menjadi calon orang nomor 1 di PSSI nampak ketika Komisi Banding yang dipimpin oleh Cipta Lesmana mengumumkan bahwa GT dan AP dilarang menjadi calon ketua di PSSI. Keputusan tersebut berujung pada ricuhnya Kongres di Pekan Baru yang sedikit banyak disebabkan oleh sekelompok orang pendukung GT dan AP. Dalam berbagai media, dengan mengatasnamakan reformasi di PSSI, mereka tetap ngotot untuk memperjuangkan masuknya GT dan AP. Sampai kemudian Komisi Banding di bawah AR meloskan GP dan AT. Diloloskannya kedua orang tersebut sebenarnya tidaklah mengejutkan karena Komisi Banding di bawah AR adalah bagian dari kelompok pendukung GT dan AP. Tetapi Komisi Normalisasi di bawah Pak Agum Gumelar yang merupakan pelaksana mandat dari FIFA mematahkan keputusan Komisi Banding tersebut. Karena menurut KN, GT dan AP sudah dari awal ditolak dan tidak lulus verifikasi sehingga proses banding tidak diterima. Artinya GT dan AP sebenarnya sudah gugur sebelum mereka mengajukan gugatan terhadap Komisi Banding. Perjuangan GT dan AP tidak hanya berhenti sampai di situ. Mereka kemudian membawa kasus ini ke CAS (Pengadilan Arbitrase Olahraga) tetapi hasilnya tetap sama, menolak gugatan GT dan AP dengan alasan tidak punya yuridiksi untuk memproses proses banding tersebut. Sikap ngotot terlihat semakin menjadi-jadi ketika banyaknya hujan interupsi pada kongres di hotel Sultan tanggal 20 Mei 2011 sampai ketua KN menghentikan jalannya kongres.
Egoisme yang berbahaya tersebut tak akan bisa diselesaikan sampai tuntutan dari kelompok yang mengusung GT dan AP dipenuhi tuntutannya. Artinya kepengurusan PSSI tidak akan jadi selama kelompok pengusung yang memang mayoritas di tubuh PSSI tersebut meloloskan calonnya. Tetapi bagaimana mungkin diloloskan sedangkan FIFA yang merupakan organisasi sepak bola dunia (termasuk PSSI bernaung) tidak meloloskannya. Maka saya kira, adalah hal penting jika pemerintah mempertemukan kelompok yang ngotot tersebut dan mendengarkan keinginan mereka. Selama ini pemerintah ataupun KN terkesan tidak pernah memfasilitasi kelompok tersebut. Begitujuga FIFA yang memang tidak persis tahu apa yang terjadi dengan persepakbolaan Indonesia. So, kelompok pengusung GT dan AP tak akan bisa dilawan hanya dengan mengeluarkan sejumlah keputusan yang merugikan mereka tetapi justru harus dijembatani dengan mendengar keinginan mereka dan kemudian mencari solusi yang terbaik dengan melibatkan sejumlah kelompok, pengamat sepakbola, pemerintah, KN dan kelompok pengusung GT dan AP.
Ia yang maha lemah,
deritanya menaklukkan raja-raja dunia.
Ia yang jatuh cinta pada pagi,
setelah dirajam nyeri.
Ia yang tengadah ke langit suci,
terbalut kain merah kirmizi: Cintailah aku!
Mereka bertengkar
tentang siapa yang mati di palang kayu.
Aku tak tertarik pada debat ahli teologi.
Darah yang mengucur itu lebih menyentuhku.
Saat aku jumawa dengan imanku,
tubuh nyeri yang tergeletak di kayu itu,
terus mengingatkanku:
Bahkan, Ia pun menderita, bersama yang nista.
Muhammadku, Yesusmu, Krisnamu, Buddhamu, Konfuciusmu,
mereka semua guru-guruku,
yang mengajarku tentang keluasan dunia, dan cinta.
Penyakitmu, wahai kaum beriman:
Kalian mudah puas diri, pongah,
jumawa, bagai burung merak.
Kalian gemar menghakimi!
Tubuh yang mengucur darah di kayu itu,
bukan burung merak.
Ia mengajar kita, tentang cinta,
untuk mereka yang disesatkan dan dinista.
Penderitaan kadang mengajarmu
tentang iman yang rendah hati.
Huruf-huruf dalam kitab suci,
kerap membuatmu merasa paling suci.
Ya, Jesusmu adalah juga Jesusku.
Ia telah menebusku dari iman,
yang jumawa dan tinggi hati.
Ia membuatku cinta pada yang dinista!
[Saya ndak habis pikir seorang muslim seperti Mas Ulil bisa membuat puisi sedalam itu. Aku sendiri yang seorang Kristen (baca: pengikut Kristus) tak bisa merefleksikan Yesus yang mati dan bangkit itu dalam puisi yang menyentuh seperti ini. Semoga Allah yang berkuasa itu menyertai Mas Ulil dalam perjuangan untuk terus membela keberagaman di atas tanah air yang kita cintai bersama ini ]
sumber: http://www.facebook.com/?ref=hp#!/notes/peduli-yasmin/puisi-paskah-oleh-ulil-absar-abdala/192794757426557
ipiL: Tumben mandi?
upiL: Oh jadi gitu ya..jd selama ini kamu mau bilang kalo aku ndak pernah mandi…bagus..bagus (pake gayanya OVJ sambil ketawa-ketiwi habis itu main lempar2an gabus…hahahha)
ipiL: Aku lempar kamu pake bakiak dari kayu trus pas itu bakiak mendarat di jidatmu yang luas aku tereak I LOVE U PIL..wkwkwkwk
upiL: Bakiak itu apa pil? (yang lempar kesal dan ndak jd lempar lagi…sambil berkata ’ah, kamu ndak asik, masa mau lempar pake nanya segala’)
ipiL: Uh, masa bakiak aja g tahu! Bakiak itu sodarane bakpia!yang satune dari kayu, yang satu dari kacang ijo *tatapan tajam sambil mengibaskan rambut plus tangan lagi asah clurit*
upiL: Kalo bakiak itu sodarane bakpia, bisa dimakan ndak? (yang mau lempar kesal ’ah ndak asik ndak asik’..sambil matahin clurit yang terbuat dari gabus)
ipiL: *semakin cepat mengasah clurit* Upil terima ini* clurit melayang mengenai jidat dan berdarah*
Dalang (imajinasi upiL): begitulah akhir ceritanya. Sang Raden Mas Abdiz kena clurit boongan dari Nyai Ratu Clurit dr pantai sbelah selatan agak ke kiri dikit..
Di sana gunung di sana gunung. Di tengah2nya Pulau Jawa. Dalangnya bingung, apalagi yang nulis sms ini…makin bingung :p